Share

Chapter 4

Rekomendasi Ayah?" Tanya Lio memastikan.

"Iya benar, Pak." Beberapa waktu lalu Dr.Mahendra menginfokan kepada saya.

Lio manggut-manggut tanda mengerti.

'Aneh, kalau memang Lia adalah rekomendasi Ayah, kenapa tidak langsung dipekerjakan saja? Mengapa harus melalui proses sesuai SOP? Ah, mungkin ini salah satu bentuk profesionalisme kerja Ayah,' Batin Lio.

"Baik lah kalau begitu tolong segera dihubungi ya, Pak. Supaya dia secepatnya bisa memulai kerja," titah Lio.

"Baik, Pak Lio. Ada lagi yang bisa saya bantu? "

"Oh, tidak ada. Silakan Bapak boleh pergi.''

" Baiklah, kalau begitu saya permisi, Pak."

"Silakan."

Pak Sigit pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Lio berdua bersama Wiraguna.

''Adelia Maharani, nama yang direkomendasikan Ayah. Siapa dia sebenarnya?"Dalam hati ia masih bertanya-tanya,

Lio lalu memandang Wiraguna penuh intimidasi. 

"Ada yang ingin anda sampaikan pada saya bapak Wiraguna yang terhormat!?" tanya Lio penuh penekanan pada Wiraguna.

"Saya minta maaf atas kejadian tadi pagi, Pak. Saya benar-benar menyesal. Tolong jangan pecat saya," ujar Wiraguna penuh penyesalan.

"Seharusnya Anda meminta maaf pada Adelia, bukan kepada saya," jawab Lio sinis.

"Kejadian tadi pagi saya saksikan sebelum saya diresmikan sebagai CEO di rumah sakit dr. Mahendra ini. Jadi saya sama sekali tidak berhak memecat Anda. Tapi kalau sampai kejadian serupa terulang kembali, saya tidak akan segan-segan memecat Anda Bapak Wiraguna, apa ucapan saya ini bisa dimengerti?" lanjut Lio.

"Bisa, Pak," jawab Wiraguna cepat.

"Bagus. Yang Anda perlu tahu, bagi saya adab yang baik dari karyawan saya memiliki nilai 50 persen dari keseluruhan. Karena bagi saya percuma kinerja baik tapi kelakuannya tidak baik. Jadi, saya minta kejadian seperti tadi pagi jangan sampai terulang kembali."

"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," sesal Wiraguna sekali lagi.

"Iya. Silakan Anda boleh pergi," titah Lio tak mau berlama-lama.

Wiraguna pun beranjak pergi meninggalkan ruangan Lio.

Lio duduk di kursi kerjanya, ia kembali memandangi ruangan sang Ayah yang kini menjadi ruangannya. 

"Aku tak menyangka Ayah akan secepat ini mempercayakan rumah sakit ini di tanganku. Tapi aku tak boleh menyia-nyiakan kepercayaan Ayah, akan aku buktikan bahwa aku bisa diandalkan, aku akan melakukan yang terbaik untuk kemajuan rumah sakit ini," tekad Lio.

Hening sejenak. Lalu pikiran Lio kembali pada pernyataan pak Sigit soal nama Adelia Maharani.

"Sebenarnya apa alasan Ayah merekomendasikan Lia?" Pikir Lio masih bertanya-tanya.

Ia lalu melirik jam di tangannya. 

"30 menit lagi jam makan siang. Ada baiknya aku makan di kantin rumah sakit, untuk bersosialisasi dengan lingkungan baru ini, " Batin Lio.

Lio berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Berbeda dengan kondisi pagi tadi, siang ini banyak mata yang memandangnya, bahkan tak sedikit yang memberikan senyuman manis dan sekedar bertegur sapa. Semua orang mendadak menjadi ramah. Tampaknya kabar tentang dirinya sebagai CEO baru telah menyebar ke seluruh penjuru bangunan megah ini.

"Ah, ternyata benar juga jargon tak kenal maka tak sayang itu," batin Lio sedikit jumawa.

Lio terus berjalan menyusuri setiap detail dari bangunan rumah sakit ke arah kantin, hingga langkahnya terhenti di ruang mawar karena melihat kehebohan di sana.

Beberapa suster berlari cepat menuju ruang nomor 3, tak lama kemudian mereka membawa seorang pasien menuju ICU.

Di antara beberapa suster yang sedang mendorong brankar itu nampak seorang gadis dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

"Gadis itu, seperti tak asing wajahnya," batin Lio mengingat-ingat.

"Astaghfirullah… Lia! Itu kan Adelia Maharani, cewek yang aku temui tadi pagi?" lirih Lio kala teringat siapa gadis itu. Gegas Lio menyusul menuju ruang ICU.

_____________________

Di depan Ruang ICU

Lia mondar mandir panik di depan ruang ICU, nampak raut wajahnya sangat khawatir.

Segala rasa cemas, takut, gelisah berkumpul menjadi satu. Bagaimana tidak? malaikat dalam hidupnya kini tengah berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.

Melihat itu, Lio merasa sangat iba, ia mendekati Lia.

"Lia," Panggil Lio pelan.

Mendengar seseorang memanggil namanya Lia segera menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh ke arah suara itu berasal, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat pak Lio sudah berdiri di belakangnya.

"Pak Lio?" tanya Lia heran dengan keberadaan Lio disana.

"Kamu tenang, ya, mari duduk sini," ucap Lio sembari memapah Lia untuk duduk di kursi tunggu.

"Ada apa, Lia?" tanya Lio ketika mereka sudah duduk di kursi tunggu.

"Ibu, Pak. Ibu saya … huhuhu,'' Adelia tak mampu lagi menahan tangisnya. Ia terisak hingga punggungnya berguncang hebat.

"Lia, kamu tenang ya. Saya tidak tahu apa yang tengah terjadi dengan ibu kamu, tapi yang jelas dalam kondisi seperti ini kamu harus tenang. Minta lah pertolongan dari Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit. Jangan cemas, jangan gelisah. Kamu tenang, ya."

"Saya takut, Pak. Saya takut Ibu akan pergi meninggalkan saya."

"Sssttt … kamu nggak boleh bicara seperti itu. Ucapanmu adalah doa, Lia. Sebaiknya kita sama-sama berdoa untuk ibu kamu, ya," ucap Lio menenangkan.

Sesaat kemudian kondisi Lia mulai tenang.

Suasana menjadi hening. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Sedari tadi Lia hanya diam sembari memejamkan mata, ia menautkan jari jemari seraya menengadahkan wajahnya ke atas. Ia tengah memohon pada Yang Maha Esa agar memberikan keajaiban bagi Ibunya.

Sedang Lio hanya terdiam di sisi Lia. Menenangkan gadis yang baru ia kenalnya beberapa waktu lalu, meyakinkannya bahwa ia tidak sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki yang begitu cepat menuju ruang ICU, seperti langkah kaki seorang yang sedang terburu-buru.

Lio menoleh ke arah suara tersebut, dan betapa terkejutnya ia ketika tahu ternyata itu adalah suara langkah kaki Ayahnya ditemani seorang suster menuju ke ruang ICU.

"Ayah ...?"

"Lio, Kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status