LOGINUma mengernyitkan dahi. "Apa itu, Rum?" tanya Uma penasaran. Pegangannya pada ponsel menguat.
"Mas Genta dulu tuh pernah naksir kamu, tahu."
Jantung Uma nyaris copot.
"Hah?! Masa sih? Kamu bercanda?"
"Kok bercanda sih? Aku serius! Dulu setiap kali kamu ke rumahku, Mas Genta suka salting sendiri. Makanya aku jadi tahu kalau dia tuh suka banget sama kamu."
Uma masih tak bisa percaya. Ia mencoba mengingat-ingat sikap Genta padanya di waktu lalu. Namun ia tidak menemukan momen yang ia sadari sebagai bentuk perhatian lebih dari Genta. Ia malah lebih mengingat Genta sebagai sosok yang kaku dan nyaris tidak pernah mengobrol dengannya secara langsung.
"Tapi... dia nggak pernah nunjukin, Rum. Genta nggak pernah mengajakku mengobrol lebih dari sekadar basa-basi."
"Itu karena kamunya nggak peka!" decak Arumi di ujung telepon.
"Lagian kamu tuh dulu tiap hari ngomongnya ingin fokus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya demi mengangkat derajat keluarga. Makanya Mas Genta jadi tidak berani mendekat." Suara Arumi di seberang mengecil, diiringi suara langkah kaki. Sepertinya Arumi pindah lokasi berbicara.
"Mas Genta bilang ia menghormati cita-cita muliamu. Makanya ia tidak mau mengganggu konsentrasimu dengan ajakan pacaran. Dia memilih diam dan menahan perasaannya. Katanya lagi, kalau cita-citamu sudah tercapai, barulah dia akan bicara. Tapi kamunya malah tiba-tiba menikah dengan Arya. Makanya Mas Genta tidak sempat menyatakan perasaannya padamu."
"Aku sama sekali tidak tahu soal itu, Rum," ucap Uma jujur.
"Ya sudahlah, mungkin kalian memang tidak jodoh. Lagian Genta juga mau dijodohkan dengan Mbak Puri-anak kenalan Mama. Katanya sih minggu depan mulai dikenalin. Dan kalau cocok, akan langsung disuruh menikah. Usia keduanya sudah 31 tahun."
Uma menghela napas lega. "Syukurlah... berarti Genta nantinya bakalan sibuk dan tidak sempat mengurusi bisnis kita, ya?"
"Betul sekali. Lagi pula Mas Genta itu baik kok. Ia selalu mendukung siapa pun untuk hal-hal yang positif. Kamu jangan suka berasumsi sendiri. Kita fokus saja mengurus bisnis sabun kita ini."
Uma tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. "Terima kasih, Rum. Bener-bener... aku ngerasa banget Allah jawab doaku lewat kamu."
Arumi tertawa lembut di ujung telepon. "Jangan bilang begitu, ah. Yuk, kita mulai memikirkan branding sabun kita. Nama, packaging, media sosial... semua harus kita atur. Biar makin kece!"
Uma mengangguk penuh semangat meski Arumi tak bisa melihatnya. "Siap, Bos!"
***
Uma terbangun oleh rasa haus yang menggelitik tenggorokan. Ia mengusap wajahnya, lalu menoleh ke sisi ranjang. Vivi sedang tidur nyenyak. Ia menoleh ke sisi lainnya-tempat biasa Arya tidur.
Kosong.
Uma menguap lebar sambil memindai jam dinding-pukul satu dini hari. Itu artinya Arya belum pulang ke rumah, setelah sore tadi ia pergi bersama ibunya ke rumah Aryani, adik iparnya.
Dengan langkah pelan, Uma keluar dari kamar menuju dapur, berharap seteguk air bisa meredakan rasa dahaganya. Tapi belum sempat ia mencapai dapur, langkahnya terhenti.
Ada suara.
Pelan. Lirih. Tapi jelas.Suara Arya, yang sepertinya sedang mengobrol di telepon.
"Sabar dong, Sayang. Aku masih mencari cara untuk menceraikannya..."
Uma membeku.
Napasnya tertahan. Ia mendekat setengah langkah, berlindung di balik bayangan tembok dekat koridor yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Detak jantungnya makin cepat.
"...tapi nggak bisa tiba-tiba juga. Harus ada sebab yang logis. Kalau tidak, aku bisa kehilangan warisan dari Ayah."
Suara Arya terdengar tenang, lembut, dan membujuk-nada yang tak pernah Uma dengar ditujukan padanya sejak mereka bertemu hingga saat ini.
"Karena isi wasiat Ayah, aku harus menikahi Uma dan mempunyai keturunan darinya. Aku hanya bisa bercerai apabila Uma melakukan sesuatu hal yang buruk atau di luar batas kewajaran. Jadi kalau aku menceraikannya sekarang, aku bisa saja kehilangan warisan."
Uma menggigit bibir. Mulutnya kering. Tangannya gemetar.
Warisan? Ini rupanya alasan Arya dan Bu Mirna dulu bersedia mengikuti perjodohan yang diatur oleh Pak Darmuji-ayah Arya dan ayahnya.Tak ada suara selama beberapa detik. Arya tampaknya sedang mendengarkan perempuan di seberang sana.
Lalu suara itu terdengar lagi. Lebih tenang, tapi menusuk.
"Iya, sabar. Aku yakin bisa memanipulasi Uma. Dia masih muda dan naif. Makanya aku dulu memilih dia daripada kedua kakaknya yang serakah dan licik."
Arya terkekeh kecil.
"Kamu cuma perlu nunggu sebentar lagi. Oke, Sayang?"Dada Uma serasa pecah.
Kata-kata itu menghunjam keras, mengoyak harga dirinya.Ini alasan sebenarnya.
Ini motif di balik masalah perjodohan tiga tahun lalu.Licik.
Pilu, marah, dan kecewa bercampur jadi satu. Tapi Uma tahu, menangis saat ini tak akan membawa keuntungan apa-apa.
Ia mundur perlahan, berusaha tak mengeluarkan suara. Begitu masuk ke dalam kamar, Uma menutup pintu dengan hati-hati. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap ke luar jendela yang gelap.
Lalu ia berbisik lirih,
"Aku tidak akan membuat rencana-rencana kalian mudah ke depannya," desisnya geram.
"Kalau kalian bisa merencanakan semuanya dari awal, aku juga bisa merencanakan akhir dari permainan ini."
Tekadnya tegas. Ia akan berjuang hingga akhir.
Namun bukan karena cinta. Tapi karena ia ingin membuat Arya membayar semua rencana-rencana liciknya.Lima Tahun KemudianUma menatap bayangannya di depan cermin.Di sana tampak seraut wajah wanita muda penuh percaya diri, mengenakan kebaya khas wisuda berwarna gading lembut. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan.Hari ketika ia resmi diwisuda sebagai seorang Sarjana Desain.Setelah perjalanan panjang dan berliku, setelah air mata, luka, dan pembuktian yang tak mudah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Tata Busana.Dari luar kamar terdengar suara lembut ibunya memanggil.“Uma… Genta sudah datang, Nak. Katanya kalian mau berangkat bersama.”Uma menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Sebentar, Bu…”Ia mengambil tas tangannya dan segera keluar.Begitu membuka pintu, ia mendapati Genta sudah berdiri di ruang tamu, mengenakan batik biru tua dan senyum yang menenangkan seperti biasa. Tatapan itu masih sama — hangat, sabar, dan penuh cinta.“Siap, calon Sarjana Desain?” godanya lembut.Uma meringi
Genta dan Uma telah sampai di rumah Bu Rahayu. Mobil tua itu berhenti perlahan di depan pagar besi yang berkarat, diselimuti bunga melati yang kini merambat hingga ke tiang teras.Uma terdiam di kursinya.Matanya menatap rumah itu lama sekali — rumah yang dulu menjadi saksi delapan belas tahun hidupnya.Rumah tempat ia tumbuh, bermimpi, dan akhirnya pergi dalam duka.Genta menoleh pelan. “Kita masuk?”Uma mengangguk. “Ini rumahku, tapi rasanya aku seperti pertama kalinya pulang,” ucap Uma dengan suara nyaris tak terdengar.“Kini kamu akan benar-benar pulang dan kembali mewujudkan mimpi-mimpimu dari sini,” Genta menyemangati Uma.“Bismillah.” Uma melangkah masuk. Seketika hawa rumah langsung menyergapnya — wangi sabun produksi kakak-kakaknya, sofa tua merah marun tempat mereka sekeluarga menonton televisi, berbagai macam piala dan penghargaan yang ia dapat di sekolah — semua masih terpajang rapi. Tiada yang berubah.Kecuali sosok ayahnya yang tak lagi menyambutnya saat ia pulang ke rum
Di dalam mobil yang belum dihidupkan mesinnya, Genta menatap Uma dengan senyum lembut.“Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal?”Uma mengangguk. “Tapi tanpa janji-janji harus menikah kapan, punya anak berapa, harus berhenti bekerja, dan sebagainya. Aku muak diatur-atur oleh laki-laki patriarki,” pungkas Uma tegas.Genta tertawa kecil. “Tentu saja. Kamu lupa dulu aku tidak menembakmu karena aku ingin kamu serius menggapai cita-cita, hm?” Genta mencubit cuping hidung Uma gemas. Dari zaman sekolah dulu, ia paling suka melihat Uma dalam mode tegas begini. Selain cantik ia tampak mempesona sekaligus cerdas. “Itu kan dulu, saat kita masih remaja. Sekarang usia kita sudah bertambah. Apa Mas sungguh-sungguh tidak keberatan menunggu hingga bertahun-tahun?” Uma menyipitkan mata, meragukan kesungguhan Genta.“Bagiku, dulu dan sekarang tidak ada bedanya. Aku mencintaimu beserta semua mimpi-mimpimu. Dan insyaallah, akan kita wujudkan bersama.”Uma menyipitkan mata. Kemurahhatian Genta nyar
Gerbang KebebasanPagi itu langit tampak cerah. Semilir angin Subang berembus lembut, membawa aroma basah tanah yang baru saja disiram embun. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas Wanita. Dua orang pemuda dan tiga orang wanita turun dari mobil. Mereka adalah Anton, Thoriq, Bu Rahayu, Rauda, dan Raima. Mereka berlima sudah tidak sabar menyambut kebebasan Uma.Pintu gerbang lapas tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan muda melangkah keluar dari gerbang pintu. Ia menoleh sejenak pada pintu besi yang langsung tertutup rapat, seolah ingin mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Perempuan muda itu adalah Uma. Tubuhnya tampak lebih kurus, namun sorot matanya teduh. Ada ketenangan dan keputusan di sana—ketenangan yang lahir setelah berbulan-bulan menerima, memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri.Begitu melihat kehadiran Uma, Bu Rahayu langsung berlari kecil dan memeluk putri bungsunya erat-erat. Kerinduan yang selama ini tertahan akhirnya terlampiaskan.“Ana
Setelah Sidang — Ruang Tahanan Kejaksaan Negeri SubangLangit sore di luar jendela sudah berwarna kelabu keemasan ketika Uma kembali ke ruang tahanannya. Petugas membuka pintu besi, mempersilakannya masuk, lalu menguncinya kembali. Suara logam yang mengunci itu terdengar nyaring, menggema di ruang sempit.Uma berdiri sejenak, menatap dinding kosong di hadapannya. Rasanya aneh — hari ini seharusnya menjadi puncak dari segala ketegangan yang menyesakkan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia tenang sekali divonis satu tahun setengah penjara.Ia berjalan ke sudut ranjang, duduk perlahan, lalu menatap kedua tangannya yang pucat. Di sana, di dekat nadi, masih ada bekas goresan luka kecil yang dulu sempat ia buat sendiri — di malam setelah Adek pergi. Ia sempat ingin bunuh diri, sebelum akal sehat mengalahkan pikiran pendeknya.Uma baru saja ingin berbaring sejenak ketika seorang petugas menghampiri, membawa dua buah amplop berwarna putih.“Surat-surat untukmu. Sudah dari dua hari yan
Sidang Kelima — Pembacaan PutusanUma duduk di kursi terdakwa dengan wajah tenang. Jemarinya menggenggam tasbih kecil pemberian ibunya — sesuatu yang selalu ia bawa sejak persidangan pertama.Di sisi kanan, Daniel sebagai kuasa hukumnya membisikkan sesuatu pelan. Tapi telinga Uma sudah tidak benar-benar mendengar. Hatinya lebih sibuk mendengarkan suara langkah dan detak jam dinding yang menggema.Barisan pengunjung tampak penuh hari itu.Bu Rahayu duduk di deretan depan, diapit oleh Rauda dan Raima yang berkali-kali menyeka air mata.Arumi, sahabat yang tak pernah absen di setiap sidang, duduk tak jauh dari mereka. Di sebelah Arumi, Genta menunduk dalam diam — memanjatkan doa tanpa suara.Beberapa saat kemudian, Genta menegakkan kepala, menatap Uma yang juga tengah memandangnya dengan tatapan menguatkan. Sejak pertama kali Uma ditahan, ia tak pernah sekalipun meninggalkannya. Ia menghadiri setiap sidang, memberi Uma kekuatan — baik sebelum maupun sesudahnya.Di barisan belakang, Gunaw







