Home / Romansa / Shadow on me / bab 3. cold flame

Share

bab 3. cold flame

Author: Dwie_ina
last update Huling Na-update: 2025-05-10 01:09:29

Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di marmer rumah keluarga Novandra, menandakan kemunculan Aira yang baru saja kembali dari pemotretan brand parfumnya. Gaun tipis satin berwarna gading melekat ketat di tubuhnya, sebagian besar punggungnya terbuka. Ia tampak bagai seorang dewi yang jatuh dari langit. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Dante berdiri di depan ruang kerjanya, seperti patung hitam tak bernyawa.

“Menungguku?” tanyanya genit, mencondongkan kepala sedikit, rambut panjangnya tergerai liar, masih lembap karena semprotan parfum.

Dante tidak menjawab. Matanya tajam, memindai tubuh Aira dari atas ke bawah. Ada bara di sana—disembunyikan di balik kemeja hitam dan wajah datar yang ia pertahankan dengan sempurna.

"Jam sembilan malam. Kau seharusnya kembali pukul tujuh," ujarnya singkat.

Aira memutar bola matanya, mengangkat alis seolah tak bersalah. “Syuting molor, masalah pencahayaan. Aku bukan anak kecil yang harus dimarahi soal jam malam, Dan.”

Ia melangkah pelan ke arahnya. Gerakan yang sangat ia sadari. Tubuhnya yang ramping melenggak, memancing hasrat, menguji batas. Tapi Dante tetap tegap berdiri. Tidak bergeming.

"Dan... Kamu marah?" tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih rendah. Aira nyaris bisa menyentuh dada Dante yang kokoh, hanya dipisahkan beberapa sentimeter udara yang terasa panas.

Dante mendekatkan wajahnya, dan untuk sepersekian detik, Aira pikir ia akan menciumnya. Tapi tidak. Ia hanya menunduk, berbisik nyaris tanpa suara.

“Jangan uji aku malam ini, Aira.”

Satu kalimat. Dingin. Tapi membakar.

Aira tertawa pelan, tipis, mengabaikan peringatan itu. “Aku menyukai permainanmu yang tidak konsisten, Pak Bodyguard. Kadang dingin, kadang menyala. Menyenangkan, you know.”

Namun ketika ia menyentuh dada Dante dengan ujung jarinya, pria itu menahan tangannya dengan cengkeraman yang cukup keras untuk membuatnya mengerut. Bukan kasar. Tapi cukup untuk menunjukkan siapa yang punya kendali di ruangan itu.

“Aku bukan permainanmu.”

Aira menggigit bibirnya, menahan senyum puas. Matanya menatap tangan Dante yang masih mencengkeramnya. "Tapi kau menyukaiku menyentuhmu," bisiknya.

Ada jeda panjang. Tegang. Padat.

Dante melepaskannya tiba-tiba, seperti membuang ancaman yang terlalu berbahaya untuk dipertahankan.

“Aku dipekerjakan untuk menjagamu, bukan menyentuhmu,” ucapnya. Kali ini nadanya berubah. Bukan dingin—tapi tercekik. Seperti berusaha menahan sesuatu dari meledak.

Aira mendekat lagi. “Tapi bagaimana jika aku yang ingin disentuh?”

Tatapan mereka bertemu. Tatapan yang tidak bisa ditarik kembali.

Dante menunduk, perlahan, menghampiri wajahnya. Hanya satu inci. Aira nyaris bisa mencium aroma kopi dan logam dari napasnya.

“Tutup mulutmu, Aira. Atau aku akan menutupnya untukmu. Dengan cara yang tidak akan kau lupakan.”

Aira terdiam.

Dante berbalik dan pergi sebelum godaan itu menjadi kenyataan.

Keesokan paginya, rumah itu kembali tenang. Tapi ketegangan belum pergi.

Di meja makan, Aira duduk menyilangkan kaki, membaca berita gosip sambil menyuap stroberi. Ayahnya belum pulang dari Tokyo, dan hanya ada satu kursi lain yang terisi—Dante.

Ia tidak menatapnya. Ia bahkan tidak mencoba menatapnya.

“Jadi kau akan mengabaikanku sepanjang hari?” tanya Aira, menyeka sudut bibirnya dengan tisu.

Dante tidak menjawab.

Aira bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Perlahan. Lalu, duduk di meja, bukan di kursi, tepat di depan Dante. Gaunnya yang tipis nyaris transparan dalam cahaya pagi.

Dante akhirnya mengangkat pandangan. Wajahnya seperti granit. Tidak ada ekspresi. Tapi matanya—matanya seperti menyimpan badai.

“Aira.”

“Aku.”

“Turun.”

“Naikkan aku.”

Dante berdiri.

Aira menyeringai. “Ya, berdirilah. Aku tahu kau ingin menyentuhku.”

“Pergi dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan kendali.” Suara itu dalam. Berat. Mengancam.

Aira tertawa pelan. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, sebuah suara lain memecah ketegangan.

“Maaf terlambat!”

Seorang pria dengan senyum lebar dan wajah kamera-I*******m muncul di ambang pintu dapur.

Aira melonjak turun dari meja, tampak ceria. “Kai! Kamu datang!”

Kai Alvaro. Mantan kekasih Aira. Seorang musisi dan bintang reality show. Segalanya dari pria itu kontras dengan Dante—cerah, santai, dan menggoda tanpa kesan berbahaya.

Dante mengepalkan rahangnya.

“Dante, kenalin. Ini Kai. Teman lama.”

Kai mengulurkan tangan ke Dante, yang menerimanya dengan enggan.

“Hai, Bro. Kamu yang jagain Aira, ya? Berat pasti. Cewek ini susah diatur,” katanya sambil tertawa.

Aira menimpali, “Tapi menyenangkan untuk dipeluk.”

Kai melingkarkan lengannya ke bahu Aira secara spontan, terlalu dekat untuk sekadar basa-basi. Dante menatap tangan itu, lama.

Aira menangkap sorot itu dan menyeringai.

Hari itu, Kai ikut dalam perjalanan Aira ke studio. Dante duduk di depan, berjarak dari mereka, tapi kupingnya tajam.

“Masih sering main gitar?” tanya Aira.

“Masih. Tapi lebih sering nyanyi buat cewek nakal yang manja kayak kamu,” balas Kai.

Aira tertawa. “Cewek manja kayak aku nggak butuh lagu. Butuh pelukan dan—”

Dante membanting pintu mobil lebih keras dari yang seharusnya saat keluar, memotong percakapan.

Di dalam studio, Aira berdandan untuk syuting iklan. Kai menunggu di sofa, dan Dante menjaga pintu belakang. Tapi pikirannya tidak di sana.

Pikirannya di paha Aira yang terangkat waktu duduk. Di lehernya yang tercium parfum jeruk. Di bibirnya yang bicara terlalu dekat dengan Kai.

Jam sepuluh malam, Aira akhirnya keluar.

“Kau bisa pulang sendiri?” tanya Dante ketus.

“Bisa. Tapi aku lebih suka pulang bersamamu.”

Dante tidak menjawab, hanya membuka pintu.

Di dalam mobil, hening. Tapi udara terlalu padat untuk disebut tenang.

Kai menyender di jendela, pura-pura tidur.

Aira berbisik. “Kau cemburu?”

Dante tetap menatap jalan.

“Kau menginginkanku, tapi kau pikir Kai lebih aman, ya?” lanjutnya.

Tiba-tiba mobil berhenti di sisi jalan. Mendadak. Aira dan Kai tersentak.

“Aira, keluar,” ucap Dante pelan.

“Apa?”

“Keluar. Sekarang.”

Aira menatap Kai, lalu Dante. Ia tersenyum, tapi wajahnya berubah. Ada kegilaan kecil dalam ekspresi itu.

“Kau... membawaku ke mana?”

Dante membuka pintunya, memutari mobil, membuka pintu Aira, dan menariknya turun.

Kai teriak, “Hei! Apa yang kau lakukan?!”

Dante menatap Kai dengan tatapan yang cukup tajam untuk membekukan api.

“Dia aman. Kau pergi.”

Kai ingin protes, tapi mundur saat melihat sorot mata pria itu.

Mobil melesat pergi. Aira dan Dante berdiri di jalan sepi. Hanya lampu jalan dan suara napas.

“Kenapa kau lakukan itu?” tanya Aira.

Dante menggenggam lengan Aira dan mendorongnya pelan ke sisi mobil. Tidak keras. Tapi penuh kuasa.

“Karena aku sudah cukup menahan diri. Karena setiap kali kau bermain-main denganku, aku menjadi sesuatu yang berbahaya.”

Aira mendongak. Matanya membara.

“Lalu sentuh aku. Jadilah bahaya itu.”

Dante menunduk, satu tangan mencengkeram rambutnya, menarik kepalanya agar mendongak. Nafas mereka bertaut.

“Aku akan menghancurkanmu, Aira.”

“Lalu hancurkan aku.”

Dan malam itu, bayangan tubuh mereka menyatu di bawah cahaya kuning jalanan. Tidak ada kata-kata. Hanya suara napas. Tarikan. Denting ikat pinggang. Tangan yang menahan. Dada yang bergetar.

Dunia mereka tidak lagi tenang. Itu bukan cinta. Itu kebutuhan. Gila. Rasa lapar yang tidak bisa diredam dengan logika.

Dan ketika akhirnya Aira terjatuh ke pelukannya, tubuhnya lemas, matanya masih terbakar, ia berbisik pelan.

“Sekarang kau milikku.”

Dante menjawab, nyaris tanpa suara.

“Aku bukan milik siapa pun. Tapi kau akan kubuat lupa siapa dirimu.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Shadow on me   bab 28. stasiun yang terkubur waktu

    Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l

  • Shadow on me   bab 27. denting yang tak bisa dibungkam

    Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan

  • Shadow on me   bab 26. menara yang menunggu nyala

    Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang

  • Shadow on me   bab 25. pantulan yang tak pernah ilang

    Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala

  • Shadow on me   bab 24. gema dari kota mati

    Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t

  • Shadow on me   bab 23. di antara retakan kota

    Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status