Mobil berhenti di halaman rumah dengan bunyi decit ringan. Pagar sudah dibuka oleh Pak Umar yang dengan sigap menyambut. Rumah dua lantai milik keluarga Arya berdiri megah, tapi bagi Uma, rumah itu terasa seperti tembok-tembok dingin yang membuatnya merasa terpenjara.
Arya turun lebih dulu tanpa berkata apa-apa, diikuti oleh Bu Mirna yang langsung mengeluh, "Panas sekali siang ini. Mbok, ambilkan saya air dingin," seru Arya pada Mbok Jum yang berdiri di depan pintu.
"Sebentar, Bu," jawab Mbok Jum sambil bergegas ke dapur.
Uma turun sambil menggendong Vivi yang baru saja terbangun dan mulai mengucek matanya. Di tangan satunya, Uma menenteng kotak gaun dari butik tadi. Ia berjalan pelan masuk ke dalam rumah, berharap tidak ada komentar sinis dari Bu Mirna lagi. Tapi harapan hanyalah harapan.
Baru dua langkah masuk ke dalam, Bu Mirna langsung melirik tajam.
"Dasar tidak tahu malu. Mau saja kamu dibelikan gaun dari orang yang tidak dikenal. Tidak punya harga diri."
Uma terdiam. Wajahnya panas, tapi ia menahan diri.
Arya ikut bicara, "Uma, lain kali kamu tidak usah ikut lagi ke tempat-tempat prestisius seperti tadi. Bikin malu saja."
"Saya juga tidak mau pergi kok, Mas. Kan saya cuma diajak." Tidak tahan terus dihina, Uma pun menyahut.
"Kamu aku ajak karena Vivi. Aku akan membuatkan Vivi gaun dan Arya jas yang senada. Kalau tidak, aku juga malas mengajakmu," ketus Bu Mirna.
"Tapi aku jadi tidak mood karena kelakuan tidak tahu malumu. Nanti saja kita pergi lagi setelah Vivi pulang, ya, Arya. Biar kita seragam semua di nikahannya Thania." Bu Mirna langsung ke dapur setelah menumpahkan unek-uneknya. Begitu juga Arya, ia langsung ngeloyor ke dapur juga.
Uma dengan cepat berjalan menuju kamar. Ia butuh ruang untuk bernapas. Berdekatan dengan Arya dan Bu Mirna sungguh menguras emosinya.
Begitu pintu kamar ditutup, Uma merebahkan Vivi ke tempat tidur. Setelahnya, ia duduk di tepi ranjang sambil menatap kotak ungu muda di pangkuannya. Ia membukanya perlahan, dan menyentuh kain silk putih dengan ujung-ujung jarinya. Lembut. Hangat.
Gaun ini bukan sekadar baju indah. Ini adalah lambang bahwa seseorang-bahkan orang asing-menganggap dirinya pantas dihargai. Tidak seperti suami dan mertuanya!
Vivi menggeliat dan melenguh kecil. Uma menepuk-nepuknya perlahan agar Vivi kembali tidur. "Tidur yang nyenyak ya, Sayang. Doakan Ibu berhasil agar kita bisa keluar dari sangkar emas ini." Uma mencium kening Vivi lembut, lalu masuk ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket karena belum mandi sedari siang. Samar-samar ia mendengar suara mobil meninggalkan rumah. Arya telah pergi. Syukurlah, dengan begitu ia bisa kembali beraktivitas di dapur belakang.
Setengah jam kemudian ia sudah selesai mandi. Saat mengisi perut di ruang makan, Tini memberi info kalau Arya dan Bu Mirna pergi ke rumah Aryani. sepertinya Aryani berdiskusi dengan Haris-suaminya. Uma mengangguk kecil. Itu artinya ia bisa melanjutkan pekerjaannya di dapur sabun. Pada Tini ia berpesan agar Tini menemani Vivi di kamar. Sebentar lagi, ia pasti bangun.
Uma lanjut ke dapur dan memeriksa sebagian sabun-sabun yang mulai berlaku. Ia lalu menyiapkan label sederhana dan memeriksa stok bahan. Ia menghela nafas panjang saat melihat stok yang semakin menipis, sementara ia sudah tidak punya dana untuk membeli bahan lagi. Ia kemudian duduk di meja kerja dengan kalkulator tua dan buku catatan kecil, menghitung-hitung pengeluarannya dengan pikiran ruwet.
Saat larut dengan beban, ponselnya bergetar. Uma melirik sekilas. Arumi yang meneleponnya. Uma meletakkan bolpen dan menjawab panggilan Arumi.
"Halo, Ma. Kamu ngapain lagi? Aku ganggu nggak?"
"Nggak kok, Rum. Santai saja. Aku sedang memeriksa stok bahan untuk membuat sabun." Uma menjawab panggilan sambil memijat-mijat pelipisnya.
"Heh, sabun? Kamu jualan sabun seperti dulu?"
"Iya. Aku ingin belajar mandiri. Kamu mau beli nggak?" Uma menawarkan dagangannya pada Arumi.
"Mau dong! Dari dulu aku suka sabun-sabunmu. Eh, aku boleh ikut menanam saham nggak? Aku juga kepingin belajar berbisnis kecil-kecilan."
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
"Boleh banget dong, Rum! Sejujurnya, aku memang sedang mencari investor. Modalku terbatas." Uma rasanya langsung ingin bersujud syukur. Ternyata Allah menjawab doa-doanya melalui sosok Arumi. Alhamdulillah.
"Bagus dong kalau begitu. Kita bisa saling bekerjasama. Nanti aku juga akan mempromosikan sabun-sabun kita ke kampusku," seru Arumi semangat.
“Iya, dengan begitu sabun-sabun buatan kita akan lebih dikenal oleh banyak orang ya?” Semangat Arumi menulari Uma.
"Pinter." Di seberang sana Arumi terkekeh. Ia gembira karena akan mempunyai aktivitas baru yang berguna sekaligus bisa menghasilkan uang.
"Tapi, Rum..." Uma menghentikan kalimatnya. Ada hal yang mengganjal jantung.
“Tapi apa lagi, Bu?” terdengar suara decakan lidah di ujung telepon.
"Aku takut Genta nanti salah paham. Nanti dikiranya aku memanfaatkan kamu lagi."
“Kamu ini ya, selalu berpikiran negatif pada Mas Genta,” gerutu Arumi. "Asal kamu tahu ya, Mas Genta itu bukan orang yang seperti yang kamu pikirkan. Mulutnya memang nyebelin. Kalau ngomong langsung to the point. Tapi hatinya baik-baik saja sebenarnya."
Uma setuju. Ia masih ingat betul pertemuan terakhirnya dengan Genta di toko bahan kimia dua bulan lalu. tatapan tajamnya, sindiran yang dilontarkan tanpa tedeng aling-aling. Ia tidak melihat kebaikan dalam sikapnya.
"Rum..." Uma berkata pelan. "Sewaktu kami bertemu di toko kimia dua bulan lalu-sebelum kamu mendekat, Mas Genta itu nyindir-nyindir aku terus lho."
Di seberang sana, Arumi terdiam sesaat. Menimbang-nimbang sesuatu sebelum memutuskan untuk memberitahu Uma. Lalu ia berkata, "Gini ya, Ma. Sebenarnya aku nggak mau menceritakan ini. Karena ini adalah rahasia Mas Genta. Tapi karena kamu tuh terlalu overthinking, aku bilang saja deh."
"Eh Mas, semua yang kamu sebutkan tadi memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang suami. Kalau saya harus membayar, mendingan saya cari majikan yang lebih kaya yang loyal. Bukan menjadi babu gratisan di rumah sendiri," balas Uma tak kalah ganas. "Kalau memang mau hitung-hitungan, saya yang rugi banyak, Mas. Keperawanan saya, anak yang saya lahirkan, kepatuhan saya melayani Mas lahir batin, coba Mas bayar? Nominalnya tidak terhitung bukan?" Uma kian menunjukkan taringnya. "Lantas, apa maumu?" Arya berkacak pinggang. Ia ingin melihat sejauh apa Uma berani mendebatnya. "Saya mau Mas memperlakukan saya selayaknya seorang istrimu, bukan babu. Perlakukan saya dengan hormat, berikan juga saya nafkah lahir batin yang memang seharusnya menjadi hak saya," ucap Uma tegas."Woho. Kamu sudah mulai menuntut macam-macam ya sekarang? Hebat... hebat..." Arya bertepuk tangan dengan air muka mengejek. "Baru sehari keluar rumah saja, kamu sudah berani memberontak. Saya peringatkan kamu ya, jangan m
Saat Uma tiba di rumah, mobil Arya tidak terlihat di garasi. Itu berarti suaminya belum pulang. Namun, ibu mertuanya sudah ada di rumah.Tini menyambut Uma dan segera membantunya mengangkat beberapa bahan sabun yang berat dari dalam bagasi mobil."Biar saya saja yang bawa, Bu," ucap Tini menawarkan bantuan.Arumi pun kemudian berpamitan. "Aku langsung pulang ya, Uma. Sudah malam juga."Uma mengangguk. Ia tahu betul, suasana pasti akan canggung jika Arumi tetap tinggal saat Bu Mirna ada di rumah.Begitu masuk ke ruang tengah, Uma melihat ibu mertuanya duduk di sofa menonton televisi. Vivi sedang bermain boneka bersama Mbok Jum di karpet.Bu Mirna meliriknya sekilas. "Harusnya kamu pulang lebih cepat. Kamu itu sudah berkeluarga, punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Baru diberi sedikit kebebasan saja langsung lupa pulang," decihnya tajam. Nada bicaranya menghakimi seperti biasa. Berharap Uma merasa bersalah. Tapi kali ini reaksi Uma berbeda. Ia tidak mau bersikap seperti dulu yan
"Perang? Maksudnya?" tanya Uma bingung."Perang urat saraf antara Mas Genta dan orang tuaku." Arumi lagi-lagi mendecakkan lidah.Uma semakin bingung. "Memangnya kenapa sih?"Arumi melirik sekilas ke Uma, lalu kembali fokus ke jalan. "Kamu ingat nggak, aku pernah cerita soal Mas Genta yang mau dikenalkan sama anak kenalannya Mama? Namanya Mbak Puri."Uma mengangguk cepat. "Iya, ingat. Memangnya kenapa?""Nah… mendadak Mas Genta menolak mentah-mentah rencana itu. Dia tidak mau bertemu, tidak mau dijodohkan, pokoknya menolak apa pun yang berhubungan dengan Mbak Puri. Mama sampai marah besar. Soalnya si Puri ini sudah ngebet banget ingin dijodohkan dengan Mas Genta. Katanya, dari dulu dia sudah suka sama Mas Genta."Uma mengangkat alis. "Kenapa Genta tiba-tiba tidak mau ya?" Uma sekarang ikut bingung.""Itulah! Mas Genta tidak mau menyebutkan alasannya. Tidak etis katanya. Entah apa yang tidak etis. Mama sudah bilang, 'Ya sudah, kenalan aja dulu, ngobrol sebentar juga cukup.’ Tapi Mas Gen
Beberapa saat setelah mobil yang dikendarai Pak Alwi berlalu dari halaman, membawa ibu mertuanya, Vivi, dan Tini, sebuah mobil lain berhenti di depan gerbang. Uma yang sedang duduk di teras langsung berdiri. Pak Umar, seperti biasa, sigap membuka pintu pagar.Mobil itu adalah mobil Arumi.Uma menyambut kedatangan Arumi dengan senyum lebar. Hari ini mereka akan membeli bahan-bahan untuk membuat sabun di toko Kimia Jaya sebelum reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA mereka. Karena itu, ia hanya berdandan sederhana. Sunscreen, bedak tabur, dan pelembap bibir sudah cukup. Ia mengenakan celana jeans, kaos lengan panjang, jilbab pastel, dan sepatu kets kesayangannya."Ya ampun, Uma," seru Arumi begitu turun dari mobil. "Orang yang tidak mengenalmu, pasti mengira kalau kamu masih SMA."Uma terkekeh. "Padahal aku ini ibu-ibu yang sudah punya anak satu ya?" Uma menyengir."Iya. Dan herannya masih tetap terlihat muda. Tidak sepertiku yang mukanya tampak boros. Sungguh tidak adil." Arumi pur
Bu Mirna mengalihkan pandangannya pada Uma, yang masih berdiri tenang di dekat kursi makan. Tatapan mereka bertemu sejenak. Uma tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk sedikit, menunggu. Ingin tahu, kali ini ibu mertuanya akan memarahinya dengan kalimat-kalimat hinaan apa lagi. Ibu dan anak ini memang kerap merudungnya.Beberapa detik berlalu sebelum Bu Mirna berkata—nada suaranya tenang,"Hanya masalah sepele saja, ributnya sampai terdengar ke luar sana," omel Bu Mirna sembari duduk perlahan di kursi.Uma termangu. Tumben, ibu mertuanya tidak ikut-ikutan menghujatnya.Arya merengut. "Tapi, Bu—"Namun, ibunya mengangkat tangan, memotong kalimat itu."Duduk dan lanjutkan sarapanmu, Arya. Kamu juga, Uma. Duduk sini," perintah Bu Mirna tegas.Arya dan Uma menarik kursi dan duduk mengelilingi meja."Dengar, Arya. Uma itu tidak selamanya ada untukmu. Sekarang dia sibuk mengurus anak. Nantinya bisa saja dia sibuk mengurus hal lain. Kamu harus mulai belajar dilayani oleh orang lain juga."Kat
Pagi datang terlalu cepat. Uma bangun dan berkali-kali menguap saat menyiapkan sarapan bersama Mbok Jum. Ia terjaga semalaman dan baru bisa tidur menjelang pagi. Saat ini, dapur dipenuhi aroma kaldu dari bubur ayam yang menguar dari mangkuk hangat. Uma duduk di ujung meja, menyuapi Vivi yang duduk di baby chair sambil mengayun-ayunkan kaki mungilnya."Aaa..." Uma tersenyum lembut sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut anaknya.Vivi menyambutnya dengan gembira, meski sebagian bubur menempel di pipinya.Sejurus kemudian, Mbok Jum meletakkan pinggan berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tini menyusul meletakkan potongan timun, tomat segar, kerupuk, dan seteko jus jeruk.Beberapa saat kemudian, pintu dapur terbuka. Arya masuk dalam keadaan sudah rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi menggantung di leher. Wajahnya seperti biasa—dingin, angkuh, merasa dirinya raja di rumah sendiri.Uma tidak melihat ke arah Arya sedikit pun. Ia tetap duduk dan sibuk menyuapi bu