Share

SN ~ 5

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-23 14:48:06

“Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.

“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”

“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.

“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”

“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.

Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pagi sekali setelah membuat sarapan untuk mereka. Sebuah toko grosir sembako, yang telah dikelola oleh kakek dan neneknya dahulu kala.

Sedikitnya, Nila merasa bersalah karena telah mengungkit luka yang tidak seharusnya dibicarakan. Pasti sangat menyakitkan bagi Kirana, ketika harus kembali mengingat masa lalu yang penuh kepahitan.

“Serius,” balas Nena masih bertahan dengan posisinya. “Kalau kata sekred sebelum mbak Fanti, pak Djiwa nggak suka lihat karyawannya pakai baju kerja yang seksi. Kayak ... di luarnya pake blazer tapi pake dalaman yang dàdanya rendah.”

“Oh.” Nila menutup buku tersebut, lalu memasukkan ke dalam tote bag-nya. “Aku sudah tanda tangan surat kontrak barusan. Jadi, aku sudah lepas dari tim produksi dan ada di redaksi.”

Nena sontak melipat tangan di meja lalu mencondongkan tubuh ke arah Nila. “Aku dengar, ada pasal kalau kamu nggak boleh nikah selama terikat kontrak.”

“Lima tahun.” Nila mengangguk lalu duduk pada kursi di seberang Nena. “Sete—”

WHAT!” Nena melotot tidak percaya. “Kamu kontrak langsung lima tahun? Yakin kamu nggak balikan sama Arif? Kalian itu baru—”

“Nggak, Na,” sela Nila menggeleng. Meskipun sebagian dari dirinya ragu, tetapi penolakan Deswita selalu terngiang di kepala. Karena itulah, Nila tetap menandatangani surat kontrak kerja tersebut. Memantapkan diri untuk sendiri, agar tidak mengulang sakit yang sama di kemudian hari. “Kita sudah selesai.”

“Aku—”

“Sudah kamu tanda tangani kontraknya?” tanya Djiwa sembari melewati meja Nena dan langsung menuju ke ruang kerjanya.

“Sudah, Pak!” Nila segera berdiri, pun dengan Nena yang segera meraih tablet di meja dan mengikuti pria itu masuk ke ruang kerja.

“Urusan dengan pak Hamid lancar?” Djiwa kembali bertanya saat berhenti sejenak di sisi meja untuk menyalakan televisi yang ada di salah satu sisi ruang.

“Lancar, Pak,” jawab Nila lagi.

“Oke.” Djiwa menunjuk Nena dengan remote yang baru dipegangnya. “Ajari semua urusan sekred sama Nila. Sebelum libur weekend, dia harus tahu semuanya tanpa terkecuali. Setelah itu, kamu bisa tinggalkan Warta dan selamat menempuh hidup baru.”

Nena tersenyum simpul dan mengangguk. “Siap, Pak.”

“Oke.” Djiwa melirik tajam pada Nila, karena gadis itu masih terlihat bimbang. Namun, biarlah. Djiwa akan memberi kesempatan karena Nena sangat antusias ketika merekomendasikan Nila padanya. “Sekarang keluar dan selamat bekerja.”

~~~~~~~~~~~

“Nila.” Arif segera beranjak dari kursi lobi, ketika melihat gadis yang dicintainya berjalan pelan sembari memandang ponselnya. “Kenapa kamu blok nomorku?”

Nila berdecak pelan. Nyeri itu terasa semakin mencekik ketika melihat Arif di depan mata seperti sekarang. “Maaf, tapi nggak ada lagi yang harus kita bicarakan.”

“Jadi, kamu nggak secinta itu sama aku?” todong Arif menghalangi langkah Nila. Ia heran, kenapa Nila bisa semudah itu memutuskan hubungan tanpa mau berjuang sama sekali.

Nila menarik napas dalam-dalam. Melihat ke sekitar sebentar, kemudian menunjuk ke arah pintu lobi. “Kita bicara di luar, jangan di sini.”

“Aku antar kamu pulang,” ujar Arif sedikit bergeser agar bisa berjalan di samping Nila. “Besok pagi aku jemput, jadi—”

“Tolong jangan hubungi aku lagi,” sela Nila tanpa menoleh pada Arif dan tetap berjalan lurus keluar lobi sembari memasukkan ponsel ke tas. “Cari perempuan yang selevel dan bisa diterima keluargamu, Mas.”

“Kita bicarakan ini semua baik-baik,” pinta Arif meraih siku Nila ketika mereka sudah berada di pelataran lobi. Menghentikan langkah gadis itu, untuk melakukan sedikit negosiasi. “Dengan kepala dingin.”

“Mas—”

“Aku minta maaf dengan semua omongan bundaku,” sela Arif cepat. “Tapi, kita nggak bisa putus begitu aja cuma karena omongan bunda.”

“Justru karena omongan tante Deswita, kita harus putus.” Nila memelankan suaranya. “Pertama, aku nggak mau kamu jadi omongan orang-orang di luar sana karena nikah sama aku. Kedua, aku nggak bisa dan nggak mau punya ibu mertua seperti bundamu. Apa sudah jelas?”

“Aku tahu bundaku salah,” kata Arif tidak akan membela Deswita sama sekali. Ia lantas meraih kedua telapak tangan Nila dan menggenggamnya erat. “Tapi, anggaplah ini semua ujian.”

“Dan aku harus menghadapi ujian seumur hidup dengan menikah sama kamu?” balas Nila sambil geleng-geleng. “Nggaklah, Mas! Itu baru aku, gimana dengan mamaku? Aku nggak bisa kalau harus dengar tante Deswita ngungkit masa lalu mamaku. Jadi, lebih baik aku mundur daripada harus ...”

Nila membeku sejenak ketika pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan Djiwa. Pria itu tengah menaiki tangga pelataran kantor dan tatapannya singgah padanya dengan ekspresi datar selama beberapa detik. Namun, tanpa kata, Djiwa segera mengalihkan pandangannya dan kembali melangkah dengan tenang, seolah pertemuan singkat itu sama sekali tidak berarti.

Nila khawatir pria itu akan salah paham dan menganggap perkataannya semalam tentang tidak akan menikah, hanyalah bualan belaka.

“Dengar, Mas.” Nila segera menarik kedua tangannya dari genggaman Arif. Hal yang seharusnya sudah ia lakukan sejak tadi, sehingga Djiwa tidak perlu melihat itu semua. “Selama ini, mamaku sudah banyak menderita dan aku nggak mau hubungan kita nantinya akan membuat mamaku semakin terluka, karena ulah bundamu. Dan sebelum itu terjadi, kita akhiri semua sampai di sini.” Nila berbalik cepat memunggungi Arif, karena tidak lagi bisa membendung air mata yang tumpah tanpa permisi. “Sekarang pulanglah dan jangan lagi menjadi beban di hatiku. Kita ... selesai.”

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
ciproet
djiwa jodohnya nila kali nih
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
djiwa ntr lama2 suka sama nila
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
dilema sih.. klo Nila balikan ma Arif otomatis harus pasang kuping yg tebal ngadepin mertua julid kek Deswita..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Setitik Nila   Bonchap~5

    Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan

  • Setitik Nila   Bonchap~4

    Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny

  • Setitik Nila   Bonchap~3

    “Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di

  • Setitik Nila   Bonchap~2

    Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi

  • Setitik Nila   Bonchap~1

    “Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d

  • Setitik Nila   SN ~ 70

    “Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status