Masuk"Kau benar-benar tidak punya rasa malu, Marieana! Baru beberapa hari di sini, tingkahmu sudah begitu menjijikkan!"
Kata-kata kasar itu terlontar dari mulut Arzura, ibu mertua Marieana. Hari masih pagi dan Marieana sudah dimaki-maki lantaran Camila mengadu pada Arzura tentang apa yang wanita itu lihat antara Marieana dengan Maxim semalam, hingga membuat Arzura melampiaskan kemarahan padanya. Rumah sedang sepi, David juga berpamitan pergi ke luar kota subuh tadi hingga Marieana ditinggalkan di rumah itu bersama Keluarga Valdemar yang ia benci di dalamnya. "Camila tidak mungkin berbohong, dia bilang semalam kau menggoda Maxim di dapur! Urat malumu sudah putus ya?!" sentak Arzura lagi. “Beraninya kau menggoda paman suamimu sendiri?!” Marieana menatap Arzura. "Aku sama sekali tidak menggoda Paman Maxim, Ma. Saat itu aku hanya mengambil air minum, tidak lebih. Aku juga tidak tahu bila Paman Maxim ada di dapur." "Alasan! Kau memang perempuan murahan! Sudah miskin, tidak tahu diri!" berang Arzura. "Mimpi apa putraku tergila-gila pada wanita sepertimu?! Menjadikanmu menantu di rumah ini rasanya seperti sebuah kutukan!" Di tengah-tengah amarah Arzura yang kian menjadi, Marieana mendengar suara derap langkah kaki yang tenang dari arah tangga. Di sana, Maxim Valdemar berdiri tegap dengan setelan formal jas hitamnya. Laki-laki itu menatap ke arah Marieana yang tertunduk sedih karena amukan ibu mertuanya. Setiap David tidak ada, Maxim sering melihat Marieana dipojokkan oleh Arzura. "Ada apa ini?" Suara bariton dingin milik Maxim menghentikan omelan Arzura yang panjang. Marieana semula tidak menangis, tetapi begitu Maxim muncul, ia menyeka pipinya dan terisak pelan. Arzura sedikit gugup saat adik iparnya itu muncul dengan ekspresi datar dan sorot mata hitamnya yang dingin. "Maxim, be-begini—" "Paman…." Marieana menyela ucapan mertuanya. Gadis itu menoleh dan mendongak menatap Maxim dengan mata berkaca-kaca. Ia berusaha setengah mati untuk terlihat menyedihkan agar Maxim berada di pihaknya. Maxim memperhatikan lekat-lekat wajah sendu Marieana yang begitu tertekan. "Paman tolong jelaskan pada Mama kalau aku tidak menggoda Paman semalam. Mama mengira semalam aku menggoda Paman hingga membuat Nona Camila marah," ungkap Marieana. "Tolong, jelaskan pada Mama mertuaku, Paman." Arzura melotot mendengar ucapan Marieana yang begitu berani. Seperti pengadu yang sangat lihai! "Maxim, aku tidak bermaksud menuduhmu yang macam-macam, tapi aku hanya takut kau digoda oleh gadis ini!" seru Arzura membela diri. Bagaimanapun, ia takut pada Maxim yang jauh lebih berkuasa dibanding dirinya. Kedua alis tebal Maxim menukik tajam. “Berhentilah membual, Arzura." "Ti-tidak, Maxim. Sungguh, aku hanya meluruskan saja!” ujar wanita paruh baya itu panik. “Kau ... kau tidak perlu membela gadis itu. Kau tidak mengenal siapa dia. Dia hanyalah biang masalah!" Marieana semakin terisak mendengar ucapan Mama mertuanya yang menyudutkan. Meskipun wajahnya sedih penuh air mata, namun di balik itu semua, Mariena tengah menikmati pertengkaran ini dalam hati. Semakin keluarga ini kacau, semakin bahagia Marieana dibuatnya. Maxim melirik Marieana yang menangis. Gadis itu mengangkat wajahnya menatap Mama mertuanya. "Aku minta maaf kalau memang kehadiranku di rumah ini membuat Mama dan yang lainnya tidak nyaman," ucap Marieana, lalu kembali menundukkan kepalanya. "Aku akan membujuk David untuk tinggal di tempat lain. Kami bisa menyewa rumah atau tinggal di rumahku, Ma." Arzura terkejut mendengar ungkapan Marieana. Ia mengepalkan kedua tangannya marah. Wanita itu tidak akan terima bila anaknya keluar dari rumah ini demi gadis miskin seperti Marieana, apalagi kalau David sampai tinggal di rumah Marieana yang terbilang sangat sederhana. "Marieana, kau…." Arzura berdesis marah. Maxim yang berada di tengah-tengah mereka, tampak sudah muak dengan segala keributan di rumah ini. Tanpa berkata apapun, Maxim tiba-tiba meraih lengan Marieana dan menariknya menjauh dari sana. "Ikut aku," ujar laki-laki itu. Marieana tersentak, namun tidak membantah. Ia terseok mengikuti langkah lebar Maxim hingga mereka tiba di taman samping rumah. Maxim lantas melepaskan cekalan tangannya pada lengan Marieana. "Kau sadar dengan ucapanmu barusan?" ujar Maxim. Suaranya tenang, tapi mematikan di saat yang bersamaan. Marieana menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Paman—" Tatapan sepasang mata tajam itu milik laki-laki itu membuat Marieana sedikit gemetar, hingga ia menghentikan ucapannya lalu kembali tertunduk. "Apakah Paman juga membenciku seperti mereka?" tanya gadis itu tiba-tiba. "Apakah di rumah ini tidak ada satu orangpun selain David yang menerimaku?" Maxim terdiam mendengar pertanyaan Marieana. Ia memperhatikan gerak-gerik gelisah, juga ekspresi Marieana yang menyedihkan. Ia seperti anak kucing yang dibuang dan tidak diinginkan. Sekilas, Maxim merasa seperti tidak asing dengan wajah gadis ini. Rasanya … ia pernah melihatnya. Tapi tidak yakin di mana. Marieana menyeka air matanya dan tersenyum miris saat Maxim hanya bergeming menatapnya. "Paman, aku sadar aku bukan siapa-siapa. Tapi, haruskah aku diperlakukan seperti ini?" Marieana menatapnya dan kembali terisak. "Aku juga seorang manusia. Tidak bisakah kalian sedikit saja menghargai aku? Sedikit saja…." Maxim terdiam seribu bahasa. Hatinya bergetar melihat Marieana menangis. Entah perasaan apa yang merayap dalam dinding hatinya saat ini. Lain dengan wajahnya yang menderita, hati kecil Marieana kini berbunga-bunga. Ia merasa misinya berhasil membuat Maxim merasa sedikit bersalah. "Aku minta maaf atas kekacauan di rumah Paman karena aku," ucap Marieana sebelum gadis itu menatapnya sekilas, lalu pamit dari sana. Maxim menatap punggung kecil Marieana yang menjauh darinya. Raut sedih dan putus asa gadis itu terekam jelas dalam memorinya. Dan itu sangat mengusik Maxim. Mengapa ia tidak suka melihat istri keponakannya itu menangis?"Sialan! Bagaimana bisa gadis bodoh itu justru melindungi Maxim! Istrimu itu benar-benar bodoh, Dav!" Teriakan keras itu terdengar dari arah ruangan keluarga. Brian sangat marah setelah mendengar kabar kalau Marieana masuk ruang sakit karena luka tusuk akibat melindungi Maxim dari seseorang yang ingin menyerang Maxim. Orang itu adalah orang suruhan Brian. Padahal, Brian dan Arzura sudah bersiap menerima kabar bahagia tentang kematian Maxim, tetapi nyatanya justru Marieana yang melindungi Maxim. "Marieana memang gadis bodoh! Kalau dia tidak melindungi Maxim, pasti Maxim sudah mati dan kita bisa menikmati harta keluarga ini!" seru Arzura. "Semua ini gara-gara Marieana!" Sebagai seorang suami Marieana, David hanya diam dengan wajah sebal. Ia ikut kesal seperti apa yang orang tuanya rasakan. Karena David juga sempat menantikan harta keluarga Valdemar ini, jatuh ke tanganmu dengan kematian Maxim. Tetapi, pria itu sampai sekarang tetap masih hidup berkat Marieana yang menyelamatkann
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung menangani Marieana di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Maxim menunggu di luar ruang pemeriksaan bersama Logan. Maxim menatap mantel hangat berwarna merah muda milik Marieana yang kotor akan cairan merah segar. Raut wajah Maxim tampak sedih, marah, dan khawatir yang tidak kunjung usai. "Semoga kau baik-baik saja, Marie," ucap Maxim, ia berdiri menyandarkan kepalanya pada dinding. Logan berjalan mendekati Maxim setelah ia menerima panggilan telfon dari orang-orang Maxim. "Tuan, saat ini pelakunya sudah tertangkap dan sudah berada di kantor polisi. Saya akan ke sana untuk terus mengurus tindakan selanjutnya," ujar Logan. Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. "Pastikan orang itu mengaku tentang apa tujuannya, dan siapa yang telah membayarnya untuk menghabisiku!" perintah Maxim. Logan mengangguk. "Baik, Tuan," jawabnya. "Saya akan segera menghubungi Tuan nanti." "Pergilah!" seru Maxim. Tanpa menjawabnya lagi, Logan pun be
Marieana mendatangi kantor milik Maxim. Dengan langkah terburu-buru ia berjalan menuju ke ruangan CEO. Namun, saat Marieana membuka pintu, Maxim tidak ada di dalam sana. Hanya ada Logan yang kini tampak terkejut dengan kemunculan Marieana. "Nona Marieana?" sapa Logan dengan ekspresi terkejut. Marieana berjalan mendekati Logan dengan ekspresi cemas. "Di mana Paman Maxim?" tanyanya. "Tuan Maxim sedang ada pertemuan dengan kolega dari luar kota, Nona," jawab Logan. "Antarkan aku ke sana sekarang juga!" seru Marieana. "Ayo, Logan!" Logan kebingungan, namun ia tidak bisa menolak perintah Marieana karena gadis itu adalah gadis kesayangan Tuannya. Mau tidak mau, Logan mengantarkan Marieana ke tempat di mana Maxim berada. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak sangat cemas. Dia juga tidak mengatakan alasan apapun pada Logan. Gadis itu mengepalkan jemari kedua tangannya menjadi satu, dan berdoa sepanjang jalan. "Apa ada hal buruk yang terjadi, Nona?" tanya Logan melirik Mariean
Udara dingin melingkupi tubuh Marieana. Gadis itu Masih bergelung dengan selimut tebal yang membungkusnya. Suara lonceng angin di depan jendela kamar bergemerincing merdu, mengusik tidur tenang Marieana hingga membuat gadis itu terbangun. Marieana mengulurkan tangannya meraba-raba ruang kosong di sampingnya. "Maxim..." Gadis itu membuka kedua matanya dan ia tidak mendapati Maxim di sana. Rasanya seketika hampa. Marieana perlahan-lahan bangun dan duduk di atas ranjang. Ia menatap tubuhnya yang tidak lagi lagi polos, tengah malam tadi, Maxim membangunkannya dan membantunya kembali memakai baju agar tidak kedinginan. Marieana bergeming menatap pemandangan langit putih di luar, dari jendela paviliun. "Pria itu... musuh yang sangat mencintaiku," ucap Marieana lirih. Marieana menyentuh perutnya yang rata. Masih terbayang-bayang jelas bagaimana Maxim mengusap perutnya dan berkata hanya anaknya lah yang akan tumbuh di dalam rahimnya. Itu semua terdengar lucu, namun juga men
Marieana tercengang mendengar ucapan Maxim. Bahkan usapan telapak tangan itu masih bergerak lembut di atas perutnya. Maxim kembali mengecup wajah Marieana sebelum pria itu berbaring di sampingnya dan memeluknya dari samping saat Marieana memiringkan tubuhnya. 'Hamil...' Kata-kata itu menggetarkan batin Marieana. Gadis itu tertunduk dan menyentuh punggung tangan Maxim, menghentikan elusan lembut di perutnya. Maxim tidak tahu bila Marieana sengaja meminum obat untuk menunda kehamilan. Ia sengaja melakukannya, karena hamil tidak pernah ada dalam misinya. Tetapi, bila Marieana tidak memikirkannya sejak awal, mungkin saat ini ia memang sudah benar-benar hamil anak Maxim, mengingat selama mereka melakukannya, Maxim seolah-olah sengaja ingin Marieana hamil anaknya. "Tidurlah," bisik Maxim mengecup pelipis Marieana. "Kau jangan ke mana-mana," bisik Marieana. "Tidak, Sayang." Pria itu mengecup punggung putih Marieana dan menarik tubuh kecil itu hingga punggung Marieana menempel
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja David mendesakku untuk segera hamil. Dan dia sangat marah padaku, Paman..." Marieana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Maxim dan duduk di pangkuan pria itu dengan kedua kakinya yang melingkari tubuh kekar Maxim. Marieana menggigit ibu jarinya dan meringkuk dalam pelukan Maxim. "Entah bujukan siapa, sampai-sampai dia sampai mendesakku seperti tadi. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk tidak hamil dan tidak punya anak. Tapi begitu aku bilang kalau aku keberatan, dia langsung memakiku, dia bilang aku istri yang tidak berguna. Dan ... dia juga mengatakan apa manfaatku di rumah ini." Marieana membenamkan wajahnya pada dada Maxim. "Jadi, selama ini aku dianggap apa di sini? Betapa tidak bergunanya aku di sini, Paman..." Mendengar cerita Marieana, wajah Maxim berubah mengeras. Dekapannya pada Marieana kian mengerat, pria itu menundukkan kepalanya dan mengecup pucuk kepala gadis itu. "Kau tidak bersalah, Marie. Kau berhak memilih keputusan







