Di dalam rumah, hanya terdengar interaksi antara Gemi dan Chandie saja sedari tadi. Sedangkan Lee, benar-benar seperti tamu asing yang hanya duduk di ruang tamu. Gemi hanya menyediakan satu botol air mineral, serta dua potong cake cokelat yang sudah mengendap di lemari pendingin.
Lee bisa menilai, kalau rumah yang ditempati Gemi cukup bersih. Pada dasarnya Gemi wanita yang sangat rapi dan teratur dalam segala hal. Saat masih di apartemen dulu, Lee juga bisa melihat kalau unit Gemi memang sangatlah bersih.
Menurut Lee, lingkungan tempat tinggal Gemi saat ini, tidak bisa dibilang sederhana. Meskipun, belum bisa dikatakan mewah. Tapi cukup memadai, karena penjagaan pada portal terbilang diawasi dengan baik.
Entah sudah berapa lama Lee hanya duduk hanya dengan mengotak atik ponselnya, ketika Chandie datang lalu duduk di pangkuannya.
“Mama lagi mandi, bentar lagi mau ke kantor,” adu Chandie dengan memerosotkan kedua bahunya dan tampak sedikit kecew
Semesta seolah berpihak pada Chandie. Entah mengapa, sore itu, semua berita yang dibutuhkan telah terkumpul sempurna tanpa mengalami kekurangan sama sekali. Bahkan, stoknya pun terlihat berlebih, dengan beberapa tulisan feature yang berada di folder halaman.Gemi hanya tinggal memilih, yang mana harus diprioritaskan untuk naik cetak malam harinya. Setelah semua proses editing selesai, dan memastikan semua hal sudah berjalan di tempatnya, Gemi kemudian menelepon Chandie. Mengatakan pada gadis kecil itu, kalau Gemi sudah bisa dijemput saat ini.Sembari menunggu jemputan, Gemi kembali mengecek semua hal sekali lagi. Setelah beres, ia berpamitan kepada awak redaksi dan pergi lebih dulu.Gemi menggenggam erat tali tas laptopnya di depan paha. Menunggu lift yang sebentar lagi turun ke lantai empat. Ketika pintu itu terbuka, Gemi akhirnya bertemu dengan seseorang yang benar-benar sangat susah untuk ditemui.“Aaaakhirnya, saya bisa ketemu dengan Pak Dirut y
Seperti pagi tadi, Lee saat ini hanya menjadi obat nyamuk bagi Chandie dan Gemi. Lee jadi pusing sendiri, mengapa kedua wanita yang berbeda usia itu, selalu saja mendapatkan sesuatu untuk diperbincangkan. Dari masalah makanan, baju, sepatu, entah apa lagi yang dibicarakan keduanya, karena Lee sudah tidak sanggup lagi mendeskripsikannya satu persatu.Namun, ada sebuah kehangatan tersendiri di hati Lee melihat itu semua. Akhirnya, Lee bisa mendengar putri tercintanya itu tertawa dengan lepas. Tanpa terlihat beban sedikit pun yang menggantung di wajahnya.Ada satu hal lagi yang baru diketahui Lee, ternyata, selama hampir satu bulan Gemi berada di surabaya, wanita itu tidak pernah bepergian ke mana-mana. Dalam artian, Gemi belum pernah mengunjungi mall atau pusat perbelanjaan yang ada di Surabaya. Kesibukannya sebagai pemred Metro, membuat Gemi hanya mengetahui dan memasuki kantor atau instansi terkait untuk keperluan pekerjaan. Selebihnya, Gemi hanya berada di rumah untuk
Lee yang tengah menikmati udara pagi di balkon seketika berbalik. Tergesa masuk karena mendengar panggilan dari Chandie. Gadis kecilnya itu terlihat baru saja keluar dari kamar mandi dan masih menggunakan pakaian yang dikenakannya tadi malam.Semalaman, Lee tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia hanya sibuk membolak balikkan tubuhnya, dan akhirnya memutuskan untuk pindah di atas sofa. Lee khawatir, kalau pergerakannya akan membangunkan salah satu dari kedua wanita, yang tengah terlelap lelah di atas tempat tidur“Kenapa Chan?” Manik Lee memendar untuk mencari sosok Gemi, dan langsung menebak kalau wanita itu, kini tengah berada di kamar mandi.“Mama muntah,” jawab Chandie menghampiri Lee dan langsung menarik tangan sang papa agar mengikutinya ke dalam kamar mandi.Di dalam sana, sudah terlihat Gemi tengah sibuk memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam wastafel. Satu tangannya sibuk menyingkap surai yang tergerai panjang, hingga Lee d
Dengan berlinang air mata, Chandie tidak ingin melepaskan satu tangannya yang mengalung pada leher Gemi. Gadis kecil itu menggeleng berkali-kali, ketika Lee membujuknya untuk masuk ke dalam ruang check in counter.“Mama ikut pulang juga,” isak Chandie yang sudah sesegukan sedari tadi. “Ayo, balik ke Jakarta.”Gemi yang sedari tadi berlutut, untuk menyamakan tingginya dengan Chandie pun mendongak menatap Lee. Menatap harap agar ikut memberikan penjelasan pada Chandie, kalau Gemi tidak bisa kembali ke Jakarta. Paling tidak, bukan saat ini.“Chandie …” Lee menghela berat dan ikut berjongkok di belakang Chandie, lalu mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Mama masih kerja di sini, nanti kalau sudah selesai, baru Mama bisa pulang.”“Mama kapan selesainya?” lirih Chandie merebahkan kepalanya pada lengan yang mengalung pada leher Gemi. Masih terisak pilu dengan kunciran rambut yang
“Kalau orang lain yang datang, pasti sudah aku tolak karena ini sudah jam istirahatku dan kamu nggak buat janji sebelumnya.”Pras berujar datar sembari memasuki ruang perpustakaan di kediamannya. Tidak hanya nada bicaranya yang terdengar datar, tapi wajahnya pun tidak menampilkan ekspresi apapun. Ia menjatuhkan diri dengan helaan kecil, pada arm chair yang bersebelahan sisi dengan Lee.“Tarik Gemi dari Surabaya, pindahkan dia ke Jakarta,” pinta Lee ketika Pras sudah duduk santai di kursinya. Bagaimanapun juga, negosiasinya dengan Pras malam ini harus berhasil.Lee hari ini memang terlampau sibuk, karena baru menyelesaikan semua pekerjaannya sekitar pukul tujuh malam. Setelah sampai di Jakarta siang harinya dan mengantarkan Chandie pulang ke rumah, Lee langsung pergi untuk mengurus semua pekerjaan yang tertunda.Setelah semua rampung, Lee tidak ingin menunggu waktu hingga esok hari untuk bertemu Pras, guna membicarakan perihal
“Dan tolong jelaskan kenapa saya harus pindah? Kenapa saya harus kembali ke Jakarta, sedangkan rancangan kerja yang saya buat sudah disetujui?” Gemi menahan geramannya setengah mati, ketika tengah melakukan meeting on-line bersama Pras dan Harsa. Berkali-kali ia menarik napas dan membuangnya perlahan, sembari terus mengusap perutnya yang memang tidak terlihat terlalu besar, meski sudah memasuki usia lima bulan. “Pak Pras, perjanjian kita enam bulan sampai sampai oplah Metro Surabaya naik.” Gemi kembali mengatur napasnya agar tidak terlihat emosi di depan kedua atasannya itu. “Dan ini masih dua bulan berjalan, Pak. Kalau memang Bapak nggak cocok dengan kinerja saya, harusnya tegur saya dulu. Bicarakan dulu empat mata dengan saya, apa yang harus dikoreksi dan diperbaiki. jangan main tarik seperti ini.” “Gemi … Gem, bisa saya cut sebentar,” ucap dengan mengangkat tangan kanannya. Sedangkan Pras, terlihat hanya diam saja untuk mengamati. Bersandar santai
Senin pagi itu, Gemi sudah terlihat sibuk berpamitan pada ibu-ibu komplek, yang bergerombol mengerubungi tukang sayur yang berhenti tidak jauh dari rumahnya. Seluruh pakaian dan perlengkapan lainnya pun sudah tersusun rapi di dalam koper. Gemi hanya tinggal berangkat ke kantor, mengadakan rapat pagi sekaligus serah terima jabatan hari ini. Kabarnya, Lex lagilah yang akan hadir dalam serah jabatan dirinya pagi ini. Setelah itu, siang harinya Lex akan kembali ke Jakarta bersama Gemi. Setelah berpamitan, Gemi berdiri sebentar sembari memandangi rumah yang harus ditinggalkannya. Sepulang dari Surabaya, Gemi akan kembali ke apartemen kecilnya dan menjalani hidup seperti dahulu kala. Setelah puas memandangi rumah, sebuah klakson mobil yang berhenti di depan rumahnya, kontan saja mengagetkan Gemi. Ia berbalik dan mendapati Amir baru keluar dari mobil dan berdiri di balik pagarnya. “Sudah siap, Bu Gemi?” tanya Amir dengan sopan. Ia lalu menggeser pagar ketika
Tidak ada yang istimewa dalam serah terima jabatan CEO, sekaligus Pemimpin Redaksi Metro pagi. Hanya dihadiri oleh dewan direksi, manajer, serta beberapa pihak terkait sebagai perwakilan divisi. Sejauh mata memandang, yang berkumpul di ruang meeting saat ini hanyalah para karyawan Metro Surabaya yang sudah dikenalnya. Lantas, Gemi menyimpulkan kalau CEO baru nantinya juga berasal dari salah satu pihak dewan direksi. “Luri,” panggil Lex pada sekretaris direksi yang duduk tidak jauh darinya. “Kamu sudah pastikan kalau pak Aksan datang pagi ini?” “Sudah, Pak,” jawab Luri dengan anggukan, tapi wajahnya melukiskan keraguan. “Pak … Aksan cuma bilang, oke, waktu saya telpon tadi pagi.” Lex hanya membalas Luri dengan helaan panjang, karena sudah tahu bagaimana tabiat Aksan sedari dulu. Melihat gelagat Lex yang sedari tadi hanya menanyakan Aksan, Gemi pun menarik kursinya agar semakin mendekat pada Lex. Ia hanya tidak ingin orang lain mendengarkan apa