LOGINPria itu menoleh ke wanita di sampingnya. "Dia, bantu Mbak ini memilih gaun yang ia suka. Kita yang akan membayar. Kalau Mas-nya butuh baju baru juga, silakan pilih. Saya bayar sekalian."
Uma menarik napas berat. Arya dan Bu Mirna sama saja. Sama-sama kikir hingga tidak merasa malu sedang dijengkali oleh orang lain.
Wanita yang dipanggil "Dia" tersenyum lembut. "Ayo, Mbak. Kita ke atas." Wanita itu menghela tangannya sambil mengambil alih Vivi dari gendongannya. Uma terhenyak. Ia tidak menyangka laki-laki baik itu menjawab tantangan Arya. Dan pacarnya juga mendukung tindakannya.
"Tidak usah, saya-"
"Ayo, ikut saja." Si wanita berbisik di telinganya. Ragu-ragu Uma ikut naik. Ia bingung harus bersikap bagaimana.
***
Uma menaiki anak tangga butik dengan langkah hati-hati. Vivi sudah tertidur pulas dalam pelukan wanita muda bernama Dia yang berjalan di sampingnya. Aroma lembut dari parfum ruangan menguar- bercampur dengan wewangian kain sutra yang tersusun rapi di rak-rak kaca.
Di tengah atmosfer mewah dan kehangatan itu, perasaan Uma berkecamuk. Antara malu, tak percaya, dan khawatir.
Perlahan ia berbisik, "Mbak..." Uma menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu nama wanita cantik ini. Ia hanya mendengar sekilas kalau namanya Dia.
"Dia Nan Dinanti. Panggil saja saya Dia, seperti yang lain." Dia menawarkan jabat tangan.
"Saya Rahuma Kinanti. Panggil saja Uma. Vivi biar saya gendong saja." Uma mengulurkan tangannya. Bermaksud ingin menggendong Vivi kembali.
"Tidak usah. Kamu kan mau memilih gaun." Dia menggeleng.
"Mbak Dia, sebenarnya saya tadi cuma bercanda dengan Mas Arya. Saya tidak benar-benar ingin membeli gaun... Jadi Mbak tidak usah membelikan saya apa-apa, ya..."
Dia menoleh sambil tersenyum lembut. "Tenang saja, Uma. Saya memang berniat memberimu hadiah. Anggap saja ini sebagai bentuk dukungan saya pada sesama perempuan atas... eh, kejadian tadi. Jangan menolak rezeki ya, tidak baik," bujuk Dia lagi.
Uma tersenyum kikuk. "Iya, eh tapi saya takut nanti di atas bertemu dengan ibu mertua saya. Beliau nanti bisa marah besar."
"Tenang saja... Mertuamu pasti sibuk dengan koleksi gaun ibu-ibu. Kita ke bagian koleksi gaun remaja-dewasa muda saja. Pasti aman di sana."
Benar saja, saat mereka tiba di lantai dua, tidak ada bayangan Bu Mirna sedikit pun. Yang ada hanya deretan manekin ramping mengenakan gaun-gaun model terbaru. Dua orang pramuniaga langsung menyambut mereka dengan penuh senyum.
"Selamat siang, Kakak! Mau melihat koleksi-koleksu new arrival kita?"
Dia menunjuk ke arah rak paling kanan. "Tolong bantu Mbak ini mencari gaun yang cocok, ya. Yang simple tapi elegan. Khusus untuk yang berhijab ya?"
"Boleh. Mari, Kak. Kita kebagian koleksi terbaru," kata sang pramuniaga ramah.
Uma tersenyum kikuk. "Saya... pokoknya jangan yang mahal-mahal ya. Saya jadi nggak enak ini." Uma memandang Dia dengan sang pramuniaga berganti-ganti. Keadaannya saat ini sangat canggung.
Sambil tertawa ringan, Dia menjawab, "Kamu jangan stres begini dong, Uma. Ayo, kamu pilih saja dulu. Nanti urusan harga, biar saya yang atur. Saya sering berbelanja di sini. Pasti akan mendapat diskon."
Setelah menimbang beberapa model, Uma akhirnya menunjuk gaun fresh silk warna putih susu dengan lengan balon dan detail layer lembut di bagian tengah.
"Aku suka yang ini. Tapi... berapa ya harganya?" tanyanya ragu.
Salah satu pramuniaga tersenyum, "Gaun ini... dua puluh delapan juta, Kak."
Uma terbelalak. "Hah? Dua puluh delapan juta? Astaga. Nggak, nggak, Mbak. Saya... saya ganti aja."
Dengan cepat, Uma menunjuk gaun satin polos sederhana yang warnanya senada tapi modelnya lurus dan tanpa aksen. "Kalau ini pasti lebih murah, ya?"
Pramuniaga tersenyum makin lebar. "Yang ini... lima puluh empat juta, Kak."
Uma membelalak. "Lho, kok malah dua kali lipat?!"
Dia tak kuasa menahan tawa. Tapi tawanya lembut, tidak mengejek. "Uma, justru yang simple-simple itu biasanya lebih mahal. Bahan dan jahitannya premium semua. Yang kamu tunjuk tadi adalah harga yang paling murah di sini," tukas Dia sambil kembali bermain mata pada sang pramuniaga tanpa sepengetahuan Uma.
Uma menggaruk pelipis, pasrah. "Kalau begitu aku balik ke yang pertama saja deh... Yang dua puluh delapan juta. Tapi... pastikan itu yang paling murah, ya?"
Dia melirik ke pramuniaga yang telah bersekongkol dengannya. "Iya kan? Yang ini paling murah?"
"Iya, Kak. Gaun ini sudah yang paling murah," ujar sang pramuniaga penuh pengertian.
Uma mengangguk lega. "Ya sudah... terima kasih banyak, Mbak Dia. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapat rezeki besar hari ini."
Sambil menunggu gaun dibungkus, Dia mengayun pelan Vivi dalam gendongannya dan bertanya, "Eh, Uma. Saya memanggilmu Uma saja ya? Walau sudah punya anak, tampangmu masih seperti anak-anak soalnya. Umurmu berapa sih?" tanya Dia penasaran.
"Jalan 21, Mbak. Saya menikah di usia 18 tahun karena perjodohan," jawab Uma jujur.
"Nah benarkan tebakan saya? Kamu masih muda sekali. Saya sudah 25 jalan 26 beberapa bulan lagi. Di rumah kamu ngapain saja? Kerja tidak?"
"Sebelumnya saya cuma jadi ibu rumah tangga. Tapi dua bulan ini saya mulai mencoba membuat sabun rumahan. Kecil-kecilan banget, Mbak. Alhamdulillah... mulai ada yang pesan."
"Bagus itu! Pertahankan, ya. Perempuan harus punya uang sendiri. Buat berjaga-jaga. Karena hari sial itu tidak ada di kalender."
Uma terdiam, terharu. Ternyata masih ada orang yang peduli padanya. "Iya, Mbak... saya juga berpikir begitu," bisiknya sendu.
Dia lalu mengeluarkan ponsel. "Kita tukeran nomor ya? Saya ingin mensupport usahamu. Siapa tahu suatu saat perlu bantuan, atau... investor?"
Uma nyaris tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca saat mereka bertukar kontak.
"Terima kasih, Mbak... Saya... saya tidak tahu harus berbicara apa lagi. Mbak Dia sangat baik," tutur Uma terbata-bata.
Dia menepuk lembut punggung tangan Uma. "Sesama perempuan sudah seharusnya kita saling mendukung. Anggap saja saat ini Allah sedang mempertemukan kita untuk hal-hal baik. Pastikan kamu akan menghubungi saya jikalau kamu butuh bantuan ya? Saya mengatakan ini bukan sekedar basa-basi. Saya tulus ingin membantumu."
Dan di saat itu juga, Uma percaya-Tuhan memang tidak pernah tertidur.
Lima Tahun KemudianUma menatap bayangannya di depan cermin.Di sana tampak seraut wajah wanita muda penuh percaya diri, mengenakan kebaya khas wisuda berwarna gading lembut. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan.Hari ketika ia resmi diwisuda sebagai seorang Sarjana Desain.Setelah perjalanan panjang dan berliku, setelah air mata, luka, dan pembuktian yang tak mudah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Tata Busana.Dari luar kamar terdengar suara lembut ibunya memanggil.“Uma… Genta sudah datang, Nak. Katanya kalian mau berangkat bersama.”Uma menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Sebentar, Bu…”Ia mengambil tas tangannya dan segera keluar.Begitu membuka pintu, ia mendapati Genta sudah berdiri di ruang tamu, mengenakan batik biru tua dan senyum yang menenangkan seperti biasa. Tatapan itu masih sama — hangat, sabar, dan penuh cinta.“Siap, calon Sarjana Desain?” godanya lembut.Uma meringi
Genta dan Uma telah sampai di rumah Bu Rahayu. Mobil tua itu berhenti perlahan di depan pagar besi yang berkarat, diselimuti bunga melati yang kini merambat hingga ke tiang teras.Uma terdiam di kursinya.Matanya menatap rumah itu lama sekali — rumah yang dulu menjadi saksi delapan belas tahun hidupnya.Rumah tempat ia tumbuh, bermimpi, dan akhirnya pergi dalam duka.Genta menoleh pelan. “Kita masuk?”Uma mengangguk. “Ini rumahku, tapi rasanya aku seperti pertama kalinya pulang,” ucap Uma dengan suara nyaris tak terdengar.“Kini kamu akan benar-benar pulang dan kembali mewujudkan mimpi-mimpimu dari sini,” Genta menyemangati Uma.“Bismillah.” Uma melangkah masuk. Seketika hawa rumah langsung menyergapnya — wangi sabun produksi kakak-kakaknya, sofa tua merah marun tempat mereka sekeluarga menonton televisi, berbagai macam piala dan penghargaan yang ia dapat di sekolah — semua masih terpajang rapi. Tiada yang berubah.Kecuali sosok ayahnya yang tak lagi menyambutnya saat ia pulang ke rum
Di dalam mobil yang belum dihidupkan mesinnya, Genta menatap Uma dengan senyum lembut.“Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal?”Uma mengangguk. “Tapi tanpa janji-janji harus menikah kapan, punya anak berapa, harus berhenti bekerja, dan sebagainya. Aku muak diatur-atur oleh laki-laki patriarki,” pungkas Uma tegas.Genta tertawa kecil. “Tentu saja. Kamu lupa dulu aku tidak menembakmu karena aku ingin kamu serius menggapai cita-cita, hm?” Genta mencubit cuping hidung Uma gemas. Dari zaman sekolah dulu, ia paling suka melihat Uma dalam mode tegas begini. Selain cantik ia tampak mempesona sekaligus cerdas. “Itu kan dulu, saat kita masih remaja. Sekarang usia kita sudah bertambah. Apa Mas sungguh-sungguh tidak keberatan menunggu hingga bertahun-tahun?” Uma menyipitkan mata, meragukan kesungguhan Genta.“Bagiku, dulu dan sekarang tidak ada bedanya. Aku mencintaimu beserta semua mimpi-mimpimu. Dan insyaallah, akan kita wujudkan bersama.”Uma menyipitkan mata. Kemurahhatian Genta nyar
Gerbang KebebasanPagi itu langit tampak cerah. Semilir angin Subang berembus lembut, membawa aroma basah tanah yang baru saja disiram embun. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas Wanita. Dua orang pemuda dan tiga orang wanita turun dari mobil. Mereka adalah Anton, Thoriq, Bu Rahayu, Rauda, dan Raima. Mereka berlima sudah tidak sabar menyambut kebebasan Uma.Pintu gerbang lapas tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan muda melangkah keluar dari gerbang pintu. Ia menoleh sejenak pada pintu besi yang langsung tertutup rapat, seolah ingin mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Perempuan muda itu adalah Uma. Tubuhnya tampak lebih kurus, namun sorot matanya teduh. Ada ketenangan dan keputusan di sana—ketenangan yang lahir setelah berbulan-bulan menerima, memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri.Begitu melihat kehadiran Uma, Bu Rahayu langsung berlari kecil dan memeluk putri bungsunya erat-erat. Kerinduan yang selama ini tertahan akhirnya terlampiaskan.“Ana
Setelah Sidang — Ruang Tahanan Kejaksaan Negeri SubangLangit sore di luar jendela sudah berwarna kelabu keemasan ketika Uma kembali ke ruang tahanannya. Petugas membuka pintu besi, mempersilakannya masuk, lalu menguncinya kembali. Suara logam yang mengunci itu terdengar nyaring, menggema di ruang sempit.Uma berdiri sejenak, menatap dinding kosong di hadapannya. Rasanya aneh — hari ini seharusnya menjadi puncak dari segala ketegangan yang menyesakkan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia tenang sekali divonis satu tahun setengah penjara.Ia berjalan ke sudut ranjang, duduk perlahan, lalu menatap kedua tangannya yang pucat. Di sana, di dekat nadi, masih ada bekas goresan luka kecil yang dulu sempat ia buat sendiri — di malam setelah Adek pergi. Ia sempat ingin bunuh diri, sebelum akal sehat mengalahkan pikiran pendeknya.Uma baru saja ingin berbaring sejenak ketika seorang petugas menghampiri, membawa dua buah amplop berwarna putih.“Surat-surat untukmu. Sudah dari dua hari yan
Sidang Kelima — Pembacaan PutusanUma duduk di kursi terdakwa dengan wajah tenang. Jemarinya menggenggam tasbih kecil pemberian ibunya — sesuatu yang selalu ia bawa sejak persidangan pertama.Di sisi kanan, Daniel sebagai kuasa hukumnya membisikkan sesuatu pelan. Tapi telinga Uma sudah tidak benar-benar mendengar. Hatinya lebih sibuk mendengarkan suara langkah dan detak jam dinding yang menggema.Barisan pengunjung tampak penuh hari itu.Bu Rahayu duduk di deretan depan, diapit oleh Rauda dan Raima yang berkali-kali menyeka air mata.Arumi, sahabat yang tak pernah absen di setiap sidang, duduk tak jauh dari mereka. Di sebelah Arumi, Genta menunduk dalam diam — memanjatkan doa tanpa suara.Beberapa saat kemudian, Genta menegakkan kepala, menatap Uma yang juga tengah memandangnya dengan tatapan menguatkan. Sejak pertama kali Uma ditahan, ia tak pernah sekalipun meninggalkannya. Ia menghadiri setiap sidang, memberi Uma kekuatan — baik sebelum maupun sesudahnya.Di barisan belakang, Gunaw







