Chelsea dengan begitu santainya masuk ke ruang direktur tanpa mengetuk pintu. Wanita muda bahkan duduk dengan kaki bertumpu dan tangan bersilang di depan dada. Memperlihatkan keangkuhan di hadapan pria yang usianya tak jauh dari sang ayah.Professor Amadeo mendengkus sinis. “Untuk seorang dokter yang baru saja melakukan kesalahan fatal kau terlihat begitu tenang, ya,” sindirnya.“Bukankah hasilnya akan sama seperti dulu? Kau masih ingat kasus pasien bernama Rihanna, bukan?”Professor Amadeo kembali mendengkus, tentu saja dia tahu dan tidak akan pernah lupa kelalaian yang dilakukan wanita itu hingga dokter lain harus turun tangan. “Kau pikir kali ini pun akan diselesaikan dengan cara yang sama?”“Memangnya kenapa? Kau tidak berniat mengkhianati ayahku, ‘kan?”“Mengkhianati?” Sebelah alis pria itu menukik. “Kata ‘khianat’ digunakan pada orang yang melanggar kepercayaan yang diberikan padanya. Namun, aku tidak melanggar kepercayaan siapa pun. Mengkhianati Tuan Alexander Melden? Kami bahk
Josephine terlihat sibuk dengan tiga pasien korban kebakaran yang disatukan di ruangan bersekat kain. Dua pasien diganti infus dan perban olehnya dengan bantuan Olivia yang kini bergabung dalam departemen bedah trauma. Tak hanya dokter muda, Naima pun ikut membantunya. Akan tetapi, ada satu hal yang sangat menyedihkan. Salah satu pasien tidak menunjukkan kemajuan sama sekali, berbeda dengan dua pasien di sampingnya. Otak pria berusia dua puluh satu tahun itu tak lagi berfungsi. Dengan sangat berat hati, pihak rumah sakit mengajukan untuk mencopot peralatan medis di tubuhnya, karena tidak ada harapan untuk pemuda itu hidup, dan keluarga pasien pun sudah menandatangani surat persetujuan. Dengan berat hati, Naima melepas peralatan medis yang terpasang di tubuh pasien tersebut. “Pasien atas nama Beall Charles, berusia dua puluh satu tahun dinyatakan meninggal pada pukul sepuluh lebih tiga puluh menit empat puluh detik,” ungkap Josephine dengan wajah tertunduk. Dua rekannya ikut tert
Rumah sakit diliput ketegangan. Setelah mendapat kabar tidak akan ada gempa susulan lagi, seluruh pasien kembali ke ruang rawat mereka. Dan, sekarang ditambah dengan para korban jembatan runtuh yang ditangani di sana. Beberapa di antara mereka harus mendapatkan tindakan operasi, sementara yang lain hanya memerlukan perawatan intensif.Seperti pasien wanita hamil yang ditemukan Josephine. Ternyata, kondisinya lebih buruk dari yang dokter wanita kira sebelumnya. Wanita itu mengalami benturan keras hingga terjadi penumpukkan cairan di ruang antara perikardium dan jantungnya.“Pisau bedah!” Josephine bersiap melakukan tindakan bedah pada pasien wanita di depannya. Setelah berhasil membantu kelahiran putra wanita itu, kini dia berlanjut mengeluarkan cairan pada jantung pasien.Dia pun mulai melakukan sayatan pada bagian yang sudah ditandai. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan wanita itu. Meski pasien sudah hampir menyerah karena terpukul atas kehilangan putri dan suaminya, tetapi
Hari demi hari berlalu. Josephine tampak tak bersemangat sebab Callister tak bisa dihubungi sejak dua hari yang lalu. Suasana hatinya benar-benar buruk, dan itu berimbas pada beberapa dokter residen. Banyak dokter muda yang terkena omelannya. Dia bahkan mendapatkan julukan baru dari mereka.“Ibu Gothel? Itu julukan yang tidak terduga!” Zoe tertawa hingga ujung matanya berair. Ya, itulah julukan yang didapatkan Josephine dari beberapa dokter residen yang pernah bekerja dengannya. Sosok ibu angkat salah satu tokoh animasi yang mengurung putrinya di sebuah menara.“Apa wajahku memang mirip dengan wanita itu?” Josephine menyentuh lembut kedua pipi pualamnya.Zoe merenung, sedetik kemudian dia kembali tertawa terbahak-bahak hingga beberapa orang yang berada di kafe menatap tajam pada dokter muda tersebut. “Jika diamati dengan seksama, kalian memang mirip satu sama lain,” selorohnya. Membuat Josephine berdecih sebal.Pintu kafe terbuka, seorang pria mengamati sekitar. Dan, begitu tatapannya
Kehidupan Josephine tak setenang sebelumnya. Sejak kejadian malam itu, Callister menunjukkan sikap posesifnya. Setiap pulang kerja pria itu akan menunggu di restoran dekat rumah sakit. Meski dokter wanita sudah melarang, tetapi pria itu benar-benar keras kepala.Seperti saat ini, Callister menyamar dengan mengenakan pakaian santai serta topi dan masker yang menutupi wajahnya. Dia langsung membawa Josephine ke ruang privat untuk makan malam bersama. “Makan yang banyak. Tubuhmu benar-benar sangat kurus sampai aku merasa akan patah jika kugenggam sedikit lebih kencang,” ujarnya.Josephine yang sedang menyeruput kuah sup langsung tersedak. Kuah yang sedikit pedas membuat kerongkongannya panas hingga wajahnya pun memerah. Pikirannya langsung kemana-mana. Dia sampi salah mengambil air minum dan justru menenggak habis air di gelas pria itu. “Tidak bisakah jika kau tidak mengungkit itu?” sahutnya menggerutu.“Mengungkit? Aku hanya memperingatkan agar kau lebih memperhatikan tubuhmu. Malam itu
Josephine kembali ke kediaman Callister jam tiga dinihari. Dokter wanita mengamati sekitar yang tampak sepi. Menuju meja makan, di sana terdapat hidangan yang sudah dingin. Menghela napas dalam, dia menyesal sebab tidak menghubungi Callister untuk mengabarkan kepulangannya yang terlambat. Ponselnya kehabisan daya begitu dia selesai mengoperasi tiga pasien.“Kau pulang begitu larut!”Wanita itu menoleh. Callister jalan mendekat. Pria itu menunggu di lantai dua kediamannya. Dan saat melihat kedatangan Josephine, dia buru-buru turun dengan lift. “Apa terjadi sesuatu?” tanyanya.Josephine mengangguk. Wajahnya yang tampak lelah mengulas senyum tipis. “Ada keadaan darurat di rumah sakit.“Kau pasti lelah. Bersihkan dirimu, aku akan memasak sesuatu untukmu.” Callister bersiap ke dapur. Namun, tangannya diraih oleh wanita cantik itu.“Tidak perlu memasak makanan baru, cukup hangatkan makanan di meja makan saja. Aku akan segera bergabung,” tukasnya. Melenggang pergi ke kamarnya.Callister meng