Beranda / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 2. Yang dipilih Tak Diharapkan.

Share

2. Yang dipilih Tak Diharapkan.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 09:38:47

Uma menunduk. Matanya berkaca-kaca. Pilihan di hadapannya sangat sulit—antara menyelamatkan ayah atau masa depannya sendiri.

Bu Mirna berdiri. “Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perjodohan ini. Tapi karena almarhum suamiku pernah menceritakan soal masalah ini—maka sebagai seorang istri, aku menjalankan wasiatnya."

Tanpa menunggu jawaban, keluarga Tjokro pun berpamitan. Deru mesin mobil memudar, meninggalkan keheningan menusuk.

Setelah mobil keluarga Tjokro meninggalkan halaman rumah, suasana di ruang tamu berubah muram. Uma berdiri di tengah ruangan dengan wajah pucat. Ia tidak menyangka kalau ia akan terjebak dalam situasi sulit ini.

“Uma tidak mau menikah dengan Arya atau siapa pun, Bu!” serunya, memecah keheningan. “Uma mau kuliah dan menjadi wanita karir yang sukses. Ibu tahu kan cita-cita Uma ini dari dulu?" Uma kemudian melirik kedua kakaknya.

"Bukankah tadinya Mbak Uda dan Mbak Ima yang dijodohkan? Kenapa sekarang jadi Uma?" Rahuma menatap bingung pada kedua kakaknya.

"Karena yang dia mau itu kamu. Bukan kami," sahut Rauda gusar. Sebenarnya dirinyalah yang paling kecewa di sini. Demi suksesnya perjodohan ini, ia rela memutuskan pacarnya—Anton. Kalau Raima— ia memang baru putus dari Thoriq karena merasa tidak cocok. Tiada yang ia korbankan di sini.

“Tapi Uma tidak mau! Uma ingin kuliah!" Uma tetap dengan pendiriannya.

Tiba-tiba Bu Rahayu mendekat, mengelus rambut Uma dengan tangan yang bergetar. “Nak… Ayahmu… kondisinya makin buruk di rumah sakit. Kamu tahu, kan, biaya pengobatannya besar…”

Air mata mengalir di pipi Bu Rahayu. Suaranya pelan, tapi seperti sembilu bagi Uma. “Kalau… kalau ini memang takdir, Nak, bisakah kamu berkorban demi Ayah?” bujuk Bu Rahayu sedih.

Uma tidak menjawab. Ia hanya mulai menangis setelah tadi menolak dengan keras. Mendengar permohonan sang ibu, ia tidak punya pilihan sekarang.

Melihat sikap pasrah Uma, Bu Rahayu memeluk putri bungsunya erat. “Ibu mengerti, Nak… Ibu tahu kamu ingin menjadi orang sukses… Tapi menolong orang tua itu adalah perbuatan yang sangat mulia. Ibu janji, nanti Ibu akan bicara pada Arya, agar memperbolehkanmu tetap kuliah. Tapi sebelumnya kamu menikah dulu ya dengan Arya, demi Ayahmu.”

Uma menggigil dalam pelukan ibunya. Di tengah keputusasaan dan impian yang belum sempat tumbuh, ia tahu—keputusan yang harus diambil bukan hanya tentang dirinya sendiri. Uma berdiri di ruang tamu yang terasa semakin sempit, diapit keraguan, ketakutan, dan cinta seorang anak pada ayahnya.

***

"Shhh… sayang… Ibu di sini,” bisik Uma seraya mengelus sayang rambut sang putri. Ingatannya akan masa lalu buyar seketika.

"Jangan nangis dong, Sayang. Ibu di sini kok. Tidak ke mana-mana. Ayo tidur lagi, Sayang." Uma  menenangkan sang putri— Vivi yang menggeliat gelisah dalam tidurnya. Wajah mungilnya berkerut seperti menahan tangis dalam mimpi.

"Anak pintar," Uma memuji Vivi yang mulai tenang dan kembali tidur dalam pelukannya.

Uma menghela napas panjang. Benaknya telah kembali ke masa kini. Ya, dirinya sekarang sudah tiga tahun menjadi istri Arya. Mereka juga telah memiliki seorang putri yang bernama Vivi Arya Tjokro yang kini berusia dua tahun. Karena ia langsung hamil setelah dua bulan menikah. Setelah Vivi lahir, Arya langsung mengultimatum bahwa ia tidak mengizinkannya kuliah karena Vivi tidak ada yang menjaga. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan hanya tinggal mimpi.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang dibuka diikuti makian-makian kasar. Pasti itu suara Arya yang memarahi Pak Umar—satpam yang tengah berjaga malam ini. Uma memindai jam dinding—pukul dua dini hari. Ia menegakkan badan dan mendesah. Pasti Arya mabuk-mabukkan lagi. Setiap malam Minggu, Arya memang kerap mabuk-mabukan.

Tanpa suara, Uma bangkit dan menyiapkan keperluan Arya. Baskom besar berisi air hangat, handuk kecil dan juga piyama di atas. Kalau mabuk, biasanya Arya selalu muntah sembarangan. Sebagai seorang istri ia tetap melakukan kewajibannya dengan baik, walaupun Arya tidak pernah menghargai mengabdiannya. Uma tahu, Arya tidak mencintainya. Arya memilihnya hanya karena wasiat perjodohan almarhum ayahnya. Seperti inilah tiga tahun pernikahan mereka—dingin tanpa cinta.

Sejurus kemudian pintu terbuka. Arya masuk kamar dengan langkah sempoyongan dan aroma alkohol yang menguar dari sekujur tubuhnya.

“Umaaa…,” gumam Arya, sambil tertawa miring, “kamu tahu tidak... aku tadi bertemu orang yang sangat mirip dengan …” Arya tiba-tiba memegangi perutnya, wajahnya menegang seperti ingin memuntahkan sesuatu.

“Mas! Ayo kita ke kamar mandi!” Uma dengan sigap memapah Arya yang nyaris rubuh. Berat badan Arya membuatnya tertatih-tatih. Begitu sampai di kamar mandi, Arya muntah-muntah hebat. Setelah muntahan Arya tidak lagi mengeluarkan apa pun, Uma menopang tubuh Arya ke dinding, mengambil handuk, dan mulai membersihkan wajahnya yang lengket oleh muntah.

Arya hanya mengerang tak jelas. Kadang tertawa, kadang  meringis dan kadang marah-marah. Uma tetap diam, wajahnya datar. Sudah terlalu biasa baginya mengurus Arya yang sedang teler.

Setelah semua bersih, ia memakaikan Arya piyama, lalu membantunya kembali ke ranjang. Saat Uma hendak menarik selimut, Arya tiba-tiba kembali meracau.

“Jangan berisik, Mas. Vivi sedang tidur,” bisik pelan. “Dia baru saja terbangun karena mimpi buruk.”

"Vivi? Mana Vivi? Aku sangat rindu padanya!" Arya tiba-tiba bangkit dari ranjang. Uma dengan cepat kembali merebahkannya.

"Jangan membangunkannya, Mas. Makanya, kalau Mas rindu, pulanglah lebih awal. Jadi Mas bisa bermain-main dengan Vivi," usul Uma.

"Kamu tidak tahu apa-apa, Uma. Tidak tahu apa-apa." Arya menggerutu dan tertidur setelahnya.

Uma memandangi wajah Arya. Lelaki angkuh yang tidak pernah menganggapnya ada. Selama tiga tahun pernikahan, Arya hanya menganggapnya sebagai pembantu pribadi dan pengasuh anak.

"Setidaknya penderitaanmu ini setara dengan hidupnya ayahmu sampai hari ini, Uma." Uma menghibur dirinya sendiri.

Ia kemudian merapatkan selimut pada tubuh Arya, lalu kembali ke sisi ranjang tempat Vivi tidur. Ia menarik napas panjang, memandangi wajah putrinya yang damai.

“Kamu alasan Ibu bertahan, Nak…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya membaringkan diri kembali. Malam masih panjang. Dan esok, segalanya akan kembali sama.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   80. Bertemu Rival.

    Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   79. Menghilang!

    Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   78. Cinta Sejati.

    Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   77. Pengakuan.

    Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   76. Kejutan Tak Terduga.

    "Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   75. Gaya Umaira.

    Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status