Siang itu, Bening nampak duduk di meja kerjanya dan memijat kening. Selain pusing dengan masalah pekerjaan, dia juga pusing menghadapi desakan dari kedua orang tuanya yang ingin bertemu dengan pria yang menghamilinya. Meski menyesal sudah berbohong, tapi Bening juga takut jika harus jujur. Terlebih pemuda bernama Glass itu sudah membuat hatinya merasakan debaran aneh. Mungkinkah dia jatuh cinta?
Ternyata berpura-pura hamil juga tak semudah yang Bening bayangkan. Ia sempat berharap orangtuanya akan memaksanya menggugurkan kandungan seperti sinetron yang ada di saluran burung berenang, tapi ternyata tidak, baik mama ataupun papanya malah menginginkan bertemu dengan Glass.
Masih menunduk dan berkelahi dengan pikirannya sendiri, Bening dikejutkan dengan sapaan sekretarisnya yang ternyata sejak tadi mengetuk pintu ruang kerjanya, karena sibuk melamun Bening sampai tidak menyadarinya.
“Bu Bening, ini dokumen rencana event RBB Market di bulan Februari.”
Bening mendongak, menatap Zahra yang terlihat sedikit pucat karena terus saja mual. Wajar, karena sekretarisnya itu tengah hamil muda.
“Za, bukankah aku sudah bilang kamu boleh cuti jika memang kondisimu kurang baik. Aku tidak akan mengurangi masa cuti melahirkanmu nanti, tenang saja!” ucap Bening sambil menerima dokumen dari tangan Zahra, wanita yang dia curi tespeknya untuk diaku-aku miliknya.
“Bolehkah Bu? Jika boleh, bisakah saya izin pulang lebih cepat hari ini?”
“Boleh, kenapa tidak?” jawab Bening, dia tiba-tiba mengingat masih menyimpan cokelat dari Glass di laci meja kerjanya. Gadis itu mengambil semuanya lalu memberikannya ke Zahra.
Zahra yang heran dan merasa hari kasih sayang belum tiba pun mematung dan menatap cokelat pemberian Bening barusan dengan sorot bingung. “Ini belum hari valentine Bu,” ucapnya.
“Aku tidak merayakan hari kasih sayang Za, itu hanya cokelat. Bagaimana bisa diidentikkan dengan kasih sayang? lagi pula kasih sayang itu bisa diungkapkan setiap saat tidak hanya di hari, tanggal dan bulan tertentu.”
Mendengar penjelasan dari sang atasan, Zahra pun tersenyum. Ia mengucapkan terima kasih sebelum meminta izin kembali. Bening pun mengangguk lantas mempersilahkan sekretarisnya itu keluar dari ruangan.
Menatap pintu ruang kerjanya yang sudah ditutup Zahra, Bening memikirkan satu kebohongan lagi yang kali ini jauh lebih mengerikan.
“Apa aku pura-pura keguguran saja?” gumamnya.
Namun, seketika Bening menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak, aku tidak boleh melakukan itu, bagaimana kalau aku kena tulah suatu hari nanti, amit-amit.” Ia mengusap kedua lengannya, lantas mendongak melihat pendingin ruang kerjanya.
“Kenapa aku tiba-tiba merinding, apa suhunya tidak sesuai?”
***
Tepat dua belas hari setelah pertemuannya dengan Glass di kafe, Bening kembali mengajak pemuda itu bertemu. Ia pikir terlanjur basah karena masalah ini, Bening pun ingin sekalian berenang berharap tidak akan tenggelam.Duduk di salah satu sudut kafe dengan jemari mengetuk-ngetuk meja, Bening cemas karena sudah lima belas menit dia menunggu, dan Glass belum juga menampakkan batang hidungnya, hingga dia menyandarkan punggung malas dan mengembuskan nafas lelah, Bening tiba-tiba menegakkan punggung saat melihat pemuda yang dia tunggu masuk ke kafe. Glass setengah berlari menuju mejanya.
“Maaf! aku masih ada kelas tadi,” ucap pemuda berwajah tampan dengan postur tinggi dan berbadan kekar itu. Jelas tidak mengherankan kalau banyak gadis yang sangat mengidolakan Glass.
“Apa kamu tidak ingin memesan minuman dulu?” tanya Bening sambil menyodorkan buku menu yang sengaja tidak dia kembalikan ke pelayan tadi.
Glass meraihnya, membolak-balik buku menu itu sambil sesekali melirik Bening yang terus menatap ke arahnya. Ia pura-pura batuk lantas menutup buku itu. “Aku es teh saja,” ucapnya.
Bening pun mengangkat tangan, mengembalikan buku menu itu ke pelayan dengan sorot mata terus menatap Glass yang cengengesan.
“Kamu ingat ‘kan? Aku pernah berkata kalau akan ada dua kemungkinan saat aku meminta bertemu denganmu lagi?” tanya Bening dan Glass pun mengangguk.
“Apa ini?” tanya Glass saat Bening meletakkan sesuatu di meja dan mendorong ke arahnya.
“Tespek.”
“Apa pempek?” tanya Glass kebingungan.
“Tespek, tes-pek, apa kamu pernah melihat pempek bentuknya seperti itu,” murka Bening.
Glass mencebikkan bibir, matanya terfokus pada dua garis merah yang tertera di permukaan benda itu. Namun, belum juga bertanya lagi, pelayan mengantar es teh pesanannya. Fokus Glass menjadi terpecah, dia tersenyum manis mengucapkan terima kasih ke pelayan sebelum kembali menoleh Bening.
“Itu alat uji kehamilan, kamu bisa melihat di situ tertera garis dua yang tandanya aku kini sedang hamil.”
“Brttt …. “ Glass menyemburkan es teh yang baru ditenggaknya persis ke depan Bening, beruntung gadis itu secepat kilat berdiri sehingga terhindar dari hujan lokal yang dibuatnya.
“Tunggu, bagaimana kakak bisa hamil secepat itu?”
“Apa perlu aku membawamu ke dokter kandungan?” bentak Bening. Apa kamu pernah mendengar cerita soal nikah dua minggu hamil satu bulan?” ketus Bening ke pemuda yang ditemuinya di klub saat dia kabur dari pertunangannya dan Rain itu.
“Aku bahkan tidak ingat melakukan itu, sungguh aku juga tidak yakin sudah melepas keperjakaanku dengan kakak.” Glass gemetar ketakutan, kemarin dia masih menganggap bertemu Bening bukan masalah besar, tapi kali ini dia merasa nyawanya berada di ujung jurang yang di bawahnya kawah api.
“Tidak yakin? Apa kamu tidak melihat dar-“Bening menoleh dan mengeram, tangannya terkepal gemas untuk menunjang sandiwaranya. “Apa hanya karena tidak ingat kamu bisa mengabaikan fakta ini? aku juga tidak ingin ini terjadi, siapa yang mau hamil anak pria sepertimu?”
“Pria sepertiku?” lirih Glass yang sedikit tersinggung dengan ucapan Bening barusan. Seolah meremahkan dan memandang rendah dirinya. “Lalu bagaimana? Apa yang kakak inginkan sekarang?” tanyanya yang tak pernah menyangka akan terjebak masalah seperti ini.
“Kamu harus menikahiku, kita harus menikah,” ucap Bening tanpa sedikitpun keraguan.
“Menikah? apa kakak bercanda?” Glass malah nampak ketakutan, dia bahkan mundur hingga kursi yang diduduki terdorong ke belakang.
“Aku tidak bercanda. Kamu pilih! Memberitahu orangtuamu sendiri atau aku datang menemui orangtuamu.”
Glass menelan saliva. Haruskah dia menjadi suami dan papa diusianya yang masih sangat muda.
“Tapi, bagaimana bisa? menikah? bukankah artinya aku harus memberi nafkah istri saat sudah menjadi suami?”
“Tidak usah memikirkan nafkah, aku tidak butuh kamu nafkahi. Aku hanya butuh suami agar nama baikku dan keluarga tetap terjaga.”
Glass terbeku, hingga Bening ketakutan, berjalan mendekat dan mengguncang pundak pemuda itu. “Hei, kamu baik-baik saja kan?”
Glass menoleh, memandangi wajah Bening cukup lama hingga berucap, “Kalau kakak mau menikah hanya untuk menjaga nama baik keluarga kakak saja, aku tidak mau.”
“Kenapa?” Bening melotot tak percaya Glass akan berani menolaknya.
“Bukankah anak itu juga harus dibesarkan dengan kasih sayang meski tidak diinginkan? Dan sebagai pria aku harus bertanggungjawab karena setelah menikah, aku akan menjadi kepala rumah tangga.”
Kini Bening yang bergidik ngeri, kenapa bocah yang dia anggap masih ingusan ini malah membicarakan masalah tanggungjawab bahkan peran sebagai kepala rumah tangga.
“Aku mau menikah dengan kakak, tapi kita harus belajar saling mencintai.”
“Apa?”
“Apa kamu bilang tadi? saling mencintai? Hah!” Bening memalingkan muka, ia menyambar minuman miliknya di meja tanpa menoleh. Tenggorokannya terasa kering, belum lagi dadanya yang tiba-tiba bergemuruh tak karuan. Gila, ini gila. Bagaimana bisa pemuda yang umurnya lima tahun di bawahnya ini bisa membuatnya panas dingin. “Hem, bukankah membesarkan anak harus dengan kasih sayang, bagaimana bisa memberikan cinta jika orangtuanya tidak saling mencintai?” tanya Glass. Bening terkekeh geli, untuk pemuda seusianya pemikiran Glass menurutnya sangat dewasa. Berbeda dengannya yang terkadang masih kekanak-kanakan. “Tidak ada kata saling mencintai,” tegas Bening. “Aku hanya butuh kamu untuk menyelamatkan mukaku, jadi jangan pernah berpikir untuk saling mencintai!” Bening melirik Glass dan kembali berucap, “Aku akan membiayai kuliahmu, pengobatan ibumu dan juga pernikahan kakakmu, tidak
Hari berikutnya, Bening benar-benar melakukan apa yang sudah dia ucapkan kemarin. Ia datang ke pasar tempat ibu Glass berjualan. Sejak masuk ke halaman pasar, dirinya sudah mencuri perhatian orang-orang. Sebuah mobil mewah berwarna hitam yang sangat mengilap menyilaukan mata tukang parkir, belum lagi sesosok wanita yang keluar dari dalamnya. Begitu bening sebening namanya. Menenteng tasnya dan melepas kacamata, Bening yang saat keluar begitu elegan menjadi konyol karena menaikkan celana kerjanya. Ia menggerutu karena di sana sangat becek. Gadis itu bertanya ke tukang parkir di mana letak warung Fitria. “Apa neng mau makan di sana?” tanya si tukang parkir heran. “Tidak, aku mau menemui ca-lon mer-tu-a,” ucap Bening dengan mengeja kata calon mertua serta penuh ketegasan dalam mengucapkannya. Tukang parkir itu pun menggaruk kepala, sebelum menunjukkan arah ke mana warung Fitr
“Terima kasih sudah mau datang ke rumah kami.” Arkan menerima keluarga Glass dengan ramah, begitu juga dengan Rea. Meski awalnya sangat kecewa dan tidak mau menerima kejadian ini, pasangan suami istri itu tahu harus bersikap baik dengan calon besan mereka. Rea sedikit iba saat tahu bahwa Glass ternyata anak yatim sejak kecil. Kesopanan yang ditunjukkan pemuda itu membuatnya sejenak lupa bahwa Glass masih berumur sembilan belas tahun. “Kita tidak bisa memungkiri apa yang sudah terjadi ke anak-anak kita,” ucap Arkan. “Bagaimanapun juga apa yang dilakukan Bening dan Glass perbuatan yang sangat tercela, saya tidak bisa menutupi aib selamanya, dan tidak mungkin meminta putri kami menggugurkan kandungannya.” Fitria, Glass juga Roy yang ikut datang ke rumah keluarga Bening nampak hanya diam dan menunduk. Bedanya Roy sejak tadi diam-diam memindai setiap benda yang ada di ruang tamu kediam
Sehari sebelum pernikahannya dan Bening, Glass masih berangkat kuliah seperti biasa. Mereka hanya akan menikah di KUA dan tidak akan ada pesta. Pernikahan mereka dinilai bukan kabar gembira karena terjadi karena sebuah kecelakaan, bahkan Glass dan Bening sepakat untuk menutupi pernikahan itu dari orang-orang sekitar mereka, setidaknya selama Bening masih bisa menutupi kehamilannya. Meski Bening sudah berkata tidak butuh nafkah dari Glass, bahkan malah akan membiayai kuliah pemuda itu sampai lulus, Glass berniat tidak akan membiarkan hal itu. Ia mulai berpikir mencari pekerjaan dan yang paling mudah dilakukannya sambil kuliah adalah menjadi driver ojek online. “Ngelamun aja!” Dimas menepuk pundak Glass yang baru saja akan mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan penyedia jasa ojek online. Glass pun langsung mengunci layar ponsel dan memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya.
Pagi itu setelah sarapan Bening berpamitan untuk pindah ke penthouse-nya bersama Glass. Rea dan Arkan yang mengantar sang putri sampai halaman rumah pun tidak begitu cemas karena mereka masih satu kota. Pasangan suami istri itu saling memeluk pinggang satu sama lain, Rea merasa tenang setelah Arkan bercerita. Semalam pria itu berbicara empat mata dengan sang menantu, menanyakan apa yang akan dilakukan Glass setelah menjadi suami Bening. Menurut Arkan jawaban pemuda itu cukup dewasa, Glass tidak menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk, dia hanya berjanji tidak akan pernah membuat Bening menangis dan akan selalu menjaganya. Setelah berpamitan, Glass dan Bening menuju mobil. Glass nampak kikuk, dia bingung karena seharusnya sebagai pria dia yang mengemudikan mobil tapi dia tidak bisa. Pemuda itu menggaruk tengkuk dan tertawa saat Bening bertanya apakah dia bisa menyetir. “Tidak apa-apa, kamu bisa kursus mengemudi nanti,” uca
Bening jatuh cinta. Ya, dia jatuh cinta ke berondong yang diperalatnya. Sikap gadis itu berubah manis kepada Glass yang dinilainya begitu sangat dewasa. Tak hanya membelikan pemuda itu kendaraan untuk dipakai ke kampus. Bening membelikan laptop bahkan setumpuk baju baru untuk suaminya, meski tidak di hari raya. Sore itu Glass yang baru saja pulang kuliah hanya bisa mematung mendapati tumpukan pakaian baru di atas ranjang tempat tidur. Mulai dari jeans, kaos hingga jaket. Bening yang baru saja selesai mandi pun mendekat ke arah sang suami, berkata bahwa Glass tidak perlu bolak-balik ke rumah ibunya untuk mengambil baju lagi. “Apa ini tidak berlebihan?” Glass merasa tak enak hati, baru kemarin lusa dia dibelikan motor, lalu laptop sekarang baju yang sudah pasti diyakininya bermerek, karena Glass tahu selera Bening sangat tinggi. “Berlebihan apa?” tanya Bening yang malah heran, bukanny
Semenjak malam itu, Glass seperti menghindari Bening. Tak ada lagi usapan di perut seperti yang biasa dia lakukan sebelum tidur. Hingga hari turnamen basket Glass tiba. Pemuda itu sudah bersiap sejak pagi, dia bangun dan meregangkan tubuh di teras yang menghadap langsung ke gedung-gedung di sekeliling apartemen Bening. Bening yang baru bangun tidur pun hanya bisa melihat punggung suaminya. Ia yang berniat mengambil air minum terpaku beberapa detik untuk melihat pemandangan yang menurutnya begitu menyejukkan mata. “Apa dia anak Bu Fitria? Kenapa bisa posturnya seperti blasteran? Apa mungkin suami Bu Fitria warga negara asing?” gumam Bening, dia masih memerhatikan Glass sampai pemuda itu menoleh. Bening pun berpaling lalu berjalan sambil menggaruk pantat, berpura-pura bahwa dia tidak melihat ke arah Glass berdiri. Setelah selesai melakukan olahraga ringan, Glass masuk ke kamar. Ia tidak peduli denga
“Apa yang harus aku lakukan? Jika dia menciumku jelas aku tidak akan menolaknya, tapi jika dia …. “ Bening masih berdiri di posisinya, dia kaget saat Glass membuka pintu kamar mandi dan menyembulkan kepala, rambutnya yang basah membuat pemuda itu terlihat semakin keren. Bening lagi-lagi hanya bisa menahan napas, gadis itu terbeku menatap sang suami yang tersenyum kepadanya. “Aku lupa handuk,” ucap Glass. “Maaf! tapi apa bisa kamu mengambilkan handuk untukku!” Bening menganggukkan kepala, dia buru-buru menuju ruang ganti dan mengambilkan apa yang suaminya minta. “Nah! Ini.” Bening memberikan handuk itu tanpa menatap Glass. Seolah tahu bahwa sang istri sedang malu, Glass malah dengan sengaja mencekal pergelangan tangan Bening, gadis itu menoleh dengan mata membeliak lebar karena merasakan sentuhan sang suami. &n