Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di marmer rumah keluarga Novandra, menandakan kemunculan Aira yang baru saja kembali dari pemotretan brand parfumnya. Gaun tipis satin berwarna gading melekat ketat di tubuhnya, sebagian besar punggungnya terbuka. Ia tampak bagai seorang dewi yang jatuh dari langit. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Dante berdiri di depan ruang kerjanya, seperti patung hitam tak bernyawa.
“Menungguku?” tanyanya genit, mencondongkan kepala sedikit, rambut panjangnya tergerai liar, masih lembap karena semprotan parfum. Dante tidak menjawab. Matanya tajam, memindai tubuh Aira dari atas ke bawah. Ada bara di sana—disembunyikan di balik kemeja hitam dan wajah datar yang ia pertahankan dengan sempurna. "Jam sembilan malam. Kau seharusnya kembali pukul tujuh," ujarnya singkat. Aira memutar bola matanya, mengangkat alis seolah tak bersalah. “Syuting molor, masalah pencahayaan. Aku bukan anak kecil yang harus dimarahi soal jam malam, Dan.” Ia melangkah pelan ke arahnya. Gerakan yang sangat ia sadari. Tubuhnya yang ramping melenggak, memancing hasrat, menguji batas. Tapi Dante tetap tegap berdiri. Tidak bergeming. "Dan... Kamu marah?" tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih rendah. Aira nyaris bisa menyentuh dada Dante yang kokoh, hanya dipisahkan beberapa sentimeter udara yang terasa panas. Dante mendekatkan wajahnya, dan untuk sepersekian detik, Aira pikir ia akan menciumnya. Tapi tidak. Ia hanya menunduk, berbisik nyaris tanpa suara. “Jangan uji aku malam ini, Aira.” Satu kalimat. Dingin. Tapi membakar. Aira tertawa pelan, tipis, mengabaikan peringatan itu. “Aku menyukai permainanmu yang tidak konsisten, Pak Bodyguard. Kadang dingin, kadang menyala. Menyenangkan, you know.” Namun ketika ia menyentuh dada Dante dengan ujung jarinya, pria itu menahan tangannya dengan cengkeraman yang cukup keras untuk membuatnya mengerut. Bukan kasar. Tapi cukup untuk menunjukkan siapa yang punya kendali di ruangan itu. “Aku bukan permainanmu.” Aira menggigit bibirnya, menahan senyum puas. Matanya menatap tangan Dante yang masih mencengkeramnya. "Tapi kau menyukaiku menyentuhmu," bisiknya. Ada jeda panjang. Tegang. Padat. Dante melepaskannya tiba-tiba, seperti membuang ancaman yang terlalu berbahaya untuk dipertahankan. “Aku dipekerjakan untuk menjagamu, bukan menyentuhmu,” ucapnya. Kali ini nadanya berubah. Bukan dingin—tapi tercekik. Seperti berusaha menahan sesuatu dari meledak. Aira mendekat lagi. “Tapi bagaimana jika aku yang ingin disentuh?” Tatapan mereka bertemu. Tatapan yang tidak bisa ditarik kembali. Dante menunduk, perlahan, menghampiri wajahnya. Hanya satu inci. Aira nyaris bisa mencium aroma kopi dan logam dari napasnya. “Tutup mulutmu, Aira. Atau aku akan menutupnya untukmu. Dengan cara yang tidak akan kau lupakan.” Aira terdiam. Dante berbalik dan pergi sebelum godaan itu menjadi kenyataan. Keesokan paginya, rumah itu kembali tenang. Tapi ketegangan belum pergi. Di meja makan, Aira duduk menyilangkan kaki, membaca berita gosip sambil menyuap stroberi. Ayahnya belum pulang dari Tokyo, dan hanya ada satu kursi lain yang terisi—Dante. Ia tidak menatapnya. Ia bahkan tidak mencoba menatapnya. “Jadi kau akan mengabaikanku sepanjang hari?” tanya Aira, menyeka sudut bibirnya dengan tisu. Dante tidak menjawab. Aira bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Perlahan. Lalu, duduk di meja, bukan di kursi, tepat di depan Dante. Gaunnya yang tipis nyaris transparan dalam cahaya pagi. Dante akhirnya mengangkat pandangan. Wajahnya seperti granit. Tidak ada ekspresi. Tapi matanya—matanya seperti menyimpan badai. “Aira.” “Aku.” “Turun.” “Naikkan aku.” Dante berdiri. Aira menyeringai. “Ya, berdirilah. Aku tahu kau ingin menyentuhku.” “Pergi dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan kendali.” Suara itu dalam. Berat. Mengancam. Aira tertawa pelan. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, sebuah suara lain memecah ketegangan. “Maaf terlambat!” Seorang pria dengan senyum lebar dan wajah kamera-I*******m muncul di ambang pintu dapur. Aira melonjak turun dari meja, tampak ceria. “Kai! Kamu datang!” Kai Alvaro. Mantan kekasih Aira. Seorang musisi dan bintang reality show. Segalanya dari pria itu kontras dengan Dante—cerah, santai, dan menggoda tanpa kesan berbahaya. Dante mengepalkan rahangnya. “Dante, kenalin. Ini Kai. Teman lama.” Kai mengulurkan tangan ke Dante, yang menerimanya dengan enggan. “Hai, Bro. Kamu yang jagain Aira, ya? Berat pasti. Cewek ini susah diatur,” katanya sambil tertawa. Aira menimpali, “Tapi menyenangkan untuk dipeluk.” Kai melingkarkan lengannya ke bahu Aira secara spontan, terlalu dekat untuk sekadar basa-basi. Dante menatap tangan itu, lama. Aira menangkap sorot itu dan menyeringai. Hari itu, Kai ikut dalam perjalanan Aira ke studio. Dante duduk di depan, berjarak dari mereka, tapi kupingnya tajam. “Masih sering main gitar?” tanya Aira. “Masih. Tapi lebih sering nyanyi buat cewek nakal yang manja kayak kamu,” balas Kai. Aira tertawa. “Cewek manja kayak aku nggak butuh lagu. Butuh pelukan dan—” Dante membanting pintu mobil lebih keras dari yang seharusnya saat keluar, memotong percakapan. Di dalam studio, Aira berdandan untuk syuting iklan. Kai menunggu di sofa, dan Dante menjaga pintu belakang. Tapi pikirannya tidak di sana. Pikirannya di paha Aira yang terangkat waktu duduk. Di lehernya yang tercium parfum jeruk. Di bibirnya yang bicara terlalu dekat dengan Kai. Jam sepuluh malam, Aira akhirnya keluar. “Kau bisa pulang sendiri?” tanya Dante ketus. “Bisa. Tapi aku lebih suka pulang bersamamu.” Dante tidak menjawab, hanya membuka pintu. Di dalam mobil, hening. Tapi udara terlalu padat untuk disebut tenang. Kai menyender di jendela, pura-pura tidur. Aira berbisik. “Kau cemburu?” Dante tetap menatap jalan. “Kau menginginkanku, tapi kau pikir Kai lebih aman, ya?” lanjutnya. Tiba-tiba mobil berhenti di sisi jalan. Mendadak. Aira dan Kai tersentak. “Aira, keluar,” ucap Dante pelan. “Apa?” “Keluar. Sekarang.” Aira menatap Kai, lalu Dante. Ia tersenyum, tapi wajahnya berubah. Ada kegilaan kecil dalam ekspresi itu. “Kau... membawaku ke mana?” Dante membuka pintunya, memutari mobil, membuka pintu Aira, dan menariknya turun. Kai teriak, “Hei! Apa yang kau lakukan?!” Dante menatap Kai dengan tatapan yang cukup tajam untuk membekukan api. “Dia aman. Kau pergi.” Kai ingin protes, tapi mundur saat melihat sorot mata pria itu. Mobil melesat pergi. Aira dan Dante berdiri di jalan sepi. Hanya lampu jalan dan suara napas. “Kenapa kau lakukan itu?” tanya Aira. Dante menggenggam lengan Aira dan mendorongnya pelan ke sisi mobil. Tidak keras. Tapi penuh kuasa. “Karena aku sudah cukup menahan diri. Karena setiap kali kau bermain-main denganku, aku menjadi sesuatu yang berbahaya.” Aira mendongak. Matanya membara. “Lalu sentuh aku. Jadilah bahaya itu.” Dante menunduk, satu tangan mencengkeram rambutnya, menarik kepalanya agar mendongak. Nafas mereka bertaut. “Aku akan menghancurkanmu, Aira.” “Lalu hancurkan aku.” Dan malam itu, bayangan tubuh mereka menyatu di bawah cahaya kuning jalanan. Tidak ada kata-kata. Hanya suara napas. Tarikan. Denting ikat pinggang. Tangan yang menahan. Dada yang bergetar. Dunia mereka tidak lagi tenang. Itu bukan cinta. Itu kebutuhan. Gila. Rasa lapar yang tidak bisa diredam dengan logika. Dan ketika akhirnya Aira terjatuh ke pelukannya, tubuhnya lemas, matanya masih terbakar, ia berbisik pelan. “Sekarang kau milikku.” Dante menjawab, nyaris tanpa suara. “Aku bukan milik siapa pun. Tapi kau akan kubuat lupa siapa dirimu.”Hujan kembali turun, lebih deras dari semalam. Seakan langit ingin mencuci bersih sesuatu yang busuk di dunia ini—meski tahu itu sia-sia.Aira duduk di dalam mobil hitam yang dipinjamkan Dante untuknya, jemarinya mencengkeram tas kecil yang sejak pagi tadi tak pernah dilepas. Sudah dua jam sejak pertemuan itu. Sejak pria bernama Nox muncul dan merobek realita tenangnya yang semu."Aku datang bukan untukmu..."Kata-kata itu masih menggema. Seperti bayangan, mengendap di balik tengkuk. Membuat kulitnya dingin meski AC mobil sudah mati sejak tadi.Ponselnya berdering. Ia menoleh pelan. Nama di layar: Dante.Tangan Aira gemetar saat menyentuh layar.“Halo,” suaranya pelan.“Kau di mana?” suara Dante terdengar datar. Tapi bukan datar karena tenang—melainkan terlalu banyak emosi yang dikunci rapat.“Aku keluar sebentar,” jawab Aira hati-hati. “Aku… butuh udara.”Keheningan.Kemudian Dante berkata, “D
Dante merasakan ada yang tidak seimbang saat ia membuka mata.Udara pagi seharusnya membawa ketenangan, tapi ini seperti jebakan yang terlalu rapi. Hening yang disulam terlalu sempurna. Sunyi yang menunggu untuk memekik.Ia meraih celana panjangnya, mengenakannya sambil berjalan keluar kamar. Langkahnya cepat, naluri lamanya seperti sedang digelitik dari tidur panjang. Belum sampai ke tangga, ia mendengar suara rendah yang tidak asing di telinganya.“Nox,” gumamnya, nyaris tanpa suara.Ia mempercepat langkah, menuruni anak tangga dan menemukan Aira berdiri di ambang dapur, tubuhnya kaku seperti patung, sedang seorang pria asing duduk santai di kursi makan sambil memutar cangkir kopi yang belum disentuh.Pria itu menoleh, dan bibirnya membentuk senyum yang tidak sampai ke mata.“Dante,” ucapnya, seolah menyapa sahabat lama.“Keluar,” kata Dante, dingin.“Tentu. Tapi bukan sebelum kau mendengarkanku.”“Ti
Pintu tidak langsung dibuka.Aira berdiri mematung di dalam kamar, tubuhnya hanya diselimuti oleh kain tipis dan napas yang memburu. Dante berdiri tak jauh darinya, punggungnya tegak namun dagunya menunduk. Seolah baru saja dijatuhkan dari ketinggian yang terlalu akrab.Suara Camille kembali terdengar dari balik pintu, lebih tegas, lebih menusuk.“Kalau kau tidak percaya padaku, bukalah laptopnya. Lihat folder yang bernama RAVEN. Kata sandinya: 0611Nox. Itu tanggal pertama kali dia membunuh seseorang.”Darah Aira terasa surut dari wajahnya.Dante menggeram pelan, hampir tidak terdengar. “Dia melampaui batas.”“Benarkah?” bisik Aira. “Jadi... itu semua benar?”Dante menatapnya lama, dan saat ia akhirnya bicara, suaranya seperti batu basah yang digores silet.“Aku pernah jadi tentara. Itu bukan rahasia. Tapi setelah keluar, hidup tidak sesederhana berjualan senjata bekas atau buka gym pelatihan. Dunia gelap tidak
Camille.Nama itu terpatri di layar ponsel Dante. Mengusik dalam satu kedipan. Mengubah atmosfer ruangan seperti angin dingin yang menyusup dari celah jendela.Aira menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Detik demi detik terasa seperti gesekan belati ke kulitnya.“Apa kau tidak akan angkat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Suaranya dingin, walau matanya terbakar.Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu dalam diam sebelum akhirnya menekan tombol merah—menolak panggilan itu begitu saja.“Kenapa kau—”“Bukan urusanmu,” potong Dante, nada suaranya berubah. Lebih tajam. Tegas. Seolah mencoba menarik kembali dinding yang nyaris runtuh tadi.Aira mengerjap. “Bukan urusanku?” katanya lambat, seperti mencicipi kata-kata itu. “Kau menarikku ke kamar ini, menggenggamku seolah aku milikmu, dan sekarang... Camille meneleponmu tengah malam, dan kau bilang bukan urusanku?”Ia menertawakan kata-katanya sendiri. Tawa
Aira masih merasakan denyut halus di pergelangan tangannya—sisa dari cengkeraman Dante semalam. Ia menatap kulitnya yang kini sedikit merah muda, nyaris memar, lalu menoleh ke kaca besar di kamar mandi suite pribadinya. Matanya belum sepenuhnya jernih, seperti belum siap kembali ke kenyataan.Ia telah mencium Dante.Bukan dalam lamunan, bukan karena dorongan iseng—tapi sungguh-sungguh. Nyata. Terjadi.Dan pria itu membalasnya. Bukan dengan kelembutan, bukan dengan bisikan cinta, tapi dengan tatapan yang mengunci, tangan yang menggenggam terlalu erat, dan ciuman yang seolah menelan habis seluruh keberaniannya.Aira menyentuh bibirnya pelan.“Aku sudah gila…” gumamnya lirih.**Di lantai bawah, Dante berdiri di dekat jendela kaca. Kopi hitam di tangannya sudah dingin. Tatapannya terpaku pada pohon palem di kejauhan, tapi pikirannya terjebak di kamar atas, pada aroma tubuh Aira, pada desahan samar yang nyaris membuatnya keh
Hari itu, Jakarta menyembunyikan panasnya di balik awan mendung. Tapi di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang membawa Aira ke kampus untuk mengisi seminar tamu, suhu terasa seperti mendidih.Dante menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menggenggam setengah rokok elektrik yang belum dinyalakan. Wajahnya tenang, tapi setiap otot di rahangnya tampak mengeras. Sejak malam itu—sejak Aira menerima panggilan dari Adrian—ia tak banyak bicara.Dan Aira juga tidak bertanya.Mereka terjebak dalam jarak yang tak bisa diucapkan dengan kata. Jarak yang tidak diciptakan dari pertengkaran, tapi dari kerinduan yang disangkal."Setelah ini ke mana?" suara Dante datar."Aku janji ketemu seseorang. Teman lama.""Siapa?"Aira menoleh ke arahnya. "Namanya Leona. Kita kuliah bareng di Belanda."Dante hanya mengangguk kecil, tapi matanya menatap kaca spion dengan lebih tajam.Leona datang seperti badai tropis—berisik, berani, dan terlalu cantik untuk dipercaya. Ia memeluk Aira seperti adik ya