Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir.
“Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya.Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat.“Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.”“Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya.Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha.“Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Suasana tampak mencekam. Ke dua orang itu saling menatap tajam, penuh amarah. Sedang bocah laki-laki itu terdiam di pojok, juga dengan tatapan penuh benci.“Wanita sialan! Aku sudah melarangmu membawa anak bodoh ini. Kamu lihat apa yang sudah dilakukannya?” ucap pria itu.Wanita itu menggerenyotkan bibir, tak percaya pada apa yang didengarnya. “Kamu tidak pernah sadar ya, otaknya itu turunan dari siapa? Dari kamu!” sahut wanita itu, memaki.Kembali, pria itu mendaratkan tamparan kerasnya. Hidung wanita itu akhirnya mengeluarkan darah segar.Bocah laki-laki itu menangis dan melemparkan botol minuman yang sedari tadi ada di tangannya.“Kamu memang pria berengsek!!” teriak wanita itu lantas melemparkan asbak yang ada di atas meja di sampingnya.Suasana benar-benar hilang kendali.“Jangan!!” Dia membuka mata, dan tersadar. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya terputus-putus, serasa baru saja berlari dari kejaran binatang buas.Dia menenangkan diri.Dia melihat jam di meja sampin
Meninggalkan kantor Big Land, Aditya dan Rakha kembali ke kantor Tower Electrics Mahakarya. Wajah Rakha masih terlihat dingin. Adit sesekali melirik ke arah pria yang ada di sampingnya itu. “Kamu kenapa lirik-lirik begitu?” Rakha menyadari sikap Aditya yang terus memperhatikannya. “Aku yang ingin bertanya, kamu kenapa? Mood kamu berantakan banget hari ini. Iya sih, setiap hari memang kamu begini, tapi terlihat lebih dingin hari ini!” Rakha langsung melotot. Aditya terdiam dan kembali fokus pada kendaraan yang dikemudikannya. “Ternyata di Big Land, banyak cewek-cewek cantik ya? Menyesal aku, baru ke sana hari ini.” Adit terus saja mengoceh, sedangkan pria di sebelahnya masih diam tak peduli. Mendapati sikap Rakha yang membisu, Aditya akhirnya diam. Ha, aku selalu saja sulit menemukan kalimat yang pas saat ngobrol dengan dia. Entah makhluk seperti apa yang bisa menaklukkan hati bekunya itu, batin Adit. Mobil yang dikendarai keduanya terhenti, setelah lampu lalu lintas memberikan
Aditya terlihat terburu-buru menuju lantai sepuluh Big Land. Staf yang melihat tingkahnya, terheran-heran. Mau gimana lagi, kalau dia marah, bisa jadi aku kehilangan pekerjaan, gumamnya. “Mana dokumen yang aku perintahkan kemarin?” tanya Rakha, membelalak. “Dokumen?” tanya Aditya, bingung. “Ehm, kalau kamu tidak mampu bekerja profesional, mending kamu tidur di rumah!!!” ucap Rakha, dongkol. “Tunggu dulu Bos. Dokumen yang mana?” Rakha menarik napas panjang. “Dokumen yang diserahkan om Dimas tentang proyek Big Land yang harus aku pelajari. Jangan bilang, kamu hilangkan?!” Aditya terdiam. Dia tampak berpikir. “Oh itu. Aku ingat, aku singgah di toilet dan aku letakkan di meja tak jauh dari ruang rapat. Kalau gak salah, di depan ruangan Direktur Keuangan.” “Jadi?” “Oke. Aku ambil sekarang!” Berurusan dengan pria menakutkan itu memang sebuah pilihan buruk. Aditya terus saja berbicara sendiri, sambil berjalan menuju ruangan Direktur Keuangan. “Selamat siang, Pak?” sapa Asti, menda
Sore tiba. Indah singgah di sebuah Coffee Shop, tak jauh dari kantornya. Sebuah senyuman hangat, menyambutnya setelah masuk ke dalam bangunan mungil berwarna hijau putih itu.Seorang wanita seusianya mendekat dan langsung memeluknya. “Makasih udah datang,” ujarnya, tersenyum manis. “Haruslah, Don. Kita juga udah lama gak ngopi bareng, kan?” jawab Indah, lantas duduk. “Aku sediakan dulu minuman kamu, ya?” sambung Dona.Indah memberi respons, menggangguk. Dia lantas memperhatikan suasana tempat itu. Enak dan sangat nyaman. Tak lama, Dona sudah hadir bersama secangkir hot americano. “Ini salah satu menu terbaik kami di sini. Semoga kamu suka,” ujar Dona sambil meletakkan minuman itu di hadapan Indah.Tanpa jawaban, Indah lebih dulu mencium aroma dari minuman hangat itu. “Ehm, harum banget.”Dona mempersilakan Indah untuk lanjut mengesap. Indah pun, pelahan meneguk minuman itu.“Salah satu kopi terbaik yang pernah aku cicipi,” puji Indah. “Ini jujur kan, bukan gombal?” tanya Dona.Indah
Suasana haru belum beranjak dari percakapan Indah dan Dona. Keheningan tercipta, sembari ke dua wanita itu menenangkan diri.“Oke, cukup dari aku,” sambung Indah, dengan senyuman hangatnya, menguatkan. “Aku seperti kehilangan semangat untuk bercerita,” ujar Dona.“Gak ada alasan, kamu wajib cerita. Aku ke sini udah penasaran banget. Iya Don, ya?” pinta Indah.Dona tersenyum. Dia memulai cerita.“Namanya Yusuf Abdullah. Kami satu divisi sebelumnya, sebelum dia jadi pimpinan di divisi kami.”Indah terlihat mendengar, serius.“Aduh gimana mulainya?”“Lho kan udah mulai?”“Aku bingung, mau cerita yang mana.”“Cerita semua. Jangan ada yang ditutup-tutupi!” ujar Indah, memaksa.“Ya, oke. Awalnya, aku tidak terlalu sadar akan kehadirannya. Karena, kamu kan tahu, saat itu aku fokus membangun karier, mengurus Syifa. Kehadiran pria, sama sekali jauh dari rute jalanku. Sampai akhirnya, aku ngobrol dengan atasanku saat itu. Yang kebetulan dekat banget dengan aku, Mbak Nia.“Dia menceritakan, mas
Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya. “Iya Bu, gak apa-apa.” “Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya. Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu. Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian. Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya. “Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya. “Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa b
Di depan ruangan rapat, tampak beberapa pria, anggota dewan direksi masih sibuk berbicara satu sama lain, “Kenapa sih, pak Dimas harus memilih pria itu? Kamu tidak dengar, bagaimana sifatnya yang angkuh?” tanya salah satu anggota Direksi. “Iya, seharusnya mbak Indah yang menggantikan pak Dimas. Dia sangat kompeten, terbuka akan saran, dan komunikasinya selalu baik dengan seluruh staf dan Direksi,” sahut anggota lainnya. Ada apa ini? batin Aditya. Dia melihat Rakha berdiri tepat di belakang ke dua pria yang sedang membicarakan dirinya. Melihat keberadaan Aditya, Rakha seketika pergi dari tempat itu. “Masalah lagi,” ungkap Aditya, mendapati ekspresi Rakha yang menahan emosi. Hari ini, Rakha dan Aditya mulai berkantor di Big Land. Melewati meja kerja Asti, Aditya tak lupa menyapa dengan senyumannya. Namun Asti memberikan respons datar. Rakha yang mendapati sikap manis Aditya, menyeringai. “Menebar pesona di mana-mana. Yang ada kamu seperti pria murahan!” ucapnya, kesal. “Apa?” tany