“Ini?” tanya Gaya ketika melewati sebuah rumah dua lantai dengan dominan warna biru muda cenderung hampir putih, warna kesukaan Pilar.
Rumahnya tidak terbilang mewah bahkan terbilang sederhana untuk ukuran kata Rachel seorang Milyader di Indonesia. Bahkan hampir mirip dengan miliknya yang ia beli satu tahun silam dan baru ia tempati enam bulan terakhir setelah kembali ke Indonesia. “Jangan menilah kekayaan seseorang dari huniannya, kebanyakan orang sukses low profil walau jelas dia banyak yang kenal. You know i mean,” tukas Rachel. “Iya paham ... apa Pilar sudah punya ibu baru?” tanya Gayatri dengan mata masih tertuju pada rumah dengan pagar tinggi berwarna abu muda teralis gold. “Aku enggak tahu kalau itu, Gaya. Eh buset astaga Gaya, Eliot keluar.” Dengan kepanikan Rachel langsung menjalankan mobil volvo hitam miliknya. Eliot terlihat mengenakan kaos panjang hitam dengan celana katun panjang hitam senada, berdiri di depan pintu pagar yang ia buka sedikit. Pandangannya tertuju pada mobil milik Rachel yang sudah hampir sepuluh menit ia perhatikan berhenti di seberang pagar rumahnya tanpa ada seorangpun yang keluar dari sana. Rachel menginjak pedal gas kencang, walau Eliot tidak bisa melihat ke dalam kaca mobilnya namun pandangan tajam Eliot bagai menembus kaca mobil bahkan kepala Rachel yang untuk pertama kali baru melihat sosok mantan suami sahabatnya yang tinggi besar dengan tatap elangnya. “Justru kamu langsung jalan kaya maling kepergok ini jadikan dia malah berpikir kita memang mau melakukan kejahatan.” Gaya mendengus setelah mereka keluar dari perumahan dan menuju jalan raya.Rachel tertawa lepas. “Refleks sumpah Gaya, gila mantan laki kamu seram amat. Padahal enggak berhadapan langsung.” “Dia enggak seseram itu, mungkin karena menyangka kita mau apa berhenti lama depa rumahnya. Ternyata Pilar begitu dekat sama aku selama ini, berarti ada kemungkinan aku bisa bertemu kalau dia keluar masuk rumah.” Pandangan Gayatri menerawang ke depan. “Pilar keluar masuk tentu saja di dalam mobil,” bantah Rachel. “Kamu ini menyebalkan sekali selalu mematahkan semangat aku bertemu Pilar,” murka Gayatri. Rachel kembali melempar tawa lebarnya hingga terpingkal-pingkal. Orang awam tidak akan menyangka jika Gayatri yang duduk di sampingnya adalah seorang mama dengan anak usia 15 tahun. Karena tidak tampak sama sekali untuk ditebak demikian. “Kita butuh realistis Sayang, boleh berusaha tapi juga pakai logika,” kekeh Rachel. “Kamu tidak akan pernah paham apa yang aku rasakan, Chel. Seorang ibu yang ditolak mati-matian oleh darah dagingnya itu sangan menyakitkan. Aku rela melakukan segala cara walau kemungkinannya 0,1% jangankan Eliot, mungkin takdir juga akan aku lawan jika itu bisa membuat aku diterima kembali oleh anakku,” lirih Gayatri.Rachel terdiam. “So sorry honey, aku kelewatan ya.” Gayatri menoleh pada Rachel dan memberikan senyuman hangat, ia tidak marah karena Rachel yang paling tahu bagaimana perjuangannya selama di Kanada. “It’s ok kali ini aku maafkan,” kekeh Gayatri.Gayatri adalah seorang model yang sudah melanglang buana hingga ke luar negeri, awal kariernya harus terhenti karena ia menikah muda dan ternyata langsung hamil. Pernikahannya sesungguhnya tidak ada masalah serius, ia menikah dengan Eliot karena sama-sama saling mencintai. Namun seiring perjalanan waktu, Gayatri merasa tidak bisa bergerak sama sekali. Kesehariannya hanya mengurusi Pilar kecil yang luar biasa aktifnya. Ia harus mengubur impiannya melanjutkan menjadi model.Pilar dan pernikahan tidak ia sesali, yang ia sesali adalah ia yang sangat tertekan karena hanya berkutat di rumah seorang diri dan keinginan kembali terjun ke dunia model yang tidak bisa ia realisasikan karena memiliki balita.Sampai pada puncak kelelahannya ditempeli Pilar 24 jam, ia nekat meninggalkan Pilar dan menceraikan Eliot ketika sebuah tawaran luar biasa besar menghampirinya. Ia tidak melewatkan kesempatan yang kemungkinan tidak datang dua kali. Pikiran singkatnya ia akan kembali saat sudah meraih impiannya dan Pilar akan kembali ke pelukannya. Ternyata dia salah besar, ia melukai Pilar sebesar hidupnya. Dan teramat menyakitkan mendengar cerita trauma parah yang ilar alami.“Chel mau tolong aku lagi?” cetus Gayatri“Apa itu?” tanya Rachel.Gayatri mengatakan sebuah rencana yang membuat Rachel mengerutkan kening untuk kemudian mengangguk kecil.“Baiklah perkara mudah untuk aku harus berakting di depan remaja 15 tahun. Mau aku temani cari kadonya?” tanya Rachel kembali usai mendengarkan rencana sang sahabat. Hari Senin pukul dua siang di depan pagar sekolah tingkat atas, Rachel bersandar pada pintu mobilnya yang tertutup menunggu seorang gadis keluar dengan ransel hitamnya. Begitu melihat sosok Pilar keluar dan hendak menaiki sebuah mobil yang menjemputnya, Rachel buru-buru memanggil. “Pilar tunggu dulu,” seru Rachel. “Hai Tante Rachel.” Pilar melambaikan tangan pada Rachel yang berjalan cepat membawa sebuah paper bag. “Dijemput siapa, maaf ya Tante ganggu sebentar.” Rachel memberikan senyuma lebar pada Pilar yang juga tengah tersenyum. “Sama pak Robi, driver papa. Enggak apa-apa, ada apa Tante?” tanya Pilar. “Oh ... ini Pilar ... Tante punya hadiah buat kamu karena waktu itu sudah izinkan Tante foto. Anak tante senang sekali, nanti kalau sudah sembuh katanya ingin bertemu Pilar. Diterima ya Sayang.” Rachel memberikan paper bag berwarna merah besar di sana. “Aduh Tante enggak perlu repot-repot, hanya foto bukan masalah untuk aku.” Pilar menolak dengan halus. “Enggak apa-apa Sayang, memang Tante niat berikan untuk kamu. Biar tambah semangat belajarnya, enggak repot juga.” Rachel mengambil lengan Pilar dan meletakan tali paper bag di telapak tangan sang remaja. “Tante ... aduh ... aku enggak enak.” Pilar masih menolak tapi Rachel membuat tangannya menerima tanpa bisa ia bantah. “Tolong terima saja ya Sayang, hanya beberapa buku kok. Ya sudah silakan kalau mau pulang, bye Pilar.” Rachel buru-buru hendak berlalu. “Tante Rachel tunggu,” panggil Pilar. Rachel menghentikan langkah saat namanya dipanggil oleh Pilar. Ketika menoleh ternyata Pilar sedang membuka ranselnya entah mengeluarkan apa. Setelah Rachel mendekat kembali ternya Pilar mengeluarkan sebuah buku dan bolpen berwarna. Pilar membuka pintu belakang mobilnya dan berkata pada driver untuk menunggu sebentar setelah ia meletakan bingkisan dari Rachel. “Nama anak Tante yang sakit siapa? aku akan tuliskan surat sedikit. Karena aku enggak punya kado yang bisa aku berikan untuk anak Tante. Biar semangat berobatnya dan lekas sembuh.” Pilar siap menulis pada kap mobilnya sebagai alas. Rachel terdiam sesaat, ia tidak menduga Pilar akan menanyakan hal tersebut, beberapa detik kemudian senyuman terlukis dari Rachel. Ternyata remaja di depannya tahu arti membalas dengan amat baik. “Gaya ... namanya Gaya,” cetus Rachel.“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan