Setelah Chandie menghabiskan makannya dengan terus dibujuk oleh Gemi, Vita pun meminta izin untuk pulang dan kembali ke sekolah. Hati Vita semakin bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan rumah tangga Lee dan Gemi. Vita yakin sekali, kalau sepasang suami istri itu tengah menghadapi masalah dalam pernikahan mereka.
Sementara itu, Chandie pun kemudian tertidur dengan lelapnya, setelah memberi banyak pesan kepada Gemi yang intinya hanya satu, yaitu jangan pergi ke mana-mana dan tetap berada di sisinya.
“Mas, aku mau ngomong,” kata Gemi setelah keluar dari kamar dan mendapati Lee tengah berdiri, sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Lee menoleh pada Gemi dengan kedua tangan yang masih memegang ponsel. “Silakan.”
“Kalau, Mas, nggak mau aku pergi-pergi lagi sesuai permintaan Chandie. Jangan pernah libatkan miss Vita sama sekali di sini.”
Seraya menatap Gemi, Lee memasukkan ponselnya ke dalam saku celana bahannya. “Bukannya kamu sudah tahu alasan
SJ besok gak up dulu yess, besok saia ada acara di tempat ibu negara soalnya. Harap dimaklumi ...
Sunyi, sepi, dan benar-benar terasa hampa, meskipun ada dua nyawa yang tengah berada menatap lurus ke depan sana. Untuk menghindari perdebatan yang menyulut emosi, Gemi memilih diam. Ditambah kondisi tubuhnya yang memang terasa kurang fit, lama-kelamaan Gemi pun tertidur. Tidak kuasa menahan kantuk, karena semalam pun, dirinya tidak dapat terlelap nyenyak karena Chandie yang terkadang mengingau karena demam. Lee pun baru menyadari kalau Gemi tertidur, saat roda empatnya sudah sampai di parkiran Gedung Dewan Pers. Entah perasaannya saja, atau … Gemi memang terlihat lebih cantik dan menarik hari ini. Atau … wanita itu memang sengaja berdandan lebih dari biasanya untuk menarik perhatian di dalam sana. Namun, jika dilihat lagi, satu-satunya make up yang digunakan oleh Gemi hanyalah pemulas bibir berwarna pink cerah. Selain itu, tidak ada lagi tambahan warna lain yang terlihat pada wajah yang tengah terlelap itu. Lee menyentuh dada yang selalu saja berpacu laju, j
Lee keluar dari mobil dengan separuh membantingnya. Bertolak pinggang sejenak untuk meredakan sebuah emosi yang tidak biasa di dalam dada. Pria itu sampai harus menarik napas dan membuangnya berkali-kali, guna membuang rasa yang mengganggu sejauh-jauhnya.Sebuah sedan hitam keluaran eropa yang mirip dengan miliknya, berjalan pelan dan parkir tepat di sebelah mobil Lee. Pria itu menatap sang pemilik yang berada di balik kemudi, kemudian berdecak.Pria yang masih berada di dalam mobil hanya menyematkan senyum miringnya, ketika tatapan mereka bersirobok datar. Segera keluar, setelah melepas sabuk pengamannya. “Pagi Pak Lee,” sapanya dengan sopan dan sengaja membuat kondisi menjadi formal.“Pagi Pak Lex,” balas Lee dengan memberikan sikap dan kesan yang sama.Keduanya melangkah bersamaan dan akhirnya bersisihan memasuki Gedung Dewan Pers.“Jadi, kapan kalian cerai?” tanya Lex membuka obrolan dengan hal yang membuat m
Lee buru-buru mencekal tangan Gemi yang hendak mendahuluinya keluar lift. “Apa Lex …” Ada sedikit jeda untuk menarik napas, ketika Lee hendak meneruskan kalimat tanyanya. “Apa dia mantan pacarmu itu?” Gemi mendengkus dan menarik tangannya dari genggaman Lee. “Sayangnya bukan.” Kembali, Lee meraih tangan Gemi, ketika wanita itu sudah berada satu langkah di luar pintu. “Apa lagi, Mas?” decak Gemi tidak lagi menarik tangannya. Mungkin, masih ada hal penting, yang perlu dibicarakan oleh Lee dengannya. “Sayangnya bukan?” Lee mengulang jawaban Gemi dengan membaliknya menjadi pertanyaan. “Jadi kamu, berharap kalau Lex yang—” “Gemi!” Sebuah suara yang berasal dari lorong yang tidak jauh dari lift, langsung memutus kalimat Lee. Tatapan kedua orang yang masih berdiri di bibir pintu lift itu, langsung mengarah pada asal suara tersebut. “Mau makan siang?” tanya pria itu tanpa memedulikan Lee yang masih menggenggam tangan Gemi. “Iya
Gemi membuka pintu mobil, tapi hanya berdiri dan tidak masuk ke dalamnya. Menunduk untuk menatap Lee, yang baru saja memasang sabuk pengamannya. “Mas, duluan aja, aku mau mampir ke apartemen,” ujar Gemi dengan satu tangan tersampir pada bingkai pintu mobil. Pandangan Lee berbelok sejenak pada sosok Arca yang tengah berdiri dan bersandar pada pintu mobil pria itu. Baru saja Lee melihat Gemi keluar dari Gedung Dewan Pers, dengan pria yang bekerja satu kantor dengannya itu. Mendadak timbul sebuah dugaan, kalau Gemi akan pergi bersama Arca. “Ke apartemen, atau pergi dengan dia?” telunjuk Lee yang berada pada kemudia terarah pada Arca sekilas. “Pergi diantar dia ke apartemen, Arca mau balik kantor, karena piket halaman malam ini. Jadi aku nebeng, daripa—” “Bilang ke dia, kalau aku yang antar,” potong Lee yang tidak bisa memercayai ucapan Gemi sepenuhnya. Entah mengapa, pikiran Lee sudah terkontaminasi dengan hal yang bukan-bukan. “Kan, ngga
Keputusan yang diambil Gemi sudah bulat. Ia mengirimkan semua berkas perceraian yang sudah lengkap ke kantor Lex melalui kurir. Saat ini, Gemi hanya bisa memegang ucapan pria itu, kalau proses perceraiannya nanti, tidak akan terdengar oleh siapa pun, hingga ketuk palu. Setelah itu, Gemi akan tetap memalsukan usia kehamilannya di depan semua orang. Hanya satu yang tidak bisa dielaknya kelak adalah, bahwa anaknya akan selalu dikenal sebagai anak dari Leonard Arkatama. Untuk satu hal itu, Gemi tidak bisa berbuat apa-apa, karena jika dipikir lagi, ada hal yang memang tidak akan pernah bisa diubah, demi nama baik mereka berdua. Dua hari ujian yang tersisa, pun dijalani Gemi dengan lancar, meskipun ditemani oleh rasa pusing dan mual yang mendera. Namun, hasil yang diperoleh akhirnya sepadan. Gemi berhasil lulus dan kini telah menyandang status sebagai redaktur utama. Untuk itu, jabatan yang dijanjikan oleh Pras sebagai Pemred Metro, semakin pantas Gemi sandang ke depannya.
Gemi menghela panjang, melihat rumah megah yang besarnya entah berapa kali lipat rumah orang tuanya yang hanya tinggal di komplek perumahan sederhana. Mungkin, garasi pemilik rumah yang ada di depannya saat ini, ukurannya bisa jauh lebih besar dari rumahnya. Gemi langsung dipersilakan masuk, ketika satpam yang menjaga rumah telah mengkonfirmasi kedatangannya terlebih dahulu. Melangkah mantap, demi sebuah janji dan masa depan yang sudah Gemi impi-impikan. Sementara ini, perihal kepergiannya nanti hanya baru diketahui oleh Chandie seorang. Sedangkan orang tua Gemi, akan diberitahu jika keberangkatannya sudah pasti. Andai pun, Chandie nanti sudah lebih dulu bercerita pada Lee atau siapa pun anggota keluarga lain, maka Gemi juga sudah siap dengan semua konsekuensinya. Karena, keputusannya saat ini sudah benar-benar bulat. "Silakan masuk," ujar seorang pelayan wanita dengan sangat sopan. Pelayan yang mengenakan seragam berwarna hitam tersebut, membukakan pintu seb
Setelah memuntahkan penolakan berkali-kali, tapi tidak kunjung dihiraukan, akhirnya Gemi menyerah. Menghela pasrah ketika seorang pelayan sudah membukakan pintu mobil, yang sudah berhenti di depannya. Bira sudah masuk lebih dulu dan duduk di belakang kemudi. Kemudian Gemi menyusul, dan duduk di sebelah pria itu. "Harusnya, Mas Bira nggak usah repot-repot, saya bisa pesan taksi," ujar Gemi yang benar-benar merasa tidak enak karena Bira mengantarnya kali ini. "Gemini Kamaniya," gumam Bira lalu menoleh sekilas pada Gemi, tanpa memedulikan ucapan wanita itu barusan. "Namamu bagus, ya." "Makasih." "Ini ke kantor Radar, kan, ya? Yang satu gedung sama GTV?" tanya Bira seraya mengingat-ingat. Bira hanya ingin memastikan kalau alamat yang mereka tuju tidak berubah. Alias, kantor radar masih berada di tempat yang sama. "Iya, Mas." Gemi menatap Bira dengan melengkungkan bibirnya. Merasakan sebuah suasana yang sangat jauh berbeda, ketika Gemi hany
Rudi menekuk dahinya ketika melihat amplop putih yang disodorkan oleh Gemi di atas meja. “Mau cuti lagi?” tanya pria itu seraya meraih benda persegi tersebut lalu membukanya. Rudi sempat menyentak kedua alisnya dengan tajam. Namun, sejurus kemudian pria itu kembali mengerutkan dahinya. “Ini, serius, Gem?” “Serius, Pak.” Rudi mendesis panjang sembari menarik napas melalui mulutnya. Menarik kursi berodanya ke depan, agar bisa lebih mencondongkan tubuh dan menatap Gemi dalam-dalam. “Kenapa? Bukannya kamu baru lulus UKW, kok malah resign? Apa Lee yang nyuruh kamu resign?” Gemi mengembangkan senyum seraya menggeleng. “Mas Lee nggak pernah ikut campur masalah kerjaan saya, Pak. Jadi, ini nggak ada hubungannya dengan beliau.” Rudi berdecak sebal. “Saya baru mau ngajuin kamu jadi redpel, Gem. Sayang, kalau resign!” Gemi hanya memasang senyum untuk membalas Rudi. Posisi yang ditawarkan Pras jauh lebih tinggi dari itu, tentu saja Gemi akan bersikap sera