Siang itu, akhirnya mereka bertiga bertemu muka untuk menyelesaikan segalanya. Tidak ada perdebatan yang berarti ketika Lee menghubungi Aries untuk bertemu. Lee hanya menunggu jadwal Aries untuk bisa terbang ke Surabaya, lalu membuat janji temu seperti sekarang.
Lee dan Gemi duduk berdampingan. Sedangakan Aries, berada bersebrangan dengan mereka.
Tatapan Aries tidak sengaja jatuh, pada jemari Gemi yang saling tertaut di atas meja. Menajamkan maniknya sekali lagi, untuk memastikan apa yang dilihatnya kali ini benar-benar nyata.
“Kemana cincin nikahmu, Gem?” celetuk Aries membuka obrolan yang ada siang hari ini.
Seketika, terbersit di kepala Aries mengenai hubungan rumah tangga yang dijalani Lee dan Gemi saat ini. Sepertinya, tidak mungkin kalau rumah tangga keduanya baik-baik saja, ketika Lee tahu, kalau calon bayi yang saat ini berada di rahim Gemi adalah anak Aries. Ia menebak, kalau pernikahan Gemi pasti tengah berada dalam masalah.
Manik Ge
“Aku perlu bicara berdua dengan Gemi,” pinta Aries masih belum bisa setuju dengan penawaran yang ada. Bagaimana bisa Lee memberi syarat sedemikian rupa, ketika Aries ingin menemui anaknya sendiri. Darah dagingnya sendiri!Lee bahkan tidak punya hak untuk mengatur, ketika Aries nantinya ingin bertemu dengan anaknya. Memangnya siapa Lee? hingga bisa melarang Aries untuk bertemu darah dagingnya sendiri. Sungguh, persyaratan yang diajukan pria itu sangat tidak masuk akal.Bagi Aries, Lee hanya orang lain yang kebetulan berstatus sebagai suami Gemi, tidak lebih!“Gemi istriku, dan aku nggak akan biarkan kalian bicara berdua,” tolak Lee menatap datar. “Aku sudah beri penawaran yang paling bagus buatmu, Ar. Hanya itu yang bisa aku beri. Terima, atau kamu nggak akan bisa temui anakmu sama sekali.”Aries tersenyum miring dengan sinis menatap Lee. “Mas, darah itu, lebih kental dari pada air. Jadi, sejauh apapun niatmu untuk
Sejak pertemuan dengan Aries hari itu, Lee terlihat lebih pendiam dari biasanya. Pria itu lebih banyak termenung memikirkan sesuatu, yang dipendamnya seorang diri. Ketika diajak berbicara, pikiran pria itu seolah mengawang jauh dengan banyak hal yang menumpuk di kepala. “Mas …” Gemi menyembulkan kepalanya ketika baru saja membuka pintu kamar Lee. Setelah mengetuk untuk beberapa saat dan tidak ada sahutan dari dalam, Gemi nekat menekan handle pintu lalu mendorongnya. Lee yang baru keluar dari kamar mandi dan tidak mendengar suara ketukan di pintu, sontak berjalan cepat untuk menghampiri Gemi. Menggandeng tangan wanita itu dengan hati-hati dan mendudukkan Gemi di tepi ranjang. “Kenapa naik tangga? Bahaya, Gem!” seru Lee sedikit berbicara keras pada wanita itu. “Kalau terpeleset, Kamu bisa kenapa-kenapa!” Melihat wajah khawatir Lee dan omelan pria itu kepadanya, Gemi hanya terkekeh. Belakangan ini, tidur Gemi sudah mulai berkurang banyak. Selain karena s
Lee yang baru menjejakkan kakinya di lantai satu, melihat Gemi keluar dari kamar sembari mendesis sesekali. Wajah wanita itu seolah meringis nyeri sembari terus mengusap perut bagian bawahnya.Lee yang sudah membawa tas kerja dan hendak pergi ke kantor itu pun menggantungkan tasnya pada sudut pagar.“Kamu kenapa, Gem?” Dengan wajah cemas Lee menghampiri Gemi dan menuntunnya untuk duduk di sofa dengan perlahan. “HPL masih dua minggu lagi, kan?” tanyanya khawatir.Gemi mengangguk, lalu duduk perlahan sembari mengatur napas. Menariknya dalam-dalam lalu membuang dengan perlahan. “Mules, Mas.”Lee meraup wajah yang semakin terlihat frustasi. Menelan ludah yang tercekat dengan debaran jantung yang tidak biasa. Sebuah trauma masa
Tanpa mengetuk pintu, Gemi menerobos masuk ke kamar Lee dan meraba dinding untuk mencari tombol saklar terlebih dahulu. Menyalakan lampu, lalu menghampiri Lee yang baru saja sampai di rumah sekitar dua jam yang lalu. Pria itu terlihat sudah tertidur sangat pulas dan kalau tidak terpaksa seperti sekarang, Gemi tidak akan tega membangungkan Lee. Duduk perlahan di tepi tempat tidur. Tangan Gemi kemudian terjulur untuk menyentuh pundak Lee. “Mas … bangun,” pinta Gemi sembari menggoyangkan tubuh Lee dengan perlahan. Merasa tubuhnya berguncang kecil, dan sayup-sayup namanya dipanggil, Lee akhirnya membuka mata dengan perlahan. Mengerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke dalam maniknya. Ketika menyadari ada Gemi di tempat tidurnya, Lee segera bangkit dengan wajah panik. “Sudah pagi? Aku kesiangan
Sungguh, sepanjang jalan menuju rumah sakit, Gemi berusaha untuk menahan tawa diantara kesakitan yang ada. Bagaimana bisa mereka berdua sampai lupa pada Chandie, yang ternyata masih tertidur pulas di kamarnya.Sang security pun hanya ikut tertawa, ketika Lee kembali berputar arah untuk pulang ke rumah karena lupa membawa putrinya.Setelah menggendong Chandie yang tidak terbangun sedikit pun, dan meletakkannya di kursi penumpang bagian belakang. Lee kembali melajukan roda empatnya untuk segera pergi ke rumah sakit.“Makanya jangan ngomel aja kerjaannya, anak sendiri sampai ketinggalan, kan?” Sudut mata Gemi sampai berair ketika melihat wajah bengong Lee yang tersadar telah melupakan Chandie.“Aku panik, Gem,” jawab Lee kemudian me
Sebenarnya, pikiran Audi diliputi banyak kecurigaan. Kalau dihitung-hitung, dari tanggal Lee menikah dengan putrinya, HPL Gemi tidak akan secepat ini. Namun, karena selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat telepon, maka Audi hanya diam dan mengiyakan saja.Tidak hanya Audi, sang suami beserta kakak perempuan Gemi pun memiliki kecurigaan yang sama sebenarnya. Akan tetapi mereka hanya diam dan sama-sama mengambil satu kesimpulan. Yakni, hubungan Gemi dan Lee sebelum menikah, sudah melewati batas, sehingga pernikahan mereka pun kalau dipikir lagi memang terkesan buru-buru. Belum lama saling mengenal, keduanya langsung memutuskan untuk menikah.Audi sampai tidak bisa lagi berpikir dan membayangkan apapun, jika mengingat pernikahan putrinya kala itu.Sesampainya di Surabaya, taksi yang ditumpangi Audi langsung pergi m
Setelah semua hal sudah siap. Chandie sudah berganti baju dan membawa pakaian ganti, Lee menyempatkan diri untuk memantau beberapa pekerjaan sebentar. Meskipun konsentrasinya saat ini terpecah, setidaknya, Lee bisa tahu mengenai laporan progress produk yang akan launching sebentar lagi. “Papa …” Chandie yang baru mengambil tas sekolah untuk dibawa ke rumah sakit, berlari keluar dari kamar. Membawa sebuah benda persegi dan memberikannya pada Lee. “Hape mama ketinggalan, tadi getar-getar terus.” “Makasih, ya,” ucap Lee lalu mengusap kepala Chandie sebentar. Ponsel yang baru saja berada di tangan Lee itu kemudian kembali bergetar singkat. Reflek, Lee segera melihat notifikasi yang muncul pada layar tersebut. Aries! Rasa kesal ketika mengingat satu nama yang terpajang di
Wajah Lee mengeras tegang di dalam ruang persalinan. Terdiam pucat dan berdiri beku tanpa mampu berucap kata. Satu tangannya jatuh mengepal di sisi tubuh. Sedangkan, tangan yang lain kini menggenggam tangan Gemi yang sudah mengejan hingga berulang kali. Tatapan Lee hanya tertuju, pada sang dokter yang kini berada di antara kedua paha Gemi. Sibuk memberi semangat dan instruksi, kapan waktu yang tepat untuk mulai mendorong dengan sekuat tenaga. Tidak sanggup menatap Gemi, karena sebuah bayangan masa lalu yang kini tengah menghantui kepalanya. Saat ini, tidak hanya Gemi yang mengeluarkan peluh yang sudah mengucur deras. Namun, Lee yang notabene tidak melakukan hal apapun, juga ikut meneteskan titik bening yang sudah tidak terbendung lagi. Lee bukannya tidak ingin menatap, atau pun memberi semangat pada Gemi. Namun, Lee sendiri butuh seseorang untuk menenangkan debaran jantung yang kini melonjak laju. Napas Lee seolah tercekat di ujung tenggorokan. Merasakan sesa