Home / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 3. Mertua VS Menantu.

Share

3. Mertua VS Menantu.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-08-04 09:39:39

Langkah Uma terhenti di lorong. Ia memeluk nampan berisi gelas-gelas dan piring kecil, sementara dari ruang tamu terdengar gelak tawa dan obrolan penuh kehangatan. Hari ini mertuanya kedatangan teman-teman masa sekolahnya.

"Menantuku, si Lasmaida, sekarang jadi dokter jantung, lho," ujar Bu Lamtiur bangga. "Banyak rumah sakit-rumah sakit swasta yang antre meminta dia kerja di sana."

"Hebat! Nur Hayati juga, menantuku," timpal Bu Iyet. "Sekarang jadi hakim. Dengar-dengar para politikus pada gemetar kalau sidangnya dipimpin dia."

"Kalau Savitri, menantuku, sekarang membuka perusahaan garmen yang laris manis. Otak bisnisnya begini." Bu Wisni mengacungkan jempolnya.

Uma menelan ludah. Menantu-menantu teman ibu mertuanya sungguh hebat-hebat semua.

Uma menunduk. Hatinya menciut seiring terdengarnya suara ibu mertuanya.

"Kalian semua beruntung punya menantu yang bisa dibanggakan," katanya sembari mendecakkan lidah. "Menantuku, si Uma, cuma tamatan SMA. Kerjanya hanya makan, tidur, dan shopping. Kalau bukan karena wasiat almarhum suamiku, aku tidak sudi punya menantu seperti dia."

Uma menguat-nguatkan hatinya sebelum lanjut melangkah ke ruang tamu. Terbiasa dihina selama tiga tahun ini membuat mentalnya hancur. Terkadang ia ingin sekali bercerai. Hanya keberadaan Vivi-lah yang membuatnya tetap bertahan dalam pernikahan seperti neraka ini.

Bu Mirna dan Arya pernah mengancam bahwa mereka tidak akan memperbolehkannya bertemu dengan Vivi lagi apabila ia nekat ingin bercerai. Arya juga bilang agar ia bersabar sebentar lagi saja, karena kalau ia sudah bosan, ia sendiri yang akan menceraikannya.

"Lama sekali kamu di belakang, Uma! Tamu-tamuku bisa mati kehausan kalau harus menunggumu menyuguhi minuman!"

"Astaghfirullahaladzim." Uma kaget saat mendengar teriakan ibu mertuanya.

"Iya, Bu. Ini sudah selesai." Sambil merapikan kerudungnya, Uma melangkah ke ruang tamu. Tawa para tamu seketika mereda. Semua mata menoleh ke arahnya. Walau grogi, Uma tetap berusaha tenang. Ia meletakkan minuman dan makanan ringan dengan raut wajah sopan dan senyum ramah.

"Silakan dicicipi, Ibu-Ibu," katanya ramah. "Maaf kalau saya tadi lama."

"Kok kamu memberi Bu Tiur sirup markisa buatanmu ini sih? Bu Tiur ini tidak minum yang manis-manis!" Bu Mirna menghardik Uma.

"Maaf, saya tidak tahu." Uma mengambil kembali gelas Bu Tiur di meja dan meletakkannya ke atas nampan.

"Ibu mau saya ganti minumnya dengan apa?" tanya Uma lembut.

Bu Tiur memandangi wajah Uma. Ia mencari sedikit saja guratan kekesalan di sana. Menantu Mirna ini sepertinya sedang sibuk di dapur. Kedua lengan bajunya basah, begitu juga kerudung di dahinya. Dan hebatnya, ia tidak menemukannya. Yang terlihat hanyalah kesabaran dan ketenangan. Hati Bu Tiur melembut dengan sendirinya.

"Air putih saja," jawabnya. Ia tidak mau membuat menantu Mirna ini kerepotan.

"Baik, saya ambilkan sebentar ya, Bu." Uma mengambil gelas Bu Tiur, meletakkannya di atas nampan. Ia membungkukkan sedikit badannya, lalu beranjak pergi.

Saat melewatinya, Bu Tiur menyentuh bahu Uma pelan. "Terima kasih ya..." Bu Tiur menghentikan kalimatnya. Ia lupa dengan nama menantu Mirna yang sabar ini.

"Rahuma, Bu. Panggil saja saya Uma," kata Uma sopan.

"Baik. Terima kasih ya, Uma," ucap Bu Tiur sekali lagi. Uma mengangguk. Ucapan kecil itu—yang mungkin bagi orang lain biasa saja—membuat dada Uma menghangat dan matanya terasa panas. Di dapur, ia diam-diam menahan tangis sambil menuang air putih ke gelas bening.

Sementara itu, di ruang tamu, Bu Tiur mengerutkan alis. Ia pun mulai menginterogasi Bu Mirna.

"Mirna, maaf ya. Katamu pembantumu banyak sekali untuk mengurus rumah sebesar ini. Tapi kenapa malah menantumu sendiri yang melayani? Ke mana pembantu-pembantumu yang banyak itu?"

"Pembantuku sedang tidak ada semua. Dua orang pulang kampung, dan dua orang lagi sedang cuti," jawab Bu Mirna cepat.

"Hmm… Kamu juga bilang kalau menantumu itu suka menghabiskan uang. Padahal kerudung dan baju yang dia pakai tadi warnanya sudah pudar. Jelas bukan baju baru," pungkas Bu Tiur lagi.

"Si Uma memang suka pencitraan," dalih Bu Mirna asal. Ia menghentikan pembicaraan saat melihat Uma kembali membawa segelas air putih.

"Letakkan air putih itu di meja dan segera kembali ke dapur. Jangan mengganggu obrolan kami," tandas Bu Mirna ketus.

Uma menunduk. "Baik, Bu."

Ia kembali melangkah ke dapur. Ia harus melanjutkan mencuci piring karena Mbok Jum dan Tini—keponakannya—sedang pulang kampung. Mbok Jum pulang karena anak bungsunya akan menikah. Ibu mertuanya memang tidak bohong mengatakan bahwa dua orang pembantunya sedang pulang kampung. Namun soal tiga orang lagi yang sedang cuti, itu bohong besar. Mereka tidak punya ART lain selain Mbok Jum dan Tini.

"Kamu kok kasar sekali terhadap menantumu, Mirna. Ingat, dia ibu dari cucumu, lho. Juga perempuan yang dicintai oleh anakmu," tegur Bu Tiur.

Gerakan Uma yang sedang mencuci piring terhenti. Pembicaraan di ruang tamu samar-samar terdengar hingga ke dapur. Ia penasaran dengan jawaban yang akan diberikan ibu mertuanya.

"Sebenarnya aku tidak mau menceritakan keburukan menantuku sendiri kepada orang luar. Tapi berhubung kalian semua adalah sahabatku, aku akan berterus terang saja."

Di dapur, Uma menahan napas. Ia ingin tahu kebohongan apalagi yang akan diceritakan mertuanya.

"Kalau dilihat sekilas, orang luar pasti mengira kalau si Uma itu menantu yang kalem, lembut, penurut. Tapi aslinya..." terdengar suara decakan. "Semuanya hanya pencitraan!"

Uma mengelus dada. Walau sudah mengira akan difitnah, mendengarnya secara langsung seperti ini sangat menyakitkan hatinya.

"Dia melakukan itu semua demi meraih simpati orang lain dan anakku, Arya. Aslinya, kepribadian Uma tidak sesempurna itu. Dia itu mata duitan!"

Uma mengusap air matanya yang kini mengalir perlahan. Setelahnya, ia mengerjap karena matanya perih terkena sabun cuci piring. Ia lupa kalau sedang mencuci piring. 

"Aku sangat mengerti maksudmu, Mir. Karena menantuku si Savitri juga begitu kelakuannya."

Suara Bu Wisni.

"Kalau Gilang pulang kerja, dia langsung pura-pura lelah. Wajahnya dibuat memelas. Katanya lelah pulang bekerja harus mengurus anak dan beberes rumah. Padahal kenyataannya? Begitu sampai rumah, langsung main HP di kamar. Bahkan mandi saja tidak!" Suara Bu Wisni terdengar kesal.

"Nah, kamu mengerti maksudku kan?" tukas Bu Mirna penuh kemenangan.

"Bukan menantu kalian saja. Menantuku si Nur juga begitu." Kali ini suara Bu Iyet.

"Kalau di depan Faisal, lembutnya kayak kapas. Tapi giliran Faisal dinas ke luar kota, langsung deh... galaknya kayak singa betina. Rumah seperti pengadilan. Semua orang salah saja di matanya. Mentang-mentang dia hakim, semua orang ia hakimi!" cibir Bu Iyet.

Di dapur, Uma mengelus dada. Obrolan sekarang telah berganti topik. Dari yang semula membanggakan para menantu, kini bergeser menjadi sesi saling menjelek-jelekkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   18. Suami Zalim.

    "Eh Mas, semua yang kamu sebutkan tadi memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang suami. Kalau saya harus membayar, mendingan saya cari majikan yang lebih kaya yang loyal. Bukan menjadi babu gratisan di rumah sendiri," balas Uma tak kalah ganas. "Kalau memang mau hitung-hitungan, saya yang rugi banyak, Mas. Keperawanan saya, anak yang saya lahirkan, kepatuhan saya melayani Mas lahir batin, coba Mas bayar? Nominalnya tidak terhitung bukan?" Uma kian menunjukkan taringnya. "Lantas, apa maumu?" Arya berkacak pinggang. Ia ingin melihat sejauh apa Uma berani mendebatnya. "Saya mau Mas memperlakukan saya selayaknya seorang istrimu, bukan babu. Perlakukan saya dengan hormat, berikan juga saya nafkah lahir batin yang memang seharusnya menjadi hak saya," ucap Uma tegas."Woho. Kamu sudah mulai menuntut macam-macam ya sekarang? Hebat... hebat..." Arya bertepuk tangan dengan air muka mengejek. "Baru sehari keluar rumah saja, kamu sudah berani memberontak. Saya peringatkan kamu ya, jangan m

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   17. Pertengkaran.

    Saat Uma tiba di rumah, mobil Arya tidak terlihat di garasi. Itu berarti suaminya belum pulang. Namun, ibu mertuanya sudah ada di rumah.Tini menyambut Uma dan segera membantunya mengangkat beberapa bahan sabun yang berat dari dalam bagasi mobil."Biar saya saja yang bawa, Bu," ucap Tini menawarkan bantuan.Arumi pun kemudian berpamitan. "Aku langsung pulang ya, Uma. Sudah malam juga."Uma mengangguk. Ia tahu betul, suasana pasti akan canggung jika Arumi tetap tinggal saat Bu Mirna ada di rumah.Begitu masuk ke ruang tengah, Uma melihat ibu mertuanya duduk di sofa menonton televisi. Vivi sedang bermain boneka bersama Mbok Jum di karpet.Bu Mirna meliriknya sekilas. "Harusnya kamu pulang lebih cepat. Kamu itu sudah berkeluarga, punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Baru diberi sedikit kebebasan saja langsung lupa pulang," decihnya tajam. Nada bicaranya menghakimi seperti biasa. Berharap Uma merasa bersalah. Tapi kali ini reaksi Uma berbeda. Ia tidak mau bersikap seperti dulu yan

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   16. Rencana Busuk.

    "Perang? Maksudnya?" tanya Uma bingung."Perang urat saraf antara Mas Genta dan orang tuaku." Arumi lagi-lagi mendecakkan lidah.Uma semakin bingung. "Memangnya kenapa sih?"Arumi melirik sekilas ke Uma, lalu kembali fokus ke jalan. "Kamu ingat nggak, aku pernah cerita soal Mas Genta yang mau dikenalkan sama anak kenalannya Mama? Namanya Mbak Puri."Uma mengangguk cepat. "Iya, ingat. Memangnya kenapa?""Nah… mendadak Mas Genta menolak mentah-mentah rencana itu. Dia tidak mau bertemu, tidak mau dijodohkan, pokoknya menolak apa pun yang berhubungan dengan Mbak Puri. Mama sampai marah besar. Soalnya si Puri ini sudah ngebet banget ingin dijodohkan dengan Mas Genta. Katanya, dari dulu dia sudah suka sama Mas Genta."Uma mengangkat alis. "Kenapa Genta tiba-tiba tidak mau ya?" Uma sekarang ikut bingung.""Itulah! Mas Genta tidak mau menyebutkan alasannya. Tidak etis katanya. Entah apa yang tidak etis. Mama sudah bilang, 'Ya sudah, kenalan aja dulu, ngobrol sebentar juga cukup.’ Tapi Mas Gen

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   15. Menggapai Asa.

    Beberapa saat setelah mobil yang dikendarai Pak Alwi berlalu dari halaman, membawa ibu mertuanya, Vivi, dan Tini, sebuah mobil lain berhenti di depan gerbang. Uma yang sedang duduk di teras langsung berdiri. Pak Umar, seperti biasa, sigap membuka pintu pagar.Mobil itu adalah mobil Arumi.Uma menyambut kedatangan Arumi dengan senyum lebar. Hari ini mereka akan membeli bahan-bahan untuk membuat sabun di toko Kimia Jaya sebelum reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA mereka. Karena itu, ia hanya berdandan sederhana. Sunscreen, bedak tabur, dan pelembap bibir sudah cukup. Ia mengenakan celana jeans, kaos lengan panjang, jilbab pastel, dan sepatu kets kesayangannya."Ya ampun, Uma," seru Arumi begitu turun dari mobil. "Orang yang tidak mengenalmu, pasti mengira kalau kamu masih SMA."Uma terkekeh. "Padahal aku ini ibu-ibu yang sudah punya anak satu ya?" Uma menyengir."Iya. Dan herannya masih tetap terlihat muda. Tidak sepertiku yang mukanya tampak boros. Sungguh tidak adil." Arumi pur

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   14. Mengatur Strategi.

    Bu Mirna mengalihkan pandangannya pada Uma, yang masih berdiri tenang di dekat kursi makan. Tatapan mereka bertemu sejenak. Uma tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk sedikit, menunggu. Ingin tahu, kali ini ibu mertuanya akan memarahinya dengan kalimat-kalimat hinaan apa lagi. Ibu dan anak ini memang kerap merudungnya.Beberapa detik berlalu sebelum Bu Mirna berkata—nada suaranya tenang,"Hanya masalah sepele saja, ributnya sampai terdengar ke luar sana," omel Bu Mirna sembari duduk perlahan di kursi.Uma termangu. Tumben, ibu mertuanya tidak ikut-ikutan menghujatnya.Arya merengut. "Tapi, Bu—"Namun, ibunya mengangkat tangan, memotong kalimat itu."Duduk dan lanjutkan sarapanmu, Arya. Kamu juga, Uma. Duduk sini," perintah Bu Mirna tegas.Arya dan Uma menarik kursi dan duduk mengelilingi meja."Dengar, Arya. Uma itu tidak selamanya ada untukmu. Sekarang dia sibuk mengurus anak. Nantinya bisa saja dia sibuk mengurus hal lain. Kamu harus mulai belajar dilayani oleh orang lain juga."Kat

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   13. Perlawanan Uma.

    Pagi datang terlalu cepat. Uma bangun dan berkali-kali menguap saat menyiapkan sarapan bersama Mbok Jum. Ia terjaga semalaman dan baru bisa tidur menjelang pagi. Saat ini, dapur dipenuhi aroma kaldu dari bubur ayam yang menguar dari mangkuk hangat. Uma duduk di ujung meja, menyuapi Vivi yang duduk di baby chair sambil mengayun-ayunkan kaki mungilnya."Aaa..." Uma tersenyum lembut sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut anaknya.Vivi menyambutnya dengan gembira, meski sebagian bubur menempel di pipinya.Sejurus kemudian, Mbok Jum meletakkan pinggan berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tini menyusul meletakkan potongan timun, tomat segar, kerupuk, dan seteko jus jeruk.Beberapa saat kemudian, pintu dapur terbuka. Arya masuk dalam keadaan sudah rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi menggantung di leher. Wajahnya seperti biasa—dingin, angkuh, merasa dirinya raja di rumah sendiri.Uma tidak melihat ke arah Arya sedikit pun. Ia tetap duduk dan sibuk menyuapi bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status