"Aku akan datang, sebagai badai yang akan menghancurkan kalian!" Menemani sang kekasih berjuang dari nol adalah kesalahan fatal yang dilakukan Josephine Orville. Semua pengorbanan yang dilakukannya berbalas pengkhianatan. Bukannya bersyukur memiliki kekasih yang rela membantu membiayai kuliahnya hingga lulus, Dexter justru bermain api dengan teman masa kecil Josephine. Chelsea Melden, yang merupakan anak dari pemilik rumah sakit tempatnya mengabdi menjadi pilihan alternatif untuk masa depan yang lebih cerah. Bagaikan sampah yang sudah tidak lagi berguna, Josephine dicampakan. Dibuang ke jurang, lalu namanya pun dibuat tercemar. Namun, tujuh tahun kemudian wanita itu muncul kembali untuk menghancurkan mereka yang telah menyakitinya.
View More“Pastikan tidak ada barang yang tertinggal,” ujar seorang pria seraya mengelus wanita yang keluar lebih dulu dari apartemen tempatnya tinggal.
“Tidak masalah, kita bisa membelinya di tempat liburan nanti, kau tidak perlu khawatir, Sayang,” sahut wanita itu seraya tersenyum manis.
Keduanya tertawa renyah. Dua koper ukuran sedang berisi pakaian siap digeret. Dexter membawa keduanya dan membiarkan Chelsea berjalan di depan.
Sementara itu tak jauh dari mereka berdua, seorang wanita mematung menyaksikan keduanya masuk lift. Tertawa ironis seiring pintu lift yang perlahan tertutup dan menyembunyikan pasangan sejoli yang tengah saling memeluk erat. “Sejak kapan mereka ….” Bibir merah muda alami itu terkatup erat. Kedua telapak tangan mengepal kuat di samping tubuh hingga memutih.
Perlahan, kaki jenjang perempuan itu mengayun mendekati pintu apartemen tempat kedua orang tadi keluar. Menekan beberapa angka untuk membukanya. Namun, ironisnya dia tidak lagi dapat mengakses unit apartemen tersebut. Semua tanggal yang mungkin digunakan Dexter ditekannya, tetapi Josephine tetap tidak bisa masuk ke dalam apartemen yang dibeli untuk kekasihnya itu.
Hingga sebuah tanggal ditekannya dengan jantung berdetak kencang. Tanggal ulang tahun Chelsea Melden, teman masa kecilnya yang selalu menemaninya dalam suka dan duka. Bunyi ‘bip’ terdengar. Jantung Josephine kian bertalu-talu seiring gerakan tangannya mendorong kenop pintu di depan. Benda itu terbuka. Menampakkan keadaan di dalam yang begitu berantakan.
Melangkah dengan hati hancur, dokter muda menyaksikan helaian pakaian wanita dan pria berserakan di lantai. Tanpa mendekat pun dia tahu siapa pemilik pakaian tersebut. Kedua orang tadi yang pergi setelah mengelabui banyak orang. “Kenapa? Kenapa mereka melakukan ini padaku?” gumamnya, datar. Bahkan untuk menangis pun air matanya enggan keluar. Ya, untuk apa menangisi dua orang tidak tahu malu seperti mereka. “Benar, yang dikatakan orang aneh itu benar. Aku terlalu menutup mata pada apa pun yang dilakukan Dexter.” Dia pun berjalan cepat. Menyusul kedua orang yang sudah berada di basement.
Teringat hampir satu bulan lamanya seseorang terus-menerus menerornya. Mengirimkan pesan peringatan agar Josephine tidak bergantung pada Dexter, cinta pertama yang dia temukan saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka berjuang bersama dari nol untuk menjadi dokter terbaik. Dan sekarang, setelah mereka hampir menggapai mimpi itu, Josephine justru dicampakkan begitu saja.
Mobil Dexter dan Chelsea baru saja keluar dari basement saat Josephine keluar dari lift. Entah apa yang dilakukan kedua orang itu hingga menghabiskan waktu yang cukup lama di basement. Bukan masalah, sekarang yang terpenting bagi Josie adalah penjelasan dari mereka. Mengapa harus teman masa kecil yang sudah dianggapnya saudara. Mengapa Dexter mencampakannya setelah semua pengorbanan yang dia lakukan untuk pria itu.
Di mobil Dexter, dokter muda tidak bisa fokus menyetir sebab tangan Chelsea bertindak nakal di bawah sana. Tawa sesekali terdengar dari bibir wanita itu melihatnya kesulitan berkonsentrasi. “Chelse, hentikan! Atau kita berdua tidak akan sampai ke tempat liburan, melainkan rumah sakit,” katanya memperingatkan.
“Aku tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan agar kita bisa segera melepas rindu, Dex.” Chelsea menghentikan aksi nakalnya dan kembali duduk dengan tenang. “Kali ini jangan memakai pengaman, aku tidak nyaman dengan benda transparan itu. Lagipula, kau dan Josephine sering melakukannya tanpa pengaman. Aku benar-benar cemburu, Dex. Kau menetapkan batasan denganku, sementara tidak dengan Josephine,” rajuknya.
Dexter terkekeh. Dia pun menepikan mobil lalu memiringkan tubuh menghadap selingkuhannya. “Aku melakukan semua itu semata demi kebaikan kita, Chel. Aku tidak ingin merusakmu sama seperti yang aku lakukan pada Josephine,” belanya. Setidaknya bukan sekarang. Dexter tidak ingin Chelsea mengandung anaknya dulu. Dia ingin terlihat sebagai pria baik-baik di hadapan Tuan dan Nyonya Melden demi keberlangusngan masa depannya. Jika berhasil, maka dirinya bisa menguasai rumah sakit keluarga Melden tempatnya saat ini melaksanakan tugas residensi.
Dia lebih memilih Chelsea dibanding gadis lain yang tertarik padanya. Alasannya cukup sederhana, karena wanita itu adalah putri tunggal pemilik rumah sakit tempatnya bekerja sekarang. Dex akan menjadikan Chelsea sebagai tangga menuju kesuksesaannya. Dia akan membuktikan pada dunia jika seorang anak yatim piatu dari kalangan biasa pun bisa menjadi orang sukses. Ah, Josephine yang malang. Bahkan wanita itu tidak tahu jika sejak awal dirinya hanya dimanfaatkan demi mencapai keinginan Dexter semata. Dex sengaja mendekatinya untuk mendapatkan Chelsea.
“Kau bilang tidak ingin merusakku, tetapi kau mengambil pengalaman pertamaku. Pembelaan macam apa itu?” gumam Chelsea, memutar bola matanya malas.
“Itu karena aku tidak ingin kehilanganmu. Dan aku ingin menegaskan pada dunia jika Chelsea Melden adalah milikku!” tegas pria itu dengan penuh keyakinan.
Menegaskan pada dunia jika dia milik pria itu, Dexter pasti bercanda. Bahkan setelah satu tahun hubungan mereka, Dex belum bisa melepaskan Josephine. Namun, itu juga bagus baginya. Chelsea harus mempertahankan pertemanan dengan wanita bodoh itu untuk kepentingannya dan sang ibu.
Mobil kembali melaju. Di belakang, Josephine memacu kendaraan sedan putih miliknya dengan jarak aman. Keringat membasahi wajah meski suhu di dalam cukup dingin. Buku-buku tangannya memutih, mencengkram erat kemudi. Hingga saat mendapatkan celah, wanita muda memacu kendaraannya lebih cepat dan memblokir mobil Dexter hingga pria itu mengerem mendadak.
Kegaduhan terjadi di mobil Dexter. Chelsea mengumpat keras saat hampir terantuk dashboard akibat ulah orang tidak bertanggung jawab. “Orang bodoh mana yang menyetir dengan serampangan seperti itu?” geramnya. Namun, saat melihat plat nomor yang tertera pada mobil di depan membuatnya seketika diam seraya menggigit bibir bawahnya. “Josephine,” gumamnya, lirih.
Josephine keluar dari mobil dengan tergesa. Tangannya terlihat gemetaran, tetapi dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan kedua pengkhianat itu. “Dexter, keluar kau!” serunya. Menggebrak kap mobil pria itu dengan tatapan tajam mengarah pada dua orang yang tampak terkejut dan saling pandang.
Hingga menit berlalu, Dexter dan Chelsea keluar dari mobil. Keduanya saling bertukar tatap sebelum akhirnya mendekat.
“Sayang, bukankah kau seharusnya sedang melakukan operasi dengan Dokter Andrew?” Dexter tersenyum kikuk. Bak maling tertangkap basah.
“Kenapa? Apa aku tidak boleh berada di sini agar kalian bisa bebas pergi menghabiskan waktu bersama?” Josephine menatap nanar sosok tinggi di depannya. “Inikah perjalanan dinas yang kau maksud, Dex? Berlibur dengan teman masa kecilku dan … apa kalian tidak malu? Kalian menggunakan alasan pekerjaan untuk liburan bersama? Menjijikkan,” sinisnya.
“Josie, aku bisa menjelaskan semuanya. Kami tidak pergi untuk berlibur melainkan tugas yang diberikan pihak rumah sakit,” sela Chelsea. Mendekati Josephine dan berniat menenangkan wanita itu dengan menyentuh bahunya. Namun, niatan tersebut diurungkan saat temannya berbalik menatapnya tajam.
“Tugas apa? Di sekitar sini tidak ada klinik ataupun rumah sakit. Apakah tugas yang kalian maksud adalah melepas rindu di salah satu resort?”
“Josephine!” seru Dexter. Menarik lengan wanita itu hingga kembali menghadapnya.
“Apa? Tidak perlu mengarang cerita dengan alasan pekerjaan lagi, Dex, aku sudah tahu.” Josie menghela napas dalam.
“Apa yang kau tahu?”
“Kalian menjalin hubungan di belakangku, aku tahu, saat kalian keluar dari apartemenmu." Sekuat tenaga Josephine menahan agar air matanya tidak jatuh. "Tatapan teduh yang biasanya kau arahkan padaku, hari ini kau tujukan untuk Chelsea,” tuturnya, tersenyum ironis.
Kedua orang itu saling bersitatap. Mereka tidak menyadari keberadaan Josephine. Kembali berbohong pun percuma. Wanita itu sudah tahu hubungan mereka.
“Setelah semua pengorbanan yang aku lakukan, inikah balasannya, Dex?” Josie mendengus sinis. Rasanya dia ingin mengamuk dan mencakar kedua orang di depannya. Namun, dia tidak ingin terlihat menyedihkan agar mereka tidak merasa menang karena menghancurkan hidupnya.
“Aku bisa menjelaskan semuanya, Josie, tolong tenangkan dirimu.” Dexter mendekat, tetapi Josephine langsung menghindari tangan pria itu yang ingin menyentuhnya.
“Tidak perlu menjelaskan apa pun lagi. Mulai hari ini, aku membebaskanmu dari hubungan kita, Dex. Sekarang kau dan Chelsea bebas melakukan apa pun yang kalian inginkan tanpa harus sembunyi-sembunyi di belakangku,” ungkapnya, lalu berbalik menghadap Chelsea. “Dan kau, terima kasih sudah bersedia mengambil parasit yang merugikan hidupku selama bertahun-tahun. Berkat kejadian hari ini, mataku akhirnya terbuka lebar. Ke depannya, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Mulai saat ini, aku juga memutuskan hubungan pertemanan kita. Sesama pengkhianat, kalian memang serasi jika bersanding,” lanjutnya, sinis.
Josephine berbalik. Semua kemarahan yang sebelumnya ingin diluapkan pada kedua orang itu buyar. Biarkan saja, meributkan semuanya pun rasanya percuma.
“Si bodoh itu! Akan sangat bagus jika dia mengamuk agar aku tidak sungkan padanya. Tapi, apa yang dia lakukan tadi? Dia ingin terlihat seperti wanita tangguh. Dan apa yang dikatakan tadi?” Chelsea bergumam geram. “Kau seharusnya tidak meremehkanku, Josephine!” serunya. Melangkah cepat dan mendorong Josie hingga wanita itu terhuyung dan jatuh menabrak kap mobilnya dengan keras.
Josephine mengerang kesakitan. Wajahnya pucat pasi, sebelah tangannya memegangi perut yang terasa bergejolak. “T-tidak, kumohon,” lirihnya ambruk di aspal. Rintih kesakitan terdengar pilu. Sementara Dexter, terkejut melihat cairan merah pekat mulai merembas dari sela-sela kaki kekasihnya.
“Josephine,” panggilnya khawatir. Namun, Chelsea menghalanginya saat hendak mendekati wanita itu.
“Tuan, Mark mengirimkan pesan padaku,” ucap Jansen.“Pesan apa?” Callister terfokus dengan beberapa dokumen serta laptop di hadapannya. Penampilannya begitu memukau. Kemeja dengan dua kancing atas terbuka, rambut acak-acakan dengan kacamata kotak bertengger di hidung mancungnya. Tidak ada satu wanita pun yang akan berpaling darinya jika mereka melihat pemandangan tersebut.“Nona Orville, akan keluar untuk makan malam bersama Dexter Miguel.”Callister menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyimpan dokumen. “Aku tahu.” Dia pun mengembalikan dokumen ke meja lalu mengambil dokumen lain. “Dia sudah memberitahuku kemarin.”“Apa Anda ingin saya menyuruh seseorang untuk mengikutinya secara diam-diam?”Callister menoleh. “Tentu saja, mengapa kau harus bertanya?”Jansen membungkuk dan segera pergi. Dia akan menghubungi orang untuk mengikuti Dexter dan Josephine secara diam-diam.Di dalam, Callister menutup dokumen di tangannya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran pria itu. Dia pun menghid
Dering ponsel menginterupsi. Mengganggu tidur nyenyak Chelsea hingga wanita itu bangun dengan tergesa. Dia pun mengerang kesakitan dan menutupi tubuh polosnya menggunakan selimut tebal. Melihat siapa yang menghubungi, dia pun terkejut nama ayahnya tertera di sana. Berdeham, wanita itu segera menjawab panggilan. "Ya, Dad, ada apa?""Di mana kau, Chelsea? Cepat temui aku di rumah sakit sekarang juga." Suara Alexander meninggi.Chelsea langsung terduduk. Mengamati sekitarnya yang terasa asing. Dia tidak mengingat sepenuhnya apa yang terjadi kemarin. Yang dia ingat, kemarin malam Dexter mengajaknya pergi ke klub malam. "Baiklah, Dad, aku akan ke sana sebentar lagi." Dia pun memutus sambungan telepon. Memunguti pakaian yang teronggok di lantai dan menggunakannya kembali.Wanita itu meringis saat berjalan. Kedua kakinya begitu lemah dan area pribadinya terasa begitu perih sampai dia pun terduduk saking tak tahannya. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya. Memegangi kepala yang terasa berat. De
Chelsea dengan begitu santainya masuk ke ruang direktur tanpa mengetuk pintu. Wanita muda bahkan duduk dengan kaki bertumpu dan tangan bersilang di depan dada. Memperlihatkan keangkuhan di hadapan pria yang usianya tak jauh dari sang ayah.Professor Amadeo mendengkus sinis. “Untuk seorang dokter yang baru saja melakukan kesalahan fatal kau terlihat begitu tenang, ya,” sindirnya.“Bukankah hasilnya akan sama seperti dulu? Kau masih ingat kasus pasien bernama Rihanna, bukan?”Professor Amadeo kembali mendengkus, tentu saja dia tahu dan tidak akan pernah lupa kelalaian yang dilakukan wanita itu hingga dokter lain harus turun tangan. “Kau pikir kali ini pun akan diselesaikan dengan cara yang sama?”“Memangnya kenapa? Kau tidak berniat mengkhianati ayahku, ‘kan?”“Mengkhianati?” Sebelah alis pria itu menukik. “Kata ‘khianat’ digunakan pada orang yang melanggar kepercayaan yang diberikan padanya. Namun, aku tidak melanggar kepercayaan siapa pun. Mengkhianati Tuan Alexander Melden? Kami bahk
Josephine terlihat sibuk dengan tiga pasien korban kebakaran yang disatukan di ruangan bersekat kain. Dua pasien diganti infus dan perban olehnya dengan bantuan Olivia yang kini bergabung dalam departemen bedah trauma. Tak hanya dokter muda, Naima pun ikut membantunya. Akan tetapi, ada satu hal yang sangat menyedihkan. Salah satu pasien tidak menunjukkan kemajuan sama sekali, berbeda dengan dua pasien di sampingnya. Otak pria berusia dua puluh satu tahun itu tak lagi berfungsi. Dengan sangat berat hati, pihak rumah sakit mengajukan untuk mencopot peralatan medis di tubuhnya, karena tidak ada harapan untuk pemuda itu hidup, dan keluarga pasien pun sudah menandatangani surat persetujuan. Dengan berat hati, Naima melepas peralatan medis yang terpasang di tubuh pasien tersebut. “Pasien atas nama Beall Charles, berusia dua puluh satu tahun dinyatakan meninggal pada pukul sepuluh lebih tiga puluh menit empat puluh detik,” ungkap Josephine dengan wajah tertunduk. Dua rekannya ikut tert
Rumah sakit diliput ketegangan. Setelah mendapat kabar tidak akan ada gempa susulan lagi, seluruh pasien kembali ke ruang rawat mereka. Dan, sekarang ditambah dengan para korban jembatan runtuh yang ditangani di sana. Beberapa di antara mereka harus mendapatkan tindakan operasi, sementara yang lain hanya memerlukan perawatan intensif.Seperti pasien wanita hamil yang ditemukan Josephine. Ternyata, kondisinya lebih buruk dari yang dokter wanita kira sebelumnya. Wanita itu mengalami benturan keras hingga terjadi penumpukkan cairan di ruang antara perikardium dan jantungnya.“Pisau bedah!” Josephine bersiap melakukan tindakan bedah pada pasien wanita di depannya. Setelah berhasil membantu kelahiran putra wanita itu, kini dia berlanjut mengeluarkan cairan pada jantung pasien.Dia pun mulai melakukan sayatan pada bagian yang sudah ditandai. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan wanita itu. Meski pasien sudah hampir menyerah karena terpukul atas kehilangan putri dan suaminya, tetapi
Hari demi hari berlalu. Josephine tampak tak bersemangat sebab Callister tak bisa dihubungi sejak dua hari yang lalu. Suasana hatinya benar-benar buruk, dan itu berimbas pada beberapa dokter residen. Banyak dokter muda yang terkena omelannya. Dia bahkan mendapatkan julukan baru dari mereka.“Ibu Gothel? Itu julukan yang tidak terduga!” Zoe tertawa hingga ujung matanya berair. Ya, itulah julukan yang didapatkan Josephine dari beberapa dokter residen yang pernah bekerja dengannya. Sosok ibu angkat salah satu tokoh animasi yang mengurung putrinya di sebuah menara.“Apa wajahku memang mirip dengan wanita itu?” Josephine menyentuh lembut kedua pipi pualamnya.Zoe merenung, sedetik kemudian dia kembali tertawa terbahak-bahak hingga beberapa orang yang berada di kafe menatap tajam pada dokter muda tersebut. “Jika diamati dengan seksama, kalian memang mirip satu sama lain,” selorohnya. Membuat Josephine berdecih sebal.Pintu kafe terbuka, seorang pria mengamati sekitar. Dan, begitu tatapannya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments