เข้าสู่ระบบUma menunduk. Matanya berkaca-kaca. Pilihan di hadapannya sangat sulit—antara menyelamatkan ayah atau masa depannya sendiri.
Bu Mirna berdiri. “Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perjodohan ini. Tapi karena almarhum suamiku pernah menceritakan soal masalah ini—maka sebagai seorang istri, aku menjalankan wasiatnya."
Tanpa menunggu jawaban, keluarga Tjokro pun berpamitan. Deru mesin mobil memudar, meninggalkan keheningan menusuk.
Setelah mobil keluarga Tjokro meninggalkan halaman rumah, suasana di ruang tamu berubah muram. Uma berdiri di tengah ruangan dengan wajah pucat. Ia tidak menyangka kalau ia akan terjebak dalam situasi sulit ini.
“Uma tidak mau menikah dengan Arya atau siapa pun, Bu!” serunya, memecah keheningan. “Uma mau kuliah dan menjadi wanita karir yang sukses. Ibu tahu kan cita-cita Uma ini dari dulu?" Uma kemudian melirik kedua kakaknya.
"Bukankah tadinya Mbak Uda dan Mbak Ima yang dijodohkan? Kenapa sekarang jadi Uma?" Rahuma menatap bingung pada kedua kakaknya.
"Karena yang dia mau itu kamu. Bukan kami," sahut Rauda gusar. Sebenarnya dirinyalah yang paling kecewa di sini. Demi suksesnya perjodohan ini, ia rela memutuskan pacarnya—Anton. Kalau Raima— ia memang baru putus dari Thoriq karena merasa tidak cocok. Tiada yang ia korbankan di sini.
“Tapi Uma tidak mau! Uma ingin kuliah!" Uma tetap dengan pendiriannya.
Tiba-tiba Bu Rahayu mendekat, mengelus rambut Uma dengan tangan yang bergetar. “Nak… Ayahmu… kondisinya makin buruk di rumah sakit. Kamu tahu, kan, biaya pengobatannya besar…”
Air mata mengalir di pipi Bu Rahayu. Suaranya pelan, tapi seperti sembilu bagi Uma. “Kalau… kalau ini memang takdir, Nak, bisakah kamu berkorban demi Ayah?” bujuk Bu Rahayu sedih.
Uma tidak menjawab. Ia hanya mulai menangis setelah tadi menolak dengan keras. Mendengar permohonan sang ibu, ia tidak punya pilihan sekarang.
Melihat sikap pasrah Uma, Bu Rahayu memeluk putri bungsunya erat. “Ibu mengerti, Nak… Ibu tahu kamu ingin menjadi orang sukses… Tapi menolong orang tua itu adalah perbuatan yang sangat mulia. Ibu janji, nanti Ibu akan bicara pada Arya, agar memperbolehkanmu tetap kuliah. Tapi sebelumnya kamu menikah dulu ya dengan Arya, demi Ayahmu.”
Uma menggigil dalam pelukan ibunya. Di tengah keputusasaan dan impian yang belum sempat tumbuh, ia tahu—keputusan yang harus diambil bukan hanya tentang dirinya sendiri. Uma berdiri di ruang tamu yang terasa semakin sempit, diapit keraguan, ketakutan, dan cinta seorang anak pada ayahnya.
***
"Shhh… sayang… Ibu di sini,” bisik Uma seraya mengelus sayang rambut sang putri. Ingatannya akan masa lalu buyar seketika.
"Jangan nangis dong, Sayang. Ibu di sini kok. Tidak ke mana-mana. Ayo tidur lagi, Sayang." Uma menenangkan sang putri— Vivi yang menggeliat gelisah dalam tidurnya. Wajah mungilnya berkerut seperti menahan tangis dalam mimpi.
"Anak pintar," Uma memuji Vivi yang mulai tenang dan kembali tidur dalam pelukannya.
Uma menghela napas panjang. Benaknya telah kembali ke masa kini. Ya, dirinya sekarang sudah tiga tahun menjadi istri Arya. Mereka juga telah memiliki seorang putri yang bernama Vivi Arya Tjokro yang kini berusia dua tahun. Karena ia langsung hamil setelah dua bulan menikah. Setelah Vivi lahir, Arya langsung mengultimatum bahwa ia tidak mengizinkannya kuliah karena Vivi tidak ada yang menjaga. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan hanya tinggal mimpi.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang dibuka diikuti makian-makian kasar. Pasti itu suara Arya yang memarahi Pak Umar—satpam yang tengah berjaga malam ini. Uma memindai jam dinding—pukul dua dini hari. Ia menegakkan badan dan mendesah. Pasti Arya mabuk-mabukkan lagi. Setiap malam Minggu, Arya memang kerap mabuk-mabukan.
Tanpa suara, Uma bangkit dan menyiapkan keperluan Arya. Baskom besar berisi air hangat, handuk kecil dan juga piyama di atas. Kalau mabuk, biasanya Arya selalu muntah sembarangan. Sebagai seorang istri ia tetap melakukan kewajibannya dengan baik, walaupun Arya tidak pernah menghargai mengabdiannya. Uma tahu, Arya tidak mencintainya. Arya memilihnya hanya karena wasiat perjodohan almarhum ayahnya. Seperti inilah tiga tahun pernikahan mereka—dingin tanpa cinta.
Sejurus kemudian pintu terbuka. Arya masuk kamar dengan langkah sempoyongan dan aroma alkohol yang menguar dari sekujur tubuhnya.
“Umaaa…,” gumam Arya, sambil tertawa miring, “kamu tahu tidak... aku tadi bertemu orang yang sangat mirip dengan …” Arya tiba-tiba memegangi perutnya, wajahnya menegang seperti ingin memuntahkan sesuatu.
“Mas! Ayo kita ke kamar mandi!” Uma dengan sigap memapah Arya yang nyaris rubuh. Berat badan Arya membuatnya tertatih-tatih. Begitu sampai di kamar mandi, Arya muntah-muntah hebat. Setelah muntahan Arya tidak lagi mengeluarkan apa pun, Uma menopang tubuh Arya ke dinding, mengambil handuk, dan mulai membersihkan wajahnya yang lengket oleh muntah.
Arya hanya mengerang tak jelas. Kadang tertawa, kadang meringis dan kadang marah-marah. Uma tetap diam, wajahnya datar. Sudah terlalu biasa baginya mengurus Arya yang sedang teler.
Setelah semua bersih, ia memakaikan Arya piyama, lalu membantunya kembali ke ranjang. Saat Uma hendak menarik selimut, Arya tiba-tiba kembali meracau.
“Jangan berisik, Mas. Vivi sedang tidur,” bisik pelan. “Dia baru saja terbangun karena mimpi buruk.”
"Vivi? Mana Vivi? Aku sangat rindu padanya!" Arya tiba-tiba bangkit dari ranjang. Uma dengan cepat kembali merebahkannya.
"Jangan membangunkannya, Mas. Makanya, kalau Mas rindu, pulanglah lebih awal. Jadi Mas bisa bermain-main dengan Vivi," usul Uma.
"Kamu tidak tahu apa-apa, Uma. Tidak tahu apa-apa." Arya menggerutu dan tertidur setelahnya.
Uma memandangi wajah Arya. Lelaki angkuh yang tidak pernah menganggapnya ada. Selama tiga tahun pernikahan, Arya hanya menganggapnya sebagai pembantu pribadi dan pengasuh anak.
"Setidaknya penderitaanmu ini setara dengan hidupnya ayahmu sampai hari ini, Uma." Uma menghibur dirinya sendiri.
Ia kemudian merapatkan selimut pada tubuh Arya, lalu kembali ke sisi ranjang tempat Vivi tidur. Ia menarik napas panjang, memandangi wajah putrinya yang damai.
“Kamu alasan Ibu bertahan, Nak…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya membaringkan diri kembali. Malam masih panjang. Dan esok, segalanya akan kembali sama.
Lima Tahun KemudianUma menatap bayangannya di depan cermin.Di sana tampak seraut wajah wanita muda penuh percaya diri, mengenakan kebaya khas wisuda berwarna gading lembut. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan.Hari ketika ia resmi diwisuda sebagai seorang Sarjana Desain.Setelah perjalanan panjang dan berliku, setelah air mata, luka, dan pembuktian yang tak mudah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Tata Busana.Dari luar kamar terdengar suara lembut ibunya memanggil.“Uma… Genta sudah datang, Nak. Katanya kalian mau berangkat bersama.”Uma menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Sebentar, Bu…”Ia mengambil tas tangannya dan segera keluar.Begitu membuka pintu, ia mendapati Genta sudah berdiri di ruang tamu, mengenakan batik biru tua dan senyum yang menenangkan seperti biasa. Tatapan itu masih sama — hangat, sabar, dan penuh cinta.“Siap, calon Sarjana Desain?” godanya lembut.Uma meringi
Genta dan Uma telah sampai di rumah Bu Rahayu. Mobil tua itu berhenti perlahan di depan pagar besi yang berkarat, diselimuti bunga melati yang kini merambat hingga ke tiang teras.Uma terdiam di kursinya.Matanya menatap rumah itu lama sekali — rumah yang dulu menjadi saksi delapan belas tahun hidupnya.Rumah tempat ia tumbuh, bermimpi, dan akhirnya pergi dalam duka.Genta menoleh pelan. “Kita masuk?”Uma mengangguk. “Ini rumahku, tapi rasanya aku seperti pertama kalinya pulang,” ucap Uma dengan suara nyaris tak terdengar.“Kini kamu akan benar-benar pulang dan kembali mewujudkan mimpi-mimpimu dari sini,” Genta menyemangati Uma.“Bismillah.” Uma melangkah masuk. Seketika hawa rumah langsung menyergapnya — wangi sabun produksi kakak-kakaknya, sofa tua merah marun tempat mereka sekeluarga menonton televisi, berbagai macam piala dan penghargaan yang ia dapat di sekolah — semua masih terpajang rapi. Tiada yang berubah.Kecuali sosok ayahnya yang tak lagi menyambutnya saat ia pulang ke rum
Di dalam mobil yang belum dihidupkan mesinnya, Genta menatap Uma dengan senyum lembut.“Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal?”Uma mengangguk. “Tapi tanpa janji-janji harus menikah kapan, punya anak berapa, harus berhenti bekerja, dan sebagainya. Aku muak diatur-atur oleh laki-laki patriarki,” pungkas Uma tegas.Genta tertawa kecil. “Tentu saja. Kamu lupa dulu aku tidak menembakmu karena aku ingin kamu serius menggapai cita-cita, hm?” Genta mencubit cuping hidung Uma gemas. Dari zaman sekolah dulu, ia paling suka melihat Uma dalam mode tegas begini. Selain cantik ia tampak mempesona sekaligus cerdas. “Itu kan dulu, saat kita masih remaja. Sekarang usia kita sudah bertambah. Apa Mas sungguh-sungguh tidak keberatan menunggu hingga bertahun-tahun?” Uma menyipitkan mata, meragukan kesungguhan Genta.“Bagiku, dulu dan sekarang tidak ada bedanya. Aku mencintaimu beserta semua mimpi-mimpimu. Dan insyaallah, akan kita wujudkan bersama.”Uma menyipitkan mata. Kemurahhatian Genta nyar
Gerbang KebebasanPagi itu langit tampak cerah. Semilir angin Subang berembus lembut, membawa aroma basah tanah yang baru saja disiram embun. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas Wanita. Dua orang pemuda dan tiga orang wanita turun dari mobil. Mereka adalah Anton, Thoriq, Bu Rahayu, Rauda, dan Raima. Mereka berlima sudah tidak sabar menyambut kebebasan Uma.Pintu gerbang lapas tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan muda melangkah keluar dari gerbang pintu. Ia menoleh sejenak pada pintu besi yang langsung tertutup rapat, seolah ingin mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Perempuan muda itu adalah Uma. Tubuhnya tampak lebih kurus, namun sorot matanya teduh. Ada ketenangan dan keputusan di sana—ketenangan yang lahir setelah berbulan-bulan menerima, memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri.Begitu melihat kehadiran Uma, Bu Rahayu langsung berlari kecil dan memeluk putri bungsunya erat-erat. Kerinduan yang selama ini tertahan akhirnya terlampiaskan.“Ana
Setelah Sidang — Ruang Tahanan Kejaksaan Negeri SubangLangit sore di luar jendela sudah berwarna kelabu keemasan ketika Uma kembali ke ruang tahanannya. Petugas membuka pintu besi, mempersilakannya masuk, lalu menguncinya kembali. Suara logam yang mengunci itu terdengar nyaring, menggema di ruang sempit.Uma berdiri sejenak, menatap dinding kosong di hadapannya. Rasanya aneh — hari ini seharusnya menjadi puncak dari segala ketegangan yang menyesakkan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia tenang sekali divonis satu tahun setengah penjara.Ia berjalan ke sudut ranjang, duduk perlahan, lalu menatap kedua tangannya yang pucat. Di sana, di dekat nadi, masih ada bekas goresan luka kecil yang dulu sempat ia buat sendiri — di malam setelah Adek pergi. Ia sempat ingin bunuh diri, sebelum akal sehat mengalahkan pikiran pendeknya.Uma baru saja ingin berbaring sejenak ketika seorang petugas menghampiri, membawa dua buah amplop berwarna putih.“Surat-surat untukmu. Sudah dari dua hari yan
Sidang Kelima — Pembacaan PutusanUma duduk di kursi terdakwa dengan wajah tenang. Jemarinya menggenggam tasbih kecil pemberian ibunya — sesuatu yang selalu ia bawa sejak persidangan pertama.Di sisi kanan, Daniel sebagai kuasa hukumnya membisikkan sesuatu pelan. Tapi telinga Uma sudah tidak benar-benar mendengar. Hatinya lebih sibuk mendengarkan suara langkah dan detak jam dinding yang menggema.Barisan pengunjung tampak penuh hari itu.Bu Rahayu duduk di deretan depan, diapit oleh Rauda dan Raima yang berkali-kali menyeka air mata.Arumi, sahabat yang tak pernah absen di setiap sidang, duduk tak jauh dari mereka. Di sebelah Arumi, Genta menunduk dalam diam — memanjatkan doa tanpa suara.Beberapa saat kemudian, Genta menegakkan kepala, menatap Uma yang juga tengah memandangnya dengan tatapan menguatkan. Sejak pertama kali Uma ditahan, ia tak pernah sekalipun meninggalkannya. Ia menghadiri setiap sidang, memberi Uma kekuatan — baik sebelum maupun sesudahnya.Di barisan belakang, Gunaw







