Rekomendasi Ayah?" Tanya Lio memastikan.
"Iya benar, Pak." Beberapa waktu lalu Dr.Mahendra menginfokan kepada saya.
Lio manggut-manggut tanda mengerti.
'Aneh, kalau memang Lia adalah rekomendasi Ayah, kenapa tidak langsung dipekerjakan saja? Mengapa harus melalui proses sesuai SOP? Ah, mungkin ini salah satu bentuk profesionalisme kerja Ayah,' Batin Lio.
"Baik lah kalau begitu tolong segera dihubungi ya, Pak. Supaya dia secepatnya bisa memulai kerja," titah Lio.
"Baik, Pak Lio. Ada lagi yang bisa saya bantu? "
"Oh, tidak ada. Silakan Bapak boleh pergi.''
" Baiklah, kalau begitu saya permisi, Pak."
"Silakan."
Pak Sigit pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Lio berdua bersama Wiraguna.
''Adelia Maharani, nama yang direkomendasikan Ayah. Siapa dia sebenarnya?"Dalam hati ia masih bertanya-tanya,
Lio lalu memandang Wiraguna penuh intimidasi.
"Ada yang ingin anda sampaikan pada saya bapak Wiraguna yang terhormat!?" tanya Lio penuh penekanan pada Wiraguna."Saya minta maaf atas kejadian tadi pagi, Pak. Saya benar-benar menyesal. Tolong jangan pecat saya," ujar Wiraguna penuh penyesalan.
"Seharusnya Anda meminta maaf pada Adelia, bukan kepada saya," jawab Lio sinis.
"Kejadian tadi pagi saya saksikan sebelum saya diresmikan sebagai CEO di rumah sakit dr. Mahendra ini. Jadi saya sama sekali tidak berhak memecat Anda. Tapi kalau sampai kejadian serupa terulang kembali, saya tidak akan segan-segan memecat Anda Bapak Wiraguna, apa ucapan saya ini bisa dimengerti?" lanjut Lio.
"Bisa, Pak," jawab Wiraguna cepat.
"Bagus. Yang Anda perlu tahu, bagi saya adab yang baik dari karyawan saya memiliki nilai 50 persen dari keseluruhan. Karena bagi saya percuma kinerja baik tapi kelakuannya tidak baik. Jadi, saya minta kejadian seperti tadi pagi jangan sampai terulang kembali."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," sesal Wiraguna sekali lagi.
"Iya. Silakan Anda boleh pergi," titah Lio tak mau berlama-lama.
Wiraguna pun beranjak pergi meninggalkan ruangan Lio.
Lio duduk di kursi kerjanya, ia kembali memandangi ruangan sang Ayah yang kini menjadi ruangannya.
"Aku tak menyangka Ayah akan secepat ini mempercayakan rumah sakit ini di tanganku. Tapi aku tak boleh menyia-nyiakan kepercayaan Ayah, akan aku buktikan bahwa aku bisa diandalkan, aku akan melakukan yang terbaik untuk kemajuan rumah sakit ini," tekad Lio.
Hening sejenak. Lalu pikiran Lio kembali pada pernyataan pak Sigit soal nama Adelia Maharani.
"Sebenarnya apa alasan Ayah merekomendasikan Lia?" Pikir Lio masih bertanya-tanya.
Ia lalu melirik jam di tangannya.
"30 menit lagi jam makan siang. Ada baiknya aku makan di kantin rumah sakit, untuk bersosialisasi dengan lingkungan baru ini, " Batin Lio.Lio berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Berbeda dengan kondisi pagi tadi, siang ini banyak mata yang memandangnya, bahkan tak sedikit yang memberikan senyuman manis dan sekedar bertegur sapa. Semua orang mendadak menjadi ramah. Tampaknya kabar tentang dirinya sebagai CEO baru telah menyebar ke seluruh penjuru bangunan megah ini.
"Ah, ternyata benar juga jargon tak kenal maka tak sayang itu," batin Lio sedikit jumawa.
Lio terus berjalan menyusuri setiap detail dari bangunan rumah sakit ke arah kantin, hingga langkahnya terhenti di ruang mawar karena melihat kehebohan di sana.
Beberapa suster berlari cepat menuju ruang nomor 3, tak lama kemudian mereka membawa seorang pasien menuju ICU.Di antara beberapa suster yang sedang mendorong brankar itu nampak seorang gadis dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Gadis itu, seperti tak asing wajahnya," batin Lio mengingat-ingat.
"Astaghfirullah… Lia! Itu kan Adelia Maharani, cewek yang aku temui tadi pagi?" lirih Lio kala teringat siapa gadis itu. Gegas Lio menyusul menuju ruang ICU.
_____________________
Di depan Ruang ICULia mondar mandir panik di depan ruang ICU, nampak raut wajahnya sangat khawatir.
Segala rasa cemas, takut, gelisah berkumpul menjadi satu. Bagaimana tidak? malaikat dalam hidupnya kini tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.Melihat itu, Lio merasa sangat iba, ia mendekati Lia.
"Lia," Panggil Lio pelan.
Mendengar seseorang memanggil namanya Lia segera menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh ke arah suara itu berasal, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat pak Lio sudah berdiri di belakangnya.
"Pak Lio?" tanya Lia heran dengan keberadaan Lio disana.
"Kamu tenang, ya, mari duduk sini," ucap Lio sembari memapah Lia untuk duduk di kursi tunggu.
"Ada apa, Lia?" tanya Lio ketika mereka sudah duduk di kursi tunggu.
"Ibu, Pak. Ibu saya … huhuhu,'' Adelia tak mampu lagi menahan tangisnya. Ia terisak hingga punggungnya berguncang hebat.
"Lia, kamu tenang ya. Saya tidak tahu apa yang tengah terjadi dengan ibu kamu, tapi yang jelas dalam kondisi seperti ini kamu harus tenang. Minta lah pertolongan dari Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit. Jangan cemas, jangan gelisah. Kamu tenang, ya."
"Saya takut, Pak. Saya takut Ibu akan pergi meninggalkan saya."
"Sssttt … kamu nggak boleh bicara seperti itu. Ucapanmu adalah doa, Lia. Sebaiknya kita sama-sama berdoa untuk ibu kamu, ya," ucap Lio menenangkan.
Sesaat kemudian kondisi Lia mulai tenang.Suasana menjadi hening. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Sedari tadi Lia hanya diam sembari memejamkan mata, ia menautkan jari jemari seraya menengadahkan wajahnya ke atas. Ia tengah memohon pada Yang Maha Esa agar memberikan keajaiban bagi Ibunya.
Sedang Lio hanya terdiam di sisi Lia. Menenangkan gadis yang baru ia kenalnya beberapa waktu lalu, meyakinkannya bahwa ia tidak sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki yang begitu cepat menuju ruang ICU, seperti langkah kaki seorang yang sedang terburu-buru.
Lio menoleh ke arah suara tersebut, dan betapa terkejutnya ia ketika tahu ternyata itu adalah suara langkah kaki Ayahnya ditemani seorang suster menuju ke ruang ICU.
"Ayah ...?"
"Lio, Kamu?"
[ Pak Lio, tenang, ya. Dampingi dulu istrinya, saya masuk minta bantuan satpam saja. ][ Baik, Dok. Mohon maaf sebelumnya. ][ Nggak apa-apa, saya mengerti kok, Pak. ]Panggilan berakhir, kemudian Lio segera mendekati Lia, memberi support dan afirmasi positif untuk istri tercintanya."Kamu pasti kuat, Sayang. Kamu pasti bisa."Selang lima menit, dr. Melani datang dan langsung mengambil tindakan. Dengan cekatan dr. Melani mengecek pembukaan jalan lahir."Masih bukaan 4 Pak Lio, tapi kondisi Bu Lia sudah melemah. Bisa tolong bantu saya pasangkan cairan infusnya?" tanya dr. Melani.Dengan cekatan Lio segera melakukan apa yang dr. Melani perintahkan. 10 tahun mengenyam pelajaran kedokteran ternyata tak cukup membuat Lio memahami apa yang harus dilakukannya di saat-saat genting seperti ini. Isi otaknya seakan ngeblank ketika dihadapkan dengan situasi seperti saat ini.Di sisi lain, dr. Melani segera memasang Kardiotokografi di perut Lia, sebuah alat yang merekam denyut nadi janin juga keku
"Bukan mancing, Mas ...""Terus?""Tapi minta," sahut Lia dengan senyuman genitnya, membuat Lio tak dapat menahan untuk tak mencubit gemas hidung mungilnya."Dengan senang hati, Sayang ..." sahut Lio sembari mulai membelai pipi Lia yang semakin hari semakin chuby efek kehamilannya.Dan malam itu, mereka kembali menyatu sebagai sepasang suami istri, saling memberikan kehangatan dan kenikmatan, menciptakan peluh dan desahan penuh kenikmatan.Lia dan Lio tertidur sesaat setelah sama-sama mencapai puncak nikmat penyatuan mereka. Kondisi yang melelahkan membuat keduanya begitu mudah terbuai di alam mimpi.Hingga waktu memasuki pertengahan malam, Lia merasakan perutnya begitu mulas, seperti ingin BAB. Dengan terburu-buru Lia berusaha bangun dan beranjak ke kamar mandi. Lio yang merasa kelelahan akibat aktifitas malam mereka, tak merasakan apapun dalam tidurnya, ia begitu terlelap hingga tak menyadari bahwa istrinya tak lagi di sisinya."Mas Lio ...!" tiba-tiba suara Lia yang berteriak di da
"Ke bawahan lagi, Mas ...""Ini?""Dikit lagi, Mas.""Sudah, Pas?""Terlalu ke bawah itu, Mas.""Jadi yang sebelah mana?"Tanya Lio mulai frustasi, itulah rutinitasnya tiap malam di sembilan bulan kehamilan istrinya.Lia yang perutnya semakin membuncit kerap kali mengeluh merasa kesakitan di punggungnya. Mungkin akibat ketidak seimbangan beban dengan pasaknya.Setiap malam, sebelum tidur, Lio selalu menyempatkan diri untuk memijat halus tubuh istrinya, menyampaikan afirmasi positif untuk istri dan juga janin yang ada di dalam kandungannya."Kalian sangat kuat, kalian juga sangat hebat. Papa yakin, Mama dan Dede di perut bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Papa selalu berharap, semoga semua prosesnya diberi kelancaran," ucap Lio diikuti ciuman yang mendarat di perut buncit milik istrinya.Saat Lio baru saja mendaratkan bibirnya di sana, tiba-tiba ia merasakan tendangan kuat dari dalam perut Lia tepat mengenai bibirnya."MasyaAllah, kamu menyambut Papa ya, Nak? Papa jadi nggak sabar
"Apa sih yang nggak buat kamu?""Ya udah, tolong Mas bilang sama cheffnya, ya suruh ikutin resepnya abang-abang martabak yang biasa di pinggir jalan."Kenapa harus gitu, Sayang? Dah biar resepnya apa kata mereka aja, ya? Pastinya mereka juga lebih tau dan ahli dibanding abang-abang penjual kaki lima.""Tapi Lia pengennya yang gitu, Mas," rengek Lia."Ya udah, ya udah, nanti Mas coba bilangin, kamu doa aja ya semoga cheffnya bisa dan mau.""Amiin."Lio lalu mengantar Lia ke kamar untuk beristirahat, kemudian meninggalkannya ke restoran tempat mereka menginap.Satu jam berlalu, saat Lio dengan penuh semangat membawa martabak manis pesanan istri tercinta. "Sayang, Mas datang ..." ucapnya seraya memasuki kamar, berharap istrinya itu akan menyambutnya dengan mata berbinar-binar.Namun ternyata kenyataan tak semanis yang dibayangkan. Istrinya itu justru tengah terpejam, lelap dalam tidur siangnya, bahkan sampai tak menyadari kehadirannya.Lio tersenyum simpul, diletakkannya piring berisi
"Udah boleh dibuka belum, Mas?" tanya Lia sembari memegangi kain yang menutupi matanya."Belum, dikit lagi," sahut Lio yang memapahnya dari belakang. Diputarnya tubuh sang istri perlahan."Kamu ini ada-ada aja deh, Mas. Seharusnya kamu yang dapat surprise dari aku, karena kamu kan yang baru pulang dari rumah sakit. Ini kok kebalik, malah kamu yang kasih aku surprise," ungkap Lia sembari suaminya memutar-mutar tubuhnya."Udah ya, kamu nurut aja sama Mas," sahut Lio setelah mendapatkan posisi yang pas."Udah?""Udah, saya buka ya, tapi kamu tetap pejamkan mata sampai hitungan ke-tiga," ucap Lio mengarahkan."Okey."Perlahan Lio membuka kain yang menutupi mata istrinya, lalu mulai berhitung, "Satu ... Dua ... Tiga ... Buka mata kamu, Sayang!" titah Lio. Dan perlahan Lia mulai membuka matanya."Masya Allah," gumam Lia pelan. Ternyata suaminya itu membawanya ke sebuah Villa yang terletak di sebuah tebing, saat ini mereka tengah berada di area kolam renang yang terletak di balkon kamar, den
***Lio mengerjapkan matanya kala cahaya mentari mulai menyilaukan matanya, dan pemandangan pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah seorang wanita cantik yang tengah tersenyum hangat padanya. Wanita yang belakangan selalu memenuhi pikiran dan hatinya.Lio membalas senyum istrinya, " Lia ..." ucapnya lirih. Ini kali pertama ia mengeluarkan suaranya setelah sadar dari koma, semalam, setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Lio segera tertidur hingga pagi ini."Selamat pagi, Mas," sambut Lia dengan ucapan selamat pagi."Aku seneng deh, Mas, akhirnya pagi ini aku bisa melihat kamu membuka mata, setelah sebulan lamanya di setiap pagi aku terus mengharapkannya," ucap Lia penuh bahagia."Maaf, ya, Mas terlalu lama melewatkan waktu bersama kamu," ucap Lio sembari membelai pipi istrinya."Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Dengan kamu kembali sadar seperti ini, aku sudah sangat bahagia. Selamat ulang tahun, ya, Mas. Semua harapan