“Pastikan tidak ada barang yang tertinggal,” ujar seorang pria seraya mengelus wanita yang keluar lebih dulu dari apartemen tempatnya tinggal.
“Tidak masalah, kita bisa membelinya di tempat liburan nanti, kau tidak perlu khawatir, Sayang,” sahut wanita itu seraya tersenyum manis.
Keduanya tertawa renyah. Dua koper ukuran sedang berisi pakaian siap digeret. Dexter membawa keduanya dan membiarkan Chelsea berjalan di depan.
Sementara itu tak jauh dari mereka berdua, seorang wanita mematung menyaksikan keduanya masuk lift. Tertawa ironis seiring pintu lift yang perlahan tertutup dan menyembunyikan pasangan sejoli yang tengah saling memeluk erat. “Sejak kapan mereka ….” Bibir merah muda alami itu terkatup erat. Kedua telapak tangan mengepal kuat di samping tubuh hingga memutih.
Perlahan, kaki jenjang perempuan itu mengayun mendekati pintu apartemen tempat kedua orang tadi keluar. Menekan beberapa angka untuk membukanya. Namun, ironisnya dia tidak lagi dapat mengakses unit apartemen tersebut. Semua tanggal yang mungkin digunakan Dexter ditekannya, tetapi Josephine tetap tidak bisa masuk ke dalam apartemen yang dibeli untuk kekasihnya itu.
Hingga sebuah tanggal ditekannya dengan jantung berdetak kencang. Tanggal ulang tahun Chelsea Melden, teman masa kecilnya yang selalu menemaninya dalam suka dan duka. Bunyi ‘bip’ terdengar. Jantung Josephine kian bertalu-talu seiring gerakan tangannya mendorong kenop pintu di depan. Benda itu terbuka. Menampakkan keadaan di dalam yang begitu berantakan.
Melangkah dengan hati hancur, dokter muda menyaksikan helaian pakaian wanita dan pria berserakan di lantai. Tanpa mendekat pun dia tahu siapa pemilik pakaian tersebut. Kedua orang tadi yang pergi setelah mengelabui banyak orang. “Kenapa? Kenapa mereka melakukan ini padaku?” gumamnya, datar. Bahkan untuk menangis pun air matanya enggan keluar. Ya, untuk apa menangisi dua orang tidak tahu malu seperti mereka. “Benar, yang dikatakan orang aneh itu benar. Aku terlalu menutup mata pada apa pun yang dilakukan Dexter.” Dia pun berjalan cepat. Menyusul kedua orang yang sudah berada di basement.
Teringat hampir satu bulan lamanya seseorang terus-menerus menerornya. Mengirimkan pesan peringatan agar Josephine tidak bergantung pada Dexter, cinta pertama yang dia temukan saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka berjuang bersama dari nol untuk menjadi dokter terbaik. Dan sekarang, setelah mereka hampir menggapai mimpi itu, Josephine justru dicampakkan begitu saja.
Mobil Dexter dan Chelsea baru saja keluar dari basement saat Josephine keluar dari lift. Entah apa yang dilakukan kedua orang itu hingga menghabiskan waktu yang cukup lama di basement. Bukan masalah, sekarang yang terpenting bagi Josie adalah penjelasan dari mereka. Mengapa harus teman masa kecil yang sudah dianggapnya saudara. Mengapa Dexter mencampakannya setelah semua pengorbanan yang dia lakukan untuk pria itu.
Di mobil Dexter, dokter muda tidak bisa fokus menyetir sebab tangan Chelsea bertindak nakal di bawah sana. Tawa sesekali terdengar dari bibir wanita itu melihatnya kesulitan berkonsentrasi. “Chelse, hentikan! Atau kita berdua tidak akan sampai ke tempat liburan, melainkan rumah sakit,” katanya memperingatkan.
“Aku tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan agar kita bisa segera melepas rindu, Dex.” Chelsea menghentikan aksi nakalnya dan kembali duduk dengan tenang. “Kali ini jangan memakai pengaman, aku tidak nyaman dengan benda transparan itu. Lagipula, kau dan Josephine sering melakukannya tanpa pengaman. Aku benar-benar cemburu, Dex. Kau menetapkan batasan denganku, sementara tidak dengan Josephine,” rajuknya.
Dexter terkekeh. Dia pun menepikan mobil lalu memiringkan tubuh menghadap selingkuhannya. “Aku melakukan semua itu semata demi kebaikan kita, Chel. Aku tidak ingin merusakmu sama seperti yang aku lakukan pada Josephine,” belanya. Setidaknya bukan sekarang. Dexter tidak ingin Chelsea mengandung anaknya dulu. Dia ingin terlihat sebagai pria baik-baik di hadapan Tuan dan Nyonya Melden demi keberlangusngan masa depannya. Jika berhasil, maka dirinya bisa menguasai rumah sakit keluarga Melden tempatnya saat ini melaksanakan tugas residensi.
Dia lebih memilih Chelsea dibanding gadis lain yang tertarik padanya. Alasannya cukup sederhana, karena wanita itu adalah putri tunggal pemilik rumah sakit tempatnya bekerja sekarang. Dex akan menjadikan Chelsea sebagai tangga menuju kesuksesaannya. Dia akan membuktikan pada dunia jika seorang anak yatim piatu dari kalangan biasa pun bisa menjadi orang sukses. Ah, Josephine yang malang. Bahkan wanita itu tidak tahu jika sejak awal dirinya hanya dimanfaatkan demi mencapai keinginan Dexter semata. Dex sengaja mendekatinya untuk mendapatkan Chelsea.
“Kau bilang tidak ingin merusakku, tetapi kau mengambil pengalaman pertamaku. Pembelaan macam apa itu?” gumam Chelsea, memutar bola matanya malas.
“Itu karena aku tidak ingin kehilanganmu. Dan aku ingin menegaskan pada dunia jika Chelsea Melden adalah milikku!” tegas pria itu dengan penuh keyakinan.
Menegaskan pada dunia jika dia milik pria itu, Dexter pasti bercanda. Bahkan setelah satu tahun hubungan mereka, Dex belum bisa melepaskan Josephine. Namun, itu juga bagus baginya. Chelsea harus mempertahankan pertemanan dengan wanita bodoh itu untuk kepentingannya dan sang ibu.
Mobil kembali melaju. Di belakang, Josephine memacu kendaraan sedan putih miliknya dengan jarak aman. Keringat membasahi wajah meski suhu di dalam cukup dingin. Buku-buku tangannya memutih, mencengkram erat kemudi. Hingga saat mendapatkan celah, wanita muda memacu kendaraannya lebih cepat dan memblokir mobil Dexter hingga pria itu mengerem mendadak.
Kegaduhan terjadi di mobil Dexter. Chelsea mengumpat keras saat hampir terantuk dashboard akibat ulah orang tidak bertanggung jawab. “Orang bodoh mana yang menyetir dengan serampangan seperti itu?” geramnya. Namun, saat melihat plat nomor yang tertera pada mobil di depan membuatnya seketika diam seraya menggigit bibir bawahnya. “Josephine,” gumamnya, lirih.
Josephine keluar dari mobil dengan tergesa. Tangannya terlihat gemetaran, tetapi dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan kedua pengkhianat itu. “Dexter, keluar kau!” serunya. Menggebrak kap mobil pria itu dengan tatapan tajam mengarah pada dua orang yang tampak terkejut dan saling pandang.
Hingga menit berlalu, Dexter dan Chelsea keluar dari mobil. Keduanya saling bertukar tatap sebelum akhirnya mendekat.
“Sayang, bukankah kau seharusnya sedang melakukan operasi dengan Dokter Andrew?” Dexter tersenyum kikuk. Bak maling tertangkap basah.
“Kenapa? Apa aku tidak boleh berada di sini agar kalian bisa bebas pergi menghabiskan waktu bersama?” Josephine menatap nanar sosok tinggi di depannya. “Inikah perjalanan dinas yang kau maksud, Dex? Berlibur dengan teman masa kecilku dan … apa kalian tidak malu? Kalian menggunakan alasan pekerjaan untuk liburan bersama? Menjijikkan,” sinisnya.
“Josie, aku bisa menjelaskan semuanya. Kami tidak pergi untuk berlibur melainkan tugas yang diberikan pihak rumah sakit,” sela Chelsea. Mendekati Josephine dan berniat menenangkan wanita itu dengan menyentuh bahunya. Namun, niatan tersebut diurungkan saat temannya berbalik menatapnya tajam.
“Tugas apa? Di sekitar sini tidak ada klinik ataupun rumah sakit. Apakah tugas yang kalian maksud adalah melepas rindu di salah satu resort?”
“Josephine!” seru Dexter. Menarik lengan wanita itu hingga kembali menghadapnya.
“Apa? Tidak perlu mengarang cerita dengan alasan pekerjaan lagi, Dex, aku sudah tahu.” Josie menghela napas dalam.
“Apa yang kau tahu?”
“Kalian menjalin hubungan di belakangku, aku tahu, saat kalian keluar dari apartemenmu." Sekuat tenaga Josephine menahan agar air matanya tidak jatuh. "Tatapan teduh yang biasanya kau arahkan padaku, hari ini kau tujukan untuk Chelsea,” tuturnya, tersenyum ironis.
Kedua orang itu saling bersitatap. Mereka tidak menyadari keberadaan Josephine. Kembali berbohong pun percuma. Wanita itu sudah tahu hubungan mereka.
“Setelah semua pengorbanan yang aku lakukan, inikah balasannya, Dex?” Josie mendengus sinis. Rasanya dia ingin mengamuk dan mencakar kedua orang di depannya. Namun, dia tidak ingin terlihat menyedihkan agar mereka tidak merasa menang karena menghancurkan hidupnya.
“Aku bisa menjelaskan semuanya, Josie, tolong tenangkan dirimu.” Dexter mendekat, tetapi Josephine langsung menghindari tangan pria itu yang ingin menyentuhnya.
“Tidak perlu menjelaskan apa pun lagi. Mulai hari ini, aku membebaskanmu dari hubungan kita, Dex. Sekarang kau dan Chelsea bebas melakukan apa pun yang kalian inginkan tanpa harus sembunyi-sembunyi di belakangku,” ungkapnya, lalu berbalik menghadap Chelsea. “Dan kau, terima kasih sudah bersedia mengambil parasit yang merugikan hidupku selama bertahun-tahun. Berkat kejadian hari ini, mataku akhirnya terbuka lebar. Ke depannya, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Mulai saat ini, aku juga memutuskan hubungan pertemanan kita. Sesama pengkhianat, kalian memang serasi jika bersanding,” lanjutnya, sinis.
Josephine berbalik. Semua kemarahan yang sebelumnya ingin diluapkan pada kedua orang itu buyar. Biarkan saja, meributkan semuanya pun rasanya percuma.
“Si bodoh itu! Akan sangat bagus jika dia mengamuk agar aku tidak sungkan padanya. Tapi, apa yang dia lakukan tadi? Dia ingin terlihat seperti wanita tangguh. Dan apa yang dikatakan tadi?” Chelsea bergumam geram. “Kau seharusnya tidak meremehkanku, Josephine!” serunya. Melangkah cepat dan mendorong Josie hingga wanita itu terhuyung dan jatuh menabrak kap mobilnya dengan keras.
Josephine mengerang kesakitan. Wajahnya pucat pasi, sebelah tangannya memegangi perut yang terasa bergejolak. “T-tidak, kumohon,” lirihnya ambruk di aspal. Rintih kesakitan terdengar pilu. Sementara Dexter, terkejut melihat cairan merah pekat mulai merembas dari sela-sela kaki kekasihnya.
“Josephine,” panggilnya khawatir. Namun, Chelsea menghalanginya saat hendak mendekati wanita itu.
Melihat cairan merah pekat merembes di sela-sela kaki Josephine, membuat Chelsea kian meradang. Wanita itu maju ingin kembali menerjang teman masa kecilnya yang tidak berdaya. “Kau, berani sekali mengandung anak dari pria yang kucintai, wanita murahan!” pekiknya. Namun, Dexter langsung mencekal lengan agar tidak bertindak lebih jauh.“Hentikan, Chelsea, kau akan membunuhnya.”“Aku tidak peduli. Jika perlu, aku sendiri yang akan menusukkan pisau agar si bodoh ini menyusul kedua orang tuanya.” Chelsea memberontak. Sekarang dia menunjukkan warna aslinya. Wajah lembut yang selalu memasang senyum manis saat bersama Josephine itu sekarang tak lagi terlihat. Wajah penuh kemarahan dan dendamlah yang ditunjukkan. “Tapi, sebelum itu aku harus mendapatkan sesuatu agar tidak merugi.” Dia pun berhasil melepaskan diri dari Dexter dan mendekati Josephine yang terlihat kesakitan.Josie berdiri dengan susah payah, menahan kesakitan yang kian merasukinya. Napasnya tersenggal, dengan tatapan nyalang pad
Keesokan harinya, nama Josephine menjadi buah bibir di kalangan para medis di rumah sakit keluarga Melden. Kesalahan salah satu dokter residen dalam mendiagnosis pasien serta kesalahan pemberian dosis obat oleh oknum perawat semuanya dilimpahkan pada dokter muda. Rekan sejawat beserta dokter senior mengecam tindakan fatal yang merugikan pasien serta mencoreng nama baik rumah sakit."Itu sebabnya pepatah mengatakan jika kita tidak bisa menilai buku hanya berdasarkan sampulnya saja.""Ya, siapa sangka dokter muda yang menjadi residen terbaik tahun lalu hanyalah seorang wanita labil yang bahkan tidak bisa memberikan dosis obat dengan benar. Maksudku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, tetapi yang dia lakukan mengancam nyawa seseorang."Banyak kecaman yang diberikan staf rumah sakit maupun beberapa keluarga pasien yang mengetahui kejadian tersebut. Namun, ada beberapa orang juga yang tidak percaya dengan kabar yang tengah merebak. Bahkan, nama Josephine tertera di papan pengumu
Tujuh tahun berlalu. Banyak hal terjadi selama itu. Dexter dan Chelsea tak malu menunjukkan hubungan mereka di hadapan khalayak. Bukannya mendapat kecaman karena mengencani mantan kekasih sahabatnya sendiri, wanita itu justru mendapatkan dukungan, terutama dari orang-orang yang bekerja di rumah sakit. Mereka menyebutnya pasangan serasi karena keduanya sama-sama seorang dokter spesialis.Dan di tempat lain, dua orang wanita baru saja keluar dari bandara. Keduanya memasuki sebuah mobil yang sudah terparkir dan segera meninggalkan tempat tersebut. Hingga tiga puluh menit lamanya, kendaraan roda empat sampai di sebuah bangunan megah bergaya Eropa klasik.Di dalam bangunan tersebut, Jansen berjalan cepat menuju sebuah ruangan di lantai satu. Masuk setelah mengetuk pintu terlebih dulu. “Tuan, Nona Orville sudah kembali,” ucapnya memberitahu.Callister yang sedang fokus menatap layar komputer di meja kerja langsung menoleh dengan tatapan rumit. Kacamata kotak yang bertengger di hidung dilepa
Waktu satu minggu terasa seperti satu bulan bagi Josephine. Selama beberapa hari, tak banyak yang bisa dilakukan dokter cantik. Dia hanya akan melakukan olahraga fisik di sekitaran mansion Callister lalu membaca buku medis di ruang kerja. “Untuk apa dia menyimpan semua buku-buku medis ini?” gumamnya. Josephine tidak pernah mendengar Callister mengambil study di bidang kedokteran. Anehnya, pria itu justru lebih banyak menyimpan buku medis dibandingkan buku yang berkaitan dengan bisnis. Meski begitu, hal itu sangat bagus, mengingat Josephine sangat suka membaca buku dan melihat anatomi manusia. Hal tersebut menurun dari mendiang ibunya yang merupakan seorang dokter bedah trauma, hingga profesi tersebut kini menurun padanya. “Ah, ini terlalu membosankan,” ucapnya. Menutup buku ke sekian yang dibaca. Entah berapa jumlah buku yang dibacanya selama tiga jam di ruang kerja Callister. Begitu banyak hingga tidak dapat dihitung. Dan akhirnya, dokter wanita memutuskan untuk pergi keluar. Calli
Waktu yang ditunggu tiba. Josephine siap kembali bergabung di rumah sakit Melden yang banyak sekali memberinya pelajaran serta kenangan. Dengan penampilan serta identitas barunya, dokter cantik siap mengejutkan Dexter dan Chelsea yang juga bekerja di sana. “Baiklah, doakan aku, Mom, hari ini adalah hari di mana Daisy Charleston akan membalaskan kematian Josephine Orville,” gumamnya dengan mata terpejam.Dan, setelah berdiri cukup lama di kamar, Josephine yang kini akan menggunakan identitas barunya melenggang pergi. Tak seperti tujuh tahun lalu di mana ia berpenampilan sederhana, kini, penampilan dokter wanita terlihat lebih berkelas. Semua barang yang digunakan berasal dari merk ternama, dan tentunya dari hasil kerja kerasnya selama bekerja untuk prajurit di Negara S.Di lantai satu, Callister serta Jansen menyambut kedatangan Josephine. Pewaris keluarga Melden langsung berdiri dari kursi roda dengan sesuatu di tangan kanannya. Call melempar benda di tangan hingga Josephine menangkap
Josephine mendengus sinis dibalik masker yang menutupi wajah. Kedua tangan terlipat di depan dada begitu berhadapan dengan sosok yang memanggilnya. Chelsea tampak menilai penampilan dokter bedah trauma yang baru bergabung di rumah sakit keluarganya dari ujung kaki hingga kepala. Tidak begitu istimewa. Namun, jujur saja wanita itu penasaran dengan wajah dokter yang baru selesai melakukan operasi pertamanya setelah bergabung. “Kudengar pasien yang datang hari ini mengalami keretakkan pada leher bagian belakangnya,” ujarnya.“Ya, itu memang benar,” sahut Josephine dengan suara yang disamarkan. Terlalu dini jika dia harus mengejutkan Chelsea.“Kenapa kau tidak menunggu tunanganku datang? Dia adalah spesialis Head and Neck Surgery ….”“Ah, jadi maksud Anda, saya harus menunggu dokter yang bahkan tidak datang lebih awal dari direktur rumah sakit ini?” potong Josephine dengan cepat. “Jika itu saya lakukan, maka pasien akan berada dalam bahaya, Dokter. Saya yang melihatnya pertama kali saat
Sepulangnya dari rumah sakit, Josephine memilih menghabiskan waktu sendirian di kolam renang di lantai atas mansion Callister. Senyum tak henti-hentinya tersungging di wajah cantik tanpa riasan sama sekali.“Sepertinya terjadi hal besar hari ini, ya.”Wanita cantik yang hanya mengenakan set bikini berwarna merah langsung menoleh ke sumber suara. Terkejut, dia pun menarik kimono yang teronggok di kursi santai untuk menutupi tubuh. “Kau, sejak kapan di sini?” tanyanya seraya memakai penutup tubuh dan membelakangi Callister yang mendekat ke arahnya. “Sejak kau keluar dari kamar, berjalan seraya mendendangkan lagu menuju kolam renang.”Josephine langsung menoleh dan mendelik tajam. Padahal saat hendak menuju kolam renang, dia sempat menggoyangkan pinggulnya karena suasana hati yang sedang baik.“Jangan khawatir, aku tidak melihatmu saat menggoyangkan pinggul,” ucap Callister dengan ekspresi datarnya.Tidak melihatnya saat menggoyangkan pinggul tetapi pria itu membahasnya. “Kau benar-ben
Suara tamparan memecah kesunyian di halaman rumah Melden. Chelsea, dengan api kemarahan yang menyala di matanya, menghantam wajah detektif swasta yang ditugaskan untuk menyelidiki identitas Daisy Charleston. Setiap hentakan tangan Chelsea membawa gemuruh kekecewaan dan pengkhianatan, seolah-olah setiap tamparan adalah lontaran amarah untuk segala ketidakadilan yang telah ditimpakan pada dirinya. Kemarahan yang tak terbendung itu meledak, menggema hingga ke sudut-sudut halaman yang sunyi, memberi tahu semua orang bahwa batas telah terlampaui. “Jika Anda tidak mempercayai saya, silahkan gunakan agen lain. Saya permisi.” Pria suruhan Chelsea langsung berbalik pergi. “Sial, sial, sial! Bagaimana bisa, dua orang terlahir dengan wajah yang sama?” Chelsea Melden berjalan hilir mudik seraya sesekali menggigiti kuku jempol tangannya. Daisy Charleston begitu mirip hingga sulit dibedakan. Namun, bagaimana mungkin mereka dua orang yang berbeda. Dia pernah mendengar jika seseorang berkemungkina
Ada empat orang dalam ruangan bedah trauma. Dua orang perawat dan dua orang dokter. Mereka tampak sibuk berbenah dan menyusun barang-barang. Hingga kedatangan Josephine menginterupsi kegiatan keempatnya yang terperanjat dan langsung menghentikan aktivitas.“Kalian, siapa?” tanya dokter wanita. Jangan sampai Benedict bermain-main dengan menyingkirkannya dari ruangan tersebut.“Selamat pagi, Dokter Daisy,” sapa salah satu perawat seraya membungkuk. Diikuti ketiga orang yang juga langsung membungkuk hormat. “Kami adalah perawat dan dokter yang ditugaskan di departemen bedah trauma bersama Anda,” ungkapnya, antusias.Josephine menatap keempat orang di depannya. “Wajah mereka terlihat asing. Apa mereka baru bergabung di rumah sakit ini?” gumamnya.“Anda benar, Dokter. Beberapa di antara kami memang baru bergabung di rumah sakit ini,” sela salah seorang dokter.“Apa?” Josephine tak habis pikir. Bagaimana bisa Benedict menugaskan orang-orang baru di bagian bedah trauma. Bagaimana jika terjad
"Apa Anda menyukai Nona Orville?" tanya Jansen begitu mobil meninggalkan pelataran rumah sakit. Callister langsung menoleh dengan cepat. Matanya memicing tajam. “Apa yang kau bicarakan? Kami hanya rekan, tidak lebih dari itu,” jawabnya. Pria di depan langsung terkekeh dan menggelengkan kepala. “Apa yang kau tertawakan? Aku tidak menyukai wanita itu, sungguh!” Lagi, Jansen hanya terkekeh. Dan, sepajang perjalanan, dia harus mendapatkan gerutuan Callister yang sudah seperti perempuan datang bulan. Di dalam gedung, Josephine berlari menuju lift seraya membenarkan name tag yang terpisah dari tali. Hal tersebut membuatnya kurang memerhatikan sekitar hingga menabrak petugas kebersihan yang datang mendorong tempat sampah. Hingga tubuhnya terpelanting ke belakang. Untungnya, sepasang tangan menangkapnya tepat waktu. "Kau masih saja ceroboh, Josephine." Pria yang tak lain adalah Dexter membantunya berdiri tegak. Sejujurnya dokter pria masih ingin memeluk tubuh itu. Namun, akal sehat
Dua dokter langsung menyingkir ke samping. Wajah Chelsea makin pucat melihat dua orang yang berdiri di depannya. “K-Kakak,” lirihnya terbata. Dia langsung tersentak melihat Callister yang berdiri dengan kedua kakinya. Pria itu tak lagi menggunakan kursi roda seperti yang selalu digunakannya selama bertahun-tahun. “Bagaimana mungkin? Kakak, kau ….” Wanita itu tak mampu melanjutkan kata-katanya.Callister mendekati ketiga orang di depan. Saat tatapannya bertemu dengan Josephine, bibirnya langsung tersungging karena wanita itu mencoba menghindar. “Kau benar-benar memalukan,” cibirnya sinis. Menatap remah adik tirinya. “Seorang dokter, sekaligus putri dari pemilik rumah sakit membuat keributan hanya karena masalah sepele?”“Kakak, itu ….” Chelsea tidak bisa berkutik saat bertemu tatap dengan Callister. Pria itu, bagaimana mungkin dia tertekan hanya dengan melihat matanya.“Sikapmu benar-benar memalukan. Tidak mencerminkan jika kau berasal dari keluarga kelas atas. Apa karena ibumu berasal
Chelsea meradang setelah seorang perawat melapor jika Dexter dan Daisy satu meja saat di kafetaria. Wanita mana yang tidak cemburu ketika calon suaminya berdekatan dengan wanita lain, terlebih wanita itu mirip dengan mantan kekasihnya dulu. “Daisy Charleston! Seharusnya kau tidak mengusik milikku,” desisnya. Berjalan cepat mencari keberadaan wanita itu.Masuk ke ruangan bedah trauma, dokter wanita tidak ada di tempat. Chelsea kembali keluar dan mencari keberadaan Josephine di bagian lain rumah sakit.Sementara itu, Josephine baru saja selesai melakukan tindakan pada pasien keduanya yang mengalami penurunan pada tanda vitalnya. Beruntung, pria itu dapat diselamatkan. “Apa keluarga pasien sudah dihubungi kembali?” tanyanya pada perawat.“Sudah, tetapi tidak ada jawaban, Dokter. Mungkin mereka masih mengurusi pemakaman,” jawab perawat.Josephine mengangguk perlahan. Jika keluarga pasien tidak segera datang untuk mengurus administrasi, maka besar kemungkinan pihak rumah sakit akan menghen
Josephine berjalan santai mendekati tamu tak diundang di ruangannya. Beruntung dokter wanita membawa baju ke kamar mandi hingga dirinya tak perlu keluar dengan hanya mengenakan handuk. Dia memang sengaja meninggalkan beberapa stel pakaian di loker untuk situasi darurat. Dan terbukti, di hari keduanya bekerja, pakaian tersebut berguna. “Ada keperluan apa kau kemari?” tanyanya.Callister mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket yang dikenakan. “Kau meninggalkan ini di rumah,” jawabnya, mendorong kotak lensa mata Josephine.Dokter wanita terperanjat. Karena panggilan darurat, dia lupa membawa benda itu. Mengambil dengan cepat, dia pun langsung mengenakannya saat itu juga.“Kuharap orang lain tidak melihatnya, atau mereka akan mengetahui identitasmu yang sesungguhnya,” ujar Callister seraya membenarkan posisi topi yang dikenakan. Pria itu datang dengan menyamar demi mengantarkan benda tersebut agar penyamaran Josephine tidak diketahui orang lain.“Selain para perawat dan dokter anestesi
Suara tamparan memecah kesunyian di halaman rumah Melden. Chelsea, dengan api kemarahan yang menyala di matanya, menghantam wajah detektif swasta yang ditugaskan untuk menyelidiki identitas Daisy Charleston. Setiap hentakan tangan Chelsea membawa gemuruh kekecewaan dan pengkhianatan, seolah-olah setiap tamparan adalah lontaran amarah untuk segala ketidakadilan yang telah ditimpakan pada dirinya. Kemarahan yang tak terbendung itu meledak, menggema hingga ke sudut-sudut halaman yang sunyi, memberi tahu semua orang bahwa batas telah terlampaui. “Jika Anda tidak mempercayai saya, silahkan gunakan agen lain. Saya permisi.” Pria suruhan Chelsea langsung berbalik pergi. “Sial, sial, sial! Bagaimana bisa, dua orang terlahir dengan wajah yang sama?” Chelsea Melden berjalan hilir mudik seraya sesekali menggigiti kuku jempol tangannya. Daisy Charleston begitu mirip hingga sulit dibedakan. Namun, bagaimana mungkin mereka dua orang yang berbeda. Dia pernah mendengar jika seseorang berkemungkina
Sepulangnya dari rumah sakit, Josephine memilih menghabiskan waktu sendirian di kolam renang di lantai atas mansion Callister. Senyum tak henti-hentinya tersungging di wajah cantik tanpa riasan sama sekali.“Sepertinya terjadi hal besar hari ini, ya.”Wanita cantik yang hanya mengenakan set bikini berwarna merah langsung menoleh ke sumber suara. Terkejut, dia pun menarik kimono yang teronggok di kursi santai untuk menutupi tubuh. “Kau, sejak kapan di sini?” tanyanya seraya memakai penutup tubuh dan membelakangi Callister yang mendekat ke arahnya. “Sejak kau keluar dari kamar, berjalan seraya mendendangkan lagu menuju kolam renang.”Josephine langsung menoleh dan mendelik tajam. Padahal saat hendak menuju kolam renang, dia sempat menggoyangkan pinggulnya karena suasana hati yang sedang baik.“Jangan khawatir, aku tidak melihatmu saat menggoyangkan pinggul,” ucap Callister dengan ekspresi datarnya.Tidak melihatnya saat menggoyangkan pinggul tetapi pria itu membahasnya. “Kau benar-ben
Josephine mendengus sinis dibalik masker yang menutupi wajah. Kedua tangan terlipat di depan dada begitu berhadapan dengan sosok yang memanggilnya. Chelsea tampak menilai penampilan dokter bedah trauma yang baru bergabung di rumah sakit keluarganya dari ujung kaki hingga kepala. Tidak begitu istimewa. Namun, jujur saja wanita itu penasaran dengan wajah dokter yang baru selesai melakukan operasi pertamanya setelah bergabung. “Kudengar pasien yang datang hari ini mengalami keretakkan pada leher bagian belakangnya,” ujarnya.“Ya, itu memang benar,” sahut Josephine dengan suara yang disamarkan. Terlalu dini jika dia harus mengejutkan Chelsea.“Kenapa kau tidak menunggu tunanganku datang? Dia adalah spesialis Head and Neck Surgery ….”“Ah, jadi maksud Anda, saya harus menunggu dokter yang bahkan tidak datang lebih awal dari direktur rumah sakit ini?” potong Josephine dengan cepat. “Jika itu saya lakukan, maka pasien akan berada dalam bahaya, Dokter. Saya yang melihatnya pertama kali saat
Waktu yang ditunggu tiba. Josephine siap kembali bergabung di rumah sakit Melden yang banyak sekali memberinya pelajaran serta kenangan. Dengan penampilan serta identitas barunya, dokter cantik siap mengejutkan Dexter dan Chelsea yang juga bekerja di sana. “Baiklah, doakan aku, Mom, hari ini adalah hari di mana Daisy Charleston akan membalaskan kematian Josephine Orville,” gumamnya dengan mata terpejam.Dan, setelah berdiri cukup lama di kamar, Josephine yang kini akan menggunakan identitas barunya melenggang pergi. Tak seperti tujuh tahun lalu di mana ia berpenampilan sederhana, kini, penampilan dokter wanita terlihat lebih berkelas. Semua barang yang digunakan berasal dari merk ternama, dan tentunya dari hasil kerja kerasnya selama bekerja untuk prajurit di Negara S.Di lantai satu, Callister serta Jansen menyambut kedatangan Josephine. Pewaris keluarga Melden langsung berdiri dari kursi roda dengan sesuatu di tangan kanannya. Call melempar benda di tangan hingga Josephine menangkap