Share

4. Tak Semua Sama.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 09:40:21

"Begitulah kelakuan menantu zaman sekarang. Pada jago banget bersandiwara," imbuh Bu Iyet geram, yang diamini oleh Bu Mirna dan Bu Wisni. Mereka lega sekali karena baru selesai menumpahkan unek-unek yang selama ini tertahan.

Namun di antara riuhnya obrolan, Bu Tiur hanya diam. Ia memang menyimak dan mendengarkan, tapi tidak ikut menyumbangkan cerita. Hal itu membuat ketiga temannya merasa heran.

"Kalau kelakuan menantumu yang sebenarnya, bagaimana, Ti?" tanya Bu Mirna. Bu Iyet dan Bu Wisni ikut memfokuskan pandangan pada Bu Tiur. Mereka penasaran dengan jawaban temannya ini.

Bu Tiur memutar gelasnya perlahan, berpikir sejenak akan memberikan jawaban seperti apa. Akhirnya, ia mendongak, tatapannya tajam namun tak menghakimi.

"Si Lasma itu orang yang sangat sabar. Terlalu sabar malah," tuturnya santai.

Tiga pasang mata langsung menoleh padanya. Suasana mendadak senyap, hanya terdengar detik jam dinding yang seolah menanti kelanjutan kalimat itu.

"Dia bekerja di rumah sakit dari pagi sampai sore. Setelah pulang pun, ia masih sempat memasak satu dua macam lauk favorit suami dan anak-anaknya. Malamnya membantu anak-anaknya mengerjakan PR, membereskan rumah, dan membacakan dongeng sebelum tidur."

Hening. Bu Mirna, Bu Iyet, dan Bu Wisni tidak tahu harus menanggapi cerita Bu Tiur yang berbeda ini seperti apa.

"Sementara si Daniel—anakku—tidak pernah membantu sama sekali. Aku selalu menasihati Daniel agar ia bergantian dengan si Lasma mengasuh anak. Karena istrinya itu manusia, bukan robot. Jadi, ia juga bisa lelah."

Bu Iyet melirik Bu Mirna dan Bu Wisni.

"Kamu ini aneh, Tiur. Kamu kok ya membela menantu daripada anakmu sendiri?" Bu Mirna mendecakkan lidah.

"Iya. Kamu nggak usah pura-pura sok bijak deh. Akui saja kalau menantumu juga menyebalkan. Tidak usah gengsi. Toh kami semua juga sudah membuka rahasia," pungkas Iyet, yang diamini oleh Bu Wisni.

Bu Tiur menatap mereka satu per satu. "Aku bukan sok bijak. Aku cuma mau bersikap jujur dan adil. Akuilah, sebenarnya kadang, yang perlu dikritik itu bukan menantu kita, melainkan anak kita sendiri. Betul tidak?" tegas Bu Tiur.

Hening.

"Kalau kalian merasa menantu kalian tidak sempurna, coba renungkan, sudah sesempurna apa anak-anak kalian memperlakukan istri-istri mereka? Ingat, sebelum jadi mertua, kita semua pernah menjadi menantu, bukan?"

Ucapan Bu Tiur menyentuh titik rawan. Ketiganya terdiam. Mereka sadar kalau Bu Tiur tidak sepaham dengan mereka.

"Ya sudahlah. Kita semua berkumpul itu untuk bersenang-senang. Jangan membahas hal-hal yang membuat kita pusing. Oh ya, katanya kamu sekarang menjual berlian ya, Ti?" Bu Iyet mengubah topik pembicaraan.

"Iya. Berlian-berlian Medanku berkualitas bagus tapi harganya miring." Bu Tiur mengacungkan jempolnya.

"Wah, aku tidak sabar melihatnya. Ayo pamerkan semuanya pada kami." Bu Mirna menggosok-gosokkan tangannya. Melihat-lihat perhiasan selalu membuatnya bersemangat.

"Tenang. Aku membawa berbagai jenis berlian dengan harga dan kualitas yang berbeda. Sesuai sloganku: 'Ada rupa, ada harga'." Bu Tiur pun membuka tas tangannya. Waktunya untuk berdagang. Dalam sekejap, para ibu-ibu itu sudah asyik memilih-milih berlian yang akan mereka beli.

Sementara itu di dapur, Uma menyeka sudut matanya sambil mengaduk air cucian. Ia tak bisa mendengar seluruh percakapan di ruang tamu. Tapi ia mendengar jelas paparan kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Bu Tiur. Mendengar pembelaan Bu Tiur akan menantunya membuat hatinya lega. Walaupun Bu Tiur tidak terang-terangan membelanya, ia merasa... seperti ada seseorang yang diam-diam berdiri di sisinya. Baginya, hal kecil itu saja sudah cukup menghiburnya.

***

Uma menarik napas lega ketika akhirnya mendengar napas kecil Vivi teratur, tenggelam dalam lelapnya. Ia melirik jam dinding—13.05. Dengan cekatan, ia bangkit dari pinggir ranjang, menyambar daster dan menggantinya dengan jeans, blus lengan panjang krem, dan jilbab berwarna senada.

Ponselnya masih tergenggam. Pesan dari ibunya baru saja masuk:

"Ayahmu drop lagi, Ma. Kalau bisa, sempatkan datang sebentar, ya. Ayahmu terus menanyakanmu."

Uma menelepon Arya. Ia ingin meminta izin untuk menjenguk ayahnya. Sayangnya, hingga panggilan berakhir, Arya tidak juga mengangkat telepon.

Mungkin Arya sedang meeting, pikirnya. Ia pun mengirim pesan pada Arya untuk meminta izin. Untungnya, Arya langsung membalas dan memberi izin dengan beberapa persyaratan.

Uma buru-buru menuju ruang tamu, dan di sana... ibu mertuanya sedang duduk anggun di sofa, memandangi jemarinya yang berkilau oleh cincin berlian baru. Bu Mirna memang baru membeli dua cincin berlian dari Bu Tiur.

"Bu..." Uma membuka suara hati-hati. "Saya mau ke rumah orang tua saya sebentar. Ayah sakit lagi."

Bu Mirna menoleh tanpa ekspresi. “Sudah minta izin ke Arya?”

“Sudah. Kata Arya boleh, tapi tidak boleh membawa Vivi dan maksimal dua jam."

"Hm." Bu Mirna menurunkan tangannya pelan, menatap Uma dari kepala hingga kaki. “Lho? Kenapa tidak berdandan? Pakaianmu juga... kayak orang susah saja. Pakai gaun-gaun yang biasa. Pilih yang sama sekali belum pernah kamu pakai ke sana."

Uma menelan ludah. “Saya takut Vivi keburu bangun kalau kelamaan siap-siap, Bu. Lagi pula, ini juga cukup rapi, kok.”

Bu Mirna menyandarkan tubuh, menyilangkan kaki. “Uma, berapa kali Ibu bilang? Setiap kali kamu pulang ke rumah orang tuamu, kamu harus tampil meyakinkan. Supaya mereka tahu kalau kamu diperlakukan baik oleh Arya. Itu harga diri suamimu.”

“Tapi, Bu…”

“Kalau kamu tidak berdandan dan berpakaian yang pantas, ya sudah, kamu tidak usah pergi saja,” potong Bu Mirna dingin.

Uma mengangguk perlahan, menahan gelombang kecewa yang kembali menyeruak di dada. Ia berbalik dan berjalan menuju ruangan belakang—ruang di mana ibu mertua dan adik iparnya menyimpan gaun-gaun lama mereka. Ia kemudian mengganti pakaian dengan cepat: gaun satin dan jilbab biru tua yang mengilap, heels kecil, dan tas tangan swarovski. Ia kemudian kembali ke kamar. Berhias cepat dan memulas lipstik merah cerah di bibirnya. Seketika wajahnya tampak lebih segar, walau matanya jelas kelelahan.

Ketika kembali ke ruang tamu, ia mendapati satu set perhiasan tersusun rapi di atas meja.

"Pakailah ini," ujar Bu Mirna santai. “Jangan lupa mobil dan sopir, biar tetangga-tetanggamu makin percaya kamu bahagia di sini.”

Uma terdiam, hanya mengangguk. Tangannya gemetar saat mengenakan gelang dan kalung berat itu. Setiap kali momen seperti ini terjadi, rasanya seperti ia mengenakan rantai emas yang indah tapi membelenggu.

Di mata dunia, ia terlihat seperti menantu kesayangan: naik mobil mewah, berdandan menawan, berhiaskan emas berlian. Tapi hanya ia yang tahu—begitu kembali, semua kemewahan itu akan ditanggalkan dan dikembalikan. Ia kembali menjadi upik abu di dalam istana megah.

Sebelum melangkah ke pintu, ia menoleh sekali lagi pada Bu Mirna.

“Saya jalan dulu, Bu,” ucapnya datar.

Bu Mirna tersenyum tipis. “Jangan lupa kalau kamu cuma punya waktu dua jam. Kalau Vivi terbangun, aku tidak bisa menjaganya.”

“Baik, Bu,” jawab Uma singkat. Ia kemudian melangkah keluar dengan kepala tegak. Tapi di dalam mobil mewah nan harum, hanya satu hal yang ingin ia lakukan—menangis dalam diam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   98. Akhir Bahagia ( End)

    Lima Tahun KemudianUma menatap bayangannya di depan cermin.Di sana tampak seraut wajah wanita muda penuh percaya diri, mengenakan kebaya khas wisuda berwarna gading lembut. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan.Hari ketika ia resmi diwisuda sebagai seorang Sarjana Desain.Setelah perjalanan panjang dan berliku, setelah air mata, luka, dan pembuktian yang tak mudah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Tata Busana.Dari luar kamar terdengar suara lembut ibunya memanggil.“Uma… Genta sudah datang, Nak. Katanya kalian mau berangkat bersama.”Uma menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Sebentar, Bu…”Ia mengambil tas tangannya dan segera keluar.Begitu membuka pintu, ia mendapati Genta sudah berdiri di ruang tamu, mengenakan batik biru tua dan senyum yang menenangkan seperti biasa. Tatapan itu masih sama — hangat, sabar, dan penuh cinta.“Siap, calon Sarjana Desain?” godanya lembut.Uma meringi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   97. Semesta Punya Kuasa.

    Genta dan Uma telah sampai di rumah Bu Rahayu. Mobil tua itu berhenti perlahan di depan pagar besi yang berkarat, diselimuti bunga melati yang kini merambat hingga ke tiang teras.Uma terdiam di kursinya.Matanya menatap rumah itu lama sekali — rumah yang dulu menjadi saksi delapan belas tahun hidupnya.Rumah tempat ia tumbuh, bermimpi, dan akhirnya pergi dalam duka.Genta menoleh pelan. “Kita masuk?”Uma mengangguk. “Ini rumahku, tapi rasanya aku seperti pertama kalinya pulang,” ucap Uma dengan suara nyaris tak terdengar.“Kini kamu akan benar-benar pulang dan kembali mewujudkan mimpi-mimpimu dari sini,” Genta menyemangati Uma.“Bismillah.” Uma melangkah masuk. Seketika hawa rumah langsung menyergapnya — wangi sabun produksi kakak-kakaknya, sofa tua merah marun tempat mereka sekeluarga menonton televisi, berbagai macam piala dan penghargaan yang ia dapat di sekolah — semua masih terpajang rapi. Tiada yang berubah.Kecuali sosok ayahnya yang tak lagi menyambutnya saat ia pulang ke rum

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   96. Akhir Kisah Cinta.

    Di dalam mobil yang belum dihidupkan mesinnya, Genta menatap Uma dengan senyum lembut.“Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal?”Uma mengangguk. “Tapi tanpa janji-janji harus menikah kapan, punya anak berapa, harus berhenti bekerja, dan sebagainya. Aku muak diatur-atur oleh laki-laki patriarki,” pungkas Uma tegas.Genta tertawa kecil. “Tentu saja. Kamu lupa dulu aku tidak menembakmu karena aku ingin kamu serius menggapai cita-cita, hm?” Genta mencubit cuping hidung Uma gemas. Dari zaman sekolah dulu, ia paling suka melihat Uma dalam mode tegas begini. Selain cantik ia tampak mempesona sekaligus cerdas. “Itu kan dulu, saat kita masih remaja. Sekarang usia kita sudah bertambah. Apa Mas sungguh-sungguh tidak keberatan menunggu hingga bertahun-tahun?” Uma menyipitkan mata, meragukan kesungguhan Genta.“Bagiku, dulu dan sekarang tidak ada bedanya. Aku mencintaimu beserta semua mimpi-mimpimu. Dan insyaallah, akan kita wujudkan bersama.”Uma menyipitkan mata. Kemurahhatian Genta nyar

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   95. Gerbang Kebebasan.

    Gerbang KebebasanPagi itu langit tampak cerah. Semilir angin Subang berembus lembut, membawa aroma basah tanah yang baru saja disiram embun. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas Wanita. Dua orang pemuda dan tiga orang wanita turun dari mobil. Mereka adalah Anton, Thoriq, Bu Rahayu, Rauda, ​​dan Raima. Mereka berlima sudah tidak sabar menyambut kebebasan Uma.Pintu gerbang lapas tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan muda melangkah keluar dari gerbang pintu. Ia menoleh sejenak pada pintu besi yang langsung tertutup rapat, seolah ingin mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Perempuan muda itu adalah Uma. Tubuhnya tampak lebih kurus, namun sorot matanya teduh. Ada ketenangan dan keputusan di sana—ketenangan yang lahir setelah berbulan-bulan menerima, memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri.Begitu melihat kehadiran Uma, Bu Rahayu langsung berlari kecil dan memeluk putri bungsunya erat-erat. Kerinduan yang selama ini tertahan akhirnya terlampiaskan.“Ana

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   94. (Menjelang) Hari Bahagia.

    Setelah Sidang — Ruang Tahanan Kejaksaan Negeri SubangLangit sore di luar jendela sudah berwarna kelabu keemasan ketika Uma kembali ke ruang tahanannya. Petugas membuka pintu besi, mempersilakannya masuk, lalu menguncinya kembali. Suara logam yang mengunci itu terdengar nyaring, menggema di ruang sempit.Uma berdiri sejenak, menatap dinding kosong di hadapannya. Rasanya aneh — hari ini seharusnya menjadi puncak dari segala ketegangan yang menyesakkan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia tenang sekali divonis satu tahun setengah penjara.Ia berjalan ke sudut ranjang, duduk perlahan, lalu menatap kedua tangannya yang pucat. Di sana, di dekat nadi, masih ada bekas goresan luka kecil yang dulu sempat ia buat sendiri — di malam setelah Adek pergi. Ia sempat ingin bunuh diri, sebelum akal sehat mengalahkan pikiran pendeknya.Uma baru saja ingin berbaring sejenak ketika seorang petugas menghampiri, membawa dua buah amplop berwarna putih.“Surat-surat untukmu. Sudah dari dua hari yan

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   93. Semua Ada Hikmahnya.

    Sidang Kelima — Pembacaan PutusanUma duduk di kursi terdakwa dengan wajah tenang. Jemarinya menggenggam tasbih kecil pemberian ibunya — sesuatu yang selalu ia bawa sejak persidangan pertama.Di sisi kanan, Daniel sebagai kuasa hukumnya membisikkan sesuatu pelan. Tapi telinga Uma sudah tidak benar-benar mendengar. Hatinya lebih sibuk mendengarkan suara langkah dan detak jam dinding yang menggema.Barisan pengunjung tampak penuh hari itu.Bu Rahayu duduk di deretan depan, diapit oleh Rauda dan Raima yang berkali-kali menyeka air mata.Arumi, sahabat yang tak pernah absen di setiap sidang, duduk tak jauh dari mereka. Di sebelah Arumi, Genta menunduk dalam diam — memanjatkan doa tanpa suara.Beberapa saat kemudian, Genta menegakkan kepala, menatap Uma yang juga tengah memandangnya dengan tatapan menguatkan. Sejak pertama kali Uma ditahan, ia tak pernah sekalipun meninggalkannya. Ia menghadiri setiap sidang, memberi Uma kekuatan — baik sebelum maupun sesudahnya.Di barisan belakang, Gunaw

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status