"Aduuuh … capek banget.""Iya, nih, Mas. Jauh banget, ya?"Bara dan Bastian lantas merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Mereka terlihat sangat kelelahan. Sedangkan Bumi langsung membersihkan diri ke kamar mandi. Dia ingin segera memeluk anaknya."Kalian sudah pulang?" Bu Retno muncul dari dalam kamar."Iya, Bu. Capek banget," ucap Bastian. "Loh, istrimu mana?" Bu Retno bertanya pada Bastian."Kok malah nanya sama aku, Bu? Bukannya Lidya dari tadi di sini sama Ibu?"Bu Retno mengangkat kedua bahunya. Tadi, saat ia terbangun dari tidur lelapnya, Lidya dan Arista sudah tak lagi di sampingnya. Ia mengira Lidya ada di ruang tamu."Astaga."Bu Retno dan Bastian menoleh ke arah Bumi. Suami Embun itu terlihat berdiri di pintu kamarnya dan melihat ke arah dalam."Ada apa, Mi?" tanya Bu Retno. Ia lantas menghampiri anaknya. Ikut melihat objek yang ditangkap mata oleh Bumi."Astaga, Lidya. Ngapain kamu tidur di bawah?" Bu Retno berteriak.Embun yang tertidur di kamar yang sama, ikut terkejut
"Bu …." Bara mendekati ibunya.Bu Retno yang sedang memotong sayur untuk dimasak pun menoleh ke arah anaknya."Kenapa?" "Ada yang mau aku bicarakan sama Ibu." Bara berbicara sambil menundukkan kepalanya."Mau bicara apa? Bicara lah!"Bu Retno lantas menyuruh Bara duduk di sampingnya. "Tanah Ayah yang deket persimpangan itu masih ada, Bu?" "Masih. Mau ngapain?" "Boleh gak Bara pinjam sertifikatnya? Mau Bara gadaikan sertifikat itu agar bisa memberikan Elsa uang.""Memberikan uang? Buat Elsa? Untuk apa?"Bara lantas kembali mengingatkan ibunya tentang kewajibannya untuk menafkahi anak-anaknya sebesar sepuluh juta rupiah per bulan. Bara juga mengungkapkan rasa cemas dan khawatirnya jika dia tak memenuhi tanggung jawabnya. Elsa akan terus membuat dirinya menderita."Tapi Ibu gak akan kasi sertifikat itu ke kamu. Tanah itu untuk pegangan Ibu nanti saat duit Ibu benar-benar habis."Bu Retno tetap bersikukuh mempertahankan sertifikat tanah peninggalan suaminya. Dia tak mau ada seorang pu
"Sabar, Bas! Tahan emosimu!"Semua orang berusaha menenangkan Bastian. Persekusi itu bukan lah solusi. Mereka harus bisa menyelesaikan masalah perselingkuhan ini sesuai norma dan hukum yang berlaku."Kalian semua tak mengerti sakit hatiku! Gampang bagi kalian memberi solusi ini dan itu. Gampang bagi kalian untuk berkata sabar."Bastian kembali berteriak. Kali ini untuk semua orang yang hadir. Dia sulit untuk ditenangkan."Permisi … permisi."Pak RT akhirnya datang memecah keramaian. Ia lantas berdiri di tengah-tengah Bastian dan Bara."Duduk, Pak. Silahkan!" Mpok Sari mewakili sang tuan rumah untuk menyambut kedatangan salah satu tokoh di kampung mereka.Pak RT mengangguk dan menyambut baik keramahan Mpok Sari."Sini, Nak! Duduk di samping saya!"Setelah menempati tempat duduk yang telah disediakan, Pak RT lantas meminta Bastian untuk mendekat ke arahnya. Ia akan menjadi tembok pembatas antara Bastian dan Bara."Saya ingin mereka dipermalukan, Pak! Arak mereka keliling kampung! Setela
TokTokTokEmbun yang sedang berdua dengan Rayyan di kontrakannya, terkejut dengan suara ketukan pintu yang terus menerus."Itu siapa, ya? Apa Mas Bumi? Ada barang yang ketinggalan, ya?" Embun bergumam.Pasalnya, Bumi baru saja berangkat kerja. Siang hari yang cukup hening di kompleks perumahan ini, membuat Embun waspada akan suara ketukan pintu di depan rumah."Siapa, ya? Mas Bumi, ya?" Embun berteriak. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara ketukan pintu yang terus berlanjut tanpa jeda.Tak mungkin itu Bumi. Jika itu adalah suami Embun, ia pasti akan langsung masuk ke dalam kontrakan. Toh, Bumi punya kunci cadangan. Kalau pun kuncinya tertinggal, Bumi akan mengetuk sembari memanggil nama istrinya. Embun mulai cemas. Dia ingat akan rumor pencuri kejam di kompleks perumahan itu. Tempo hari, ada kasus pencurian yang berujung pembunuhan di daerah itu. Pelakunya belum tertangkap. Sama sekali tak merasa takut, justru pencuri itu beraksi saat siang hari. Menyasar rumah-rumah tanpa penghuni
TokTokTokPercakapan antara Bumi dan Bastian disela oleh suara ketukan pintu dari arah depan. Embun juga ikut menghentikan aktivitasnya dan menengok ke arah pintu depan."Biar aku yang buka," ucap Bumi. Dia mencegah istrinya untuk menyambut tamu yang datang.Ceklek"Bastian mana?"Tanpa basa-basi, Bu Retno langsung menerobos masuk ke kontrakan Bumi, sesaat setelah pintu dibuka."Mau apa lagi Ibu ke sini?" tanya Bastian."Ayo, pulang, Nak! Ibu minta maaf."Bu Retno bersimpuh di hadapan anak bungsunya. Ia terus meminta Bastian untuk kembali. Sedangkan Bumi dan Embun merasa heran akan situasi yang terjadi saat ini. Masalah apa yang tengah dihadapai Bastian dan ibunya? Bumi tak tahu. Pasalnya, adiknya itu belum sempat menceritakan masalahnya secara lengkap."Nggak. Aku nggak mau pulang kalau orang itu masih di rumah Ibu." Bastian menunjuk ke arah pintu depan. Sontak Embun dan Bumi menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Bastian."Mas Bara?" gumam Bumi. "Memangnya ada apa nih, Bu? Ada apa
"Astaga," ucap Bumi sambil mengelus dadanya. Bu Retno memandanginya dengan tatapan tajam."Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Bu Retno.Jelas Bumi keberatan. Dia tak memiliki banyak uang. Sebagian gajinya telah dia gunakan untuk membayar hutang di bank. Kini, sang ibu justru ingin melaksanakan rencana yang ada di pikirannya, tapi dengan cara membebani Bumi. "Lalu apa gunanya Bastian dan Mas Bara, Bu?" Tak sadar, Bumi telah berbicara lancang. Hal ini dikarenakan rasa pedih yang menjalar dalam hatinya. Dia benar-benar tak diinginkan. Namanya hanya disebut saat Bu Retno menginginkan uang."Mereka belum memiliki kerja yang bagus. Mana bisa bantu Ibu membiayai pembangunan kos. Lancang sekali kamu bicara. Gak takut saudara-saudaramu tersinggung?""Ibu hanya peduli dengan perasaan anak Ibu yang lainnya. Tapi perasaanku, tak sekalipun Ibu memedulikannya. Sebenarnya aku ini anak kandung apa bukan sih, Bu?"Bumi menangis seperti anak kecil. Lenyap sudah sikap tegar yang selalu dia tunjukkan saat d
Dua bulan berlaluBumi benar-benar memutus kontak dengan keluarganya di rumah. Dia tak mau lagi menerima telepon dari Bu Retno. Jatah bulanan yang selama ini rutin dikirimkan pada keluarganya, kini sudah benar-benar dihentikan. Ditambah lagi, Bumi dan Embun kini telah pindah ke rumah orang tua Embun. Hal itu membuat Bu Retno susah untuk menemuinya."Sial. Bumi bener-bener mengabaikanku." Bu Retno marah. Dia membanting ponselnya ke kasur. Lidya yang mendengar mertuanya berteriak, mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka.Iya. Lidya telah kembali bersama Bastian. Entah apa yang dipikirkan Bastian saat itu hingga luluh dan mau menerima Lidya kembali. Sedangkan Bara memilih mengalah dan pergi dari rumah ibunya. Dia memutuskan untuk menyewa kontrakan yang tak jauh dari rumahnya. Terpaksa, mobil satu-satunya harus dijual oleh Bara untuk menghidupi dirinya sendiri.TokTokTokKetukan pintu dari arah depan, membuat Lidya terkejut. Dia lantas menjauh dari kamar mertuanya dan mendekat ke
"Buka pintunya, Bu!"BruuushKopi yang baru saja diminum oleh Bara, harus kembali keluar dari mulutnya. Dia terkejut karena suara ketukan pintu yang cukup kencang."Mas Bumi, Mas … gimana ini?" Lidya panik. Dia terus mondar-mandir di depan Bara."Hei … hei. Ngapain kamu panik gitu? Itu, 'kan cuma Bumi. Dia bukan Bastian atau Pak RT," ucap Bara menenangkan kekasihnya."Tapi, Mas … kalau dia liat kita berduaan, bisa-bisa dia lapor ke Bastian. Lagipula, Mas Bumi terlihat begitu marah. Jangan-jangan dia ke sini mau minta uang kos itu."Lidya benar-benar tak terkendali. Berbagai pikiran buruk terlintas di kepalanya. Dia tak ingin ada orang lain yang melihat kebersamaannya dengan Bara. Lidya takut. Tak ingin dijadikan tontonan publik seperti dulu. "Mas … aku gak mau digrebek kayak dulu. Aku malu, Mas. Aku takut." Lidya memeluk Bara. Tangan Bara lantas mengelus pundak kekasihnya dan menenangkan wanita itu."Ya, sudah. Kamu buka pintu buat Bumi! Biar aku sembunyi saja."Lidya pun menuruti sa