Langkah Uma terhenti di lorong. Ia memeluk nampan berisi gelas-gelas dan piring kecil, sementara dari ruang tamu terdengar gelak tawa dan obrolan penuh kehangatan. Hari ini mertuanya kedatangan teman-teman masa sekolahnya.
"Menantuku, si Lasmaida, sekarang jadi dokter jantung, lho," ujar Bu Lamtiur bangga. "Banyak rumah sakit-rumah sakit swasta yang antre meminta dia kerja di sana."
"Hebat! Nur Hayati juga, menantuku," timpal Bu Iyet. "Sekarang jadi hakim. Dengar-dengar para politikus pada gemetar kalau sidangnya dipimpin dia."
"Kalau Savitri, menantuku, sekarang membuka perusahaan garmen yang laris manis. Otak bisnisnya begini." Bu Wisni mengacungkan jempolnya.
Uma menelan ludah. Menantu-menantu teman ibu mertuanya sungguh hebat-hebat semua.
Uma menunduk. Hatinya menciut seiring terdengarnya suara ibu mertuanya.
"Kalian semua beruntung punya menantu yang bisa dibanggakan," katanya sembari mendecakkan lidah. "Menantuku, si Uma, cuma tamatan SMA. Kerjanya hanya makan, tidur, dan shopping. Kalau bukan karena wasiat almarhum suamiku, aku tidak sudi punya menantu seperti dia."
Uma menguat-nguatkan hatinya sebelum lanjut melangkah ke ruang tamu. Terbiasa dihina selama tiga tahun ini membuat mentalnya hancur. Terkadang ia ingin sekali bercerai. Hanya keberadaan Vivi-lah yang membuatnya tetap bertahan dalam pernikahan seperti neraka ini.
Bu Mirna dan Arya pernah mengancam bahwa mereka tidak akan memperbolehkannya bertemu dengan Vivi lagi apabila ia nekat ingin bercerai. Arya juga bilang agar ia bersabar sebentar lagi saja, karena kalau ia sudah bosan, ia sendiri yang akan menceraikannya.
"Lama sekali kamu di belakang, Uma! Tamu-tamuku bisa mati kehausan kalau harus menunggumu menyuguhi minuman!"
"Astaghfirullahaladzim." Uma kaget saat mendengar teriakan ibu mertuanya.
"Iya, Bu. Ini sudah selesai." Sambil merapikan kerudungnya, Uma melangkah ke ruang tamu. Tawa para tamu seketika mereda. Semua mata menoleh ke arahnya. Walau grogi, Uma tetap berusaha tenang. Ia meletakkan minuman dan makanan ringan dengan raut wajah sopan dan senyum ramah.
"Silakan dicicipi, Ibu-Ibu," katanya ramah. "Maaf kalau saya tadi lama."
"Kok kamu memberi Bu Tiur sirup markisa buatanmu ini sih? Bu Tiur ini tidak minum yang manis-manis!" Bu Mirna menghardik Uma.
"Maaf, saya tidak tahu." Uma mengambil kembali gelas Bu Tiur di meja dan meletakkannya ke atas nampan.
"Ibu mau saya ganti minumnya dengan apa?" tanya Uma lembut.
Bu Tiur memandangi wajah Uma. Ia mencari sedikit saja guratan kekesalan di sana. Menantu Mirna ini sepertinya sedang sibuk di dapur. Kedua lengan bajunya basah, begitu juga kerudung di dahinya. Dan hebatnya, ia tidak menemukannya. Yang terlihat hanyalah kesabaran dan ketenangan. Hati Bu Tiur melembut dengan sendirinya.
"Air putih saja," jawabnya. Ia tidak mau membuat menantu Mirna ini kerepotan.
"Baik, saya ambilkan sebentar ya, Bu." Uma mengambil gelas Bu Tiur, meletakkannya di atas nampan. Ia membungkukkan sedikit badannya, lalu beranjak pergi.
Saat melewatinya, Bu Tiur menyentuh bahu Uma pelan. "Terima kasih ya..." Bu Tiur menghentikan kalimatnya. Ia lupa dengan nama menantu Mirna yang sabar ini.
"Rahuma, Bu. Panggil saja saya Uma," kata Uma sopan.
"Baik. Terima kasih ya, Uma," ucap Bu Tiur sekali lagi. Uma mengangguk. Ucapan kecil itu—yang mungkin bagi orang lain biasa saja—membuat dada Uma menghangat dan matanya terasa panas. Di dapur, ia diam-diam menahan tangis sambil menuang air putih ke gelas bening.
Sementara itu, di ruang tamu, Bu Tiur mengerutkan alis. Ia pun mulai menginterogasi Bu Mirna.
"Mirna, maaf ya. Katamu pembantumu banyak sekali untuk mengurus rumah sebesar ini. Tapi kenapa malah menantumu sendiri yang melayani? Ke mana pembantu-pembantumu yang banyak itu?"
"Pembantuku sedang tidak ada semua. Dua orang pulang kampung, dan dua orang lagi sedang cuti," jawab Bu Mirna cepat.
"Hmm… Kamu juga bilang kalau menantumu itu suka menghabiskan uang. Padahal kerudung dan baju yang dia pakai tadi warnanya sudah pudar. Jelas bukan baju baru," pungkas Bu Tiur lagi.
"Si Uma memang suka pencitraan," dalih Bu Mirna asal. Ia menghentikan pembicaraan saat melihat Uma kembali membawa segelas air putih.
"Letakkan air putih itu di meja dan segera kembali ke dapur. Jangan mengganggu obrolan kami," tandas Bu Mirna ketus.
Uma menunduk. "Baik, Bu."
Ia kembali melangkah ke dapur. Ia harus melanjutkan mencuci piring karena Mbok Jum dan Tini—keponakannya—sedang pulang kampung. Mbok Jum pulang karena anak bungsunya akan menikah. Ibu mertuanya memang tidak bohong mengatakan bahwa dua orang pembantunya sedang pulang kampung. Namun soal tiga orang lagi yang sedang cuti, itu bohong besar. Mereka tidak punya ART lain selain Mbok Jum dan Tini.
"Kamu kok kasar sekali terhadap menantumu, Mirna. Ingat, dia ibu dari cucumu, lho. Juga perempuan yang dicintai oleh anakmu," tegur Bu Tiur.
Gerakan Uma yang sedang mencuci piring terhenti. Pembicaraan di ruang tamu samar-samar terdengar hingga ke dapur. Ia penasaran dengan jawaban yang akan diberikan ibu mertuanya.
"Sebenarnya aku tidak mau menceritakan keburukan menantuku sendiri kepada orang luar. Tapi berhubung kalian semua adalah sahabatku, aku akan berterus terang saja."
Di dapur, Uma menahan napas. Ia ingin tahu kebohongan apalagi yang akan diceritakan mertuanya.
"Kalau dilihat sekilas, orang luar pasti mengira kalau si Uma itu menantu yang kalem, lembut, penurut. Tapi aslinya..." terdengar suara decakan. "Semuanya hanya pencitraan!"
Uma mengelus dada. Walau sudah mengira akan difitnah, mendengarnya secara langsung seperti ini sangat menyakitkan hatinya.
"Dia melakukan itu semua demi meraih simpati orang lain dan anakku, Arya. Aslinya, kepribadian Uma tidak sesempurna itu. Dia itu mata duitan!"
Uma mengusap air matanya yang kini mengalir perlahan. Setelahnya, ia mengerjap karena matanya perih terkena sabun cuci piring. Ia lupa kalau sedang mencuci piring.
"Aku sangat mengerti maksudmu, Mir. Karena menantuku si Savitri juga begitu kelakuannya."
Suara Bu Wisni."Kalau Gilang pulang kerja, dia langsung pura-pura lelah. Wajahnya dibuat memelas. Katanya lelah pulang bekerja harus mengurus anak dan beberes rumah. Padahal kenyataannya? Begitu sampai rumah, langsung main HP di kamar. Bahkan mandi saja tidak!" Suara Bu Wisni terdengar kesal.
"Nah, kamu mengerti maksudku kan?" tukas Bu Mirna penuh kemenangan.
"Bukan menantu kalian saja. Menantuku si Nur juga begitu." Kali ini suara Bu Iyet.
"Kalau di depan Faisal, lembutnya kayak kapas. Tapi giliran Faisal dinas ke luar kota, langsung deh... galaknya kayak singa betina. Rumah seperti pengadilan. Semua orang salah saja di matanya. Mentang-mentang dia hakim, semua orang ia hakimi!" cibir Bu Iyet.
Di dapur, Uma mengelus dada. Obrolan sekarang telah berganti topik. Dari yang semula membanggakan para menantu, kini bergeser menjadi sesi saling menjelek-jelekkan.
Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku
Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi
Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben
Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara
"Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen
Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka