Share

SN ~ 4

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-01-21 20:56:55

Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.

“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.

Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.

Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.

“Jaga nada bicaramu, Rif!”

Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”

“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang istri. “Kami sudah membicarakannya dan memutuskan Nila bukan perempuan yang pantas buat kamu.”

“Apa?” Arif tercengang, hampir tidak percaya dengan kesepakatan sepihak yang dibuat oleh kedua orangtuanya. “Kenapa baru sekarang? Kenapa setelah dua tahun aku—”

“Karena kamu berniat melamar Nila.” Kini Deswita yang memotong ucapan putranya. “Tadinya, kami mengira kalau kamu cuma, ya ... pacaran terus putus. Sama seperti sebelum-sebelumnya.” Deswita menghabiskan jarak. Saat tangannya terulur untuk merangkul Arif, putranya mundur, menjaga jarak dengan gelengan.

“Aku serius sama Nila,” ucap Arif penuh keyakinan.

“Dan sampai kapan pun, kami nggak akan setuju dan memberi restu,” balas Ivan tegas.

“Cuma karena dia nggak punya ayah?” buru Arif kembali meninggikan nada bicaranya. “Apa salah Nila? Yang salah itu orang tuanya, jadi nggak ada hubungannya dengan Nila!”

“Yang salah memang orang tuanya, tapi kesalahan itu bisa berimbas dengan keluarga kita kalau kamu tetap menikah dengannya,” sahut Deswita melirik cepat pada sang suami. Memberi isyarat, agar segera menghampiri Arif.

“Ada reputasi yang harus kita jaga, Rif.” Ivan mengangguk kecil pada Deswita. Ia menghampiri Arif, menepuk ringan bahu putranya yang masih berdiri kaku, seolah hendak menyalurkan ketenangan. “Apa kamu nggak malu dan nggak masalah kalau jadi bulan-bulanan kolegamu karena menikah dengan perempuan seperti Nila?”

“Perempuan seperti Nila?” Arif mengulang ucapan ayahnya dengan mengerut dahi. “Ayah, Nila itu perempuan baik-baik. Dia pekerja keras dan—”

“Dia nggak punya ayah dan ibunya sampai sekarang nggak pernah menikah.” Nada bicara Deswita mulai meninggi. Ia geregetan karena Arif tidak mau memahami alasan kedua orang tuanya. “Kami melakukan semua ini demi kamu, demi masa depanmu, supaya orang-orang di luar sana nggak akan merendahkan kamu karena menikah dengan anak haram.”

“Bunda!” Hardikan itu terlepas begitu saja. Emosi yang sudah disimpan Arif sejak tadi, akhirnya meledak. “Nila nggak pernah minta dilahirkan dalam situasi seperti itu. Jadi, dia nggak pernah salah!” serunya sembari menghampiri Deswita.

Melihat hal tersebut, Ivan buru-buru menengahi. Ia melangkah ke tengah, berdiri di antara istri dan putranya dengan kedua tangan terangkat. “Ini sudah malam dan kita bicarakan lagi besok pagi,” ucapnya dengan nada datar, tetapi tegas. Bergantian menatap Deswita dan Arif.

“Oke.” Arif menghela napas panjang. Mengusap kasar wajahnya dan mengangguk setuju dengan perkataan ayahnya. Arif memang sudah lelah dan harus beristirahat agar situasi saat ini tidak semakin memburuk. “Tapi ingat satu hal, keputusanku nggak akan berubah. Aku, tetap akan menikahi Nila, dengan atau tanpa restu kalian.”

~~~~~~~~~~~~

“Akhirnya kamu pulang juga.” Kirana segera mematikan televisi layar datar yang ditontonnya dengan remote, kemudian beranjak menuju meja makan ketika melihat putrinya pulang. “Bukannya kamu libur hari ini? Tapi kenapa jam segini baru pulang? Mana nggak ngabarin Mama sama sekali.”

“Maaf.”

Nila berjalan perlahan menuju meja makan, langkahnya terasa berat. Ruang tamu yang sederhana ia lewati, langsung menghubungkan pandangannya pada meja makan kecil dan dapur terbuka di sudut ruangan. Apartemen yang ditempati Kirana memang tidak terlalu besar, hanya memiliki dua kamar kecil untuk Nila dan mamanya.

“Sudah makan?” tanya Kirana seraya membuka tudung saji. “Mama goreng ayam—”

“Siapa papaku, Ma?”

Pertanyaan yang tidak terduga itu, membuat Kirana menghentikan gerakannya. Tudung saji yang sudah dipegangnya perlahan ia letakkan kembali ke meja dengan perlahan.

“Kita ... sudah pernah bicara semua ini, kan?” Kirana mencoba mengenyahkan getaran dari suaranya. Jika dahulu selalu ada orang tuanya yang mendampingi, kini Kirana harus menghadapi Nila seorang diri. “Papamu meninggal, seminggu sebelum kami menikah.”

Nila mengangguk pelan. Berdiri di belakang kursi makan sambil mencengkram tali tas yang menyilang di tubuhnya. Nila sudah berdamai dengan statusnya sebagai anak yang lahir di luar nikah, karena ibunya mengandung lebih dulu sebelum pernikahan itu ada. Namun, tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa status itu akan menjadi penghalang dalam hubungannya dengan seseorang—setidaknya hingga pertemuannya dengan Deswita pagi ini.

“Aku tanya siapa dia,” ulang Nila tetapi tetap merendahkan suaranya. Ia tahu mamanya pasti terluka, tetapi Nila harus mengenyahkan kegusaran di dadanya. “Mama cuma ngasih tahu namanya, tapi aku nggak pernah tahu bagaimana keluarganya dan di mana makamnya.”

“Mama nggak tahu.” Kirana menahan napas sejenak. “Karena ... Mama sudah pernah cerita, kan? Kalau hubungan kami nggak direstui? Jadi ... keluarga papamu langsung memutus hubungan dan menutup semua informasi. Mereka menjauh dan ... kami juga memutuskan untuk melanjutkan hidup. Kakekmu jual rumah dan tanah warisan, supaya kita bisa tinggal di apartemen dan supaya nggak punya tetangga yang bergosip ini itu. Jadi tolong, kita sudahi pembicaraan ini sampai di sini dan jangan dibahas lagi.”

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
kyara
Kirana ini reporter temennya Anggun kan? yg naksir PA nya Wahyu, aishh lupa namanya.
goodnovel comment avatar
ciproet
kasihan nila
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
sedih nya jd nila
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setitik Nila   Bonchap~5

    Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan

  • Setitik Nila   Bonchap~4

    Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny

  • Setitik Nila   Bonchap~3

    “Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di

  • Setitik Nila   Bonchap~2

    Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi

  • Setitik Nila   Bonchap~1

    “Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d

  • Setitik Nila   SN ~ 70

    “Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status