"Dasar anak kurang ajar."
Bu Retno melempar ponselnya ke sofa. Bastian yang baru saja pulang ke rumahnya, merasa heran melihat ibunya memasang wajah kesal."Kenapa, Bu? Kok kayak kesel gitu? Kesel sama siapa?" tanya Bastian."Itu. Kakakmu, Bumi. Sudah berani dia bilang tidak sama Ibu.""Memangnya kalian lagi berdebat soal apa?" tanya Bastian lagi."Katanya … si Embun sudah hamil. Trus Bumi ogah memberi uang pada kita lagi karena akan ditabung buat biaya lahiran istrinya. Ngeselin, 'kan?" tanya Bu Retno. Berusaha mencari dukungan. Tentu harapannya terwujud. Bastian ikut terpancing emosi."Wanita itu pasti sudah meracuni pikiran Mas Bumi. Kita tak boleh tinggal diam." Bastian menghasut ibunya.Bumi memiliki tiga saudara lainnya. Kakak pertamanya adalah Bella. Dia sudah menikah dan ikut suaminya merantau ke luar pulau. Sedangkan, kakak keduanya bernama Bara. Dia kini tinggal di rumah mertuanya yang kaya raya. Sedangkan si bungsu bernama Bastian. Adik Bumi itu masih tinggal bersama ibunya. Watak Bastian dan Bara mirip dengan Bu Retno, ibu mereka. Sedangkan watak Bella dan Bumi seperti ayahnya. Bijaksana dan lembut tutur katanya."Apa yang harus kita lakukan, Bas?" tanya Bu Retno."Kenapa Ibu tak coba berbaik hati sama wanita itu?""Siapa? Si Embun? Ngapain? Harusnya mereka yang merayuku dan meminta maaf ke sini. Bukan Ibu yang merendahkan diri dan berbaikan dengan mereka." Bu Retno tak setuju dengan saran putranya."Denger dulu, Bu! Jangan nyerocos terus! Ini hanya pura-pura. Lagian, jurus ancaman Ibu sudah tak berlaku lagi. Mereka sudah tak takut. Justru berani menantang Ibu. Memangnya Ibu mau kalau Mas Bumi terus kesal sama Ibu dan benar-benar berhenti mengirim uang sama kita?"Brilliant. Pemikiran Bastian benar-benar seperti pemeran antagonis di sinetron. Punya akal licik."Bagus. Ini baru anak Ibu. Kenapa Ibu gak kepikiran dari tadi, ya?" Bu Retno menepuk-nepuk pundak anaknya. Bastian merasa bangga dengan dirinya sendiri. Kerah bajunya diangkat dan diturunkan. Seolah merasa menjadi sosok yang berguna di mata ibunya."Besok Ibu harus pergi ke kontrakan mereka lagi. Ibu harus pura-pura baik dan mengakui kesalahan Ibu. Setelah maaf Ibu diterima, Ibu akan meminta izin untuk tinggal di sana. Alasannya ya untuk membantu menjaga Embun yang sedang hamil muda. Tapi, di rumah itu, Ibu akan menyiksa mental dan psikis wanita itu," ucap Bu Retno disertai senyuman sinis.Benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran kedua orang itu. Tega menghancurkan rumah tangga anak dan saudaranya sendiri demi dendam terbalaskan."Setelah itu, bujuk Mas Bumi agar mau mengirimkan uang lagi pada kita, Bu! Aku sudah tak sabar mau beli motor baru. Motor peninggalan Ayah sudah butut. Gak elok jika dibawa nongkrong sama temen-temen." Bastian mulai ngelunjak. Dia belum mengerti artinya berusaha mewujudkan keinginannya dengan hasil jerih payahnya sendiri. Bukan mengharapkan kiriman dari kakaknya.—----------------"Mas, kamu kerja jam berapa?" tanya Embun pada suaminya."Agak siangan, Sayang. Nanti Mas mau langsung ke Hotel Harras. Ada meeting di sana. Kamu baik-baik, ya, di rumah!" ucap Bumi. Dia lantas mengalihkan pandangannya ke perut rata sang istri. "Ini juga, ya! Sehat-sehat, ya, Sayang! Jangan bikin Bunda repot. Suruh Bunda maem yang banyak, ya!" Bumi berbicara sembari mengelus perut Embun.Kemarin malam, pasangan suami istri itu langsung pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilan Embun. Tangis haru Bumi tercipta saat dia melihat janin yang tumbuh di rahim istrinya melalui USG. Sesampainya di rumah, Bumi terus menciumi foto USG si kecil. Dia sangat bahagia dengan anugerah ini.Jarum pendek di jam dinding menunjuk di angka 2. Bumi harus segera berangkat kerja. Ada pertemuan di Hotel Harras pada jam 3 siang. Dia harus berangkat lebih awal agar tak terjebak macet."Kamu beneran gak apa aku tinggal sendiri, Sayang?" Bumi kembali bertanya pada istrinya."Tak apa kok, Sayang. Pergi lah! Kan sudah ada si kecil yang nemenin aku."Bumi dan Embun langsung mengelus perut Embun yang masih rata."Duuuh … romantis banget. Ibu senang lihatnya."Suara dari luar rumah membuat Bumi dan Embun tersentak. Mereka lantas mengalihkan pandang ke arah depan rumah. Kebetulan pintu depan terbuka lebar. Wajar jika ada yang melihat kemesraan mereka dari luar rumah.Tapi siapa sosok yang datang? Tentu Embun dan Bumi sangat mengenalinya. Ia adalah Bu Retno."Ibu?" ucap Bumi."Iya, Sayang. Ini Ibu. Kok kamu kelihatan gak suka gitu sama kedatangan Ibu?" tanya Bu Retno penuh senyum. Seolah tak pernah menorehkan luka di hati anak dan menantunya itu."Ibu kok bawa tas besar?" tanya Bumi."Sayang … Ibu minta maaf atas kesalahan Ibu selama ini. Kemarin Ibu tak bisa tidur karena merenungi perbuatan Ibu yang begitu tega dengan kalian. Ibu minta maaf, ya."Bumi begitu senang. Bebannya terangkat satu per-satu. Bumi bersyukur karena Tuhan berbaik hati memberikan kabar bahagia lagi padanya. Melihat sang Ibu kembali lembut seperti dulu, sama seperti saat dia belum menikahi Embun. Kini, bahkan sang Ibu terlihat begitu senang dan berkali-kali memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang."Nah gitu dong! Kalian adalah wanita-wanita paling berharga di hidupku. Senang rasanya melihat kalian akur," ucap Bumi."Iya dong, Sayang. Anak perempuan Ibu satu-satunya sedang merantau di pulau lain. Sekarang saatnya Ibu berfokus sama anak perempuan Ibu yang lainnya. Menantu kesayangan Ibu." Bu Retno pintar berakting. Dia terus mengelus rambut Embun dengan lembut.Berbeda dengan Bumi, Embun justru curiga dengan perubahan sikap yang sangat mendadak pada Ibu mertuanya itu. Embun benar-benar tak bisa berpikir positif lagi jika itu menyangkut mertuanya. Namun, apa salahnya membiarkan semuanya berjalan apa adanya? Jika Bu Retno benar hanya berpura-pura belaka, Embun bertekad akan melawannya."Ya sudah. Aku jadi lebih tenang meninggalkan Embun di rumah bersama Ibu. Mungkin aku pulang malam. Kalian baik-baik di rumah, ya!" ucap Bumi. Dia lantas berpamitan pada Ibu dan istrinya. Meninggalkan dua wanita pujaannya berada dalam satu rumah. Tak ada keraguan dalam hati Bumi. Seorang anak yang begitu tulus memaafkan perilaku ibunya berkali-kali. Namun, satu hal yang Bumi lupa. Bu Retno pintar berbohong.Malam tiba. Embun duduk di teras depan untuk menunggu kedatangan suami tercinta. Tak dihiraukannya nyamuk-nyamuk yang dengan lahap menghisap darahnya."Embun … ngapain kamu diam di luar? Ini sudah malam! Tak baik wanita hamil sepertimu berkeliaran di luar rumah," ucap Bu Retno."Aku gak berkeliaran, Bu. Aku hanya duduk, menunggu Mas Bumi.""Aduuh … Bumi sudah gede. Gak perlu ditunggu! Kamu masuk lagi ke dalam! Ibu sudah buatkan roti bakar dan juga jamu buat kamu.""Sebentar, ya, Bu. Embun masih mau di luar dulu."Sebenarnya alasan lain yang membuat Embun betah duduk di teras adalah untuk memangkas jarak antara dirinya dengan sang mertua. Sejak Bumi pergi bekerja, Bu Retno sedikit demi sedikit mulai kelihatan sifat aslinya. Jika dasarnya sudah tak suka, maka akan susah menutupinya dalam waktu lama. Bu Retno kerap memberi sindiran pada Embun. Embun tak suka dan merasa risih."Jangan membantah! Cepat masuk ke dalam! Di luar banyak nyamuk!" Bu Retno membentak Embun. Jika orang lain mendengar, mungkin terlihat wajar. Bahkan mungkin akan banyak yang mengatakan Embun beruntung memiliki mertua rasa ibu kandung. Begitu perhatian dan penyayang. Namun kenyataannya, tidak seperti itu.Embun pun akhirnya memilih untuk masuk ke dalam rumah. Di meja depan TV, telah terhidang roti bakar dan jamu yang warnanya putih kental seperti susu."Ini jamu apa, Bu?" tanya Embun."Itu jamu racikan Ibu sendiri. Dari hamil Bella hingga Bastian, Ibu selalu rutin meminum jamu itu. Terbukti kan anak Ibu good looking semua. Putih bersih lagi. Paling suamimu itu yang kulitnya sedikit hitam," ucap Bu Retno bangga. Namun, Embun tak suka dengan kalimat terakhir mertuanya yang seolah membedakan Bumi dengan saudara yang lainnya. Pada dasarnya, yang menentukan cantik atau rupawannya seseorang adalah dari kebaikan hatinya. Bukan warna kulit ataupun jenis rambut."Ayo cepat minum!" Bu Retno terus memaksa menantunya untuk meminum jamu itu.Belum masuk ke mulutnya, Embun sudah muntah. Dia tak tahan dengan bau menyengat yang ditimbulkan oleh minuman itu. Entah apa bahan-bahan yang teracik di dalam minuman itu."Heh, kok malah muntah? Bener-bener, ya, kamu. Gak bisa banget ngehargain Ibu." Embun terus dipaksa membuka mulut dan dicekoki jamu oleh Bu Retno.Kini Bu Retno telah seratus persen kembali ke sifat aslinya. Membentak dan terus menyiksa menantunya."Hentikan! Pulang saja Ibu ke rumah! Aku tak mau mentalku terganggu jika terus ditekan seperti ini oleh Ibu. Aku bukan sapi yang bisa dicucuk hidungnya. Aku bukan wanita lemah yang bisa terus-terusan Ibu hina. Keluar Ibu sekarang!"Wajah Embun memerah. Darahnya mendidih. Tak terasa, dia kembali mengusir ibu mertuanya. Namun dengan nada bicara yang lebih tinggi dari kemarin.“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus