“Yati … Yati … Yati.”Nama itu terus terucap dari mulut Bu Retno, berulang kali. Bella lantas didekati oleh adiknya. Bumi berbisik:“Mbak, lihat! Ibu jadi seperti itu gara-gara kamu keceplosan.”Bukannya merasa bersalah, Bella justru mendekati ibunya dan berkata:“Iya, Bu. Yati. Yati si pelakor. Laras itu anaknya Yati dan Ayah.”Bu Retno menoleh ke anak perempuannya lantas menoleh ke Laras. Seperti itu terus sebanyak dua kali. Keningnya mengkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti akan situasi ini.“Ibu gak mau, 'kan menerimanya di sini? Iya, ‘kan, Bu?” Bella menghasut ibunya untuk tak menerima Laras di sini. Dia benar-benar ingin menyingkirkan istri Anton.“Ayo, Sayang! Kita pergi saja.” Anton tak terima direndahkan seperti itu terus oleh Bella. Lebih baik dia dan istrinya pergi dari rumah itu. Hidup tenang di desa, seperti sebelumnya.“Tunggu dulu, Anton! Kamu mau kemana?” cegah Bumi pada adik iparnya.“Kami mau kembali ke desa, Mas. Istriku sedang hamil. Sebentar lagi melahirkan. Aku
“Mau apa kalian ke sini lagi? Kalian pasti sudah dengar kabar duka ini, ‘kan? Trus kalian kembali hanya untuk mengejekku?”Pagi harinya, saat Anton dan Laras kembali ke rumah Pak Salim, Bella kembali mengamuk. Dia tak suka mereka datang kembali. Dia berprasangka buruk pada pasangan suami istri itu. Di sisi lain, Susi dan Tono yang ingin pamit pulang, seketika kikuk. Tak tahu harus berbuat apa. Situasi di rumah itu begitu kacau sejak kemarin.“Bawa masuk kakakmu!” titah Pak Salim pada Embun. Setelah Bella diantar masuk kembali ke kamarnya, Pak Salim pun menyuruh Laras dan Anton masuk ke dalam rumah. Sementara itu, ia akan mengurus Susi dan Tono terlebih dahulu.“Maaf ya, Nak. Sudah membuat kalian tak nyaman sejak kemarin.”“Gak apa, Pak. Kami mengerti. Izinkan kami pulang sekarang ya, Pak.”“Oooh sebentar.”Pak Salim sudah menyiapkan amplop coklat untuk mereka bawa. Tapi Susi dan Tono dengan sigap menolaknya. Mereka ikhlas membantu Bu Retno. Tak ada satupun niat untuk menerima balasa
“Pergi kamu dari sini!”Bella mengusir Mega dari rumah Jery. Dia merasa lebih berhak mendapatkan rumah itu dibanding Mega, wanita yang mengaku-ngaku menjadi istri kedua Jery.Mega tak peduli. Dia masuk ke dalam dan kembali membawa satu amplop coklat.“Ini baca!”Mega memperlihatkan surat nikah dan surat wasiat tentang seluruh harta Jery semasa hidup. Mega yang mendapatkan semuanya. Entah bagaimana caranya wanita itu membuat semua ini masuk akal. Yang pasti, Bella dan anak-anaknya tak mendapat harta sepeserpun. Tapi tidak hanya mereka. Bahkan Bu Endang, ibu kandung Jery juga tak mendapat bagian. Semuanya atas nama Mega.“Kamu memeras suamiku.” Bella berteriak di depan wajah Mega. Urat nadi di leher Bella timbul saat dia berteriak.“Iiih, jangan dekat-dekat! Nafasmu bau jigong!”Mega menanggapinya dengan santai. Dia tak tersulut emosi, bahkan sempat-sempatnya memperolok Bella.“Kembalikan harta suamiku! Itu hak ku dan anak-anak!” Mereka kini saling jambak. Bumi merasa ini waktu yang te
“Maafin Mama, Nak. Mama sudah tega meninggalkan kalian.”Maria dan Bella saling berpelukan. Anak sulung Bella dan Jery itu tak bisa lagi menahan rasa rindunya pada sang Ibu.“Papa, Ma. Papa sudah meninggal. Papa d1bunuh Tante Mega.”Bella dan yang lainnya merasa terkejut. Apa yang dikatakan oleh Maria? Bukankah Jery meninggal karena kecelakaan?“Aku dengar Tante Mega berbicara pada seseorang di telepon. Mereka ingin mencelakai Papa.”Bumi, Bella, dan Anton saling pandang. Yang mulanya sudah ikhlas, kini menjadi curiga. Jangan-jangan, yang dikatakan Maria adalah fakta. Gerak-gerik Mega memang sangat mencurigakan.“Bumi. Kita harus laporkan ini ke polisi! Kita minta polisi menyelidiki kembali kasus ini.”Bumi setuju akan ucapan sang kakak, tapi terlebih dahulu, mereka harus menjemput anak-anak Bella yang lainnya.Tiga panti asuhan berikutnya berhasil membuat Bella dan anak-anaknya berkumpul kembali. Mereka meluapkan rasa rindu yang selama ini terpendam. Mereka menangis sejadi-jadinya.
“Maksud kamu apa, Sayang?” tanya sang suami.“Kamu pasti ngerti maksud aku, Mas. Aku menginginkan anak ini. Aku mau anak ini terus bersama kita.”Sang suami terdiam dan tak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dia fokus menyetir mobil sambil sesekali melihat ke arah spion—melihat mobil Bumi yang masih mengikuti mereka.“Nanti di depan, kita belok kiri, Mas. Kita alihkan perhatian mereka dan kabur. Sepertinya mereka bukan orang asli sini. Pasti mereka tak hapal jalan sini.”Lagi-lagi sang istri memengaruhi pikiran suaminya untuk berbuat yang tak semestinya. Dia menginginkan Anna menjadi anaknya. Dia tak sudi memberikan Anna pada siapapun itu, sekalipun mereka adalah keluarga kandung Anna.Dia terus menyusun rencana busuk. Sementara itu, Bumi dan Anton terus mengikuti mereka dengan hati-hati, memastikan Anna tetap aman di dalam mobil pasangan suami istri itu.“Tolong, jangan seperti ini, Sayang! Kita antar dulu anak ini ke kantor polisi. Cari tahu kebenarannya. Kalau mereka bukan keluarga
“Ya ampun, Nak. Kalian semua sudah besar. Tante seneng kalian baik-baik saja,” ucap Embun. Dia menc1um dan memeluk anak-anak Bella satu per-satu. Semua orang di rumah Pak Salim terlihat sangat bahagia dan penuh haru. Pada akhirnya, semua orang bisa berkumpul dengan lengkap, kecuali Bastian. Bu Retno juga mulai pulih dan mau berbicara kembali saat melihat cucu-cucunya kembali dan berkumpul lagi dengan keluarga. Hanya ada dua orang yang terlihat berdiri di pojok ruangan, melihat momen ini dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak berani mendekat, walaupun perasaan bahagia juga terpancar dari wajah mereka. Bella menyadari akan hal ini. Dia lantas mendekati pasangan suami istri itu.“Anton … Laras, maafin, Mbak, ya. Mbak terlalu keras pada kalian. Mbak telah menyakiti hati kalian dengan perkataan Mbak. Hari ini, Mbak sadar kalau kalian adalah saudara—adik-adikku.” Bella memeluk Laras dengan erat. Pecah tangis di antara keduanya. Semua orang yang semula sibuk menyambut kedatangan anak-anak B
“Mas, antar aku ke pasar, yuk! Hari ini aku pengen banget buat bolu pisang.”Laras merengek di hadapan suaminya. Di trimester akhir kehamilannya ini, Laras benar-benar mengidamkan makanan manis. Seperti kali ini, air li-ur nya menetes jika membayangkan bolu pisang.“Nanti, ya, Sayang. Mas harus narik dulu hari ini.”Anton tak mau ongkang-ongkang kaki begitu saja sebagai mandor angkot. Dia juga ingin bekerja dengan peluhnya sendiri sebagai salah satu supir angkot milik Bastian yang telah dipercayakan pada dirinya. “Tapi kamu pulangnya pasti sore, Mas. Apa gak bisa kamu libur dulu hari ini? Atau narik agak siangan?” tanya Laras, masih terus membujuk sang suami.“Tapi Ilham sudah datang, Sayang. Gak enak kalau harus menyuruh dia pulang lagi.”Ilham adalah kernet angkot yang biasa diajak Anton untuk bekerja. “Atau gini aja deh. Biar nanti aku yang beliin bahan-bahannya di pasar. Kamu gak perlu ikut! Di rumah saja, ya! Cukup kasi aku catatan belanjaan saja.”Anton mencoba mencari jalan t
“Sayang … Sayang, kamu dimana sih? Laras … Mas datang, Sayang. Kamu dimana?”Anton seperti orang kesurupan. Dia datang membawa keributan ke rumah sakit. Bagaimana tidak? Saat dia tengah bekerja, ponselnya tiba-tiba berdering dan memberi kabar mengejutkan tentang musibah yang menimpa sang istri. Tanpa pikir panjang, saat itu juga Anton membawa angkot yang dia kendarai ke rumah sakit.“Tenang, Mas … tenang! Biar aku yang cari tahu ke bagian informasi, ya,” ucap Ilham.Beruntung Ilham masih berada di sisi Anton saat ini, hingga dia mampu menemani serta memberi ketenangan pada teman sekaligus bos-nya itu.Ilham pun mencari tahu tentang keberadaan Laras melalui pusat informasi. Mereka pun diarahkan untuk bertemu Laras yang sudah dipindahkan ke ruang rawat.Ketika melihat tubuh sang istri terbaring di ranjang rumah sakit dengan tangan yang telah dipasang ja-rum infus, hati Anton ter-i-ris. Dia langsung mendekat ke arah sang istri dan memeluknya.“Ya ampun, Sayang. Kamu gak apa-apa, ‘kan? An