Share

Bab 4. Menggoda dan Tergoda

Penulis: Te Anastasia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 17:18:39

Malam sudah begitu larut, tapi Marieana masih terjaga dan tidak bisa tidur.

Di sebelahnya, David terlelap pulas sambil memeluknya dengan erat.

Gadis itu terdiam menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Jemarinya meremas bantal lantaran rasa frustrasi yang kini ia rasakan.

Mariena menyergah napasnya pelan dan memejamkan kedua matanya. ‘Ya Tuhan, apa lagi yang aku harus aku lakukan?’

Gadis itu tidak menyangka Maxim akan sangat sulit didekati. Pria itu seolah membangun tembok tinggi untuk semua orang.

Beberapa menit kemudian, Marieana mendengar suara seseorang dari luar kamar. Suara itu milik Maxim.

Marieana menoleh ke belakang, David masih tertidur pulas. Perlahan-lahan, Marieana melepaskan lilitan tangan David di pinggangnya.

"Maafkan aku, Dav," lirihnya hampir tak bersuara.

Setelah itu, Marieana beranjak dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya tanpa bersuara.

Udara dingin langsung menusuk kulit tubuh putih dan mulus Marieana yang kini hanya berbalut gaun tidur tipis berwarna merah muda.

Dengan cahaya yang temaram di dalam rumah, Marieana melangkah perlahan mencari arah suara Maxim yang masih terdengar samar.

Gadis itu menuruni anak tangga. Ia melihat Maxim duduk di sofa sambil berbincang dengan seseorang melalui telepon.

Marieana tersenyum miring. Ia menarik pita cardigan gaun tidur yang ia pakai hingga satu lengan cardigannya melorot, memperlihatkan leher jenjang dan bahu putihnya di balik gaun tipis dan menggoda itu.

Begitu Marieana tiba di lantai satu, gadis itu menoleh pada Maxim yang kini menangkap keberadaannya.

"Pa-Paman?" Mariena pura-pura terkejut.

Laki-laki itu terperangah menatap Marieana yang berdiri tak jauh darinya. Sama seperti malam kemarin, gaun tidur yang Mariena pakai membuat Maxim merasakan desiran aneh.

"Paman sedang apa? Paman belum tidur?" tanya Marieana lagi.

"Aku sibuk," jawab Maxim, lalu berdehem pelan dan segera mengalihkan pandangannya.

Kecanggungan melingkupi mereka sampai suara Maxim kembali terdengar. "Kau sendiri ... apa yang kau lakukan?"

Marieana tersenyum tipis. “Aku mau mengambil air minum, Paman,” jawab gadis itu. "Kalau begitu, aku ke belakang dulu."

Maxim diam saja. Tapi tatapannya tidak lepas memperhatikan Mariena yang berjalan menuju dapur.

Maxim menyergah napasnya panjang saat sesuatu dalam dirinya seolah terbakar, membuatnya gerah. Ia mengusap tengkuk dan merenggangkan otot-otot yang terasa kaku.

Namun, matanya tak bisa berpaling dari Marieana yang saat ini berdiri di kitchen bar sambil menenggak air langsung dari botolnya.

Leher dan bahu gadis itu terpampang jelas saat ia mendongak. Belum lagi lekuk tubuhnya yang membayang di balik gaun tidur tipis.

Marieana sengaja tidak menaikkan satu lengan cardigannya yang melorot. Ia memang berniat menggoda Maxim dari jauh.

Meski dalam hati Marieana merasa jijik karena harus menggoda pria itu dengan cara seperti ini.

Jika bukan karena dendam dan sakit hatinya, Marieana tidak akan sudi melakukan hal serendah ini.

Gadis itu tersenyum getir. 'Sejauh mana kau bisa berdiam diri di sana menatapku, Maxim?'

Marieana pikir Maxim akan diam saja di ruang keluarga. Tapi, laki-laki itu beranjak dan berjalan ke arahnya.

Maxim berdiri di belakangnya, lalu mengulurkan tangan untuk meraih sebuah gelas di hadapannya.

Selama beberapa detik, Marieana menegang. Ia lalu membalikkan badan hingga posisi mereka nyaris tanpa jarak. Keduanya terpana, dengan sepasang mata yang saling tatap.

Tatapan tajam Maxim membuat Marieana merinding, tetapi di sisi lain ia juga merasa senang karena akhirnya bisa menarik atensi pria ini.

"Pa-Paman..." Marieana mengerjapkan kedua matanya dengan ekspresi lugu. "Paman mau aku buatkan kopi?" tawarnya.

"Tidak," jawab Maxim, masih belum beranjak satu senti pun dari posisinya.

Marieana menelan ludah saat tatapan Maxim turun ke bibirnya.

Mungkin inilah saatnya ….

"Paman Maxim—"

"Menyingkirlah, Marieana," desis Maxim dengan suara dingin, membuat Marieana tersentak.

Dia pikir, Maxim akan bersikap lunak. Tapi nyatanya, pria itu kembali membentangkan jarak.

"Lain kali, jangan keluar dari kamarmu dengan pakaian seperti itu!" ujar Maxim sedikit ketus.

"O-oh, maaf, Paman. Tadi aku buru-buru karena haus…."

Tanpa sengaja, Marieana melihat Camila di ujung anak tangga, tampak terpaku menatap mereka.

Marieana tidak mau melewatkan kesempatan ini. Saat hendak melewati Maxim, ia berpura-pura tersandung salah satu kaki milik Maxim.

Gadis itu hampir saja terjerembab ke lantai, namun Maxim dengan sigap menangkap tubuhnya hingga ia akhirnya terjatuh dalam pelukannya.

"Ah ... ma-maaf, Paman," ucap Marieana segera menarik diri saat melihat Camila berjalan cepat ke arah mereka.

Maxim menjauhkan tangannya dari Marieana, tidak menyadari kehadiran Camila dari belakangnya.

Sampai tiba-tiba Camila menarik lengan Maxim hingga pria itu mundur beberapa langkah.

"Apa yang sedang kau lakukan?!" pekik Camila, lalu mendorong Marieana agar menjauh dari Maxim.

Marieana menoleh seolah-olah dia tidak tahu dengan kedatangan Camila. Ia menggelengkan kepalanya.

"Nona Camila, aku hanya ingin ambil air minum," jawab Marieana, sambil menunjukkan botol air mineral di tangannya.

Sepasang mata Camila menyoroti Marieana dengan sinis. “Lalu? Kenapa kau memeluk Kak Maxim seperti itu? Kau ingin menggodanya?!” tuding Camila.

"Tidak, Nona. Aku tidak memeluk Paman. Barusan aku tersandung dan Paman Maxim hanya membantuku,” kata Marieana dengan wajah sok polosnya, seolah tengah ketakutan di hadapan Camila.

Maxim tampak jengah dengan sikap Camila yang menurutnya berlebihan. Ia menyergah napasnya panjang, lalu meletakkan gelas di tangannya dan melirik sepupunya itu dengan tajam.

“Cukup,” tegas Maxim. “Kembalilah ke kamarmu.”

Camila terkejut dengan respon pria itu yang seakan-akan ingin membela Marieana. Apalagi Maxim langsung pergi begitu saja meninggalkan mereka di sana.

Begitu Maxim sudah berlalu, Camila beralih menatap Marieana dengan bibir menipis marah.

“Awas kau!” desisnya.

Wanita itu sengaja menabrak bahu kiri Marieana dengan keras.

Marieana diam-diam mendengus melihat tingkah Camila yang seperti kebakaran jenggot.

"Ini belum apa-apa, Camila. Aku akan membuat Maxim Valdemar tergila-gila padaku!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setiap Malam, Paman Suamiku Membelaiku   Bab 82. Sama-sama Bermuka Dua

    "Sialan! Bagaimana bisa gadis bodoh itu justru melindungi Maxim! Istrimu itu benar-benar bodoh, Dav!" Teriakan keras itu terdengar dari arah ruangan keluarga. Brian sangat marah setelah mendengar kabar kalau Marieana masuk ruang sakit karena luka tusuk akibat melindungi Maxim dari seseorang yang ingin menyerang Maxim. Orang itu adalah orang suruhan Brian. Padahal, Brian dan Arzura sudah bersiap menerima kabar bahagia tentang kematian Maxim, tetapi nyatanya justru Marieana yang melindungi Maxim. "Marieana memang gadis bodoh! Kalau dia tidak melindungi Maxim, pasti Maxim sudah mati dan kita bisa menikmati harta keluarga ini!" seru Arzura. "Semua ini gara-gara Marieana!" Sebagai seorang suami Marieana, David hanya diam dengan wajah sebal. Ia ikut kesal seperti apa yang orang tuanya rasakan. Karena David juga sempat menantikan harta keluarga Valdemar ini, jatuh ke tanganmu dengan kematian Maxim. Tetapi, pria itu sampai sekarang tetap masih hidup berkat Marieana yang menyelamatkann

  • Setiap Malam, Paman Suamiku Membelaiku   Bab 81. Marieana Tertusuk

    Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung menangani Marieana di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Maxim menunggu di luar ruang pemeriksaan bersama Logan. Maxim menatap mantel hangat berwarna merah muda milik Marieana yang kotor akan cairan merah segar. Raut wajah Maxim tampak sedih, marah, dan khawatir yang tidak kunjung usai. "Semoga kau baik-baik saja, Marie," ucap Maxim, ia berdiri menyandarkan kepalanya pada dinding. Logan berjalan mendekati Maxim setelah ia menerima panggilan telfon dari orang-orang Maxim. "Tuan, saat ini pelakunya sudah tertangkap dan sudah berada di kantor polisi. Saya akan ke sana untuk terus mengurus tindakan selanjutnya," ujar Logan. Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. "Pastikan orang itu mengaku tentang apa tujuannya, dan siapa yang telah membayarnya untuk menghabisiku!" perintah Maxim. Logan mengangguk. "Baik, Tuan," jawabnya. "Saya akan segera menghubungi Tuan nanti." "Pergilah!" seru Maxim. Tanpa menjawabnya lagi, Logan pun be

  • Setiap Malam, Paman Suamiku Membelaiku   Bab 80. Jangan Mati Bila Bukan Aku yang Membunuhmu

    Marieana mendatangi kantor milik Maxim. Dengan langkah terburu-buru ia berjalan menuju ke ruangan CEO. Namun, saat Marieana membuka pintu, Maxim tidak ada di dalam sana. Hanya ada Logan yang kini tampak terkejut dengan kemunculan Marieana. "Nona Marieana?" sapa Logan dengan ekspresi terkejut. Marieana berjalan mendekati Logan dengan ekspresi cemas. "Di mana Paman Maxim?" tanyanya. "Tuan Maxim sedang ada pertemuan dengan kolega dari luar kota, Nona," jawab Logan. "Antarkan aku ke sana sekarang juga!" seru Marieana. "Ayo, Logan!" Logan kebingungan, namun ia tidak bisa menolak perintah Marieana karena gadis itu adalah gadis kesayangan Tuannya. Mau tidak mau, Logan mengantarkan Marieana ke tempat di mana Maxim berada. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak sangat cemas. Dia juga tidak mengatakan alasan apapun pada Logan. Gadis itu mengepalkan jemari kedua tangannya menjadi satu, dan berdoa sepanjang jalan. "Apa ada hal buruk yang terjadi, Nona?" tanya Logan melirik Mariean

  • Setiap Malam, Paman Suamiku Membelaiku   Bab 79. Rencana Licik David dan Orang Tuanya

    Udara dingin melingkupi tubuh Marieana. Gadis itu Masih bergelung dengan selimut tebal yang membungkusnya. Suara lonceng angin di depan jendela kamar bergemerincing merdu, mengusik tidur tenang Marieana hingga membuat gadis itu terbangun. Marieana mengulurkan tangannya meraba-raba ruang kosong di sampingnya. "Maxim..." Gadis itu membuka kedua matanya dan ia tidak mendapati Maxim di sana. Rasanya seketika hampa. Marieana perlahan-lahan bangun dan duduk di atas ranjang. Ia menatap tubuhnya yang tidak lagi lagi polos, tengah malam tadi, Maxim membangunkannya dan membantunya kembali memakai baju agar tidak kedinginan. Marieana bergeming menatap pemandangan langit putih di luar, dari jendela paviliun. "Pria itu... musuh yang sangat mencintaiku," ucap Marieana lirih. Marieana menyentuh perutnya yang rata. Masih terbayang-bayang jelas bagaimana Maxim mengusap perutnya dan berkata hanya anaknya lah yang akan tumbuh di dalam rahimnya. Itu semua terdengar lucu, namun juga men

  • Setiap Malam, Paman Suamiku Membelaiku   Bab 78. Hanya Boleh Hamil Anakku

    Marieana tercengang mendengar ucapan Maxim. Bahkan usapan telapak tangan itu masih bergerak lembut di atas perutnya. Maxim kembali mengecup wajah Marieana sebelum pria itu berbaring di sampingnya dan memeluknya dari samping saat Marieana memiringkan tubuhnya. 'Hamil...' Kata-kata itu menggetarkan batin Marieana. Gadis itu tertunduk dan menyentuh punggung tangan Maxim, menghentikan elusan lembut di perutnya. Maxim tidak tahu bila Marieana sengaja meminum obat untuk menunda kehamilan. Ia sengaja melakukannya, karena hamil tidak pernah ada dalam misinya. Tetapi, bila Marieana tidak memikirkannya sejak awal, mungkin saat ini ia memang sudah benar-benar hamil anak Maxim, mengingat selama mereka melakukannya, Maxim seolah-olah sengaja ingin Marieana hamil anaknya. "Tidurlah," bisik Maxim mengecup pelipis Marieana. "Kau jangan ke mana-mana," bisik Marieana. "Tidak, Sayang." Pria itu mengecup punggung putih Marieana dan menarik tubuh kecil itu hingga punggung Marieana menempel

  • Setiap Malam, Paman Suamiku Membelaiku   Bab 77. Percintaan Panas untuk Kesekian Kalinya

    "Aku tidak tahu, tiba-tiba saja David mendesakku untuk segera hamil. Dan dia sangat marah padaku, Paman..." Marieana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Maxim dan duduk di pangkuan pria itu dengan kedua kakinya yang melingkari tubuh kekar Maxim. Marieana menggigit ibu jarinya dan meringkuk dalam pelukan Maxim. "Entah bujukan siapa, sampai-sampai dia sampai mendesakku seperti tadi. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk tidak hamil dan tidak punya anak. Tapi begitu aku bilang kalau aku keberatan, dia langsung memakiku, dia bilang aku istri yang tidak berguna. Dan ... dia juga mengatakan apa manfaatku di rumah ini." Marieana membenamkan wajahnya pada dada Maxim. "Jadi, selama ini aku dianggap apa di sini? Betapa tidak bergunanya aku di sini, Paman..." Mendengar cerita Marieana, wajah Maxim berubah mengeras. Dekapannya pada Marieana kian mengerat, pria itu menundukkan kepalanya dan mengecup pucuk kepala gadis itu. "Kau tidak bersalah, Marie. Kau berhak memilih keputusan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status