Ueeek
UeeekUeeekHari ini Embun terlihat lesu. Wajahnya pucat. Sejak tadi dia terus muntah-muntah. Belum ada satu pun makanan yang bisa dia telan."Ayo kita ke dokter saja!" ucap Bumi."Gak usah, Mas. Aku hanya perlu istirahat. Mas berangkat kerja saja! Masih keburu, kok."Bumi menggelengkan kepala. Mana mungkin dia bisa kerja dengan kondisi Embun yang terus melemah. Walaupun Bumi berangkat kerja, dia pasti tak fokus dengan pekerjaannya dan terus memikirkan kondisi kesehatan Embun."Kalau kamu tak mau makan, aku gak akan berangkat kerja," ucap Bumi, seolah memberi ancaman pada Embun."Aku gak bisa, Mas. Bahkan hanya melihatnya saja sudah bisa bikin aku muntah."Embun lagi-lagi mendorong sepiring nasi yang ingin Bumi berikan. Dia benar-benar tak bisa memakannya."Aku kupasin buah aja kalau gitu, ya."Embun hanya mengangguk. Dia membiarkan suaminya sibuk mempersiapkan makanan untuk dia makan.Tak perlu menunggu lama, Bumi telah datang membawa tiga macam buah yang sudah dikupas. Apel, Pepaya, dan Kurma. Embun memang selalu menyimpan banyak buah di kulkas. Buah bisa menjadi camilan sehat dikala malam tiba. Uang bulanan dari suaminya akan selalu dia sisihkan untuk membeli berbagai macam buah."Coba kamu makan kurma-nya dulu!"Embun mengangguk. Dia pun memakan sebuah kurma yang diberikan oleh Bumi. Habis. Dia bisa memakannya. Bumi senang. Akhirnya ada sesuatu yang mengisi perut istrinya."Kamu teruskan makannya! Aku mau keluar sebentar," ucap Bumi.Bumi ingin pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat demam dan juga testpack. Dia sebenarnya telah curiga jika istrinya sedang mengandung. Namun, dia tak ingin berharap lebih seperti sebelumnya. Takut hati ini dikecewakan kembali.Sesampai di rumah, Bumi mendapati istrinya sedang tertidur di kamar. Sepiring buah potong yang tadi dia berikan pada Embun, tinggal sedikit. Itu artinya, Embun cukup banyak mengisi perutnya dengan buah-buahan potong yang Bumi siapkan."Sayang … sayang! Bangun!"Embun mengerjap. Dia melihat suaminya telah kembali dan kini sedang tersenyum padanya."Coba pakai ini, ya!"Tak tanggung-tanggung. Bumi menyerahkan tiga buah testpack dengan jenis dan merk yang berbeda."Testpack?""Iya. Coba kita tes lagi! Siapa tahu kali ini Tuhan menganugerahi kita dengan malaikat kecil yang bertumbuh di rahimmu." Bumi tersenyum. Bohong jika dia mengatakan tak begitu mengharapkan anak. Dia tentu saja berdoa dalam hati agar kali ini usaha mereka membuahkan hasil."Iya." Embun menjawab singkat dan mengambil satu buah testpack yang ada di tangan Bumi."Loh, kok cuma satu, Dek? Ambil ketiganya! Periksa menggunakan ketiga benda ini!" suruh Bumi."Satu saja sudah cukup, Mas. Hasilnya akan tetap sama."Bumi menggeleng. Dia tetap memaksa Embun untuk mengetesnya menggunakan ketiga testpack itu. Mau tak mau, Embun menjalankan perintah suaminya.Di dalam kamar mandi, Embun satu per-satu menggunakan testpack itu. Dia tak melihat hasilnya dan langsung menaruh di wadah yang bersih. Embun tak ingin kecewa. Setelah semuanya selesai, dia lantas membawa ketiga testpack itu untuk diperlihatkan pada Bumi."Lihat lah, Mas! Apa hasilnya?"Embun menyerahkan ketiga benda pipih yang dibawanya. Sesaat Bumi terdiam, lalu muncul senyuman dari bibirnya."Dek. Semua positif, Dek. Semua positif. Itu artinya kita berhasil. Ada anakku di rahimmu, Dek."Embun masih terdiam. Seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar. Ketiga testpack itu memperlihatkan dua garis merah yang sangat jelas. Mata Embun mulai terselimuti oleh kaca-kaca bening. Satu kedipan saja bisa membuat kaca-kaca itu pecah dan menjadikannya bulir air mata.Bumi sangat senang dan langsung mengambil ponselnya. Dia menyebarkan berita bahagia ini dengan sebuah foto yang menampakkan hasil dari ketiga testpack itu. Dia kirim ke nomor mertua dan juga ibunya sendiri.Tak perlu menunggu lama, orang tua Embun langsung menelpon menantunya itu. Mereka sangat senang dengan berita yang dibagikan oleh Bumi. Berbagai ucapan doa dilontarkan untuk kesehatan Embun dan juga janin yang kini bersemayam di rahimnya.Berbeda dengan Bu Retno, Ibunda Bumi. Setelah membaca pesan anaknya, ia hanya tersenyum sinis sembari menggerutu:"Cih … gini doang, heboh. Paling bentar lagi juga keguguran. Si Embun itu kan wanita lemah."Jika ada yang mendengar ucapannya, tentu tak akan ada yang menyangka kalau kata-kata itu bisa terucap dari mulut seorang wanita yang juga telah menjadi seorang Ibu. Miris. Begitu bencinya Bu Retno pada Embun, hingga dia tak sadar mengucapkan sesuatu yang buruk pada calon cucunya.TriiingTriiingTriiingPonsel Bu Retno berdering. Ada panggilan dari Bumi. Dengan malas, ia menerima panggilan itu."Halo …." jawabnya singkat."Halo, Bu. Apa Ibu sudah baca pesan Bumi?" tanya Bumi dengan nada bersemangat."Sudah …." Lagi-lagi, Bu Retno menjawabnya dengan singkat dan ketus."Ibu senang, 'kan?" tanya Bumi di seberang telepon."Ibu senang jika kamu mengirimkan sisa uang yang Ibu minta kemarin. Masih lima juta lagi. Sini berikan!" Jika menyangkut soal uang, Bu Retno bisa berucap panjang lebar."Tapi Ibu kemarin kan sudah setuju hanya diberikan lima juta saja. Kenapa sekarang masih minta?""Sudah habis, Bumi. Uangnya sudah habis."Hanya dalam dua hari, uang sebesar lima juta rupiah yang diberikan oleh Bumi, telah habis tak bersisa. Tentu saja dipergunakan oleh Bu Retno untuk menambah koleksi emas dan juga pakaiannya. Sedangkan kebutuhan rumah belum sempat dia beli."Beras sudah habis. Listrik dan air juga belum dibayar. Tolong bantu Ibu, Bumi!" Bu Retno kembali mengemis pada anaknya.Terdengar helaan nafas Bumi dari seberang telepon. Dia tak habis pikir, kalau uang yang diberikannya beberapa waktu lalu bisa habis dalam sekejap. Sedangkan kebutuhan yang harus diprioritaskan justru belum dipenuhi."Maaf, Bu. Tapi Bumi tak ada uang lagi. Sebentar lagi Bumi akan menjadi Ayah. Kami di sini harus banyak menabung untuk biaya lahiran serta kebutuhan anak kami," ucap Bumi pelan."Alaaah … jangan berlebihan, deh! Baru saja hamil beberapa minggu. Masih ada delapan bulan lagi untuk lahiran. Itu pun kalau kuat dan bertahan. Tau sendiri istrimu itu penyakitan. Transfer uangnya sekarang!"Di sisi lain, Bumi semakin geram. Tangan satunya mengepal. Dia sedang menahan emosi."Maaf, aku gak bisa, Bu.""Kalau gak bisa lima juta, Ibu minta dua juta saja. Sini! Ibu sudah tak megang uang sama sekali, Bumi. Adikmu juga mau beli motor baru katanya. Bantu lah adikmu juga! Jangan hanya memanjakan istri tak tahu diri itu," ucap Bu Retno. Berkali-kali mengucapkan kata-kata menyakitkan untuk Embun."Maaf, aku gak bisa, Bu." Kembali Bumi mengucapkan kata-kata yang sama.Jawaban singkat dan mengecewakan dari Bumi, tentu membuat darah Bu Retno kembali mendidih."Gak bisa lagi? Jangan keterlaluan, Bumi! Kamu mau jadi anak yang durhaka? Iya?" bentak Bu Retno."Dasar anak kurang ajar."Bu Retno melempar ponselnya ke sofa. Bastian yang baru saja pulang ke rumahnya, merasa heran melihat ibunya memasang wajah kesal."Kenapa, Bu? Kok kayak kesel gitu? Kesel sama siapa?" tanya Bastian."Itu. Kakakmu, Bumi. Sudah berani dia bilang tidak sama Ibu.""Memangnya kalian lagi berdebat soal apa?" tanya Bastian lagi."Katanya … si Embun sudah hamil. Trus Bumi ogah memberi uang pada kita lagi karena akan ditabung buat biaya lahiran istrinya. Ngeselin, 'kan?" tanya Bu Retno. Berusaha mencari dukungan. Tentu harapannya terwujud. Bastian ikut terpancing emosi."Wanita itu pasti sudah meracuni pikiran Mas Bumi. Kita tak boleh tinggal diam." Bastian menghasut ibunya.Bumi memiliki tiga saudara lainnya. Kakak pertamanya adalah Bella. Dia sudah menikah dan ikut suaminya merantau ke luar pulau. Sedangkan, kakak keduanya bernama Bara. Dia kini tinggal di rumah mertuanya yang kaya raya. Sedangkan si bungsu bernama Bastian. Adik Bumi itu masih tinggal bersama ibunya
"Sayang … bener kamu ngusir Ibu?"Embun dikejutkan oleh kedatangan suaminya dari luar rumah. Wajah Bumi terlihat panik. Sesampai di rumah, dia langsung menuju kamar istrinya."Bener kamu ngusir Ibu?" tanya Bumi untuk kedua kalinya."Aku gak bermaksud seperti itu, Mas. Tapi aku terus dipaksa meminum jamu buatan Ibu. Aku muntah berkali-kali, Mas." Embun meneteskan air mata. Dia letih harus mendapat masalah yang serupa untuk kesekian kalinya."Tapi gak mengusir Ibu juga lah. Sudah dua kali loh kamu bersikap tidak sopan seperti ini. Baik buruknya Ibu, kita sebagai anak harus tetap menerima. Karena ia Ibu kita," ucap Bumi. "Sekarang aku tanya sama kamu, Mas," ucap Embun. "Kalau Mama-ku bersikap seperti Ibu padamu, apa kamu bisa tahan? Apa kamu masih bisa terus bertahan dan menelan semua perlakuan buruknya? Aku juga manusia, Mas. Jangan mentang-mentang kita lebih muda, tapi kita bisa diperlakukan seenaknya seperti itu. Kamu tahu kalau aku sering dihina oleh Ibu. Tapi apa respon kamu? Selal
Sudah dua hari ini Bumi tak menjawab telepon dari ibunya. Dia tahu kalau sang ibu akan terus menuntutnya membiayai pernikahan Bastian. Terakhir kali Bumi menerima panggilan telepon dari Bu Retno, dia diminta menyediakan uang sebesar 100 juta rupiah untuk biaya pernikahan. Tentu Bastian tak punya uang sebanyak itu. Kalau pun mengambil pinjaman di bank, dia ragu bisa membayarnya kalau gajinya saja habis untuk setoran bulanan pada keluarganya di rumah."Mas, kamu kenapa? Sejak pulang dari rumah Ibu, kamu kelihatan murung terus. Sudah gak marah sama aku, 'kan?" Embun menghampiri suaminya yang sedang merenung di teras depan.Bumi lantas menyuruh Embun untuk duduk di sampingnya. Pria itu terus mengelus lembut perut sang istri. Senyumnya merekah. Hanya anak yang ada di rahim Embun yang bisa membuatnya tersenyum."Ada apa, Mas? Katakan! Apa Mas bertengkar dengan Bastian?" tanya Embun, mencoba menebak apa yang terjadi."Tidak, Dek. Sebenarnya Mas malu menceritakan semua ini ke kamu.""Memangny
"Tunggu di sana, Nak! Mama mau ke kontrakanmu!" ucap Bu Nadine, menenangkan putrinya.Rumah orang tua Embun jaraknya lebih dekat dibandingkan dari rumah mertuanya ke kontrakan Embun. Oleh karena itu, Bu Nadine hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke kediaman putrinya itu."Mama …." Embun langsung menghambur ke pelukan ibunya."Dimana Bumi?" tanya Bu Nadine."Mas Bumi masih kerja, Ma. Aku sendiri di rumah."Bu Nadine mengangguk. Ia lantas memboyong putrinya masuk ke rumah. Teh hangat dibuatkan oleh sang mama untuk Embun. Setelah dirasa tenang, wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu itu bertanya lagi pada putrinya."Bener perhiasanmu tak ada, Nak?" Embun mengangguk cepat, menjawab pertanyaan ibunya."Coba Mama yang cari."Bu Nadine dan Embun lantas masuk ke kamar dan kembali menggeledah seisi kamar untuk menemukan keberadaan satu set perhiasan emas itu. Tapi nihil. Perhiasan itu benar-benar menghilang."Benar kamu menyimpannya di sini?""Benar, Ma.
Untuk sementara ini, Embun pulang ke rumah orang tuanya. Bukan bermaksud untuk berpisah selamanya dengan sang suami. Dia hanya ingin menenangkan diri. Ditambah lagi, kondisi kesehatannya yang masih lemah karena hamil muda, memaksanya untuk tetap dalam pengawasan orang banyak. Mama dan Papa Embun bersedia menjaga putrinya untuk sementara waktu. Sedangkan Bumi akan menjenguk Embun tiap dua hari sekali. Bagaimana dengan pernikahan Bastian dan Lidya? Apa tetap dilaksanakan? Tentu. Tapi Bumi hanya mampu membantu biaya pernikahan sebesar tiga juta rupiah. Sisa tabungannya yang sebenarnya ingin disimpan untuk biaya lahiran Embun.Pernikahan yang awalnya ingin diselenggarakan secara meriah oleh Bu Retno, kini berubah menjadi sederhana saja. Tak ada gaun pesta apalagi tenda pernikahan. Pernikahan Bastian dan Lidya pun hanya disaksikan oleh Bumi, tanpa kedua kakaknya yang lain. Sedangkan Embun enggan hadir ke acara pernikahan Bastian. Hatinya masih sakit ulah perbuatan mertua dan iparnya itu.
"Ini putra Bapak dan Ibu. Langsung disusui ya, Bu!" Suster di rumah sakit Surya Medika, menyerahkan putra pertama Embun dan Bumi.Semua orang di ruangan itu bersuka cita. Embun, Bumi, Bu Nadine, dan Pak Salim, berlomba-lomba ingin menggendong bayi tampan yang diberi nama Rayyan Hadinata."Matanya indah, seperti ibunya. Rambutnya bagus seperti ayahnya," ucap Bu Nadine sembari menimang-nimang cucu pertamanya. Bumi dan Embun tersenyum mendengar ucapan Bu Nadine. Benar. Wajah Rayyan merupakan perpaduan kedua orang tuanya. Kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini tak dapat didefinisikan. Walau tanpa kehadiran ibunya, Bumi tetap bahagia menyambut putra pertamanya. —-----------------"Cih, sok bahagia." Lidya tak senang melihat story IG Bumi yang memperlihatkan foto kebersamaan keluarga mereka di rumah sakit."Kamu kenapa, Lid?" tanya Bu Retno pada menantunya."Ini, Bu! Lihat! Menantu kesayangan Ibu sudah melahirkan juga."Bu Retno melihat isi dari ponsel Lidya. Terlihat senyum merekah B
"Makanya yang bener naruh barang, Sayang. Apalagi barang berharga," ucap Bumi, menasehati istrinya."Kurang bener apa coba? Aku sudah taruh di laci paling dalam. Lagipula, aku juga di kamar terus. Paling keluar kalau lagi ambil minum atau ke toilet. Kamu juga ada di rumah, 'kan?" ucap Embun.Sebenarnya dia merasa curiga dengan Ibu mertuanya, tapi tak mungkin Embun ungkapkan di hadapan Bumi. Ingin bertanya secara langsung pun enggan. Barang tak kembali, malah makian yang didapat. Embun benar-benar ingin tenang sementara waktu.TriiingTriiingTriiingPonsel Embun berdering. Itu dari Bu Nadine."Halo, Ma," jawab Embun."Halo, Sayang. Maaf, ya, Nak. Besok Mama baru bisa ke sana. Kemarin, sehabis pulang dari rumah sakit, badan Mama sedikit meriang. Mama baru bangun malam-malam begini. Trus ingat kamu dan si ganteng" ucap Bu Nadine. Sebagai Nenek, ia pasti sangat merindukan cucu pertamanya itu. Maklum, Embun adalah anak tunggal. Sudah lama Bu Nadine dan Pak Salim tak merasakan menggendong
"Mobil siapa tuh, Ma? Mama dan Papa ganti mobil?" tanya Embun.Bu Nadine menggelengkan kepala sembari tersenyum. Ia lantas mengambil Rayyan dari gendongan Embun dan mendekapnya ke pelukan. Ia lantas menyuruh Embun untuk menghampiri mobil yang tengah dibawa oleh Pak Salim."Lihat lah, Nak! Berikan pendapatmu tentang mobil itu ke Papa."Embun dan teman-temannya lantas mendekati mobil berwarna putih dan masih terlihat kinclong. Bukan mobil yang mewah, namun masih tergolong bagus.Bu Retno juga ikut menghampiri mobil milik Embun yang ada di luar kontrakan. Ia tak sadar ikut mengelus body mobil itu sambil tersenyum. "Bagus sekali." Begitu lah isi pikiran Bu Retno saat ini.Setelah puas mencoba mobil baru, mereka pun kembali ke dalam kontrakan. Teman-teman Embun memberi ucapan selamat dan undur diri dari kontrakan itu."Eh … Bu. Ngapain masih di sana? Pengen, ya?" Nisa menghampiri Bu Retno yang masih berdiri dengan tatapan kagum ke arah mobil Embun. Nisa menggoda Bu Retno. Iya. Saat teman-