LOGINSeharian, pikiran Maxim terus tertuju pada Marieana.
Setiap kali berusaha melupakan wajah gadis itu, Maxim kembali teringat lagi dengan paras cantiknya yang sendu. Sungguh, wajah Marieana terasa familiar. Tapi sekeras apapun mencoba mengingat, ia tidak menemukan sosok yang mengingatkannya pada gadis itu. "Marieana...," lirih Maxim dengan pandangan kosong. "Marieana Florence." Maxim menatap gelas berisi scotch di tangannya dan menenggak minuman itu hingga tandas. Ia melampiaskan rasa lelah dan pusingnya dengan minum bersama salah satu temannya di sebuah bar. Maxim kembali meraih botol scotch di hadapannya, namun temannya—Aland menahan tangannya dengan cepat. "Sudah, Maxim. Kau sudah mabuk berat!" seru Aland melarangnya. Laki-laki pemilik bar itu menyerah napasnya panjang sembari menatap wajah Maxim yang merah padam. "Ayolah, kawan! Tidak biasanya kau seperti ini. Apa yang terjadi padamu?" Aland benar-benar dibuat heran oleh Maxim yang mengajaknya pergi minum hingga mabuk, apalagi ia mendengar beberapa kali Maxim meracaukan nama seorang wanita yang jelas-jelas bukan nama mantan istrinya. Maxim tertunduk dan memijat keningnya. "Gadis itu," lirih Maxim lagi. "Marieana…." Maxim memejamkan kedua mata sejenak sebelum membukanya kembali. Entah mengapa, perasaan tak biasa yang ia rasakan tak bisa hilang. Justru semakin besar dan membuatnya terusik. Gadis itu … gadis polos yang pagi tadi menangis di hadapannya … bagaimana mungkin berhasil membuatnya berdebar-debar? ** Sementara itu, di tempat lain, Marieana tampak berusaha memejamkan mata. Saat ini, hanya dirinya yang berada di rumah megah milik Keluarga Valdemar. Semua orang tengah pergi ke luar kota, termasuk suaminya. Marieana hampir tenggelam dalam mimpi saat tiba-tiba saja pintu kamarnya menjeblak terbuka. Gadis itu segera bangun dan terkejut melihat sosok Maxim Valdemar berjalan sempoyongan ke dalam kamarnya. "Pa-Paman Maxim!?" Marieana beranjak dari atas ranjang dan berjalan mendekati laki-laki itu. Maxim berdiri menatapnya sayu. Aroma pekat alkohol menguar dari laki-laki itu, membuat Marieana mengernyitkan hidung. "Marieana," lirih Maxim, sambil berjalan mendekatinya. "Paman mabuk," kata Marieana. Ia merinding saat jarak di antara mereka semakin menipis. Marieana tidak sempat mengelak saat lengan Maxim menarik pinggangnya. “Paman—” Marieana seketika terpaku saat Maxim meletakkan kepalanya di pundaknya. "Kau ... sengaja menggodaku," bisik Maxim, yang kini menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Marieana. Di tengah rasa takut yang menggetarkan hati, Marieana kembali mengingat tujuannya berada di rumah ini. Dan mungkin, ini adalah waktu yang tepat. Marieana tidak peduli meski dengan cara kotor dan menjijikkan sekalipun, asal pria ini benar-benar hancur di tangannya. Namun, Marieana ingin bermain cantik. Ia mungkin bisa saja menghabisi Maxim saat ini juga, selagi pria itu mabuk. Tapi itu hanya akan menyiksanya sesaat. Marieana ingin Maxim menderita, seperti apa yang ia alami selama bertahun-tahun. "Paman sedang mabuk," bisik Marieana, lalu membelai pipi Maxim yang terasa hangat. "Apa yang Paman cari di kamarku?" Iris hitam Maxim yang sayu terlihat berkilat menatap wajah cantik Marieana. Laki-laki itu semakin mengeratkan rangkulan tangannya di pinggang Marieana hingga semakin memangkas jarak di antara mereka. "Dirimu,” jawab Maxim. Detik berikutnya, tanpa aba-aba, Maxim menarik tengkuk Marieana dan memagut bibirnya dengan kasar. Marieana tidak melawan, tapi tidak juga menyambut. Ia hanya bergeming saat Maxim semakin memperdalam lumatannya. Maxim kemudian memeluk tubuh Marieana, lalu mendorong gadis itu ke arah ranjang tanpa melepaskan tautan bibirnya. Ia mengurung tubuh kecil Marieana dalam kungkungannya. "Ma-Maxim, ahh—" Marieana meremas punggung laki-laki itu saat bibir Maxim mulai menjajaki ceruk lehernya. Ia sudah berusaha menahan, tapi desahan kotor itu tetap terlepas dari bibirnya. Marieana menggigit bibir, setengah mati mempertahankan akal sehatnya. Maxim menaikkan pandangannya, menatap Marieana yang kini gemetar tak berdaya. Gadis itu mengalungkan kedua tangannya pada lehernya. "Kau membuatku gila, Marieana…." Marieana menggelengkan kepalanya, namun Maxim justru kembali mencium bibirnya dengan lebih dalam dan menuntut. Tubuh Marieana berkhianat saat merasakan tangan Maxim menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Sungguh Marieana merasa jijik pada dirinya sendiri. Harga dirinya seolah terinjak saat disentuh dan dibelai oleh paman suaminya sendiri. Oleh musuhnya sendiri. Mariena ingin menangis, tapi lukanya terlalu dalam. Dendamnya terlalu besar hingga lama-lama membuatnya mati rasa. "Maxim, tu-tunggu...." Mariena memejamkan kedua matanya erat saat merasakan sentuhan lembut laki-laki itu di balik gaun tidur tipis yang ia pakai. Maxim melepaskan satu persatu kancing vest hitam dan kemeja putih yang ia pakai sebelum melemparkannya begitu saja, lalu menarik selimut untuk menutup tubuh mereka berdua. Laki-laki itu menatap wajah Marieana yang memerah, tampak kacau dan terengah-engah di bawahnya. Maxim tersenyum simpul saat membelai pipi Marieana, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. “Bersiaplah, Marieana,” bisiknya dengan suara dalam. “Malam ini akan menjadi malam yang panjang….”"Sialan! Bagaimana bisa gadis bodoh itu justru melindungi Maxim! Istrimu itu benar-benar bodoh, Dav!" Teriakan keras itu terdengar dari arah ruangan keluarga. Brian sangat marah setelah mendengar kabar kalau Marieana masuk ruang sakit karena luka tusuk akibat melindungi Maxim dari seseorang yang ingin menyerang Maxim. Orang itu adalah orang suruhan Brian. Padahal, Brian dan Arzura sudah bersiap menerima kabar bahagia tentang kematian Maxim, tetapi nyatanya justru Marieana yang melindungi Maxim. "Marieana memang gadis bodoh! Kalau dia tidak melindungi Maxim, pasti Maxim sudah mati dan kita bisa menikmati harta keluarga ini!" seru Arzura. "Semua ini gara-gara Marieana!" Sebagai seorang suami Marieana, David hanya diam dengan wajah sebal. Ia ikut kesal seperti apa yang orang tuanya rasakan. Karena David juga sempat menantikan harta keluarga Valdemar ini, jatuh ke tanganmu dengan kematian Maxim. Tetapi, pria itu sampai sekarang tetap masih hidup berkat Marieana yang menyelamatkann
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung menangani Marieana di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Maxim menunggu di luar ruang pemeriksaan bersama Logan. Maxim menatap mantel hangat berwarna merah muda milik Marieana yang kotor akan cairan merah segar. Raut wajah Maxim tampak sedih, marah, dan khawatir yang tidak kunjung usai. "Semoga kau baik-baik saja, Marie," ucap Maxim, ia berdiri menyandarkan kepalanya pada dinding. Logan berjalan mendekati Maxim setelah ia menerima panggilan telfon dari orang-orang Maxim. "Tuan, saat ini pelakunya sudah tertangkap dan sudah berada di kantor polisi. Saya akan ke sana untuk terus mengurus tindakan selanjutnya," ujar Logan. Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. "Pastikan orang itu mengaku tentang apa tujuannya, dan siapa yang telah membayarnya untuk menghabisiku!" perintah Maxim. Logan mengangguk. "Baik, Tuan," jawabnya. "Saya akan segera menghubungi Tuan nanti." "Pergilah!" seru Maxim. Tanpa menjawabnya lagi, Logan pun be
Marieana mendatangi kantor milik Maxim. Dengan langkah terburu-buru ia berjalan menuju ke ruangan CEO. Namun, saat Marieana membuka pintu, Maxim tidak ada di dalam sana. Hanya ada Logan yang kini tampak terkejut dengan kemunculan Marieana. "Nona Marieana?" sapa Logan dengan ekspresi terkejut. Marieana berjalan mendekati Logan dengan ekspresi cemas. "Di mana Paman Maxim?" tanyanya. "Tuan Maxim sedang ada pertemuan dengan kolega dari luar kota, Nona," jawab Logan. "Antarkan aku ke sana sekarang juga!" seru Marieana. "Ayo, Logan!" Logan kebingungan, namun ia tidak bisa menolak perintah Marieana karena gadis itu adalah gadis kesayangan Tuannya. Mau tidak mau, Logan mengantarkan Marieana ke tempat di mana Maxim berada. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak sangat cemas. Dia juga tidak mengatakan alasan apapun pada Logan. Gadis itu mengepalkan jemari kedua tangannya menjadi satu, dan berdoa sepanjang jalan. "Apa ada hal buruk yang terjadi, Nona?" tanya Logan melirik Mariean
Udara dingin melingkupi tubuh Marieana. Gadis itu Masih bergelung dengan selimut tebal yang membungkusnya. Suara lonceng angin di depan jendela kamar bergemerincing merdu, mengusik tidur tenang Marieana hingga membuat gadis itu terbangun. Marieana mengulurkan tangannya meraba-raba ruang kosong di sampingnya. "Maxim..." Gadis itu membuka kedua matanya dan ia tidak mendapati Maxim di sana. Rasanya seketika hampa. Marieana perlahan-lahan bangun dan duduk di atas ranjang. Ia menatap tubuhnya yang tidak lagi lagi polos, tengah malam tadi, Maxim membangunkannya dan membantunya kembali memakai baju agar tidak kedinginan. Marieana bergeming menatap pemandangan langit putih di luar, dari jendela paviliun. "Pria itu... musuh yang sangat mencintaiku," ucap Marieana lirih. Marieana menyentuh perutnya yang rata. Masih terbayang-bayang jelas bagaimana Maxim mengusap perutnya dan berkata hanya anaknya lah yang akan tumbuh di dalam rahimnya. Itu semua terdengar lucu, namun juga men
Marieana tercengang mendengar ucapan Maxim. Bahkan usapan telapak tangan itu masih bergerak lembut di atas perutnya. Maxim kembali mengecup wajah Marieana sebelum pria itu berbaring di sampingnya dan memeluknya dari samping saat Marieana memiringkan tubuhnya. 'Hamil...' Kata-kata itu menggetarkan batin Marieana. Gadis itu tertunduk dan menyentuh punggung tangan Maxim, menghentikan elusan lembut di perutnya. Maxim tidak tahu bila Marieana sengaja meminum obat untuk menunda kehamilan. Ia sengaja melakukannya, karena hamil tidak pernah ada dalam misinya. Tetapi, bila Marieana tidak memikirkannya sejak awal, mungkin saat ini ia memang sudah benar-benar hamil anak Maxim, mengingat selama mereka melakukannya, Maxim seolah-olah sengaja ingin Marieana hamil anaknya. "Tidurlah," bisik Maxim mengecup pelipis Marieana. "Kau jangan ke mana-mana," bisik Marieana. "Tidak, Sayang." Pria itu mengecup punggung putih Marieana dan menarik tubuh kecil itu hingga punggung Marieana menempel
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja David mendesakku untuk segera hamil. Dan dia sangat marah padaku, Paman..." Marieana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Maxim dan duduk di pangkuan pria itu dengan kedua kakinya yang melingkari tubuh kekar Maxim. Marieana menggigit ibu jarinya dan meringkuk dalam pelukan Maxim. "Entah bujukan siapa, sampai-sampai dia sampai mendesakku seperti tadi. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk tidak hamil dan tidak punya anak. Tapi begitu aku bilang kalau aku keberatan, dia langsung memakiku, dia bilang aku istri yang tidak berguna. Dan ... dia juga mengatakan apa manfaatku di rumah ini." Marieana membenamkan wajahnya pada dada Maxim. "Jadi, selama ini aku dianggap apa di sini? Betapa tidak bergunanya aku di sini, Paman..." Mendengar cerita Marieana, wajah Maxim berubah mengeras. Dekapannya pada Marieana kian mengerat, pria itu menundukkan kepalanya dan mengecup pucuk kepala gadis itu. "Kau tidak bersalah, Marie. Kau berhak memilih keputusan







