Beranda / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 10. Bertemu Orang Baik.

Share

10. Bertemu Orang Baik.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-14 14:10:19

Wajah Arya memerah. Ia tidak suka dikuliahi seperti ini. "Kalau mau mencampuri urusan orang, sekalian saja belikan gaun yang diinginkan istri saya. Jangan cuma bicara saja," balas Arya ketus. Ia tahu bahwa gaun-gaun di butik ini sangat mahal. Mustahil orang asing ini bersedia membelikan gaun untuk Uma. 

Pria itu menoleh ke wanita di sampingnya. "Dia, bantu Mbak ini memilih gaun yang ia suka. Kita yang akan membayar. Kalau Mas-nya butuh baju baru juga, silakan pilih. Saya bayar sekalian." 

Uma menarik napas berat. Arya dan Bu Mirna sama saja. Sama-sama kikir hingga tidak merasa malu sedang dijengkali oleh orang lain. 

Wanita yang dipanggil "Dia" tersenyum lembut. "Ayo, Mbak. Kita ke atas." Wanita itu menghela tangannya sambil mengambil alih Vivi dari gendongannya. Uma terhenyak. Ia tidak menyangka laki-laki baik itu menjawab tantangan Arya. Dan pacarnya juga mendukung tindakannya. 

"Tidak usah, saya-"

"Ayo, ikut saja." Si wanita berbisik di telinganya. Ragu-ragu Uma ikut naik. Ia bingung harus bersikap bagaimana. 

***

Uma menaiki anak tangga butik dengan langkah hati-hati. Vivi sudah tertidur pulas dalam pelukan wanita muda bernama Dia yang berjalan di sampingnya. Aroma lembut dari parfum ruangan menguar- bercampur dengan wewangian kain sutra yang tersusun rapi di rak-rak kaca.

Di tengah atmosfer mewah dan kehangatan itu, perasaan Uma berkecamuk. Antara malu, tak percaya, dan khawatir.

Perlahan ia berbisik, "Mbak..." Uma menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu nama wanita cantik ini. Ia hanya mendengar sekilas kalau namanya Dia. 

"Dia Nan Dinanti. Panggil saja saya Dia, seperti yang lain." Dia menawarkan jabat tangan. 

"Saya Rahuma Kinanti. Panggil saja Uma. Vivi biar saya gendong saja." Uma mengulurkan tangannya. Bermaksud ingin menggendong Vivi kembali. 

"Tidak usah. Kamu kan mau memilih gaun." Dia menggeleng.

"Mbak Dia, sebenarnya saya tadi cuma bercanda dengan Mas Arya. Saya tidak benar-benar ingin membeli gaun... Jadi Mbak tidak usah membelikan saya apa-apa, ya..."

Dia menoleh sambil tersenyum lembut. "Tenang saja, Uma. Saya memang berniat memberimu hadiah. Anggap saja ini sebagai bentuk dukungan saya pada sesama perempuan atas... eh, kejadian tadi. Jangan menolak rezeki ya, tidak baik," bujuk Dia lagi.

Uma tersenyum kikuk. "Iya, eh tapi saya takut nanti di atas bertemu dengan ibu mertua saya. Beliau nanti bisa marah besar."

"Tenang saja... Mertuamu pasti sibuk dengan koleksi gaun ibu-ibu. Kita ke bagian koleksi gaun remaja-dewasa muda saja. Pasti aman di sana." 

Benar saja, saat mereka tiba di lantai dua, tidak ada bayangan Bu Mirna sedikit pun. Yang ada hanya deretan manekin ramping mengenakan gaun-gaun model terbaru. Dua orang pramuniaga langsung menyambut mereka dengan penuh senyum.

"Selamat siang, Kakak! Mau melihat koleksi-koleksu new arrival kita?"

Dia menunjuk ke arah rak paling kanan. "Tolong bantu Mbak ini mencari gaun yang cocok, ya. Yang simple tapi elegan. Khusus untuk yang berhijab ya?"

"Boleh. Mari, Kak. Kita kebagian koleksi terbaru," kata sang pramuniaga ramah. 

Uma tersenyum kikuk. "Saya... pokoknya jangan yang mahal-mahal ya. Saya jadi nggak enak ini." Uma memandang Dia dengan sang pramuniaga berganti-ganti. Keadaannya saat ini sangat canggung.

Sambil tertawa ringan, Dia menjawab, "Kamu jangan stres begini dong, Uma. Ayo, kamu pilih saja dulu. Nanti urusan harga, biar saya yang atur. Saya sering berbelanja di sini. Pasti akan mendapat diskon."

Setelah menimbang beberapa model, Uma akhirnya menunjuk gaun fresh silk warna putih susu dengan lengan balon dan detail layer lembut di bagian tengah.

"Aku suka yang ini. Tapi... berapa ya harganya?" tanyanya ragu.

Salah satu pramuniaga tersenyum, "Gaun ini... dua puluh delapan juta, Kak."

Uma terbelalak. "Hah? Dua puluh delapan juta? Astaga. Nggak, nggak, Mbak. Saya... saya ganti aja."

Dengan cepat, Uma menunjuk gaun satin polos sederhana yang warnanya senada tapi modelnya lurus dan tanpa aksen. "Kalau ini pasti lebih murah, ya?"

Pramuniaga tersenyum makin lebar. "Yang ini... lima puluh empat juta, Kak."

Uma membelalak. "Lho, kok malah dua kali lipat?!"

Dia tak kuasa menahan tawa. Tapi tawanya lembut, tidak mengejek. "Uma, justru yang simple-simple itu biasanya lebih mahal. Bahan dan jahitannya premium semua. Yang kamu tunjuk tadi adalah harga yang paling murah di sini," tukas Dia sambil kembali bermain mata pada sang pramuniaga tanpa sepengetahuan Uma.

Uma menggaruk pelipis, pasrah. "Kalau begitu aku balik ke yang pertama saja deh... Yang dua puluh delapan juta. Tapi... pastikan itu yang paling murah, ya?"

Dia melirik ke pramuniaga yang telah bersekongkol dengannya. "Iya kan? Yang ini paling murah?"

"Iya, Kak. Gaun ini sudah yang paling murah," ujar sang pramuniaga penuh pengertian.

Uma mengangguk lega. "Ya sudah... terima kasih banyak, Mbak Dia. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapat rezeki besar hari ini."

Sambil menunggu gaun dibungkus, Dia mengayun pelan Vivi dalam gendongannya dan bertanya, "Eh, Uma. Saya memanggilmu Uma saja ya? Walau sudah punya anak, tampangmu masih seperti anak-anak soalnya. Umurmu berapa sih?" tanya Dia penasaran. 

"Jalan 21, Mbak. Saya menikah di usia 18 tahun karena perjodohan," jawab Uma jujur. 

"Nah benarkan tebakan saya? Kamu masih muda sekali. Saya sudah 25 jalan 26 beberapa bulan lagi. Di rumah kamu ngapain saja? Kerja tidak?"

"Sebelumnya saya cuma jadi ibu rumah tangga. Tapi dua bulan ini saya mulai mencoba membuat sabun rumahan. Kecil-kecilan banget, Mbak. Alhamdulillah... mulai ada yang pesan."

"Bagus itu! Pertahankan, ya. Perempuan harus punya uang sendiri. Buat berjaga-jaga. Karena hari sial itu tidak ada di kalender."

Uma terdiam, terharu. Ternyata masih ada orang yang peduli padanya. "Iya, Mbak... saya juga berpikir begitu," bisiknya sendu.

Dia lalu mengeluarkan ponsel. "Kita tukeran nomor ya? Saya ingin mensupport usahamu. Siapa tahu suatu saat perlu bantuan, atau... investor?"

Uma nyaris tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca saat mereka bertukar kontak.

"Terima kasih, Mbak... Saya... saya tidak tahu harus berbicara apa lagi. Mbak Dia sangat baik," tutur Uma terbata-bata.

Dia menepuk lembut punggung tangan Uma. "Sesama perempuan sudah seharusnya kita saling mendukung. Anggap saja saat ini Allah sedang mempertemukan kita untuk hal-hal baik. Pastikan kamu akan menghubungi saya jikalau kamu butuh bantuan ya? Saya mengatakan ini bukan sekedar basa-basi. Saya tulus ingin membantumu."

Dan di saat itu juga, Uma percaya-Tuhan memang tidak pernah tertidur.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   80. Bertemu Rival.

    Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   79. Menghilang!

    Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   78. Cinta Sejati.

    Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   77. Pengakuan.

    Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   76. Kejutan Tak Terduga.

    "Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   75. Gaya Umaira.

    Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status