Sementara di kediaman Valdemar. Malam ini Maxim tampak berdiam diri di dalam ruangan kerjanya sejak pulang dari kantornya beberapa jam yang lalu. Seharian ini, Maxim tidak menyentuh pekerjaannya sama sekali. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Marieana, Maxim merasa bersalah atas kepergian Marieana yang entah ke mana. "Ck! Kau di mana, Marie?" gumam Maxim, suaranya yang frustrasi. Pria itu mengusap wajahnya kasar. Bayangan semalam mereka berdua menikmati malam yang panjang dan indah masih membekas dalam benak Maxim, bahkan kenikmatan semalam juga masih ia rasakan. Suara pintu terketuk membuat Maxim mengangkat wajahnya menatap ke arah pintu. Tampak Logan muncul di balik pintu itu, ia berjalan mendekati Maxim yang menatapnya dengan tatapan dingin seperti biasa. "Kau sudah menemukan alamatnya?" tanya Maxim menatap ajudannya tersebut. "Sudah, Tuan. Namun, saat saya datang ke alamat kediaman Nona Marieana di kawasan Yards. Di sana, beberapa orang yang saya temui tidak ada yang me
Setelah membujuk sang Nenek untuk beristirahat, Marieana berjalan masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang dulu bertahun-tahun ia tempati. Aroma ruangan itu masih sama, wangi lavender yang menyengat, dan barang-barangnya masih tertata rapi di tempat-tempat semula sebelum ia pergi. "Kamarku," lirih gadis itu tersenyum berjalan mendekati ranjang yang masih tertata rapi. Marieana membuka jendela kamarnya, pemandangan hutan-hutan kecil dan suara kicauan burung srigunting bersahutan di sekitar sana mengobati rasa rindunya. Suara aliran sungai kecil dan danau kecil yang berada tak jauh dari rumahnya juga terlihat jelas. Taman bunga yang bertahun-tahun menjadi sumber penghasilan Neneknya, juga masih dirawat dengan baik oleh Bibi Erica. Lengkungan senyuman terukir di bibir Marieana. Gadis itu menoleh ke arah meja belajar di sebelahnya. Di sana, ia melihat figura foto berisikan fotonya saat masih kecil bersama kedua orang tuanya. Menatap foto itu hanya akan membawa Marieana mengingat keluka
Sedangkan di tempat lain, Marieana baru saja tiba di kediaman Neneknya di kota Yards yang terpencil, saat hari sudah menjelang sore. Gadis itu mengetuk pintu kayu di hadapannya dengan cepat. "Bibi Erika, aku pulang! Ini aku!" pekik Marieana dengan suara gemetar. Pintu kayu dari rumah kuno berlantai dua itu pun terbuka perlahan. Tampak seorang wanita setengah baya bertubuh tinggi kurus, menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca penuh kerinduan. Erika—pembantu sekaligus pengasuh Marieana sejak kecil itu, berdiri menutup mulutnya tak percaya melihat Marieana berada di hadapannya. "Nona..!" Wanita itu langsung mengulurkan kedua tangannya, hingga Marieana berhambur ke dalam pelukan hangat Erika. Marieana tidak bisa menahan air matanya saat memeluk wanita setengah baya itu, rasanya ia benar-benar pulang ke dalam sebuah pelukan yang ia impikan. Erika mengusap punggungnya dengan lembut sebelum wanita itu melepaskan pelukannya perlahan. Ia menangkup kedua pipi gadis itu dan mempertah
Maxim terbangun dari tidurnya saat merasakan hangat cahaya matahari menyinari wajahnya dari celah jendela kamar. Kedua matanya terbuka, tangannya meraba ranjang dan menyadari Marieana tidak ada di sampingnya. Pria itu langsung terbangun dan bingung. "Marie, ke mana dia?" gumam Maxim. Ia segera beranjak dari atas ranjang dan bergegas membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Maxim berpikir, mungkin Marieana ada di lantai satu bersama pelayan, atau gadisnya itu pergi melihat pemandangan di sekitar vila. Beberapa menit setelah membersihkan tubuhnya, Maxim keluar dari dalam kamarnya dengan pakaiannya yang rapi. Pria itu berjalan menuruni anak tangga dan melihat pelayan di sana sendirian menata sarapan. Wanita setengah baya itu menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Tuan," sapanya. "Di mana Nyonya?" tanya Maxim pada wanita itu. Ia menanyakan Marieana. "Apa dia pergi melihat pemandangan di luar?" Wajah pelayan itu tampak bingung dan pucat pasi. "Sekitar satu jam yang lalu, Nyonya per
"Ahh—Paman—" Marieana tanpa sadar menancapkan ujung kuku jemari kedua tangannya di punggung kekar Maxim, memeluknya erat saat tubuh mereka menyatu. Pelukan erat itu membuat tubuh mereka semakin melekat, berbagi peluh dan gairah yang membuat keduanya seolah melayang hingga ke nirwana. Pikiran Marieana seolah kosong saat pria itu terus menyentuhnya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang tak pernah sekalipun ia dapatkan dari pria lain, termasuk suaminya sendiri. Napas hangat mereka saling beradu bersama gerakan seirama yang membuat Marieana semakin melambung dan hampir kehilangan kewarasan. Marieana menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Maxim, pria itu mendekapnya erat dan tubuh Marieana terus merespon tiap sentuhan Maxim yang memabukkan. "Kau milikku, Marie," bisik Maxim, nada rendahnya terdengar begitu posesif dan lembut. Marieana mengangguk cepat tanpa menarik wajahnya dari ceruk leher Maxim. "La-lakukanlah," jawab gadis itu terbata-bata. Suara rintihan gadis itu memb
"Aku akan ikut ke manapun Paman membawaku..." Isak tangis pilu di wajah cantik Marieana membuat hati Maxim seperti diremas. Pria itu melepaskan pelukannya pada Marieana. Tanpa berkata-kata, Maxim kembali masuk ke dalam kamarnya, pria itu menyahut kunci mobil dan dua mantel hangatnya, sebelum ia memakaikan salah satunya pada Marieana. "Ayo kita pergi," ajaknya, merangkul Marieana. Gadis itu mengangguk dan memeluk tubuh Maxim dengan satu tangannya. Mereka berdua menuruni anak tangga rumah dan bergegas pergi. Tak peduli hujan deras mengguyur bumi di tengah malam begini, Maxim tetap membawa Marieana pergi ke tempat di mana sekiranya gadis itu bisa merasa tenang. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak termenung menatap ke arah luar kaca pintu mobil. Maxim memperhatikannya sekilas. "Kau ingin pergi ke mana, Marie?" tanya pria itu sembari mengemudikan mobilnya. "Ke manapun, Paman," jawab gadis itu sebelum menatapnya. "Bawa aku ke manapun kau pergi." "Ke vila milikku," ujar M