Rahuma tidak pernah menyangka dirinya yang akan dipilih Arya sebagai istri-alih-alih salah satu dari kedua kakaknya. Padahal, Uma baru saja lulus SMA dan menyimpan cita-cita besar untuk kuliah, demi mengangkat derajat keluarganya. Namun, mimpi itu harus dikubur dalam-dalam saat pernikahan datang tanpa cinta, tanpa pilihan. Tiga tahun berlalu, Uma menjalani hidup dalam diam dan luka. Hingga sebuah kebenaran pahit mengubah segalanya. Ia memilih pergi, membawa trauma yang membuatnya menutup hati rapat-rapat untuk semua pria. Sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Gentala Hanenda-kakak kelasnya saat SMA yang kini menjadi dosennya. Pria yang perlahan menguji keyakinannya bahwa tidak semua laki-laki itu sama. "Semua laki-laki itu sama. Hanya beda cara menyakitinya saja." -Rahuma Kinanti "Itu karena kamu terus berhubungan dengan lelaki yang salah." -Gentala Hanenda
view more"Uma! Kamu mau ke mana lagi sih? Cepat ke sini. Bantu Ibu menata kue-kue!" Bu Rahayu meneriaki putri bungsunya.
"Sebentar, Bu. Uma pakai jilbab dulu." Uma balas berteriak dari dalam kamar. Tangan mungilnya dengan cepat mengikat ujung jilbabnya.
"Lha, ngapain kamu dandan segala? Yang mau dipilih oleh Arya itu, kakak-kakakmu. Bukan anak piyik sepertimu," omel Bu Rahayu seraya menyusun hidangan.
"Iya, Uma tahu kok, Bu. Uma memakai jilbab bukan karena ingin dilihat Mas Arya, tapi Uma sedang menunggu paket. Keterangannya paket Uma sedang diantar ke alamat tujuan." Uma yang sudah keluar dari kamar dan berjilbab rapi memberi alasan pada sang ibu.
"Oh, ya sudah. Susun kue-kue ini dengan wadah-wadah yang cantik. Kita harus membuat keluarga Tjokro terkesan. Ibu mau melihat persiapan kakak-kakakmu dulu. Mereka harus tampil secantik mungkin." Bu Rahayu bergegas naik ke lantai dua. Ia harus menunjukkan kecantikan kedua putrinya yang paripurna. Acara perjodohan ini sudah mereka persiapkan sejak lama. Tepatnya sejak suaminya dan almarhum Pak Tjokro muda.
Dengan cekatan Uma menyusun kue-kue kering ke dalam toples-toples kaca kesayangan ibunya. Sambil bekerja matanya terus melirik pintu pagar. Ia sedang menunggu kedatangan Pak Kus— kurir pengantar paket di wilayahnya. Ia memesan buku-buku online untuk keperluan studinya. Buku-buku yang ia pesan adalah buku-buku UTBK yang berisi contoh-contoh soal untuk Persiapan masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Dari kejauhan, suara knalpot motor tua yang khas mulai terdengar. Senyum Uma merekah. Apa yang ia tunggu-tunggu sudah datang!
“Pak Kus!” seru Uma senang. Ia buru-buru meletakkan toples dan berlari kecil ke arah pagar.
Pak Kus melambai, senyumnya mengembang.
“Rahuma Kinanti!" Pak Kus mengeja nama penerima di paket. Uma tertawa. Pak Kus memang selalu memanggil nama lengkapnya.
“Pak Kus kok selalu memanggil nama lengkap saya sih?” ujar Uma sembari menerima paket.
"Soalnya nama kamu itu bagus sekali. Rahuma Kinanti. Artinya, kasih sayang yang abadi. Orang tuamu pintar sekali memberimu nama.” Pak Kus mengacungkan jempolnya.
Uma tertawa. Sembari mengucapkan terima kasih, ia menyelipkan selembar uang sepuluh ribuan ke tangan Pak Kus. Pak Kus gantian mengucapkan terima kasih dengan mata berbinar. Doa tulus ia panjatkan dalam hati. Semoga gadis remaja ini sukses menggapai cita-cintanya.
Tepat setelah Pak Kus berlalu, sebuah mobil mewah berwarna hitam, berhenti di depan pagar.
“Uma, buka pagar! Keluarga Tjokro datang!” teriak ibunya dari teras.
Uma mengepit paket di ketiak, lalu membuka pagar lebar-lebar. Mobil hitam mengilat perlahan memasuki halaman rumah yang sempit. Dari balik kaca gelap, terlihat tiga orang duduk di dalam mobil.
Setelah menutup pagar, Uma buru-buru masuk dan langsung ke kamarnya. Dengan tidak sabar ia membuka bungkus paket dan duduk di meja belajar. Sejurus kemudian ia sudah menekuni soal-soal tryout UTBK. Riuh suara tamu di ruang tamu tak dihiraukannya.
Namun, kesibukannya terusik saat terdengar suara ibunya memanggil.
“Uma, ini sebentar, Nak.”
Uma menutup bukunya dan berjalan menuju ruang tamu dengan langkah ragu. Begitu sampai, ia langsung merasakan aura yang tidak enak.
Di hadapannya, duduk Bu Mirna Hadi Tjokro—sosok yang tampak seperti ibu-ibu orang kaya di sinetron-sinetron: berkebaya anggun dengan kipas yang berdentang di tangan kiri, dan tas bermerek tersampir angkuh di siku. Ia melirik Uma sekilas, seperti menilai harga barang di etalase.
Di sebelahnya, Arya Hadi Tjokro— anak duduk dengan raut wajah bosan sambil bermain ponsel. Meski tampan rupawan, Arya tampak tidak sopan dan menyebalkan. Sementara Aryani, sang kakak, duduk anggun namun angkuh, tetap bersikap sang ibu versi muda.
Bu Rahayu tersenyum kikuk. “Ini Uma, anak bungsuku.”
Uma tersenyum sopan dan membungkuk, hendak menyalami tangan Bu Mirna.
Namun, wanita itu menarik tangannya dan terus mengipasi wajahnya. Uma tertegun, lalu pelan-pelan menarik tangannya kembali.
Hening sejenak, hingga akhirnya Arya membuka suara. Santai, tapi cukup keras untuk semua pendengaran.
“Aku pilih dia saja, Bu,” kata Arya sambil menunjuk Uma.
Suasana ruang tamu seketika membeku.
Uma membelalak. “Maaf, apa… maksudnya?” Uma mundur satu langkah.
Arya menatap sang ibu. Ia ingin ibunya saja yang menjelaskan. Ia malas terlibat dalam drama-drama seperti ini.
“Ayahmu dulu bilang bahwa semua anaknya boleh dipilih. Kamu juga anaknya bukan?” Bu Mirna akhirnya berbicara, suaranya datar namun mengintimidasi.
“Tapi aku masih SMA. Aku baru lulus sekolah dan ingin kuliah. Aku tidak berpikir soal pernikahan,” ucap Uma ngeri.
"Iya, Bu Mirna. Rahuma baru berusia 18 tahun. Masih kecil. Rauda dan Raima lebih siap. Mereka sudah dewasa. Rauda sudah berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai seorang perawat. Sementara Raima 24 tahun dan saat ini bekerja di perusahaan asing. Mereka berdua lebih cocok menjadi pendamping Arya," Bu Rahayu menyela, suaranya penuh harap.
“Yang mau nikah itu Arya bukan aku,” potong Bu Mirna dingin. “Dan dia sudah memilih.”
Bu Mirna kemudian meletakkan kipas di pangkuan dan menatap langsung ke arah Bu Rahayu.
"Kalau Uma bersedia menikah, kami akan menanggung seluruh biaya operasi lewat suamimu—Anwar. Kami beri waktu tiga hari untuk berpikir. Jika kalian setuju, pernikahan bisa dilangsungkan sebulan kemudian. Semakin cepat kalian membuat keputusan, semakin cepat operasi dilakukan. Jadi Anwar tidak harus berlama-lama sakit menahannya."
Bu Mirna mengalihkan pandangannya pada Uma, yang masih berdiri tenang di dekat kursi makan. Tatapan mereka bertemu sejenak. Uma tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk sedikit, menunggu. Ingin tahu, kali ini ibu mertuanya akan memarahinya dengan kalimat-kalimat hinaan apa lagi. Ibu dan anak ini memang kerap merudungnya.Beberapa detik berlalu sebelum Bu Mirna berkata—nada suaranya tenang,"Hanya masalah sepele saja, ributnya sampai terdengar ke luar sana," omel Bu Mirna sembari duduk perlahan di kursi.Uma termangu. Tumben, ibu mertuanya tidak ikut-ikutan menghujatnya.Arya merengut. "Tapi, Bu—"Namun, ibunya mengangkat tangan, memotong kalimat itu."Duduk dan lanjutkan sarapanmu, Arya. Kamu juga, Uma. Duduk sini," perintah Bu Mirna tegas.Arya dan Uma menarik kursi dan duduk mengelilingi meja."Dengar, Arya. Uma itu tidak selamanya ada untukmu. Sekarang dia sibuk mengurus anak. Nantinya bisa saja dia sibuk mengurus hal lain. Kamu harus mulai belajar dilayani oleh orang lain juga."Kat
Pagi datang terlalu cepat. Uma bangun dan berkali-kali menguap saat menyiapkan sarapan bersama Mbok Jum. Ia terjaga semalaman dan baru bisa tidur menjelang pagi. Saat ini, dapur dipenuhi aroma kaldu dari bubur ayam yang menguar dari mangkuk hangat. Uma duduk di ujung meja, menyuapi Vivi yang duduk di baby chair sambil mengayun-ayunkan kaki mungilnya."Aaa..." Uma tersenyum lembut sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut anaknya.Vivi menyambutnya dengan gembira, meski sebagian bubur menempel di pipinya.Sejurus kemudian, Mbok Jum meletakkan pinggan berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tini menyusul meletakkan potongan timun, tomat segar, kerupuk, dan seteko jus jeruk.Beberapa saat kemudian, pintu dapur terbuka. Arya masuk dalam keadaan sudah rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi menggantung di leher. Wajahnya seperti biasa—dingin, angkuh, merasa dirinya raja di rumah sendiri.Uma tidak melihat ke arah Arya sedikit pun. Ia tetap duduk dan sibuk menyuapi bu
Uma mengernyitkan dahi. "Apa itu, Rum?" tanya Uma penasaran. Pegangannya pada ponsel menguat."Mas Genta dulu tuh pernah naksir kamu, tahu."Jantung Uma nyaris copot."Hah?! Masa sih? Kamu bercanda?""Kok bercanda sih? Aku serius! Dulu setiap kali kamu ke rumahku, Mas Genta suka salting sendiri. Makanya aku jadi tahu kalau dia tuh suka banget sama kamu."Uma masih tak bisa percaya. Ia mencoba mengingat-ingat sikap Genta padanya di waktu lalu. Namun ia tidak menemukan momen yang ia sadari sebagai bentuk perhatian lebih dari Genta. Ia malah lebih mengingat Genta sebagai sosok yang kaku dan nyaris tidak pernah mengobrol dengannya secara langsung."Tapi... dia nggak pernah nunjukin, Rum. Genta nggak pernah mengajakku mengobrol lebih dari sekadar basa-basi.""Itu karena kamunya nggak peka!" decak Arumi di ujung telepon."Lagian kamu tuh dulu tiap hari ngomongnya ingin fokus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya demi mengangkat derajat keluarga. Makanya Mas Genta jadi tidak berani mende
Mobil berhenti di halaman rumah dengan bunyi decit ringan. Pagar sudah dibuka oleh Pak Umar yang dengan sigap menyambut. Rumah dua lantai milik keluarga Arya berdiri megah, tapi bagi Uma, rumah itu terasa seperti tembok-tembok dingin yang membuatnya merasa terpenjara.Arya turun lebih dulu tanpa berkata apa-apa, diikuti oleh Bu Mirna yang langsung mengeluh, "Panas sekali siang ini. Mbok, ambilkan saya air dingin," seru Arya pada Mbok Jum yang berdiri di depan pintu."Sebentar, Bu," jawab Mbok Jum sambil bergegas ke dapur.Uma turun sambil menggendong Vivi yang baru saja terbangun dan mulai mengucek matanya. Di tangan satunya, Uma menenteng kotak gaun dari butik tadi. Ia berjalan pelan masuk ke dalam rumah, berharap tidak ada komentar sinis dari Bu Mirna lagi. Tapi harapan hanyalah harapan.Baru dua langkah masuk ke dalam, Bu Mirna langsung melirik tajam."Dasar tidak tahu malu. Mau saja kamu dibelikan gaun dari orang yang tidak dikenal. Tidak punya harga diri."Uma terdiam. Wajahnya p
Wajah Arya memerah. Ia tidak suka dikuliahi seperti ini. "Kalau mau mencampuri urusan orang, sekalian saja belikan gaun yang diinginkan istri saya. Jangan cuma bicara saja," balas Arya ketus. Ia tahu bahwa gaun-gaun di butik ini sangat mahal. Mustahil orang asing ini bersedia membelikan gaun untuk Uma. Pria itu menoleh ke wanita di sampingnya. "Dia, bantu Mbak ini memilih gaun yang ia suka. Kita yang akan membayar. Kalau Mas-nya butuh baju baru juga, silakan pilih. Saya bayar sekalian." Uma menarik napas berat. Arya dan Bu Mirna sama saja. Sama-sama kikir hingga tidak merasa malu sedang dijengkali oleh orang lain. Wanita yang dipanggil "Dia" tersenyum lembut. "Ayo, Mbak. Kita ke atas." Wanita itu menghela tangannya sambil mengambil alih Vivi dari gendongannya. Uma terhenyak. Ia tidak menyangka laki-laki baik itu menjawab tantangan Arya. Dan pacarnya juga mendukung tindakannya. "Tidak usah, saya-""Ayo, ikut saja." Si wanita berbisik di telinganya. Ragu-ragu Uma ikut naik. Ia bingu
Arya yang sedang menyetir mengendus-endus udara, keningnya berkerut. Setelah dua kali batuk kecil, ia melirik ke arah Uma yang duduk diam di kursi belakang bersama Vivi.“Uma, kamu tadi mencuci piring tapi lupa mencuci tangan ya?” tanyanya sembari memegang kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya mengibas-ngibas di depan hidung.Uma yang tengah memandangi jalan dari balik jendela langsung menoleh. “Tidak, Mas," sahutnya singkat.“Lalu, ini bau sabun cuci piring dari mana? Mobil ini baru dicuci, pengharumnya juga beraroma lavender. Tapi kok sekarang jadi bercampur bau lemon segala?” suara Arya meninggi. Ia memang alergi pada aroma buah yang menusuk.Uma terdiam. Ia sedang mencari alasan yang logis. Tadi dia membuat sabun-sabun dengan berbagai aroma, termasuk lemon dan sereh. Minyak esensial yang cukup kuat pasti meninggalkan aroma yang menempel di bajunya. Bu Mirna tadi melarangnya berganti pakaian, akibatnya ya seperti ini.Namun sebelum Uma sempat menjawab, Bu Mirna menyela cepat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments