Sepulangnya dari rumah sakit, Josephine memilih menghabiskan waktu sendirian di kolam renang di lantai atas mansion Callister. Senyum tak henti-hentinya tersungging di wajah cantik tanpa riasan sama sekali.“Sepertinya terjadi hal besar hari ini, ya.”Wanita cantik yang hanya mengenakan set bikini berwarna merah langsung menoleh ke sumber suara. Terkejut, dia pun menarik kimono yang teronggok di kursi santai untuk menutupi tubuh. “Kau, sejak kapan di sini?” tanyanya seraya memakai penutup tubuh dan membelakangi Callister yang mendekat ke arahnya. “Sejak kau keluar dari kamar, berjalan seraya mendendangkan lagu menuju kolam renang.”Josephine langsung menoleh dan mendelik tajam. Padahal saat hendak menuju kolam renang, dia sempat menggoyangkan pinggulnya karena suasana hati yang sedang baik.“Jangan khawatir, aku tidak melihatmu saat menggoyangkan pinggul,” ucap Callister dengan ekspresi datarnya.Tidak melihatnya saat menggoyangkan pinggul tetapi pria itu membahasnya. “Kau benar-ben
Suara tamparan memecah kesunyian di halaman rumah Melden. Chelsea, dengan api kemarahan yang menyala di matanya, menghantam wajah detektif swasta yang ditugaskan untuk menyelidiki identitas Daisy Charleston. Setiap hentakan tangan Chelsea membawa gemuruh kekecewaan dan pengkhianatan, seolah-olah setiap tamparan adalah lontaran amarah untuk segala ketidakadilan yang telah ditimpakan pada dirinya. Kemarahan yang tak terbendung itu meledak, menggema hingga ke sudut-sudut halaman yang sunyi, memberi tahu semua orang bahwa batas telah terlampaui. “Jika Anda tidak mempercayai saya, silahkan gunakan agen lain. Saya permisi.” Pria suruhan Chelsea langsung berbalik pergi. “Sial, sial, sial! Bagaimana bisa, dua orang terlahir dengan wajah yang sama?” Chelsea Melden berjalan hilir mudik seraya sesekali menggigiti kuku jempol tangannya. Daisy Charleston begitu mirip hingga sulit dibedakan. Namun, bagaimana mungkin mereka dua orang yang berbeda. Dia pernah mendengar jika seseorang berkemungkina
Josephine berjalan santai mendekati tamu tak diundang di ruangannya. Beruntung dokter wanita membawa baju ke kamar mandi hingga dirinya tak perlu keluar dengan hanya mengenakan handuk. Dia memang sengaja meninggalkan beberapa stel pakaian di loker untuk situasi darurat. Dan terbukti, di hari keduanya bekerja, pakaian tersebut berguna. “Ada keperluan apa kau kemari?” tanyanya.Callister mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket yang dikenakan. “Kau meninggalkan ini di rumah,” jawabnya, mendorong kotak lensa mata Josephine.Dokter wanita terperanjat. Karena panggilan darurat, dia lupa membawa benda itu. Mengambil dengan cepat, dia pun langsung mengenakannya saat itu juga.“Kuharap orang lain tidak melihatnya, atau mereka akan mengetahui identitasmu yang sesungguhnya,” ujar Callister seraya membenarkan posisi topi yang dikenakan. Pria itu datang dengan menyamar demi mengantarkan benda tersebut agar penyamaran Josephine tidak diketahui orang lain.“Selain para perawat dan dokter anestesi
Chelsea meradang setelah seorang perawat melapor jika Dexter dan Daisy satu meja saat di kafetaria. Wanita mana yang tidak cemburu ketika calon suaminya berdekatan dengan wanita lain, terlebih wanita itu mirip dengan mantan kekasihnya dulu. “Daisy Charleston! Seharusnya kau tidak mengusik milikku,” desisnya. Berjalan cepat mencari keberadaan wanita itu.Masuk ke ruangan bedah trauma, dokter wanita tidak ada di tempat. Chelsea kembali keluar dan mencari keberadaan Josephine di bagian lain rumah sakit.Sementara itu, Josephine baru saja selesai melakukan tindakan pada pasien keduanya yang mengalami penurunan pada tanda vitalnya. Beruntung, pria itu dapat diselamatkan. “Apa keluarga pasien sudah dihubungi kembali?” tanyanya pada perawat.“Sudah, tetapi tidak ada jawaban, Dokter. Mungkin mereka masih mengurusi pemakaman,” jawab perawat.Josephine mengangguk perlahan. Jika keluarga pasien tidak segera datang untuk mengurus administrasi, maka besar kemungkinan pihak rumah sakit akan menghen
Dua dokter langsung menyingkir ke samping. Wajah Chelsea makin pucat melihat dua orang yang berdiri di depannya. “K-Kakak,” lirihnya terbata. Dia langsung tersentak melihat Callister yang berdiri dengan kedua kakinya. Pria itu tak lagi menggunakan kursi roda seperti yang selalu digunakannya selama bertahun-tahun. “Bagaimana mungkin? Kakak, kau ….” Wanita itu tak mampu melanjutkan kata-katanya.Callister mendekati ketiga orang di depan. Saat tatapannya bertemu dengan Josephine, bibirnya langsung tersungging karena wanita itu mencoba menghindar. “Kau benar-benar memalukan,” cibirnya sinis. Menatap remah adik tirinya. “Seorang dokter, sekaligus putri dari pemilik rumah sakit membuat keributan hanya karena masalah sepele?”“Kakak, itu ….” Chelsea tidak bisa berkutik saat bertemu tatap dengan Callister. Pria itu, bagaimana mungkin dia tertekan hanya dengan melihat matanya.“Sikapmu benar-benar memalukan. Tidak mencerminkan jika kau berasal dari keluarga kelas atas. Apa karena ibumu berasal
"Apa Anda menyukai Nona Orville?" tanya Jansen begitu mobil meninggalkan pelataran rumah sakit. Callister langsung menoleh dengan cepat. Matanya memicing tajam. “Apa yang kau bicarakan? Kami hanya rekan, tidak lebih dari itu,” jawabnya. Pria di depan langsung terkekeh dan menggelengkan kepala. “Apa yang kau tertawakan? Aku tidak menyukai wanita itu, sungguh!” Lagi, Jansen hanya terkekeh. Dan, sepajang perjalanan, dia harus mendapatkan gerutuan Callister yang sudah seperti perempuan datang bulan. Di dalam gedung, Josephine berlari menuju lift seraya membenarkan name tag yang terpisah dari tali. Hal tersebut membuatnya kurang memerhatikan sekitar hingga menabrak petugas kebersihan yang datang mendorong tempat sampah. Hingga tubuhnya terpelanting ke belakang. Untungnya, sepasang tangan menangkapnya tepat waktu. "Kau masih saja ceroboh, Josephine." Pria yang tak lain adalah Dexter membantunya berdiri tegak. Sejujurnya dokter pria masih ingin memeluk tubuh itu. Namun, akal sehat
“Pastikan tidak ada barang yang tertinggal,” ujar seorang pria seraya mengelus wanita yang keluar lebih dulu dari apartemen tempatnya tinggal.“Tidak masalah, kita bisa membelinya di tempat liburan nanti, kau tidak perlu khawatir, Sayang,” sahut wanita itu seraya tersenyum manis.Keduanya tertawa renyah. Dua koper ukuran sedang berisi pakaian siap digeret. Dexter membawa keduanya dan membiarkan Chelsea berjalan di depan. Sementara itu tak jauh dari mereka berdua, seorang wanita mematung menyaksikan keduanya masuk lift. Tertawa ironis seiring pintu lift yang perlahan tertutup dan menyembunyikan pasangan sejoli yang tengah saling memeluk erat. “Sejak kapan mereka ….” Bibir merah muda alami itu terkatup erat. Kedua telapak tangan mengepal kuat di samping tubuh hingga memutih.Perlahan, kaki jenjang perempuan itu mengayun mendekati pintu apartemen tempat kedua orang tadi keluar. Menekan beberapa angka untuk membukanya. Namun, ironisnya dia tidak lagi dapat mengakses unit apartemen terseb
Melihat cairan merah pekat merembes di sela-sela kaki Josephine, membuat Chelsea kian meradang. Wanita itu maju ingin kembali menerjang teman masa kecilnya yang tidak berdaya. “Kau, berani sekali mengandung anak dari pria yang kucintai, wanita murahan!” pekiknya. Namun, Dexter langsung mencekal lengan agar tidak bertindak lebih jauh.“Hentikan, Chelsea, kau akan membunuhnya.”“Aku tidak peduli. Jika perlu, aku sendiri yang akan menusukkan pisau agar si bodoh ini menyusul kedua orang tuanya.” Chelsea memberontak. Sekarang dia menunjukkan warna aslinya. Wajah lembut yang selalu memasang senyum manis saat bersama Josephine itu sekarang tak lagi terlihat. Wajah penuh kemarahan dan dendamlah yang ditunjukkan. “Tapi, sebelum itu aku harus mendapatkan sesuatu agar tidak merugi.” Dia pun berhasil melepaskan diri dari Dexter dan mendekati Josephine yang terlihat kesakitan.Josie berdiri dengan susah payah, menahan kesakitan yang kian merasukinya. Napasnya tersenggal, dengan tatapan nyalang pad
"Apa Anda menyukai Nona Orville?" tanya Jansen begitu mobil meninggalkan pelataran rumah sakit. Callister langsung menoleh dengan cepat. Matanya memicing tajam. “Apa yang kau bicarakan? Kami hanya rekan, tidak lebih dari itu,” jawabnya. Pria di depan langsung terkekeh dan menggelengkan kepala. “Apa yang kau tertawakan? Aku tidak menyukai wanita itu, sungguh!” Lagi, Jansen hanya terkekeh. Dan, sepajang perjalanan, dia harus mendapatkan gerutuan Callister yang sudah seperti perempuan datang bulan. Di dalam gedung, Josephine berlari menuju lift seraya membenarkan name tag yang terpisah dari tali. Hal tersebut membuatnya kurang memerhatikan sekitar hingga menabrak petugas kebersihan yang datang mendorong tempat sampah. Hingga tubuhnya terpelanting ke belakang. Untungnya, sepasang tangan menangkapnya tepat waktu. "Kau masih saja ceroboh, Josephine." Pria yang tak lain adalah Dexter membantunya berdiri tegak. Sejujurnya dokter pria masih ingin memeluk tubuh itu. Namun, akal sehat
Dua dokter langsung menyingkir ke samping. Wajah Chelsea makin pucat melihat dua orang yang berdiri di depannya. “K-Kakak,” lirihnya terbata. Dia langsung tersentak melihat Callister yang berdiri dengan kedua kakinya. Pria itu tak lagi menggunakan kursi roda seperti yang selalu digunakannya selama bertahun-tahun. “Bagaimana mungkin? Kakak, kau ….” Wanita itu tak mampu melanjutkan kata-katanya.Callister mendekati ketiga orang di depan. Saat tatapannya bertemu dengan Josephine, bibirnya langsung tersungging karena wanita itu mencoba menghindar. “Kau benar-benar memalukan,” cibirnya sinis. Menatap remah adik tirinya. “Seorang dokter, sekaligus putri dari pemilik rumah sakit membuat keributan hanya karena masalah sepele?”“Kakak, itu ….” Chelsea tidak bisa berkutik saat bertemu tatap dengan Callister. Pria itu, bagaimana mungkin dia tertekan hanya dengan melihat matanya.“Sikapmu benar-benar memalukan. Tidak mencerminkan jika kau berasal dari keluarga kelas atas. Apa karena ibumu berasal
Chelsea meradang setelah seorang perawat melapor jika Dexter dan Daisy satu meja saat di kafetaria. Wanita mana yang tidak cemburu ketika calon suaminya berdekatan dengan wanita lain, terlebih wanita itu mirip dengan mantan kekasihnya dulu. “Daisy Charleston! Seharusnya kau tidak mengusik milikku,” desisnya. Berjalan cepat mencari keberadaan wanita itu.Masuk ke ruangan bedah trauma, dokter wanita tidak ada di tempat. Chelsea kembali keluar dan mencari keberadaan Josephine di bagian lain rumah sakit.Sementara itu, Josephine baru saja selesai melakukan tindakan pada pasien keduanya yang mengalami penurunan pada tanda vitalnya. Beruntung, pria itu dapat diselamatkan. “Apa keluarga pasien sudah dihubungi kembali?” tanyanya pada perawat.“Sudah, tetapi tidak ada jawaban, Dokter. Mungkin mereka masih mengurusi pemakaman,” jawab perawat.Josephine mengangguk perlahan. Jika keluarga pasien tidak segera datang untuk mengurus administrasi, maka besar kemungkinan pihak rumah sakit akan menghen
Josephine berjalan santai mendekati tamu tak diundang di ruangannya. Beruntung dokter wanita membawa baju ke kamar mandi hingga dirinya tak perlu keluar dengan hanya mengenakan handuk. Dia memang sengaja meninggalkan beberapa stel pakaian di loker untuk situasi darurat. Dan terbukti, di hari keduanya bekerja, pakaian tersebut berguna. “Ada keperluan apa kau kemari?” tanyanya.Callister mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket yang dikenakan. “Kau meninggalkan ini di rumah,” jawabnya, mendorong kotak lensa mata Josephine.Dokter wanita terperanjat. Karena panggilan darurat, dia lupa membawa benda itu. Mengambil dengan cepat, dia pun langsung mengenakannya saat itu juga.“Kuharap orang lain tidak melihatnya, atau mereka akan mengetahui identitasmu yang sesungguhnya,” ujar Callister seraya membenarkan posisi topi yang dikenakan. Pria itu datang dengan menyamar demi mengantarkan benda tersebut agar penyamaran Josephine tidak diketahui orang lain.“Selain para perawat dan dokter anestesi
Suara tamparan memecah kesunyian di halaman rumah Melden. Chelsea, dengan api kemarahan yang menyala di matanya, menghantam wajah detektif swasta yang ditugaskan untuk menyelidiki identitas Daisy Charleston. Setiap hentakan tangan Chelsea membawa gemuruh kekecewaan dan pengkhianatan, seolah-olah setiap tamparan adalah lontaran amarah untuk segala ketidakadilan yang telah ditimpakan pada dirinya. Kemarahan yang tak terbendung itu meledak, menggema hingga ke sudut-sudut halaman yang sunyi, memberi tahu semua orang bahwa batas telah terlampaui. “Jika Anda tidak mempercayai saya, silahkan gunakan agen lain. Saya permisi.” Pria suruhan Chelsea langsung berbalik pergi. “Sial, sial, sial! Bagaimana bisa, dua orang terlahir dengan wajah yang sama?” Chelsea Melden berjalan hilir mudik seraya sesekali menggigiti kuku jempol tangannya. Daisy Charleston begitu mirip hingga sulit dibedakan. Namun, bagaimana mungkin mereka dua orang yang berbeda. Dia pernah mendengar jika seseorang berkemungkina
Sepulangnya dari rumah sakit, Josephine memilih menghabiskan waktu sendirian di kolam renang di lantai atas mansion Callister. Senyum tak henti-hentinya tersungging di wajah cantik tanpa riasan sama sekali.“Sepertinya terjadi hal besar hari ini, ya.”Wanita cantik yang hanya mengenakan set bikini berwarna merah langsung menoleh ke sumber suara. Terkejut, dia pun menarik kimono yang teronggok di kursi santai untuk menutupi tubuh. “Kau, sejak kapan di sini?” tanyanya seraya memakai penutup tubuh dan membelakangi Callister yang mendekat ke arahnya. “Sejak kau keluar dari kamar, berjalan seraya mendendangkan lagu menuju kolam renang.”Josephine langsung menoleh dan mendelik tajam. Padahal saat hendak menuju kolam renang, dia sempat menggoyangkan pinggulnya karena suasana hati yang sedang baik.“Jangan khawatir, aku tidak melihatmu saat menggoyangkan pinggul,” ucap Callister dengan ekspresi datarnya.Tidak melihatnya saat menggoyangkan pinggul tetapi pria itu membahasnya. “Kau benar-ben
Josephine mendengus sinis dibalik masker yang menutupi wajah. Kedua tangan terlipat di depan dada begitu berhadapan dengan sosok yang memanggilnya. Chelsea tampak menilai penampilan dokter bedah trauma yang baru bergabung di rumah sakit keluarganya dari ujung kaki hingga kepala. Tidak begitu istimewa. Namun, jujur saja wanita itu penasaran dengan wajah dokter yang baru selesai melakukan operasi pertamanya setelah bergabung. “Kudengar pasien yang datang hari ini mengalami keretakkan pada leher bagian belakangnya,” ujarnya.“Ya, itu memang benar,” sahut Josephine dengan suara yang disamarkan. Terlalu dini jika dia harus mengejutkan Chelsea.“Kenapa kau tidak menunggu tunanganku datang? Dia adalah spesialis Head and Neck Surgery ….”“Ah, jadi maksud Anda, saya harus menunggu dokter yang bahkan tidak datang lebih awal dari direktur rumah sakit ini?” potong Josephine dengan cepat. “Jika itu saya lakukan, maka pasien akan berada dalam bahaya, Dokter. Saya yang melihatnya pertama kali saat
Waktu yang ditunggu tiba. Josephine siap kembali bergabung di rumah sakit Melden yang banyak sekali memberinya pelajaran serta kenangan. Dengan penampilan serta identitas barunya, dokter cantik siap mengejutkan Dexter dan Chelsea yang juga bekerja di sana. “Baiklah, doakan aku, Mom, hari ini adalah hari di mana Daisy Charleston akan membalaskan kematian Josephine Orville,” gumamnya dengan mata terpejam.Dan, setelah berdiri cukup lama di kamar, Josephine yang kini akan menggunakan identitas barunya melenggang pergi. Tak seperti tujuh tahun lalu di mana ia berpenampilan sederhana, kini, penampilan dokter wanita terlihat lebih berkelas. Semua barang yang digunakan berasal dari merk ternama, dan tentunya dari hasil kerja kerasnya selama bekerja untuk prajurit di Negara S.Di lantai satu, Callister serta Jansen menyambut kedatangan Josephine. Pewaris keluarga Melden langsung berdiri dari kursi roda dengan sesuatu di tangan kanannya. Call melempar benda di tangan hingga Josephine menangkap
Waktu satu minggu terasa seperti satu bulan bagi Josephine. Selama beberapa hari, tak banyak yang bisa dilakukan dokter cantik. Dia hanya akan melakukan olahraga fisik di sekitaran mansion Callister lalu membaca buku medis di ruang kerja. “Untuk apa dia menyimpan semua buku-buku medis ini?” gumamnya. Josephine tidak pernah mendengar Callister mengambil study di bidang kedokteran. Anehnya, pria itu justru lebih banyak menyimpan buku medis dibandingkan buku yang berkaitan dengan bisnis. Meski begitu, hal itu sangat bagus, mengingat Josephine sangat suka membaca buku dan melihat anatomi manusia. Hal tersebut menurun dari mendiang ibunya yang merupakan seorang dokter bedah trauma, hingga profesi tersebut kini menurun padanya. “Ah, ini terlalu membosankan,” ucapnya. Menutup buku ke sekian yang dibaca. Entah berapa jumlah buku yang dibacanya selama tiga jam di ruang kerja Callister. Begitu banyak hingga tidak dapat dihitung. Dan akhirnya, dokter wanita memutuskan untuk pergi keluar. Calli