Share

Bab 6

Jam menunjukkan pukul delapan malam, saat Asti berjalan menyusuri lobby Big Land. “Asti, saya duluan ya. Kamu gak apa-apa balik sendiri?” tanya Indah, setelah membuka kaca mobilnya.

“Iya Bu, gak apa-apa.”

“Hati-hati ya.” Indah pun berlalu. Asti melepas Indah dengan senyumannya.

Sejak Indah pindah ke apartemen, dia tak lagi mengajak Asti bersamanya saat berangkat dan pulang dari kantor. Arah kediaman Asti sekarang tidak lagi searah dengan apartemen atasannya itu.

Indah, masihlah sosok yang sama dengan Indah yang ditemui Asti beberapa tahun lalu. Wanita tiga puluh lima tahun, yang memiliki hati yang lapang, hati yang tulus, dan sangat perhatian.

Asti berjalan ke luar gerbang, sambil menunggu ojek online yang telah dipesannya.

“Alhamdulillah,” ucap Asti, setelah meyakini, motor hijau yang mendekat adalah ojek online yang dipesannya.

“Astagfirullah!!!” Asti tersentak, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ojol yang ditunggunya, terpaksa berhenti mendadak, di belakang mobil itu.

Sang pengemudi menurunkan kaca mobilnya.

“Asti, bareng yuk??” tanya pria itu dengan senyuman yang mengembang sempurna.

“Pak Aditya?” ucap Asti, lagi tercenung. “Aku sudah pesan ojek, Pak.”

Aditya lantas turun dari mobilnya.

Beberapa saat, dia terlihat berbicara dengan pria pengendara motor hijau itu. Dan tak lama, motor itu berlalu, membuat Asti kembali bingung.

“Pak? Ojol pesanan saya?” heran Asti, menunjuk ojol yang berlalu. “Itu udah pergi. Berarti kamu bareng saya, ya?”

“Tapi Pak—"

Aditya membuka pintu mobil selebar-lebarnya, dan mempersilakan Asti.

Asti masih berdiri terpaku, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Dia takut, harus berdua berkendara di malam hari, dengan seorang pria yang belum dikenalnya dengan baik.

“Kok malah bengong?” tanya Aditya, mulai heran dengan sikap Asti yang masih diam di tempatnya.

Aditya lantas menutup kembali pintu mobil itu. Dia berdiri di samping Asti, mencoba menyatu dengan kondisi Asti.

“Rumah kamu, jauh dari sini?”

“Gak kok Pak. Gak jauh.” Asti tampak masih tertekan dengan kehadiran pria itu.

Atau dia takut bersamaku? batin Aditya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Hening.

“Kamu udah makan malam?” tanya Adit, berusaha mengatasi suasana canggung. “Udah, Pak.”

Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang? Lagi, pikir Aditya.

“Pak, saya balik naik ojol saja,” ujar Asti, pelan. “Jadi, kamu tega ninggalin aku sendiri di sini?”

Asti kembali bingung.

“Kamu takut, satu mobil dengan saya?” tebak Aditya.

Asti tersenyum, merasa bersalah.

“Oke. Apa yang saya harus lakukan, agar kamu tidak takut, bareng dengan saya?” tanya Aditya, berusaha mencari solusi.

“Lampu dalam mobil dinyalakan, dan kaca mobil di buka,” jawab Asti, jelas.

Aditya tersenyum.

“Oke. Ayo,” ajak Aditya. Lantas membuka kembali pintu mobil, dan Asti segera mengambil tempatnya.

Terima kasih, Tuhan, gumam Aditya disertai senyuman bahagia.

Senyuman Aditya, terus saja menghiasai perjalanan keduanya. Namun, suasana canggung masih saja tercipta.

“Asti tinggal bersama siapa?” Aditya memecah keheningan. “Bareng ibu, Pak.”

Ke mana ayahnya? batin Aditya. “Ayah saya sudah meninggal dunia.”

Ha? Dia bisa tahu apa yang kupikirkan? Aditya kembali, membatin.

“Pak, boleh kita berhenti dulu di sana?” pinta Asti, sambil menunjuk ke arah pasar malam yang begitu ramai.

“Oke, tentu saja.” Aditya membelokkan kendaraannya.

Asti tampak sangat bahagia. Senyumannya tak lepas dari setiap langkahnya.

Aditya sesekali melirik ke arah wanita di sampingnya. Mencoba menelisik hadirnya aura yang berbeda.

Langkah Asti terhenti di samping permainan komedi putar. Senyumannya terus terbit, melihat tawa bahagia anak-anak yang sedang menikmati permainan.

Ada apa dengannya? Ingin rasanya aku memulai mengenali apa pun tentangnya. Tapi bagaimana aku memulai? Dia tampak wanita yang tidak banyak bicara. Aditya kembali membatin.

Mendapati sikap Asti yang terus tersenyum, membuat Aditya juga merasakan hal yang sama. Senyuman Asti menghadirkan kesejukan yang sama.

Asti mengajak Aditya berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dari komedi putar.

“Mau ikut naik?” tanya Aditya, menunjuk ke arah komedi putar. Asti hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Terima kasih Pak, sudah berkenan mengantar saya ke sini.”

Aditya kembali tersenyum. “Saya yang harusnya berterima kasih, kamu sudah mengizinkan saya menemani kamu.”

Asti merespons lagi dengan senyuman manisnya.

“Kamu suka ke sini?” tanya Aditya. “Ehm, gak Pak. Terakhir kali saya menikmati suasana ini saat usia saya lima tahun.”

Aditya terdiam. Dia fokus mendengarkan. “Permainan ini, meninggalkan banyak kenangan bagi saya bersama keluarga saya.” Asti mulai bercerita dengan suara, terdengar sedikit bergetar.

Aditya menoleh, dan matanya mendapati sebuah butiran air bening, menghiasi pipi Asti.

Mengapa suasanya jadi sedih begini? gumam Aditya.

Ingin rasanya aku memeluknya, menenangkan kesedihan hatinya. Ahhh, itu tidak mungkin kulakukan. Wanita ini berbeda, jelas berbeda! Aditya terus saja merutuk sendiri.

Aditya sadar, tugasnya saat ini hanya mendengar dan hadir untuk wanita itu.

Dalam kesenduan, Asti kembali tersenyum. Entah apa yang sedang dipikirkannya, apa yang sedang dirasakannya.

Aditya justru tersiksa dengan keheningan yang terjadi. Dia harus tetap diam, saat wanita di sampingnya itu, menikmati kesedihannya sendiri.

“Asti, udah jam sepuluh. Belum mau pulang?” Aditya memperhatikan jam, dan sedikit terkejut mendapati malam telah larut.

Berdua dalam hening pun, akan terasa membahagiakan, jika bersama dengan wanita yang kamu sukai, batinnya disertai senyuman yang terus berkibar.

Aditya mengantar Asti sampai di kediamannya.

“Pak Aditya, terima kasih banyak untuk malam ini,” ujar Asti, tersenyum manis. Aditya menutup mata. Senyuman Asti memacu jantungnya bekerja lebih keras.

“Pak Aditya?”

“Iya Asti. Terima kasih, ya. Jika boleh, saya siap menemani kamu jika ingin ke tempat itu lagi.”

Asti, lagi, tersenyum dan menggangguk. Wanita itu pun berlalu.

Sepasang mata Aditya, tidak berkedip mengikuti langkah Asti yang kini menghilang bersama bayangan.

“Ya Tuhanku aku sangat bahagia. Aku benar-benar jatuh cinta padanya,” ucapnya, sambil menenggelamkan wajahnya pada setir di hadapannya. Kebahagiaan itu sangat nyata, kini, tak ada lagi keraguan di hatinya.

Aditya memacu mobilnya.

Tak lama dia sudah tiba di apartemennya. Dia lantas membuang badannya di sofa panjang di ruang tamu, setelah membuka apartemennnya.

“Kamu dari mana saja?”

Tersentak!

Aditya membuka mata lebar-lebar. “Rakha? Ngapain kamu di sini?” Pria itu sontak berdiri menyalakan semua lampu. Setelah mendapati sosok Rakha yang berdiri di hadapannya.

“Oh gitu ya, sekarang? Jadi, aku harus melapor dulu sebelum datang ke sini?” tanya Rakha.

“Tidak. Bukan begitu—maksudku.”

Aditya menarik napas, menyesali kalimat yang diucapkannya. Dia memperhatikan kembali wajah Rakha, yang tampak berbeda. Dia menatapnya lebih dekat.

“Rakha, kamu minum? Merokok?” Aditya mencium bau aneh dari sahabatnya itu. “Rakha? Ada apa ini? Kamu kenapa lagi?!”

Rakha tampak tidak peduli dengan ucapan Aditya. Dia lantas meluruskan kaki di sofa panjang itu.

Aditya bergegas ke kamar membersihkan diri, dan langsung menuju dapur. Tak lama, Aditya sudah membawa segelas teh peppermint hangat dan menyajikan di hadapan Rakha, yang masih setengah sadar.

Aditya terpaku.

Dia duduk tepat di hadapan sahabatnya itu, mencoba mencari tahu, apa yang sedang terjadi padanya.

“Kha, ada apa?”

“Apa ada?” sahut Rakha, membingungkan.

“Kamu ada masalah apalagi? Kenapa kamu seperti ini?” sambung Aditya.

Rakha, terkekeh. Aditya makin bingung.

“Aku ini pintar, aku tampan, aku idola, aku sukses. Kamu tahu, kan?” tanya Rakha, masih setengah sadar.

“Tapi, kenapa aku tidak bisa bahagia?” lanjutnya. Wajahnya berubah sendu dengan tatapan kosong.

Aditya menarik napas panjang. Kalimat Rakha, benar-benar membuat lidahnya terkunci.

“Aku juga ingin keluarga yang bahagia. Aku tidak ingin terkenal, aku hanya ingin keluargaku kembali,” ujar Rakha dengan mata tertutup, air matanya mengalir.

Pria itu akhirnya terlelap.

Aditya merasakan sendu yang sama. Kesedihan Rakha yang selalu dia tanam dalam kesombongan, akhirnya terkuak dalam dirinya yang sebenarnya.

Aditya mengambil selimut dan menutupi badan sahabatnya itu. Dia tidak beranjak. Dia bertahan duduk di hadapan Rakha yang sudah terlelap jauh dalam mimpi.

Matanya berkaca-kaca, melihat penderitaan sahabatnya itu selama ini. Penderitaan, mendapati kesepian dan kehilangan yang tak kunjung ada akhirnya.

“Aku kadang jengkel mendengar setiap kalimat-kalimat kasarmu. Aku sering emosi, mendengarmu memuji diri sendiri. Aku benci mendengar, saat orang lain selalu kamu anggap lemah dan tak sebanding denganmu.

“Tapi, aku kembali sadar, bahwa sesungguhnya engkaulah yang paling lemah. Aku paham, itulah caramu bertahan dan melupakan seluruh penderitaannmu,” ucap Aditnya.

Hening seketiga berganti, dengan suara ponsel Aditya yang riuh.

Alexa: Rakha, sama kamu?

Aditya: Iya, ada apa?

Alexa: Dia dari tempatku. Dia minum terlalu banyak, dan dia keberatan aku antar pulang.

Aditya: Ada masalah apa?

Alexa: Dia bertemu Ed.

Aditya: Iya aku paham.

Aditya menarik napas panjang. Dia jelas paham betul kondisi mental sahabatnya itu. Kenangan kembali menyibak kesedihan yang sama.

“Aku sudah bilang, aku gak mau datang? Ngapain Mama paksa aku ke sini?!” ucap Rakha, masih dengan penolakannya atas ajakan sang ibu untuk memenuhi undangan ulang tahun ayahnya.

“Kha, sabar sedikit kenapa? Bisa kan, berusaha tenang. Ini kita sudah nyampe,” sambung Aditya.

Dengan kondisi yang masih sama, Rakha berjalan mengikuti langkah ibunya dan Aditya. Hampir seluruh jiwanya menolak untuk kembali bertemu dengan pria yang paling dibencinya.

Tampak seluruh tamu sudah berkumpul mengelilingi kolam renang rumah mewah itu. Tampak ayah Rakha berdiri bersama istri dan putranya, Edward.

Suasana yang kembali membuat Rakha tidak nyaman.

“Saya ucapkan terima kasih atas kedatangan Bapak, Ibu, di acara yang paling indah ini. Selain ulang tahun saya, acara ini adalah syukuran atas selesainya study putra saya, Edward Gustav. Dia putra yang sangat membanggakan, dan dia akan menjadi penerus seluruh bisnis keluarga Yudi Ahmad Wibawa.”

Rakha tersenyum, menahan amarah. Dia tampak mulai tidak bisa mengendalikan dirinya. Aditya lantas memegang lengan tangan Rakha. Dia sangat sadar, Rakha tidak bisa lagi dibiarkan bebas.

Tepuk tangan seluruh tamu mengiringi prosesi tiup lilin.

“Aku ingin pulang, sekarang!” ujar Rakha, berbalik, mencoba membebaskan tangannya dari pegangan Aditya.

“Hei?” Yudi akhirnya sadar kehadiran Rakha bersama ibunya. Rakha hanya berdiri, tetap menatap arah pintu keluar.

“Kalian sudah datang rupanya,” sambung Yudi. “Iya, Mas,” sahut Rosa.

“Apa kabar Aditya?”

“Baik, Om.”

Yudi mendekat pada Rakha yang hanya berdiri terpaku. “Kamu gak ucapin selamat ulang tahun buat Papa?”

“Untuk apa?” tanya Rakha, sinis.

Yudi hanya menanggapi dengan senyuman. Dia jelas paham betul karakter putranya.

“Abang Rakha ternyata berani datang, ya,” ucap Edward mendekat.

Rakha tidak memberi respons. Dia malah melanjutkan langkahnya.

“Kamu takut ya?” Ucapan Edward membuat Rakha menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik ke arah Edward.

“Ngapain aku takut, pada pengecut seperti kalian berdua!” kata Rakha. Tanpa kontrol, Yudi kembali mendaratkan tamparannya pada pipi Rakha. Lagi, rasa sakit yang sama kembali menjadi hadiahnya malam ini.

“Kamu tidak pernah berubah Rakha!” ucap Yudi, juga diselimuti emosi melihat tingkah Rakha. “Sudah, kami pamit saja, Mas. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.” Rosa menarik Rakha keluar dari acara itu. Aditya pun berlari menuju parkiran.

“Mama sudah tahu ini akan terjadi, kan?” ucap Rakha diselimuti amarah. “Rakha, Mama hanya ingin kamu mulai bisa baikan dengan papa kamu. Bagaimanapun dia itu papa kamu, Rakha!”

“Apakah dia pantas untuk itu?”

“Cukup, Rakha! Kita pulang!” Rosa masuk ke dalam mobil. Rakha menarik napas panjang. Lagi, suasana yang sama terjadi untuknya.

Aditya bangun dari lamunan.

“Kenapa kamu harus ke sana Rakha?!!! teriaknya, tak mampu lagi menahan diri. “Kamu selalu saja menyakiti dirimu sendiri!!!”

Pun, air matanya tak tertahan. Dia menatap Rakha, penuh duka.

---

“Mengapa aku merasakan kesepian yang begitu berat malam ini? Kebenaran selalu melegakan, namun aku tidak bisa terus pura-pura memaksakan diriku kuat. Aku benar-benar sendiri dan sangat kesepian, ya Allah. Aku ingin menangis, tapi aku tak tahu lagi bagaimana caranya.”

Matanya berkaca-kaca. Dia merasakan sesak yang begitu dalam.

Saat malam tiba, dia menemukan semua kebenaran, pedih, yang berputar ulang, berulang. Indah menatap langit yang begitu pekat malam ini. Pekat, segelap hatinya, yang kian sulit menemukan cahaya.

“Bagaimana semua kenangan indah itu, ternyata bukanlah hidupku yang sebenarnya? Bapak, ibu. Mbak Desi yang sangat kusayangi….” Air mata itu, akhirnya mengalir, pelahan deras.

“Aku tidak bisa pura-pura, terus menganggap semuanya akan jadi biasa. Setelah aku tahu, aku bukan bagian dari diri mereka.” Dia menutup mata, dan akhirnya terlelap bersama dukanya. Dia menghabiskan malam, di balkon apartemennya, seperti biasa, setiap malam.

Perjalanan hidup tidak ada yang pernah tahu, bagaimana arahnya. Semua kebahagiaan yang tampak nyata hari ini, tidak selalu meyakinkan bahwa itulah nyata yang sebenarnya. Semua yang tampak indah, tidak selalu berarti indah. Berat, namun semua hati, harus selalu sedia dalam kelapangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status