Share

Tuduhan Menguntit

               Pilar terdiam sesaat memandang wajah Rachel yang berdebar-debar karena menyebut nama mama dari Pilar sendiri. Setelah Pilar menarik senyum dan mengangguk, otomatis Rachel menghembuskan nafas lega. Pilar berkutat pada buku berwarna penuh gambar lucu yang Rachel sebut binder.

                “Kalau sudah sembuh bisa bertemu aku kalau Tante izinkan, nanti kita bisa sama-sama belajar. Semoga setelah membaca surat aku, tambah semangat untuk sembuh ya Tante. Dan terima kasih hadiahnya.” Pilar melipat surat menjadi tiga bagian dan memasukkannya ke dalam amplop senada yang ternyata ada di bagian belakang buku warna.

                Rachel menerima dengan senyuman, ada secuil sesal di sudut hatinya karena membohongi remaja manis berhati lembut seperti Pilar. Namun di sisi lain ia membantu sahabatnya yang sangat merindukan remaja tersebut.

                “Terima kasih ya Pilar, kamu anak baik,” tutur Rachel tulus.

                Pilar mengangguk penuh senyuman lalu melambaikan tangan pada Rachel yang menutupkan pintu setelah sang remaja memasuki mobilnya. Segera menuju lokasi pemotretan Gayatri untuk memberikan surat dari putrinya.

                Gayatri menerima segelas minuman dari Rachel usai ia menyelesaikan pekerjaannya satu jam kemudian. Memberikan waktu Gayatri berganti pakaian dan menghapus semua polesan warna di wajahnya sebelum kembali duduk di sampingnya.

                “Ini.” Rachel memberikan amplop pink manis pada Gayatri.

                “Surat? Dari?” Gayatri menerima surat dari tangan Rachel.

                “Pilar, sebaiknya kamu baca di rumah. Takutnya banjir air mata nanti.” Rachel menahan tangan Gayatri yang sudah membuka penutup amplop.

                Gayatri kembali memasukkan surat dan mengangguk sebelum memasukkannya ke dalam tasnya.

                “Kok bisa kasih surat, kamu cerita? Aduh jangan-jangan isinya makian,” bisik Gayatri sudah takut duluan.

                “Buat anak fiktif aku sebenarnya, nanti saja ceritanya. Intinya kado kamu sudah diterima dengan senyuman lebar. Aku yakin isinya bukan makian, langsung pulang saja istirahat, besok Kita ke Bandung.” Rachel menyeruput lemon tea dinginnya.

                Gayatri tidak sabar membaca surat dari Pilar meskipun ia tahu surat itu dibuat putrinya bukan untuk ia, melainkan untuk anak fiktif Rachel yang sedang sakit. Menyandarkan punggung pada sofa di ruang kamarnya, Gayatri perlahan membuka kertas berwarna pink kebiruan di tangan. Senyumnya langsung berkembang kala melihat tinta berwarna hijau nan rapi tersusun di atas kertas.

                Dear Gaya

                “Rachel menyebut anaknya bernama Gaya?” gumam Gayatri sebelum melanjutkan membaca tulisan tangan Pilar.

 

Dear Gaya

Salam kenal, aku Pilar. Kita mungkin sudah pernah bertemu saat perlombaan sekolah tapi kita belum mengenal secara langsung. Aku harap kita bisa bertemu satu saat nanti ya, saat badan kamu sudah sehat. Semoga sakit kamu lekas sembuh agar bisa kembali bersekolah, jangan berkecil hati walau kemarin tidak menjadi juara. Semua peserta sudah juara karena bisa melewati begitu banyak sesi penyisihan. Kata tante Rachel kamu sedih ya tidak bisa bertemu aku, jangan sedih ya ... kita akan bertemu saat kamu sembuh. Semangat Gaya, aku mendoakan kesembuhan kamu agar kita bisa bertemu ya.

Salam sayang, Pilar.

 

                Apa yang Rachel perkiraan menjadi kenyataan, Gayatri sudah menangis dari pertama membaca kata salam. Meskipun di sini yang dimaksud bukan dirinya namun ia merasa surat tersebut dibuat sepenuh hati untuknya. Walau ia telah berbohong, namun Gayatri bersyukur bisa merasakan sedikit ketulusan Pilar pada sosok Gaya fiktif.

                “Pilar ... mama sangat menyayangi kamu, Nak.” Gayatri memeluk selembar surat Pilar di dadanya dengan sedu lirih menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.

                Gayatri meringkuk di sofa sendirian, dengan lampu temaram memeluk kertas surat yang ditulis putrinya sepenuh hati untuk Gaya.

                “Tidak bisakah Mama memeluk kamu, Pilar,” ratap Gayatri diantara kesunyian rumahnya.

                Keesokan harinya Gayatri dan Rachel menuju Bandung untuk kepentingan pekerjaan. Surat pemberian Pilar ia masukan ke bingkai berwarna emas dan ia letakan di samping tempat tidurnya agar ia bisa peluk saat ia hendak tidur.

                “Menangis semalaman ya?” bisik Rachel pada Gayatri.

                “Hanya dua jam, enggak bengkak tenang saja aku tetap paripurna depan kamera,” kekeh Gayatri.

                “Apa isinya?” tanya Rachel keduanya sudah berada di sebuah hotel di daerah Bandung.

                “Kalimat semangat agar Gaya, anak kamu, sehat dan dapat segera bertemu dengan Pilar,” jawab Gayatri.

                “Ouh ... manisnya.” Rachel memegangi dadanya penuh haru, kemudian mengusap punggung Gayatri dengan senyuman kecil.

                “Aku doakan siang malam semoga hati Pilar dan bapaknya lembut dan menerima kamu lagi ya,” ucap Rachel.

                “Pilarnya saja, bapaknya enggak usah,” ralat Gayatri menyeringai.

                “Dan lagi, memang kapan kamu sholatnya mau mendoakan aku siang malam?” ledek Gayatri telak.

Rachel menepuk lengan Gayatri. “Sialan.”

                Gayatri tertawa terbahak-bahak, impas rasanya bisa membalas tiap ledekan Rachel selama ini. Ia menjalani pemotretan pada sebuah tempat dan menginap di salah satu hotel ternama di Bandung. Gayatri adalah pekerja keras profesional. Keputusannya keluar dari Agency Kanada sejujurnya banyak yang menyayangkan dan menahannya.

                Akan tetapi Gayatri sudah meniatkan memang ia ingin menebus dosanya pada Pilar, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan pengampunan dan berharap bisa kembali diterima walau bukan dalam bentuk keluarga utuh kembali.

                “Iya benar Resort depan vila yang tadi punya saya, hubungi saya saja jika Pak Gerald mau berlibur ke tempat yang lumayan sunyi. Di sana hanya ada kurang dari sepuluh Resort, sebagian punya saya.” Suara dua orang laki-laki terdengar tengah bercakap menuju tempat Gayatri duduk menikmati keindahan hutan buatan yang sudah dibuka untuk umum sebagai tempat wisata.

                Gayatri belum kembali ke hotel karena ingin melihat-lihat dengan duduk santai memegang kopi hangat, namun ternyata hal tidak ia sangka terjadi. Di depan sana, kurang dari 50 meter tampak dua orang bercakap dengan pakaian rapi jas hitam dan tampilan parlente. Gayatri menegang seketika, dia adalah Eliot membawa sebuah tablet di tangannya.

                “Saya suka yang bagian selatan Pak, nanti saya bawa anak istri saya ke sana saat mereka libur sekolah,” timpal laki-laki di samping Eliot.

                “Silakan, saya senang jika Pak Gerald berkenan.” Eliot dan tamunya melewati meja kursi yang sedang Gayatri duduki begitu saja, seolah keduanya tidak pernah saling mengenal.

                Gayatri entah mengapa saat kedua laki-laki tersebut berjalan di sampingnya ia menahan nafas dan melepas nafas ketika keduanya sudah melewati dirinya. Terasa tercubit keras dengan apa yang baru saja melewatinya. Eliot ... tidak menegurnya, Eliot pura-pura tidak mengenalnya. Ada goresan tidak kasat mata di lubuk hati Gayatri.

                Memutuskan mengakhiri sesi mengopinya yang sudah lain rasanya, Gayatri segera membayar dan berlalu dari kedai kopi ternama di sana.

                “Kenapa membuntuti aku?” Suara berat memotong jalan Gayatri yang hendak menaiki taksi menuju hotelnya.

                “Astaga!” Gayatri memegangi dadanya karena kaget luar biasa akan sapaan berat Eliot.

                “Kenapa membuntuti aku?” tanya Eliot kedua kalinya.

Gayatri menghela nafas panjang. “Aku tidak mengikuti kamu, aku di sini karena pekerjaan.”

Eliot mendengus tidak percaya. “Kamu bahkan membuntuti aku sampai depan rumah.”

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status