Malam hari, Stela Wen gagal menenangkan pikirannya. Masalah rumah tangganya kini benar-benar sudah sangat mengganggu. Jika dipikir-pikir, kini Stela Wen tahu kenapa sudah berapa bulan ini Alex selalu acuh. Ya, ternyata karena ada wanita lain di dalam hidupnya.
Stela Wen kini tengah terduduk di sudut taman kota. Ia duduk di bawah sinar rembulan yang begitu terang. Suasana larut malam yang syahdu, nyatanya membuat hati ini semakin perih.Tengok kanan kiri, jalanan juga terlihat sunyi. Ya, tentunya sesunyi hati Stela Wen saat ini.“Aku masih mencintainya, bagaimana kalau sudah begini?” Stela mendongak memandangi langit bertabur bintang.Kemudian Stela menunduk lagi. Ia termenung memandangi kedua kakinya yang menjuntai menyentuh rerumputan.“Dasar wanita bodoh!”Lagi-lagi suara serak itu berdengung di telinga Stela Wen lagi. Stela Wen mengangkat kepala lalu memutar pandangan. Kini, di sampingnya berdiri sosok pria berbalut kaos biru dengan topi melingkar di atas kepala.“Kenapa kau selalu muncul di manapun aku ada?” Stela Wen sudah berdiri dan menggertak. “Apa kau seorang penguntit!”Peter mendengkus dan mengibas tangan lalu duduk dengan santainya. Melihat hal tersebut, Stela merasa geram.Saat Stela Wen hendak protes, Peter lebih dulu mengangkat satu jari ke arah Stela dan mendesis. “Diam, duduk saja sini. Kalau kau marah-marah, nanti cepat tua.”“Urusan apa kau mengaturku!” gertak Stela. “Aku tidak mengenalmu. Jadi, berhentilah muncul tiba-tiba di hadapanku!”“Hei ...” Peter berdiri dan mendekati Stela. Badannya mencondong hingga wajahnya sejajar dengan wajah Stela.Merasa risi, Stela mendesis lalu mundur menjauh. “Menjauhlah!”“Dengar ...” Peter mendekat lagi. “Meski kita tidak saling mengenal, tapi kita sudah bersentuhan. Jadi ...”“Jadi apa!” teriak Stela Wen. Napasnya sudah terdengar memburu. “Jangan asal bicara kau! Sejak kapan kita saling bersentuhan?”Peter menyeringai. “Jadi kau tak ingat? Kau pikir yang menelanjangimu malam itu siapa?”“A-apa?” Stela ternganga dan matanya berkedut-kedut.“Hei kau!” Stela Wen melotot dan berjinjit. “Kau jangan main-main denganku ya! Sembarangan kalau bicara.”Peter melengos lalu bersandar pada pohon palem. Ia memutar topinya ke belakang lalu kembali menatap Stela Wen.“Memang siapa yang asal bicara? Kau harus ingat, aku adalah orang yang sudah menyelamatkan hidupmu dari pria brengsek itu.”Stela Wen tertegun. Ia memutar kembali ingatannya tentang kejadian di kelab waktu itu. Mau diingat sampai kepala meledak, tetap saja yang Stela ingat hanyalah saat dirinya mulai mabuk dan diganggu pria asing. Setelahnya Stela sama sekali tidak ingat apa pun.“Ah sudahlah! Aku tidak ingat apa pun! Jadi lupakan saja.” Stela menggelengkan kepala sambil mengibas tangan.“Hei, tidak semudah itu, Baby!” Peter menjawil dagu Stela sambil mengedipkan satu matanya.Stela spontan menepis dan menyingkir.“Kau harus tahu, kau itu sudah mengotori ranjangku!” sambung Peter lagi.Stela Wen kembali dibuat ternganga. Ia benar-benar sudah muak dengan semua yang sudah terjadi, tapi dirinya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi. Ini seperti Stela sudah melakukan sesuatu tanpa kesadarannya.Pada akhirnya Stela Wen teringat saat ia terbangun di sebuah kamar asing yang sangat mewah.“Jadi, itu kamar pria ini?” batin Stela Wen. “Oh astaga! Aku telanjang, itu artinya aku ... Aaaaarg!”Teriakan mendadak itu membuat Peter menundukkan kepala dan menutup telinga dengan ke dua tangan.“Kau ini apa-apaan sih!” sungut Peter.“Dasar kau!” Stela Wen mendekat lalu mencengkeram kerah kaos Peter dengan kuat. “Berani sekali kau menodaiku! Brengsek!”Bugh! Stela Wen menendang kaki Peter dengan kuat hingga membuat Peter membungkuk dan menekuk satu kakinya.“Sialan kau!” umpat Peter. “Jelas-jelas kau yang salah, kenapa aku yang sial!”Stela Wen mendesah dengan mulut terbuka. Ia ingin sekali berteriak dengan semua ini. Pria di hadapannya saat ini menambah pikirannya semakin kacau.“Kau itu siapa?” Stela Wen kembali menatap Peter. “Kenapa kau harus muncul di kehidupanku yang sedang penuh masalah, ha?”Stela mengacak rambutnya yang panjang dan menghentak-hentak kaki beberapa kali.“Sudahlah, tidak perlu berlebihan begitu.” Peter berdiri tegak sambil berkacak pinggang. “Kau itu hanya sedang stres mengurusi suami yang berselingkuh.”Mulut Stela kembali terbuka lebar dan mendesah lagi. Ia semakin tidak mengerti dengan semua ini. Siapa pria ini, Stela Wen curiga kenapa bisa tahu mengenai rumah tangganya.“Sekali lagi aku tanya, kau itu siapa? Kenapa selalu muncul di hadapanku. Dan ada apa urusanmu denganku?” Stela bertanya dengan perlahan dan coba lebih tenang.Peter tersenyum. “Nah, begitu kan enak.”Peter kemudian melepaskan topi dan menyibakkan rambut ke belakang, lantas duduk. “Duduklah, kita bicarakan baik-baik.”Menarik napas dalam-dalam, Stela pun akhirnya ikut duduk. “Katakan sekarang!”Peter kembali menyibakkan rambut lalu topi yang sudah dilepas ia letakkan di atas kepala Stela Wen.“Apaan sih!”“Diamlah! Pakai saja.”Stela Wen mendesah pasrah. Dia memilih nurut supaya pria di sampingnya ini segera mengatakan apa maunya.“Demi kenyamanan sesama, aku ingin kita membuat kesepakatan.” Peter mulai bicara.“Kesepakatan apa maksudmu?” sahut Stela Wen ngegas.“Relaks ...” Kata Peter.“Jelaskan dulu siapa kau ini? Aku bahkan tidak tahu namamu. Dasar pria tidak jelas!”Peter tertawa kecil. “Jadi kau mengajakku berkenalan?”“Oh astaga!” Stela Wen menepuk jidatnya.Pembicaraan mulai tidak jelas. Sudah beberapa menit, tapi Stela tak kunjung mendapatkan penjelasan yang sesuai.“Aku pergi saja.” Stela berdiri dan melempar topi yang ia tepat di dada Peter. “Sangat tidak jelas!”“Tunggu!” Peter meraih tangan Stela. “Kau masih punya hutang denganku. Jadi jangan seenaknya kabur.”“Apa lagi ini?” Stela mendesah berat. “Kenapa ada urusan hutang segala?”“Kau sudah membuat ranjangku kotor, jadi aku minta pertanggung jawabmu. Kau juga secara tidak langsung sudah membahayakanku karena aku harus menolongmu dari pria asing.”“Lalu?”“Tentu saja aku minta balasan,” kata Peter santai.“Balasan apa maksudmu?”“Kau harus gantian menolongku.”Stela Wen menaikkan satu alisnya sambil menggarung kepala. “Baiklah, apa yang harus aku lakukan?”Peter meringis, membuat Stela Wen geregetan.“Cepat katakan!”“Temui aku di restoran dekat alun-alun, besok.”Hanya itu yang Peter katakan. Setelahnya ia pergi begitu saja meninggalkan Stela yang terlihat mulai menahan amarah. Begitu panjang waktu yang ia habiskan di taman ini, tapi sama sekali tidak mendapat penjelasan sama sekali.Saat mobil belum melaju, Peter membuka kaca jendela dan memanggil Stela. “Jangan lupa. Kalau kau sampai lupa, aku akan mengatakan pada suamimu apa yang sudah kita lakukan di ranjang waktu itu.”“A-apa?”Stela ternganga lemas. Ia terduduk dan diam sesaat lalu tiba-tiba menghentak-hentakkan kakinya sambil menjerit.“Kenapa jadi ribet seperti ini!” pekik Stela Wen. “Aku harus sedih, marah atau apa? Ya Tuhan!”***Hari pernikahan pun datang. Stela dan Peter sudah siap dibimbing sang Pendeta untuk mengucapkan ikrar janji suci. Acara digelar dengan sederhana yang hanya menghadirkan pihak keluarga dan tamu bisnis saja.Dari balik kain putih berbahan tutu, Peter bisa melihat wajah Stela yang dirias begitu cantik. Sederhana dan terlihat elegan di padukan dengan gaun putih yang menutupi kedua kaki."Kau sangat cantik," kata Peter. Di balik kain tersebut, Stela hanya tersenyum.Detik berikutnya, pengucapan ikrar janji pun terlontar. Pemasangan cincin bergantian dan riuh tepuk tangan mulai terdengar. Mereka berdua kini sudah sah menjadi sepasang suami istri.Rasa bahagia dan haru, dirasakan semua orang yang hadir. Kedua orang tua Stela dan Peter mereka bahkan sampai tidak sadar menitikkan air mata."Selamat untuk kalian berdua." Kata Jane serasa memeluk mereka berdua.Mereka yang lain pun bergantian memberi ucapan selamat.Pagi berlalu meninggalkan acara sakral yang kini sudah beralih ke rumah s
Bill tidak pernah main-main dengan perkataannya. Menyangkut pelecehan pada Stela, semua bukti sudah ada dan Alex harus berakhir hidup di jeruji besi sesuai dengan ketentuan dari pengadilan. Asal keluarga aman, Bill rela melakukan apa saja.Satu tahun Bill diam tanpa berkomunikasi dengan putri dan cucunya, tak lain karena hanya sekedar ingin membuktikan bahwa keluarga Alex memang buruk. Belum lagi keburukan masa lalunya dengan Muchtar. Semua ada jalan cerita masing-masing."Kau sudah merasa tenang sekarang, bukan?" tanya Peter sambil menunduk menyusuri wajah Stela yang kini sedang bersandar di pundaknya. "Aku akan terus menjagamu sampai kapanpun."Stela mendongak dan tersenyum. "Terima kasih kau sudah datang dalam kehidupanku."Sesaat keduanya terdiam menikmati pemandangan air danau yang jernih nan tenang. Hanya sedikit bergelombang saat beberapa daun kering berjatuhan tertiup angin.Sudah lama Stela tidak berkunjung ke tempat ini. Tiada yang berubah selain bertambah terasa nyaman
"Kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan napas masih memburu usai menghajar Alex.Berdiri di samping mobilnya, Stela masih sesenggukan sambil mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. Sementara Alex sudah melesat pergi dalam keadaan babak belur."Sebaiknya aku antar kau pulang."Stela terpaksa meninggalkan mobilnya di jalan, ia ikut mobil Louis. Setidaknya bersama Louis lebih aman saat ini. "Di mana rumahmu?" tanya Louis sebelum melajukan mobilnya."Putar balik, rumahku ada di jalan sana," jawab Stela lemas.Louis sesekali melirik Stela yang tengah bersandar sambil memandangi ke luar jendela. Wajahnya masih masam dan ada raut kecemasan.Mobil Louis sudah masuk ke pekarangam rumah Stela sekitar pukul tuju malam. Stela yang masih tertegun, bahkan tidak sandar kalau mobil sudah berhenti di halaman rumah. Pikiran Stela masih melayang-layang teringat akan perbuatan Alex yang begitu keji.Louis turun lebih dulu. Ia memutari mobil lalu berpindah ke pintu samping di mana ada Stela yang
Stela tentunya sangat penasaran dengan apa yang kakek dan keluarga Peter bicarakan, Setela obrolan terakhir dirumah saat makan siang. Saat beberapa menit hampir masuk ke kompleks perumahan, Stela berhenti dulu di pom bensin. Baru saja hendak turun dari mobil, ponsel di dalam tas berdering. Pintu yang sudah terbuka sebagian pun Stela tutup kembali."Nomor siapa ini?" Wajah Stela berkerut heran. Seseorang menelpon tapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontaknya."Halo, siapa ini?" sapa Stela kemudian."Temui aku di restoran cepat saji.""A-Angela?" pekik Stela."Tidak usah kaget begitu, aku hanya ingin bicara denganmu."Sambungan terputus, Stela urungkan niat pergi ke toilet dan segera putar balik."Untuk apa dia bertemu denganku?" batin Stela.Tidak mau berpikiran yang macam-macam, Stela terus melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di tempat yang dituju.Setelah mencangklong tasnya, Stela pun bergegas turun dari mobil. Di depan sana, di tempat restoran cepat saji, sepertin
Sepulangnya dari tempat Peter, Stela menceritakan semuanya pada ibu dan kakeknya. Tepat jam makan siang, mereka mengobrolkannya di meja makan, tapi tanpa ada Bowen karena dia sedang sibuk mengurusi panen perkebunannya . Untuk Bill, tentu merasa senang dan langsung setuju jika Stela menikah dengan Peter. Namun, sebagai Ibu yang sempat membuat Stela menderita, Janete tidak langsung mengatakan setuju."Apa kau yakin, Sayang?" tanya Janete khawatir."Belum tahu, ibu," sahut Stela usai meneguk air putih. "Aku hanya merasa nyaman saat bersama Peter.""Kalau kau minta pendapat kakek, tentu saja Kakek setuju," timbruk Bill yang lebih dulu selesai menghabiskan makan siangnya. "Kakek sudah lama mengenal keluarga Peter."Janete kembali ikut bicara. "Bukan ibu tidak merestui, ibu hanya tidak ingin kau sakit hati lagi."Kalimat Janete membuat Stela merasa ragu. Meski selama ini Stela tahu Peter usil, tapi dia sangat baik. Hanya saja, tiada yang tahu bagaimana tentang isi hatinya. Bisakah Pete
Emma kembali dengan tangan hampa. Percuma saja berdebat dengan Louis kalau memang Emma juga bersalah dalam ini. Mulanya Emma pikir Louis mencintainya, tapi saat melihat murka dan penjelasan Louis, ya, menang semua hanya permainan belaka. Tidak jauh berbeda seperti saat pertama Emma kembali pada Alex.Sudah sampai di rumah, ruangan nampak sepi. Lampu-lampu juga sudah dimatikan. Ketika masuk ke dalam kamar, Alex masih belum ada di sana. Emma yakin Alex masih berada di kamar lantai dua.Hati rasanya dongkol, tapi Emma tidak berani berbuat apa-apa saat ini. Jika mendekat, Alex mungkin saja akan kembali mengamuk.Di tempat Louis, Chloe sudah keluar dari persembunyiannya. Wajahnya masih terlihat masam seperti saat pertama tadi baru ke sini."Kau sudah tahu alasan kenapa aku bersama Emma kan?" kata Louis coba menjelaskan.Chloe tersenyum kecut. "Jika semua atas nama dendam, apa harus sampai kau bercinta dengannya?""A,aku …" Louis mendadak diam."Katakan saja kau menikmati saat itu,"