"Sayang … bener kamu ngusir Ibu?"
Embun dikejutkan oleh kedatangan suaminya dari luar rumah. Wajah Bumi terlihat panik. Sesampai di rumah, dia langsung menuju kamar istrinya."Bener kamu ngusir Ibu?" tanya Bumi untuk kedua kalinya."Aku gak bermaksud seperti itu, Mas. Tapi aku terus dipaksa meminum jamu buatan Ibu. Aku muntah berkali-kali, Mas." Embun meneteskan air mata. Dia letih harus mendapat masalah yang serupa untuk kesekian kalinya."Tapi gak mengusir Ibu juga lah. Sudah dua kali loh kamu bersikap tidak sopan seperti ini. Baik buruknya Ibu, kita sebagai anak harus tetap menerima. Karena ia Ibu kita," ucap Bumi."Sekarang aku tanya sama kamu, Mas," ucap Embun. "Kalau Mama-ku bersikap seperti Ibu padamu, apa kamu bisa tahan? Apa kamu masih bisa terus bertahan dan menelan semua perlakuan buruknya? Aku juga manusia, Mas. Jangan mentang-mentang kita lebih muda, tapi kita bisa diperlakukan seenaknya seperti itu. Kamu tahu kalau aku sering dihina oleh Ibu. Tapi apa respon kamu? Selalu menyuruhku untuk sabar dan mengalah. Sedangkan Ibu tak pernah kamu nasehati." Nafas Embun naik turun. Dia benar-benar emosi. Setelah mentalnya dipermainkan oleh sang mertua, kini suaminya juga ikut memojokkannya."Tapi Ibu sudah tua, Sayang. Orang tua memang sering bersikap kekanak-kanakan seperti itu," ucap Bumi, masih dengan pembelaan terhadap ibunya.Bu Retno belum terlalu tua hingga melupakan akal sehat dan berubah sikap menjadi kekanak-kanakan."Tolong, Mas. Aku mau istirahat dulu. Perutku nyeri sejak tadi. Biarkan aku menenangkan diri dulu dengan tidur," ucap Embun mengiba. Dia hanya ingin istirahat. Mual efek hamil muda, dan sakit hati akibat ucapan mertuanya, membuat tubuh dan pikirannya letih."Aku mau cari Ibu dulu. Ibu ada di kamarnya, 'kan?"Embun tak lagi menghiraukan pertanyaan suaminya. Kepalanya benar-benar pusing. Dia pikir, kondisinya saat ini akan membuat Bumi kembali perhatian padanya dan menunda pembahasan soal pertengkarannya dengan Ibu hingga esok hari. Tapi Bumi justru seakan tak peduli. Embun juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan tindakan Bumi. Dia pasti sulit memilih antara Ibu dan istrinya.—------------------"Ayo, Bu! Aku antar pulang dulu!"Pagi harinya, Bumi masih belum mau bicara dengan Embun. Dia terbangun dari tidurnya dan siap pergi untuk mengantar Bu Retno pulang ke rumah. Perjalanan dari kontrakan Bumi hingga ke rumah Bu Retno memakan waktu sekitar 1,5 jam. Lumayan jauh. Karena itu, Bumi mengambil libur lagi untuk hari ini."Aku sudah bikinin sarapan buat Ibu dan Mas Bumi." Embun mencoba mencairkan suasana.Tadi pagi, saat baru terbangun dari tidurnya, Embun langsung mencari mertuanya dan meminta maaf pada Bu Retno atas kelancangannya tadi malam. Berharap Bu Retno juga menyadari kesalahannya dan kini benar-benar berbaikan dengan Embun. Tapi semua itu tak akan pernah terjadi. Bu Retno justru menambah kadar dendamnya pada Embun. Kali ini, ia memilih diam, tak merespon perkataan apapun yang keluar dari mulut Embun."Nanti saja di jalan," ucap Bumi.Embun merasa sedih. Walaupun sang suami sudah mau berbicara, tapi belum ada senyuman di bibirnya untuk Embun. Padahal pagi yang sama di waktu yang berbeda, yaitu kemarin, mereka dipenuhi dengan kegembiraan dan keromantisan.Embun berdiri di ambang pintu sembari menatap kepergian suami dan mertuanya itu. Dia ditinggalkan sendirian di kontrakan mereka.—----------------"Kamu harus tanggung jawab, Mas!"Baru saja memarkirkan motor di halaman depan, Bumi dan Bu Retno dikejutkan oleh suara teriakan seorang wanita dari dalam rumah."Siapa itu, Bu?" tanya Bumi."Kayak suara Lidya," gumam Bu Retno. Tapi Bumi masih bisa mendengarnya."Lidya? Siapa itu, Bu?" Kembali, Bumi bertanya."Pacarnya Bastian. Sepagi ini, dia sudah main ke rumah? Atau jangan-jangan, dia tidur di rumah ini semalam. Ooh … Bastian memanfaatkan situasi saat Ibu tak ada. Ayo, Bumi! Kita samperin adikmu dan pacarnya ke dalem!"Bu Retno dan Bumi gegas masuk ke dalam rumah. Pintu tak dikunci, hingga mempercepat langkah mereka untuk bertemu dengan dua sejoli yang ada di dalam rumah."Heh … ngapain kalian berduaan di sini? Cari kesempatan, ya, saat Ibu tak ada?"Bu Retno berkacak pinggang di hadapan Bastian dan Lidya. Adik bungsu Bumi itu terlihat sedikit ketakutan."Tante … aku hamil. Tolong suruh Bastian tanggung jawab dan menikahiku." Bukannya takut, Lidya justru menghampiri Bu Retno dan merengek di hadapannya.Mendengar ucapan Lidya, Bu Retno kembali memelototi anak bontotnya."Benar itu Bastian?" Bu Retno bertanya pada putranya."Be … benar, Bu." Bastian menjawab dengan kepala tertunduk."Ya, sudah. Nikahi dia! Mau gimana lagi? Daripada wanita ini buat masalah dan malah mempermalukan keluarga kita di depan umum," ucap Bu Retno.Lidya adalah anak dari teman satu arisan Bu Retno. Tapi hubungan Bu Retno dan ibunya Lidya tidak begitu dekat. Bahkan mereka kadang berseteru karena berbagai hal. Kini, mereka justru akan dipersatukan menjadi besan."Tapi aku minta mahar berupa satu set perhiasan emas," ucap Lidya."Heh … ngelunjak kamu, ya? Siapa yang ngajarin kamu matre? Ibumu?" tanya Bu Retno. "Sudah! Pergi kamu! Kami mau rapat keluarga dulu!"Dengan mulut manyun, Lidya akhirnya pergi dari rumah Bastian. Membiarkan tiga orang anggota keluarga itu berdiskusi."Apa salahku, ya, Tuhan ... sampai anak-anakku dapet pasangan yang tak menghormatiku sebagai mertua." Bu Retno meratapi nasibnya sendiri. Seakan Tuhan tak adil pada dirinya karena telah mengirimkan menantu yang tak bisa menghargainya."Ibu jangan berkata seperti itu! Embun orang baik. Kemarin dia hanya terpancing emosi hingga kelepasan berkata tak menyenangkan seperti itu." Bumi mencoba membela istrinya. Tapi justru mendapat tatapan sinis dari ibunya."Jadi gimana nih, Bastian? Apa keputusanmu?" tanya Bu Retno."Aku maunya pindah keluar kota, Bu. Jujur, aku belum siap menikah.""Gila kamu. Sudah hamilin anak orang sekarang malah mau kabur. Ibu gak setuju. Ibunya Lidya itu tukang gosip nomor satu di arisan. Apa jadinya jika kamu kabur dan tak bertanggung jawab dengan anaknya? Kita bisa malu seumur hidup karena difitnah oleh mereka."Bumi memegang kepalanya. Dia pusing memikirkan setiap masalah yang ada di keluarganya. Hidupnya sudah seperti sinetron-sinetron yang ada di TV."Tapi aku gak punya uang dan juga kerjaan, Bu. Bagaimana aku bisa menghidupi keluargaku nanti?" ucap Bastian."Kan ada kakakmu. Bumi. Dia pasti mau menolong kita."Bumi kembali menegakkan tubuhnya saat mendengar ucapan Bu Retno. Menolong apa menanggung semua biaya? Bumi menggelengkan kepalanya."Kenapa, Nak? Kamu gak mau?" tanya Bu Retno saat melihat Bumi menggelengkan kepalanya."Itu bukan tanggung jawabku, Bu. Harusnya Ibu dorong Bastian agar mau mencari kerja mulai sekarang. Jangan terus mengharapkan kiriman dariku."Karena dirasa terjebak, Bumi pun berdiri dari tempat duduknya dan hendak meninggalkan rumah ibunya. Namun belum sampai di ambang pintu, Bu Retno kembali berucap:"Oke. Istri dan anak Bastian nanti adalah tanggung jawab Bastian. Tapi biaya pernikahan Bastian masih menjadi kewajibanmu. Selain itu, minta satu set perhiasan milik Embun untuk dijadikan mahar yang akan diberikan pada Lidya."Deg! Bumi benar-benar tak menyangka kalau ibunya masih sama seperti kemarin. Ternyata kepolosannya tadi pagi hanya akting belaka untuk memecah belah Embun dan Bumi. Bumi terlalu bodoh untuk menyadari itu lebih awal.Bumi lantas keluar dari rumah ibunya tanpa berpamitan. Pintu dibanting dengan keras oleh Bumi. Menandakan ada emosi yang tertahan. Enggan diluapkan.“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus