Home / Romansa / Shadow on me / bab 2. menahan diri

Share

bab 2. menahan diri

Author: Dwie_ina
last update Huling Na-update: 2025-05-10 01:07:21

Mobil itu meluncur perlahan menyusuri kawasan perbukitan menuju vila pribadi keluarga Mahesa. Jalanan sunyi, dan hanya deru mesin yang mengisi kekosongan di antara dua manusia yang duduk terpisah dunia.

Dante memegang kemudi seperti seorang pria memegang senjata—erat, penuh kendali. Pandangannya fokus ke depan, tanpa satu pun gerakan yang tak perlu. Di balik setelan hitam kasualnya yang terlalu rapi untuk disebut santai, ia memancarkan aura yang tak bisa diabaikan: dingin, tenang, dan mematikan.

Di kursi belakang, Aira Mahesa menyilangkan kaki, membuka layar ponselnya dan membacanya untuk kesekian kali. Pesan pendek dari kekasih yang baru saja memutuskan hubungan mereka, tepat sehari sebelum ulang tahunnya.

Maaf. I have to choose my career. We’re not meant to be.

Sederhana. Pengecut.

Ia tertawa pendek, kosong.

“Cowok zaman sekarang terlalu gampang takut pada bayang-bayangku,” katanya lirih. Tapi tidak cukup lirih untuk lolos dari pendengaran Dante.

“Bukan bayang-bayangmu yang menakutkan,” jawab pria itu tenang. “Tapi cara kau bermain dengan cahaya.”

Aira menegakkan tubuh, menyandarkan punggungnya pada jok. “Apakah itu pujian, atau peringatan?”

Dante tak menjawab. Ia melirik kaca spion, dan mata mereka bertemu di sana—hanya sedetik. Tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka mengencang, seperti kabel listrik yang menegang.

“Aku hanya menyampaikan kebenaran,” ucapnya akhirnya, sebelum kembali memfokuskan pandangan ke jalanan.

Aira menghela napas, setengah kesal, setengah tertarik. Ada sesuatu dalam diri pria itu—ketenangan yang berbahaya. Ia bukan tipe yang mudah diatur. Tapi bukan juga tipe yang bisa diabaikan.

Sesampainya di vila, Aira turun lebih dulu. Matanya menyapu bangunan yang terlalu besar untuk seorang diri. Dinding putih, jendela kaca besar, dan taman yang tenang seperti lukisan. Tapi ia merasa kosong di dalamnya.

Dante berdiri beberapa langkah di belakangnya, tak mengatakan apa-apa, hanya mengawasi.

“Tak perlu mengikutiku ke dalam. Aku tahu rumahku sendiri,” katanya sambil berjalan menuju pintu.

Namun langkahnya terhenti saat Dante menyusul dan meraih gagang pintu lebih dulu. Membukanya untuknya.

“Kau membayarku untuk melindungimu, bukan menuruti perintahmu.”

Suara itu datar. Tegas. Tapi bukan sombong. Ada garis batas yang tak terlihat, tapi terasa sangat jelas.

Aira mendesah. “Kau terlalu disiplin untuk pekerjaan ini.”

“Tapi kau terlalu sembrono untuk dibiarkan sendirian.”

Tatapan mereka bertemu. Lagi-lagi, diam. Tapi bukan hening yang kosong—melainkan hening yang penuh hasrat yang belum diberi nama.

Malam itu, Aira berendam di bathtub marmer, lampu remang dan anggur merah di tangan. Tapi bahkan air hangat dan alkohol tak cukup untuk melunturkan rasa penasaran yang menggelitik pikirannya.

Dante Evrard.

Mantan tentara, ahli senjata, dan sekarang pengawal pribadi yang dipesan langsung oleh ayahnya. Bayaran termahal. Latar belakang bersih. Tapi terlalu tertutup.

Ia belum tahu siapa pria itu sebenarnya. Tapi tubuhnya merespons setiap kali Dante berada di dekatnya—terlalu sadar akan aroma sabun maskulin, gerakan otot di bawah kemeja lengan panjangnya, dan cara pria itu menatapnya tanpa ekspresi, namun terasa seperti dibakar pelan-pelan.

Aira menggigit bibir. Ini berbahaya. Dan justru karena itulah ia tertarik.

Dante berdiri di balkon kamar tamu, mengawasi taman lewat teropong kecil. Jam tangan taktis di pergelangan kirinya berkedip pelan menunjukkan mode siaga. Tapi pikirannya—berkeliaran ke tempat lain.

Aira Mahesa bukan tipe wanita yang bisa diabaikan. Ia keras kepala, genit tanpa malu, dan memiliki sorot mata yang memancing perlawanan. Tapi di balik semua lapisan percaya diri itu, Dante bisa merasakan sesuatu yang lain. Luka. Ketakutan. Kekosongan yang sama seperti yang dikenalnya dulu—di medan perang.

Ia menegakkan tubuh saat mendengar suara langkah dari lorong. Langkah yang ringan, tapi bukan sembarangan.

Aira muncul dengan jubah mandi satin merah gelap, rambut masih basah, dan gelas anggur di tangan.

“Tak bisa tidur?” tanyanya ringan, menyender di pintu.

Dante tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wanita itu, mempelajarinya.

“Kau mabuk.”

“Belum,” jawab Aira, tersenyum miring. “Tapi akan. Mungkin itu cara paling efisien melupakan mantan pengecut.”

Ia melangkah masuk ke balkon, berdiri tepat di samping Dante.

“Apa kau pernah jatuh cinta, Dante?”

Pertanyaan itu datang tiba-tiba. Suaranya rendah, nyaris bisikan.

Dante menoleh. Pandangan mereka bersilangan. Jarak mereka kini terlalu dekat.

“Pernah,” jawabnya.

“Lalu kau tinggalkan dia?”

“Aku kehilangan dia. Karena pekerjaanku.”

“Dan kau tidak pernah mencoba mengambilnya kembali?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena aku tahu diriku terlalu berbahaya untuk dicintai.”

Aira menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu—tawa atau air mata, Dante tak tahu.

“Kau benar-benar pria yang terlalu tenang untuk didekati, tahu?”

“Dan kau wanita yang terlalu berbahaya untuk dibiarkan lepas.”

Hening.

Dalam satu detik yang terasa lebih lama dari biasanya, dunia menjadi hanya milik mereka berdua. Jarak. Tatapan. Hasrat.

Lalu Aira bergerak duluan. Perlahan, ia mengangkat tangan dan menyentuh leher baju Dante. Tak mencabutnya, hanya memainkannya di antara jarinya.

“Lalu apa yang akan terjadi... kalau kita saling mendekat?”

Dante menggenggam pergelangan tangannya. Tidak kasar, tapi kuat. Tegas.

“Aku tak dibayar untuk menyentuhmu.”

“Tapi kalau aku yang menyentuh duluan?”

“Kalau kau tidak berhenti, aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi setelahnya.”

Kalimat itu adalah peringatan. Tapi nadanya bukan ancaman. Itu pernyataan dari seorang pria yang sudah belajar bagaimana menahan diri—dan kini mulai mencapai batasnya.

Aira menatap tangannya yang ditahan. Ia tak menariknya. Tapi tak juga bergerak lebih jauh.

Mereka terjebak di tengah.

Lalu, dari kejauhan, ponsel Dante bergetar. Ia melepaskan Aira dengan cepat, seolah disentak kembali ke dunia nyata. Ia berjalan masuk dan menjawab panggilan dengan suara pelan, hampir berbisik.

Aira berdiri di balkon, sendirian lagi.

Tubuhnya masih bergetar pelan, entah karena udara malam, atau karena pria itu. Tapi matanya tidak lagi kosong. Kali ini, ada bara.

Dan Dante—adalah korek apinya.

Beberapa jam kemudian, Dante menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Pesan itu berasal dari nomor tak dikenal.

"Kami tahu siapa yang kau lindungi. Ini bukan tentang uang. Ini tentang darah."

Ia segera menyimpan pesan itu ke server terenkripsi dan menghapusnya dari log ponsel. Tapi matanya tetap tajam, penuh siaga.

Bahaya itu nyata. Lebih cepat dari yang ia perkirakan.

Keesokan paginya, Aira turun ke ruang makan mengenakan kemeja putih kebesaran dan tanpa riasan. Rambutnya dikuncir seadanya, tapi justru membuatnya terlihat lebih liar.

Dante sudah duduk di kursi, membaca laporan digital.

“Pagi yang membosankan?” tanyanya, menuang kopi untuk dirinya sendiri.

“Tidak,” jawab Dante, pandangannya tetap lurus. “Hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang.”

Aira mendongak.

“Kenapa?”

Ia menatapnya, serius. “Karena seseorang baru saja menyatakan perang.”

Dan untuk pertama kalinya, Aira melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat dalam diri Dante sebelumnya—kemarahan. Bukan yang meledak-ledak. Tapi yang dingin, presisi, dan sangat berbahaya.

Aira tersenyum samar. Ada sesuatu tentang bahaya... yang selalu membuatnya merasa hidup.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Shadow on me   bab 28. stasiun yang terkubur waktu

    Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l

  • Shadow on me   bab 27. denting yang tak bisa dibungkam

    Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan

  • Shadow on me   bab 26. menara yang menunggu nyala

    Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang

  • Shadow on me   bab 25. pantulan yang tak pernah ilang

    Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala

  • Shadow on me   bab 24. gema dari kota mati

    Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t

  • Shadow on me   bab 23. di antara retakan kota

    Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status