Share

Bab 7

Siang itu, Bening nampak duduk di meja kerjanya dan memijat kening. Selain pusing dengan masalah pekerjaan, dia juga pusing menghadapi desakan dari kedua orang tuanya yang ingin bertemu dengan pria yang menghamilinya. Meski menyesal sudah berbohong, tapi Bening juga takut jika harus jujur. Terlebih pemuda bernama Glass itu sudah membuat hatinya merasakan debaran aneh. Mungkinkah dia jatuh cinta?

Ternyata berpura-pura hamil juga tak semudah yang Bening bayangkan. Ia sempat berharap orangtuanya akan memaksanya menggugurkan kandungan seperti sinetron yang ada di saluran burung berenang, tapi ternyata tidak, baik mama ataupun papanya malah menginginkan bertemu dengan Glass.

Masih menunduk dan berkelahi dengan pikirannya sendiri, Bening dikejutkan dengan sapaan sekretarisnya yang ternyata sejak tadi mengetuk pintu ruang kerjanya, karena sibuk melamun Bening sampai tidak menyadarinya.

“Bu Bening, ini dokumen rencana event RBB Market di bulan Februari.”

Bening mendongak, menatap Zahra yang terlihat sedikit pucat karena terus saja mual. Wajar, karena sekretarisnya itu tengah hamil muda.

“Za, bukankah aku sudah bilang kamu boleh cuti jika memang kondisimu kurang baik. Aku tidak akan mengurangi masa cuti melahirkanmu nanti, tenang saja!” ucap Bening sambil menerima dokumen dari tangan Zahra, wanita yang dia curi tespeknya untuk diaku-aku miliknya.

“Bolehkah Bu? Jika boleh, bisakah saya izin pulang lebih cepat hari ini?”

“Boleh, kenapa tidak?” jawab Bening, dia tiba-tiba mengingat masih menyimpan cokelat dari Glass di laci meja kerjanya. Gadis itu mengambil semuanya lalu memberikannya ke Zahra.

Zahra yang heran dan merasa hari kasih sayang belum tiba pun mematung dan menatap cokelat pemberian Bening barusan dengan sorot bingung. “Ini belum hari valentine Bu,” ucapnya.

“Aku tidak merayakan hari kasih sayang Za, itu hanya cokelat. Bagaimana bisa diidentikkan dengan kasih sayang? lagi pula kasih sayang itu bisa diungkapkan setiap saat tidak hanya di hari, tanggal dan bulan tertentu.”

Mendengar penjelasan dari sang atasan, Zahra pun tersenyum. Ia mengucapkan terima kasih sebelum meminta izin kembali. Bening pun mengangguk lantas mempersilahkan sekretarisnya itu keluar dari ruangan.

Menatap pintu ruang kerjanya yang sudah ditutup Zahra, Bening memikirkan satu kebohongan lagi yang kali ini jauh lebih mengerikan.

“Apa aku pura-pura keguguran saja?” gumamnya.

Namun, seketika Bening menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak, aku tidak boleh melakukan itu, bagaimana kalau aku kena tulah suatu hari nanti, amit-amit.” Ia mengusap kedua lengannya, lantas mendongak melihat pendingin ruang kerjanya.

“Kenapa aku tiba-tiba merinding, apa suhunya tidak sesuai?”

***

Tepat dua belas hari setelah pertemuannya dengan Glass di kafe, Bening kembali mengajak pemuda itu bertemu. Ia pikir terlanjur basah karena masalah ini, Bening pun ingin sekalian berenang berharap tidak akan tenggelam.

Duduk di salah satu sudut kafe dengan jemari mengetuk-ngetuk meja, Bening cemas karena sudah lima belas menit dia menunggu, dan Glass belum juga menampakkan batang hidungnya, hingga dia menyandarkan punggung malas dan mengembuskan nafas lelah, Bening tiba-tiba menegakkan punggung saat melihat pemuda yang dia tunggu masuk ke kafe. Glass setengah berlari menuju mejanya.

“Maaf! aku masih ada kelas tadi,” ucap pemuda berwajah tampan dengan postur tinggi dan berbadan kekar itu. Jelas tidak mengherankan kalau banyak gadis yang sangat mengidolakan Glass.

“Apa kamu tidak ingin memesan minuman dulu?” tanya Bening sambil menyodorkan buku menu yang sengaja tidak dia kembalikan ke pelayan tadi.

Glass meraihnya, membolak-balik buku menu itu sambil sesekali melirik Bening yang terus menatap ke arahnya. Ia pura-pura batuk lantas menutup buku itu. “Aku es teh saja,” ucapnya.

Bening pun mengangkat tangan, mengembalikan buku menu itu ke pelayan dengan sorot mata terus menatap Glass yang cengengesan.

“Kamu ingat ‘kan? Aku pernah berkata kalau akan ada dua kemungkinan saat aku meminta bertemu denganmu lagi?” tanya Bening dan Glass pun mengangguk.

“Apa ini?” tanya Glass saat Bening meletakkan sesuatu di meja dan mendorong ke arahnya.

“Tespek.”

“Apa pempek?” tanya Glass kebingungan.

“Tespek, tes-pek, apa kamu pernah melihat pempek bentuknya seperti itu,” murka Bening.

Glass mencebikkan bibir, matanya terfokus pada dua garis merah yang tertera di permukaan benda itu. Namun, belum juga bertanya lagi, pelayan mengantar es teh pesanannya. Fokus Glass menjadi terpecah, dia tersenyum manis mengucapkan terima kasih ke pelayan sebelum kembali menoleh Bening.

“Itu alat uji kehamilan, kamu bisa melihat di situ tertera garis dua yang tandanya aku kini sedang hamil.”

“Brttt …. “ Glass menyemburkan es teh yang baru ditenggaknya persis ke depan Bening, beruntung gadis itu secepat kilat berdiri sehingga terhindar dari hujan lokal yang dibuatnya.

“Tunggu, bagaimana kakak bisa hamil secepat itu?”

“Apa perlu aku membawamu ke dokter kandungan?” bentak Bening. Apa kamu pernah mendengar cerita soal nikah dua minggu hamil satu bulan?” ketus Bening ke pemuda yang ditemuinya di klub saat dia kabur dari pertunangannya dan Rain itu.

“Aku bahkan tidak ingat melakukan itu, sungguh aku juga tidak yakin sudah melepas keperjakaanku dengan kakak.” Glass gemetar ketakutan, kemarin dia masih menganggap bertemu Bening bukan masalah besar, tapi kali ini dia merasa nyawanya berada di ujung jurang yang di bawahnya kawah api.

“Tidak yakin? Apa kamu tidak melihat dar-“Bening menoleh dan mengeram, tangannya terkepal gemas untuk menunjang sandiwaranya. “Apa hanya karena tidak ingat kamu bisa mengabaikan fakta ini? aku juga tidak ingin ini terjadi, siapa yang mau hamil anak pria sepertimu?”

“Pria sepertiku?” lirih Glass yang sedikit tersinggung dengan ucapan Bening barusan. Seolah meremahkan dan memandang rendah dirinya. “Lalu bagaimana? Apa yang kakak inginkan sekarang?” tanyanya yang tak pernah menyangka akan terjebak masalah seperti ini.

“Kamu harus menikahiku, kita harus menikah,” ucap Bening tanpa sedikitpun keraguan.

“Menikah? apa kakak bercanda?” Glass malah nampak ketakutan, dia bahkan mundur hingga kursi yang diduduki terdorong ke belakang.

“Aku tidak bercanda. Kamu pilih! Memberitahu orangtuamu sendiri atau aku datang menemui orangtuamu.”

Glass menelan saliva. Haruskah dia menjadi suami dan papa diusianya yang masih sangat muda.

“Tapi, bagaimana bisa? menikah? bukankah artinya aku harus memberi nafkah istri saat sudah menjadi suami?”

“Tidak usah memikirkan nafkah, aku tidak butuh kamu nafkahi. Aku hanya butuh suami agar nama baikku dan keluarga tetap terjaga.”

Glass terbeku, hingga Bening ketakutan, berjalan mendekat dan mengguncang pundak pemuda itu. “Hei, kamu baik-baik saja kan?”

Glass menoleh, memandangi wajah Bening cukup lama hingga berucap, “Kalau kakak mau menikah hanya untuk menjaga nama baik keluarga kakak saja, aku tidak mau.”

“Kenapa?” Bening melotot tak percaya Glass akan berani menolaknya.

“Bukankah anak itu juga harus dibesarkan dengan kasih sayang meski tidak diinginkan? Dan sebagai pria aku harus bertanggungjawab karena setelah menikah, aku akan menjadi kepala rumah tangga.”

Kini Bening yang bergidik ngeri, kenapa bocah yang dia anggap masih ingusan ini malah membicarakan masalah tanggungjawab bahkan peran sebagai kepala rumah tangga.

“Aku mau menikah dengan kakak, tapi kita harus belajar saling mencintai.”

“Apa?”

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
cie cie glass keren mau tanggung jawab
goodnovel comment avatar
Kikiw
gentle banget Glass..
goodnovel comment avatar
Mikayla Azahra
wakakakakak ngakak banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status