Malam sudah begitu larut, tapi Marieana masih terjaga dan tidak bisa tidur.
Di sebelahnya, David terlelap pulas sambil memeluknya dengan erat. Gadis itu terdiam menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Jemarinya meremas bantal lantaran rasa frustrasi yang kini ia rasakan. Mariena menyergah napasnya pelan dan memejamkan kedua matanya. ‘Ya Tuhan, apa lagi yang aku harus aku lakukan?’ Gadis itu tidak menyangka Maxim akan sangat sulit didekati. Pria itu seolah membangun tembok tinggi untuk semua orang. Beberapa menit kemudian, Marieana mendengar suara seseorang dari luar kamar. Suara itu milik Maxim. Marieana menoleh ke belakang, David masih tertidur pulas. Perlahan-lahan, Marieana melepaskan lilitan tangan David di pinggangnya. "Maafkan aku, Dav," lirihnya hampir tak bersuara. Setelah itu, Marieana beranjak dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya tanpa bersuara. Udara dingin langsung menusuk kulit tubuh putih dan mulus Marieana yang kini hanya berbalut gaun tidur tipis berwarna merah muda. Dengan cahaya yang temaram di dalam rumah, Marieana melangkah perlahan mencari arah suara Maxim yang masih terdengar samar. Gadis itu menuruni anak tangga. Ia melihat Maxim duduk di sofa sambil berbincang dengan seseorang melalui telepon. Marieana tersenyum miring. Ia menarik pita cardigan gaun tidur yang ia pakai hingga satu lengan cardigannya melorot, memperlihatkan leher jenjang dan bahu putihnya di balik gaun tipis dan menggoda itu. Begitu Marieana tiba di lantai satu, gadis itu menoleh pada Maxim yang kini menangkap keberadaannya. "Pa-Paman?" Mariena pura-pura terkejut. Laki-laki itu terperangah menatap Marieana yang berdiri tak jauh darinya. Sama seperti malam kemarin, gaun tidur yang Mariena pakai membuat Maxim merasakan desiran aneh. "Paman sedang apa? Paman belum tidur?" tanya Marieana lagi. "Aku sibuk," jawab Maxim, lalu berdehem pelan dan segera mengalihkan pandangannya. Kecanggungan melingkupi mereka sampai suara Maxim kembali terdengar. "Kau sendiri ... apa yang kau lakukan?" Marieana tersenyum tipis. “Aku mau mengambil air minum, Paman,” jawab gadis itu. "Kalau begitu, aku ke belakang dulu." Maxim diam saja. Tapi tatapannya tidak lepas memperhatikan Mariena yang berjalan menuju dapur. Maxim menyergah napasnya panjang saat sesuatu dalam dirinya seolah terbakar, membuatnya gerah. Ia mengusap tengkuk dan merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Namun, matanya tak bisa berpaling dari Marieana yang saat ini berdiri di kitchen bar sambil menenggak air langsung dari botolnya. Leher dan bahu gadis itu terpampang jelas saat ia mendongak. Belum lagi lekuk tubuhnya yang membayang di balik gaun tidur tipis. Marieana sengaja tidak menaikkan satu lengan cardigannya yang melorot. Ia memang berniat menggoda Maxim dari jauh. Meski dalam hati Marieana merasa jijik karena harus menggoda pria itu dengan cara seperti ini. Jika bukan karena dendam dan sakit hatinya, Marieana tidak akan sudi melakukan hal serendah ini. Gadis itu tersenyum getir. 'Sejauh mana kau bisa berdiam diri di sana menatapku, Maxim?' Marieana pikir Maxim akan diam saja di ruang keluarga. Tapi, laki-laki itu beranjak dan berjalan ke arahnya. Maxim berdiri di belakangnya, lalu mengulurkan tangan untuk meraih sebuah gelas di hadapannya. Selama beberapa detik, Marieana menegang. Ia lalu membalikkan badan hingga posisi mereka nyaris tanpa jarak. Keduanya terpana, dengan sepasang mata yang saling tatap. Tatapan tajam Maxim membuat Marieana merinding, tetapi di sisi lain ia juga merasa senang karena akhirnya bisa menarik atensi pria ini. "Pa-Paman..." Marieana mengerjapkan kedua matanya dengan ekspresi lugu. "Paman mau aku buatkan kopi?" tawarnya. "Tidak," jawab Maxim, masih belum beranjak satu senti pun dari posisinya. Marieana menelan ludah saat tatapan Maxim turun ke bibirnya. Mungkin inilah saatnya …. "Paman Maxim—" "Menyingkirlah, Marieana," desis Maxim dengan suara dingin, membuat Marieana tersentak. Dia pikir, Maxim akan bersikap lunak. Tapi nyatanya, pria itu kembali membentangkan jarak. "Lain kali, jangan keluar dari kamarmu dengan pakaian seperti itu!" ujar Maxim sedikit ketus. "O-oh, maaf, Paman. Tadi aku buru-buru karena haus…." Tanpa sengaja, Marieana melihat Camila di ujung anak tangga, tampak terpaku menatap mereka. Marieana tidak mau melewatkan kesempatan ini. Saat hendak melewati Maxim, ia berpura-pura tersandung salah satu kaki milik Maxim. Gadis itu hampir saja terjerembab ke lantai, namun Maxim dengan sigap menangkap tubuhnya hingga ia akhirnya terjatuh dalam pelukannya. "Ah ... ma-maaf, Paman," ucap Marieana segera menarik diri saat melihat Camila berjalan cepat ke arah mereka. Maxim menjauhkan tangannya dari Marieana, tidak menyadari kehadiran Camila dari belakangnya. Sampai tiba-tiba Camila menarik lengan Maxim hingga pria itu mundur beberapa langkah. "Apa yang sedang kau lakukan?!" pekik Camila, lalu mendorong Marieana agar menjauh dari Maxim. Marieana menoleh seolah-olah dia tidak tahu dengan kedatangan Camila. Ia menggelengkan kepalanya. "Nona Camila, aku hanya ingin ambil air minum," jawab Marieana, sambil menunjukkan botol air mineral di tangannya. Sepasang mata Camila menyoroti Marieana dengan sinis. “Lalu? Kenapa kau memeluk Kak Maxim seperti itu? Kau ingin menggodanya?!” tuding Camila. "Tidak, Nona. Aku tidak memeluk Paman. Barusan aku tersandung dan Paman Maxim hanya membantuku,” kata Marieana dengan wajah sok polosnya, seolah tengah ketakutan di hadapan Camila. Maxim tampak jengah dengan sikap Camila yang menurutnya berlebihan. Ia menyergah napasnya panjang, lalu meletakkan gelas di tangannya dan melirik sepupunya itu dengan tajam. “Cukup,” tegas Maxim. “Kembalilah ke kamarmu.” Camila terkejut dengan respon pria itu yang seakan-akan ingin membela Marieana. Apalagi Maxim langsung pergi begitu saja meninggalkan mereka di sana. Begitu Maxim sudah berlalu, Camila beralih menatap Marieana dengan bibir menipis marah. “Awas kau!” desisnya. Wanita itu sengaja menabrak bahu kiri Marieana dengan keras. Marieana diam-diam mendengus melihat tingkah Camila yang seperti kebakaran jenggot. "Ini belum apa-apa, Camila. Aku akan membuat Maxim Valdemar tergila-gila padaku!"Seharian, pikiran Maxim terus tertuju pada Marieana.Setiap kali berusaha melupakan wajah gadis itu, Maxim kembali teringat lagi dengan paras cantiknya yang sendu. Sungguh, wajah Marieana terasa familiar. Tapi sekeras apapun mencoba mengingat, ia tidak menemukan sosok yang mengingatkannya pada gadis itu."Marieana...," lirih Maxim dengan pandangan kosong. "Marieana Florence." Maxim menatap gelas berisi scotch di tangannya dan menenggak minuman itu hingga tandas. Ia melampiaskan rasa lelah dan pusingnya dengan minum bersama salah satu temannya di sebuah bar. Maxim kembali meraih botol scotch di hadapannya, namun temannya—Aland menahan tangannya dengan cepat. "Sudah, Maxim. Kau sudah mabuk berat!" seru Aland melarangnya.Laki-laki pemilik bar itu menyerah napasnya panjang sembari menatap wajah Maxim yang merah padam."Ayolah, kawan! Tidak biasanya kau seperti ini. Apa yang terjadi padamu?" Aland benar-benar dibuat heran oleh Maxim yang mengajaknya pergi minum hingga mabuk, apalagi
"Kau benar-benar tidak punya rasa malu, Marieana! Baru beberapa hari di sini, tingkahmu sudah begitu menjijikkan!" Kata-kata kasar itu terlontar dari mulut Arzura, ibu mertua Marieana.Hari masih pagi dan Marieana sudah dimaki-maki lantaran Camila mengadu pada Arzura tentang apa yang wanita itu lihat antara Marieana dengan Maxim semalam, hingga membuat Arzura melampiaskan kemarahan padanya.Rumah sedang sepi, David juga berpamitan pergi ke luar kota subuh tadi hingga Marieana ditinggalkan di rumah itu bersama Keluarga Valdemar yang ia benci di dalamnya. "Camila tidak mungkin berbohong, dia bilang semalam kau menggoda Maxim di dapur! Urat malumu sudah putus ya?!" sentak Arzura lagi. “Beraninya kau menggoda paman suamimu sendiri?!”Marieana menatap Arzura. "Aku sama sekali tidak menggoda Paman Maxim, Ma. Saat itu aku hanya mengambil air minum, tidak lebih. Aku juga tidak tahu bila Paman Maxim ada di dapur." "Alasan! Kau memang perempuan murahan! Sudah miskin, tidak tahu diri!" berang
Malam sudah begitu larut, tapi Marieana masih terjaga dan tidak bisa tidur. Di sebelahnya, David terlelap pulas sambil memeluknya dengan erat. Gadis itu terdiam menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Jemarinya meremas bantal lantaran rasa frustrasi yang kini ia rasakan. Mariena menyergah napasnya pelan dan memejamkan kedua matanya. ‘Ya Tuhan, apa lagi yang aku harus aku lakukan?’Gadis itu tidak menyangka Maxim akan sangat sulit didekati. Pria itu seolah membangun tembok tinggi untuk semua orang. Beberapa menit kemudian, Marieana mendengar suara seseorang dari luar kamar. Suara itu milik Maxim.Marieana menoleh ke belakang, David masih tertidur pulas. Perlahan-lahan, Marieana melepaskan lilitan tangan David di pinggangnya."Maafkan aku, Dav," lirihnya hampir tak bersuara. Setelah itu, Marieana beranjak dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya tanpa bersuara. Udara dingin langsung menusuk kulit tubuh putih dan mulus Marieana yang kini hanya berbalut gaun ti
Keesokan paginya, Marieana berjalan menuruni anak tangga sambil memeluk lengan David mesra. Mereka berjalan menuju ruang makan di mana semua anggota keluarga sudah menunggu di sana. "Selamat pagi," sapa Marieana pada mereka semua. Tapi tidak ada yang membalas sapaannya."Ayo cepat sarapan, Dav," sahut Arzura, ibu David, tanpa mempedulikan Marieana. David memperhatikan raut Marieana yang terlihat murung. "Ayo duduk, Sayang," bujuknya, lalu menarik satu kursi untuk istrinya itu."Terima kasih, Sayang," balas Marieana, sambil tersenyum tipis. Marieana duduk berhadapan dengan Camila Bailey—wanita yang seharusnya ia panggil dengan sebutan Bibi. Camila adalah saudara sepupu jauh dari Keluarga Valdemar. Karena orang tuanya sudah meninggal, Camila yang hidup sebatang kara akhirnya diizinkan untuk tinggal bersama di sini. Wanita cantik berambut sebahu itu tampak tak acuh, seolah Marieana tidak benar-benar berada di sana. Bahkan caranya menatap Marieana begitu merendahkan, seolah ingin men
Pernikahan Marieana dan David pun terlaksana beberapa hari kemudian. Orang tua David mau tidak mau merestui mereka karena David mengancam akan pergi dari rumah. Pesta pernikahan itu digelar secara tertutup, hanya beberapa kerabat yang hadir. Orang tua David tidak ingin pernikahan itu diketahui oleh publik.Marieana tidak keberatan. Ia tidak peduli dengan semua itu karena tujuan utamanya bukanlah menjadi bagian dari keluarga Valdemar yang kaya raya.“Sekarang aku sudah semakin dekat,” bisik Marieana lirih. Gadis itu menatap cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Senyum sinis menghiasi wajahnya yang cantik alami. Sejak belia, Marieana hidup menderita karena Maxim Valdemar. Pria itu telah merenggut semua miliknya tanpa sisa. Dulu, keluarga Marieana menjalin kerja sama bisnis dengan keluarga Valdemar. Namun, saat bisnis mereka berada di puncak, keluarga Valdemar berkhianat. Mereka menarik semua investasi hingga akhirnya perusahaan keluarga Marieana jatuh bangkrut.Tak hanya
"Sampai kapanpun aku tidak akan merestui anakku menikah dengan gadis rendahan sepertimu, Marieana!" Pekikan keras dari wanita setengah baya itu membuat Marieana Florence membeku.Di bawah meja, tangannya terkepal dengan kuat, tampak berusaha menahan diri. Namun, alih-alih menunjukkan amarah, gadis berparas cantik itu memasang raut wajah sendu.“Maafkan saya, Nyonya—”“Apa yang Mama bicarakan?!” sela David Valdemar, kekasih Marieana, sebelum gadis itu sempat menyelesaikan kalimatnya.Pria itu terlihat marah. Ia menarik tangan Marieana dan menggenggamnya dengan erat. Malam ini, David mengajaknya untuk berkenalan dengan Keluarga Valdemar, sekaligus meminta restu untuk menikah. Tetapi, Keluarga Valdemar menolak dengan keras lantaran perbedaan status sosial mereka yang berbeda jauh.“Suka atau tidak, aku tetap akan menikah dengan Marieana,” ujar David kukuh, lalu beranjak dari duduknya. “Ayo, Sayang.”"Sekali tidak, maka tetap tidak, Dav!" bantah ibunya tidak mau kalah. "Kekasihmu itu ti