Adelio Mahendra, adalah pewaris tunggal Dr. Mahendra, pemilik rumah sakit terbesar di Bali. Lio adalah seorang yang tampan, sopan dan berpendidikan, nyaris sempurna, dambaan setiap wanita. Suatu hari ia bertemu dengan Adelia Maharani, perempuan cantik yang ternyata merupakan putri dari seseorang di masa lalu sang Ayah. Entah bagaimana takdir berupaya menyatukan keduanya, Lio terpaksa harus menikahi Lia karena permintaan sang Ayah. Ia tak mampu menolak meski ia tahu hal itu akan menyakiti hati Bunda tercintanya. Lalu bagaimana kehidupan pernikahan mereka? Akankah semua berjalan baik-baik saja? Atau justru malah sebailiknya? Karena benci dan cinta di antara keduanya hanya SETIPIS BENANG SUTERA perbedaannya. Ikuti keseruan ceritanya sekarang juga!
View MoreChapter 1 Perkenalan
Ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di rumah sakit milik Ayah, yang termasuk salah satu rumah sakit terbesar di Bali. Tak banyak yang mengenalku di tempat ini, hanya segelintir orang kepercayaan Ayah saja. Karena Ayah memang tidak pernah mau memperkenalkan kami ke publik. Entah mengapa? Tapi tiap kali aku mempertanyakan soal itu, beliau hanya menjawab,
"Ada privasi keluarga yang harus Ayah jaga, dan memperkenalkan kalian di depan publik tanpa tujuan pasti hanya akan mempersulit Ayah menjaga hal itu, akan ada saatnya kamu akan dikenal tanpa harus Ayah perkenalkan.''Ya, aku bisa memahami maksud dan tujuan Ayah. Di sisi lain selama 10 tahun terakhir ini aku menghabiskan waktuku untuk menyelesaikan study di luar negeri, sehingga tempat ini benar benar semakin terasa asing.
"Adelio Mahendra" itulah nama yang Ayah dan Bunda sematkan padaku saat aku lahir 28 tahun lalu. Bunda selalu bercerita, bahwa Ayahlah yang memberikan nama itu untukku.
Aku terus berjalan menuju ruangan Ayah, hari ini adalah hari peresmianku menggantikan posisi Ayah di rumah sakit ini. Ya, Ayah bilang inilah saatnya ia mempercayakan tanggung jawab ini kepadaku sebagai putra semata wayangnya. Dan Ayah hanya akan memantau perkembanganku dari jauh, dengan menikmati masa tuanya bersama Bunda.
Berbicara tentang Ayah dan Bunda, sungguh mereka adalah pasangan yang serasi, bahkan tiap hari aku panjatkan doa agar kelak bisa berpasangan seperti mereka berdua.
Aku melangkahkan kaki dengan penuh keyakinan dan percaya diri menuju ruangan Ayah, yang tentunya tak lama lagi akan menjadi ruanganku. Semua karyawan dan tenaga medis banyak berlalu lalang di hadapanku, tetapi tak satupun dari mereka yang menyapaku, bahkan hanya sekedar memandang pun tidak. Itu wajar, karena mereka tidak mengenalku. Begitulah sejatinya manusia, ia hanyalah makhluk biasa yang tidak ada nilainya, yang menentukan nilai dirinya hanyalah kualitasnya. Ia akan dihormati berdasarkan status sosialnya.
Kakiku terus melangkah maju sampai kemudian terhenti karena pemandangan kurang menyenangkan yang tak sengaja aku lihat di depanku.
Aku melihat seorang wanita berparas cantik tengah tersungkur dengan berkas di tangannya yang berserakan di lantai. Sedangkan di hadapannya tengah berdiri tegak seorang lelaki dengan penampilan rapi sembari memandang wanita itu membereskan berkas-berkasnya.
Aku mempercepat langkah dan membantunya membereskan berkas-berkasnya. Tak sengaja aku melihat tulisan "Nama : Adelia Maharani" tertera di salah satu lembaran yang aku pungut. Sepertinya itu adalah CV lamaran kerja, apalagi dengan melihat dia mengenakan atasan putih dan bawahan hitam membuat aku semakin yakin bahwa ia datang kesini untuk melamar kerja.
"Namanya cantik, secantik orangnya,'' gumamku dalam hati sembari memandang wajahnya yang terbalut hijab berwarna putih, tampak teduh dan menenangkan.
"Ehm …," terdengar ia berdehem pelan, membuatku tersadar dari lamunan.
"Astaghfirullah," gumamku pelan lalu menyerahkan berkas kepadanya.
"Terima kasih," ucapnya tulus setelah menerima berkasnya dari tanganku. Kemudian ia berdiri cepat sebelum sempat aku menjawab ucapan terima kasihnya.
Ia lalu menghadap lelaki yang masih berdiri di hadapannya seraya berucap,
"Saya minta maaf, Pak, saya tidak sengaja tadi karena buru-buru." Tampak ia menunduk tanda penyesalan. "Sopan sekali,'' batinku."Makanya punya mata tuh dipakai!" bentak lelaki itu kasar. Membuatku terhentak geram lalu bangkit dari posisi semula. Bisa bisanya lelaki ini membentak perempuan dengan tanpa belas kasihan seperti itu.
Di luar dugaan. Aku melihat Adelia mengangkat wajahnya tegas seraya menjawab, "Pak, saya tahu saya salah, tapi kan saya sudah minta maaf sama bapak? saya tidak sengaja."
"Waw, tegas juga dia," batinku melihat sikapnya yang berlawanan dengan wajah kalemnya.
"Ooh, berani kamu ya sama saya? Kamu nggak tau saya siapa? Asal kamu tau ya, saya direktur di rumah sakit ini. Baru mau ngelamar kerja aja udah songong ya kamu berani ngelawan direktur?" ucap lelaki dengan name tag "Wiraguna" di dadanya itu.
"Sombong sekali," batinku.
Ku lirik sekilas ke arah Adelia, tampak ia menunduk tanpa perlawanan. Namun, aku tahu ia begitu geram sebab tangannya tampak terkepal erat meremas berkas-berkasnya.
Ku langkahkan kaki mendekati Wiraguna. Dengan pelan dan penuh penekanan ku katakan padanya,
"Saya tidak peduli ya Anda direktur atau siapa lah di sini, tapi yang jelas Anda lelaki. Tak sepantasnya Anda memperlakukan perempuan dengan kasar, apapun alasannya. Apa anda tidak ingat, yang anda perlakukan dengan kasar ini adalah kaum Ibu Anda?"
.....
Tidak ada balasan.
Dengan masih memandang sinis Wiraguna, aku melangkah pergi.
"Adelia, ikut ke ruangan saya," titahku singkat namun jelas, membuat semua orang yang mendengarnya merasa keheranan.
Ah, mungkin mereka bingung ternyata orang asing ini memiliki tempat di sini. Keheranan mereka bertambah ketika aku dan Adelia memasuki lift yang tak jauh dari tempat kejadian, lalu tampak angka 5 tertera bersandingan dengan ikon panah atas. Artinya, aku menuju lantai 5 yang di sana hanya terdapat ruangan CEO dan ruang rapat.
"Shit, siapa dia sebenarnya?'' umpat Wiraguna yang samar-samar terdengar sebelum pintu lift tertutup sempurna. Kulirik sekejap Adelia di sisiku, wajahnya tampak keheranan memandangku sama seperti orang-orang yang lain. Mungkin dia juga bertanya-tanya siapakah aku.
Aku tersenyum ke arahnya, dan senyum itu sukses membuat wajahnya tertunduk malu-malu.
"Ah, manis sekali," batinku.
Ting!
Terdengar suara pintu lift terbuka, lalu aku melangkahkan kaki menuju ruangan Ayah diikuti Adelia di belakangku.
Langkah kami sampai di depan pintu bertuliskan CEO, dan sesuatu membuatku tersadar. Kenapa nama dr. Mahendra yang biasa terletak di bawah tulisan CEO itu sudah tidak ada? Apa Ayah sengaja melepasnya untuk digantikan dengan namaku? Atau mungkin semua sudah berubah? Karena seingatku, terakhir kali aku menginjakkan kaki di ruangan ini sudah 10 tahun yang lalu, tepatnya sebelum aku berangkat untuk study di USA.
"Selamat Pagi Mr. Adelio," suara bariton tiba-tiba terdengar di telingaku, membuyarkan semua pertanyaan di kepalaku.
[ Pak Lio, tenang, ya. Dampingi dulu istrinya, saya masuk minta bantuan satpam saja. ][ Baik, Dok. Mohon maaf sebelumnya. ][ Nggak apa-apa, saya mengerti kok, Pak. ]Panggilan berakhir, kemudian Lio segera mendekati Lia, memberi support dan afirmasi positif untuk istri tercintanya."Kamu pasti kuat, Sayang. Kamu pasti bisa."Selang lima menit, dr. Melani datang dan langsung mengambil tindakan. Dengan cekatan dr. Melani mengecek pembukaan jalan lahir."Masih bukaan 4 Pak Lio, tapi kondisi Bu Lia sudah melemah. Bisa tolong bantu saya pasangkan cairan infusnya?" tanya dr. Melani.Dengan cekatan Lio segera melakukan apa yang dr. Melani perintahkan. 10 tahun mengenyam pelajaran kedokteran ternyata tak cukup membuat Lio memahami apa yang harus dilakukannya di saat-saat genting seperti ini. Isi otaknya seakan ngeblank ketika dihadapkan dengan situasi seperti saat ini.Di sisi lain, dr. Melani segera memasang Kardiotokografi di perut Lia, sebuah alat yang merekam denyut nadi janin juga keku
"Bukan mancing, Mas ...""Terus?""Tapi minta," sahut Lia dengan senyuman genitnya, membuat Lio tak dapat menahan untuk tak mencubit gemas hidung mungilnya."Dengan senang hati, Sayang ..." sahut Lio sembari mulai membelai pipi Lia yang semakin hari semakin chuby efek kehamilannya.Dan malam itu, mereka kembali menyatu sebagai sepasang suami istri, saling memberikan kehangatan dan kenikmatan, menciptakan peluh dan desahan penuh kenikmatan.Lia dan Lio tertidur sesaat setelah sama-sama mencapai puncak nikmat penyatuan mereka. Kondisi yang melelahkan membuat keduanya begitu mudah terbuai di alam mimpi.Hingga waktu memasuki pertengahan malam, Lia merasakan perutnya begitu mulas, seperti ingin BAB. Dengan terburu-buru Lia berusaha bangun dan beranjak ke kamar mandi. Lio yang merasa kelelahan akibat aktifitas malam mereka, tak merasakan apapun dalam tidurnya, ia begitu terlelap hingga tak menyadari bahwa istrinya tak lagi di sisinya."Mas Lio ...!" tiba-tiba suara Lia yang berteriak di da
"Ke bawahan lagi, Mas ...""Ini?""Dikit lagi, Mas.""Sudah, Pas?""Terlalu ke bawah itu, Mas.""Jadi yang sebelah mana?"Tanya Lio mulai frustasi, itulah rutinitasnya tiap malam di sembilan bulan kehamilan istrinya.Lia yang perutnya semakin membuncit kerap kali mengeluh merasa kesakitan di punggungnya. Mungkin akibat ketidak seimbangan beban dengan pasaknya.Setiap malam, sebelum tidur, Lio selalu menyempatkan diri untuk memijat halus tubuh istrinya, menyampaikan afirmasi positif untuk istri dan juga janin yang ada di dalam kandungannya."Kalian sangat kuat, kalian juga sangat hebat. Papa yakin, Mama dan Dede di perut bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Papa selalu berharap, semoga semua prosesnya diberi kelancaran," ucap Lio diikuti ciuman yang mendarat di perut buncit milik istrinya.Saat Lio baru saja mendaratkan bibirnya di sana, tiba-tiba ia merasakan tendangan kuat dari dalam perut Lia tepat mengenai bibirnya."MasyaAllah, kamu menyambut Papa ya, Nak? Papa jadi nggak sabar
"Apa sih yang nggak buat kamu?""Ya udah, tolong Mas bilang sama cheffnya, ya suruh ikutin resepnya abang-abang martabak yang biasa di pinggir jalan."Kenapa harus gitu, Sayang? Dah biar resepnya apa kata mereka aja, ya? Pastinya mereka juga lebih tau dan ahli dibanding abang-abang penjual kaki lima.""Tapi Lia pengennya yang gitu, Mas," rengek Lia."Ya udah, ya udah, nanti Mas coba bilangin, kamu doa aja ya semoga cheffnya bisa dan mau.""Amiin."Lio lalu mengantar Lia ke kamar untuk beristirahat, kemudian meninggalkannya ke restoran tempat mereka menginap.Satu jam berlalu, saat Lio dengan penuh semangat membawa martabak manis pesanan istri tercinta. "Sayang, Mas datang ..." ucapnya seraya memasuki kamar, berharap istrinya itu akan menyambutnya dengan mata berbinar-binar.Namun ternyata kenyataan tak semanis yang dibayangkan. Istrinya itu justru tengah terpejam, lelap dalam tidur siangnya, bahkan sampai tak menyadari kehadirannya.Lio tersenyum simpul, diletakkannya piring berisi
"Udah boleh dibuka belum, Mas?" tanya Lia sembari memegangi kain yang menutupi matanya."Belum, dikit lagi," sahut Lio yang memapahnya dari belakang. Diputarnya tubuh sang istri perlahan."Kamu ini ada-ada aja deh, Mas. Seharusnya kamu yang dapat surprise dari aku, karena kamu kan yang baru pulang dari rumah sakit. Ini kok kebalik, malah kamu yang kasih aku surprise," ungkap Lia sembari suaminya memutar-mutar tubuhnya."Udah ya, kamu nurut aja sama Mas," sahut Lio setelah mendapatkan posisi yang pas."Udah?""Udah, saya buka ya, tapi kamu tetap pejamkan mata sampai hitungan ke-tiga," ucap Lio mengarahkan."Okey."Perlahan Lio membuka kain yang menutupi mata istrinya, lalu mulai berhitung, "Satu ... Dua ... Tiga ... Buka mata kamu, Sayang!" titah Lio. Dan perlahan Lia mulai membuka matanya."Masya Allah," gumam Lia pelan. Ternyata suaminya itu membawanya ke sebuah Villa yang terletak di sebuah tebing, saat ini mereka tengah berada di area kolam renang yang terletak di balkon kamar, den
***Lio mengerjapkan matanya kala cahaya mentari mulai menyilaukan matanya, dan pemandangan pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah seorang wanita cantik yang tengah tersenyum hangat padanya. Wanita yang belakangan selalu memenuhi pikiran dan hatinya.Lio membalas senyum istrinya, " Lia ..." ucapnya lirih. Ini kali pertama ia mengeluarkan suaranya setelah sadar dari koma, semalam, setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Lio segera tertidur hingga pagi ini."Selamat pagi, Mas," sambut Lia dengan ucapan selamat pagi."Aku seneng deh, Mas, akhirnya pagi ini aku bisa melihat kamu membuka mata, setelah sebulan lamanya di setiap pagi aku terus mengharapkannya," ucap Lia penuh bahagia."Maaf, ya, Mas terlalu lama melewatkan waktu bersama kamu," ucap Lio sembari membelai pipi istrinya."Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Dengan kamu kembali sadar seperti ini, aku sudah sangat bahagia. Selamat ulang tahun, ya, Mas. Semua harapan
Satu bulan berlalu dan Lio masih belum sadar dari komanya. Selama itu pula Lia selalu berada di sisinya, melangitkan doa-doa agar keajaiban datang memberi kesembuhan pada suaminya, memohon pada Allah agar ia diberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki segala kesalahan yang sempat ia lakukan sebelumnya."Lio sangat beruntung memiliki kamu, Lia," ucap Arumi saat baru saja memasuki ruang rawat anaknya. Lia baru saja selesai sholat isya' saat mertuanya itu datang dan masuk ke ruangan."Eh, Bunda? Ayah mana?" sapa Lia sembari mencium punggung tangan mertuanya."Ayah masih ada urusan sebentar, bentar lagi juga kesini," jelas Arumi sembari mendekati putranya yang masih terbaring koma.Arumi meraih tangan Lio, kemudian mengecupnya beberapa kali, "Bagaimana kabarmu hari ini, Nak? Bunda selalu berharap kamu segera pulih, lihatlah, kita semua menunggumu, Lio. Kita semua merindukanmu.Lihatlah Lia, setiap hari istrimu itu selalu mengurusmu dengan begitu baik, bahkan sampai tak sempat mengur
Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi, namun Lio tak kunjung datang menjemput Lia. Sedari tadi Lia tampak gelisah, langkahnya tak berhenti mengitari rumah, mondar-mandir tak tentu arah."Tumben sih Mas Lio datang telat? Apa dia lupa ya kalau harus jemput aku? Mana dihubungi dari tadi susah banget lagi. Suka begini deh kalau lagi genting,'' gerutu Lia dalam hati. Walau begitu ia sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya yang tak kunjung datang.Waktu terus berlalu, hingga menunjukkan pukul 07.30, tapi Lio tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Perasaan Lia semakin resah, disamping ia kepikiran suaminya, kini ia juga tak dapat terlalu lama menunggu, karena ia akan datang terlambat jika tidak segera berangkat.Segera Lia membuka aplikasi hijau, dan memesan sebuah taxi online. Namun tiba-tiba sebuah panggilan dari Vino masuk.Sejenak Lia ragu untuk mengangkatnya, mengingat suaminya yang begitu sensitif jika ia berhubungan dengan Vino. Lia sengaja mengabaikan panggilan itu dan lanjut memesan
Tok ... Tok ... Tok ..."Lia, buka pintunya, Nak!" Lia mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya, perlahan ia berjalan dan membukanya."Ibu?" tanya Lia sedikit terkejut."Boleh Ibu masuk?""Boleh dong, Bu. Ayo," ucap Lia bersemangat."Ibu, Lia kangen banget ...," ucap Lia sesaat setelah duduk di tepi ranjang lalu memeluk ibunya."Ibu juga kangen sama, Lia," sahut Ibunya membalas pelukan. "Lia kenapa di sini? Bukankah seharusnya Lia ada di rumah suami Lia?" tanya Ibunya sembari perlahan melepas pelukannya." Lia kangen sama Ibu," jawab Lia sembari memandang wajah teduh Ibunya, wajah itu kini tampak semakin segar dan cantik, berbeda dengan yang Lia lihat saat terakhir bertemu."Ibu sudah sehat?" tanya Lia ingin mengetahui kondisi ibunya.Rani tersenyum, anak perempuannya itu tidak pernah berubah, selalu mencari pelukannya setiap kali menghadapi masalah, juga selalu memperhatikan kesehatannya."Ibu sehat, Nak. Ibu sudah tidak sakit lagi, seperti yang kamu lihat," jelas Rani pada putr
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments