Bening memberi kesempatan Glass untuk merayakan kemenangan timnya, dia duduk kembali dan melihat bagaimana cowok itu dipeluk bergantian dan disalami seolah menjadi bintang pertandingan itu. Bening memalingkan muka, sedikit kesal karena dia sedikit terpesona dengan berondong berumur sembilan belas tahun itu.
“Apa yang mereka lakukan? Dasar murahan,” umpat Bening saat melihat beberapa gadis mendekat, memberi boneka teddy bear dan bunga ke Glass. “Apa tidak sekalian kalian beri dia cokelat?”
Tepat setelah berucap seperti itu, seorang gadis terlihat memberikan Glass bucket cokelat batangan bermerek emasqueen. Lagi-lagi Bening hanya bisa terkekeh ironi. Bepikir bahwa Glass memang dari keluarga biasa tapi memiliki pesona yang luar biasa.
Bening menunggu sampai cowok itu menuju bangkunya, sedangkan Glass meski sadar sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasinya, dia bersikap cuek.
“Hiss … bagaimana bisa menenggak minuman dari botol saja terlihat sangat keren?” Bening menggerutu lagi, dia berdengkus kesal ke dirinya sendiri. Sampai matanya mendapati Glass memasukkan handuk ke dalam tas, ini lah kesempatannya. Bening meraih ponsel dan bergegas menelepon cowok itu.
“Aku ingin bicara, jangan coba-coba menghindariku! Atau aku akan memberitahu Bu Fitria tentang kelakuan putra kesayangannya.”
Glass yang menerima panggilan itu seketika menoleh Bening, dia menatap gadis itu dari tempatnya berdiri. Bahkan terbeku sampai mengabaikan sapaan teman-temannya.
“Aku akan bilang pada Bu Fitria bahwa putranya yang bernama Ananda Glassio sudah mem-“
“Ayo bicara!” potong Glass cepat. “Tapi setelah lapangan sepi, pergilah ke sudut hati kafe. Aku akan menyusul sebentar lagi.”
Glass mematikan ponsel dan langsung memasukkannya ke tas, sikapnya yang terpantau Bening dari tempat duduknya membuat gadis itu geram bukan kepalang. Glass seperti anak macan yang garang. Namun, tanpa Bening duga beberapa menit kemudian dia terbuat tak percaya karena kelakuan Glass.
“Apa kakak mau cokelat?”
Glass bersikap manis pada Bening, bahkan menyodorkan bucket cokelat yang diberikan oleh penggemarnya tadi.
“Dasar tidak modal!” Bening menolak tapi matanya memberi kode untuk meletakkannya di meja.
“Kakak mau makan apa? pesan saja, aku yang traktir.”
Bening menyandarkan punggung dan bersidekap dada, tingkah pemuda di hadapnnya ini benar-benar membuatnya berpikir harus waspada, jelas saat di sport center tadi Glass sangat dingin. Namun, sekarang dia bersikap sangat manis, ibarat kata jika tadi harimau sekarang Glass seperti anak kucing.
“Aku tidak mau makan, aku diet!” sembur Bening. Mendengar itu Glass seketika melirik ke arah bucket cokelat di meja. Bening pun menegakkan punggung lalu meraih bucket itu. Ia meletakkannya ke dudukan kursi di sampingnya, jangan sampai pemuda di depannya meminta balik benda itu. Bening berdehem dan berucap kembali.
“Kenapa kamu tidak membalas pesanku? Apa setelah malam itu kamu ingin kabur? Heh … kamu sudah membuatku tidak peraw-“
Glass berdiri tiba-tiba hingga menubruk meja, dia letakkan telapak tangannya untuk menutup mulut Bening. Gadis itu pun melotot tak percaya, untuk sesaat pandangan mereka bertemu dan dada Bening tiba-tiba bergemuruh hebat.
“Jangan membahas hal itu dengan gamblang, bisa tidak,” bujuk Glass.
Bening meraih pergelangan tangan cowok itu lalu menghempaskannya, jangan sampai dia terbawa perasaan dengan tingkah pemuda yang dia cap masih ingusan ini. “ Kalau begitu jangan berani-berani tidak membalas pesan atau teleponku lagi, kamu tahu? aku mungkin bisa saja kena masalah akibat perbuatanmu itu.”
“Masalah?” Kening Glass berkerut, mungkin terlalu lelah setelah pertandingan sehingga otaknya kehilangan banyak nutrisi.
“Apa kamu tidak berpikir? bagaimana kalau aku sampai hamil?” Bening memasang muka sedih, dia bahkan menurunkan bahunya seoalah sedang tertekan. “Kamu pria, sudah tidak perjaka pun tidak akan ada yang tahu, tapi aku? aku?” Bening menekuk tangan hingga sikunya bertumpu pada meja, gadis itu menggunakan tangannya untuk memijat pelipis dan menunduk. “Masa depanku hancur,” ucapnya dramatis.
Glass yang kebingungan malah menggaruk leher. Ia anak baik-baik, bahkan merokok pun tidak, tapi bagaimana bisa melakukan perbuatan tercela seperti itu. “Aku, aku minta maaf. Jujur aku bahkan tidak mengingat bagaimana aku melakukan itu,” ucap Glass.
Bening menegakkan kepala, menatap tajam pemuda yang dia katai ingusan itu. Ingin marah tapi dia haus, akhirnya gadis itu memilih untuk memesan minuman lebih dulu.
Glass memegang gelas dan menyesap jus jeruk di tangannya, dia menunduk berpura-pura tidak melihat Bening yang memelototinya.
"Apa kamu tahu nama lengkapku?"
Pertanyaan Bening direspon Glass yang sibuk menggigiti sedotan dengan gelengan kepala. Bening memalingkan muka, demi apa dia merasa pemuda di depannya sangat imut.
"Banyu Bening Pradipta, apa kamu masih tidak tahu?"
Glass lagi-lagi menggeleng, dan membuat Bening semakin geram.
"Kamu tahu siapa pemilik kampus tempatmu belajar?" tanya Bening dengan nada tinggi.
"Pak Farhan Pradip-" Glass melotot, bahkan sedotan minumannya sampai keluar dadi mulut karena dia menganga.
"Aku cucunya," sombong Bening lantas mengulur
kan tangannya. "Bawa sini ponselmu!" titahnya.Glass menelan saliva, dia letakkan minumannya dan bak kerbau dicocok hidungnya, dia menuruti perintah Bening. Gadis itu nampak menatap tajam layar ponsel milik Glass, setelah itu tersenyum sinis dan menunjukkan layarnya ke pemuda itu.
"RBB Market, kenapa dengan aplikasi belanja online itu? apa kakak mau memintaku membayari kakak berbelanja?" tanya Glass heran.
"Papaku pendiri sekaligus pemiliknya, dan aku direktur utama market place ini."
"Apa?" Glass semakin dibuat tak percaya. Ia merasa nasipnya sangat malang, sehingga harus berurusan dengan gadis kaya raya seperti Bening.
"Mau kabur ke lubang semut pun kamu tidak akan bisa, aku memiliki data pribadimu lengkap," ancam Bening.
"Lalu apa yang kakak inginkan? kakak 'kan tahu aku miskin," ucap Glass mencoba membela diri.
"Aku tidak butuh uang darimu, uang bukan masalah bagiku, tapi coba kamu pikir? aku sudah tidak-" Bening beraksi kembali, memalingkan muka dan menggigit bibir bawah seolah begitu frustasi. "Aku takut aku hamil."
"Ha-ha-hamil?"Meski jahat karena sudah membodohi pemuda baik hati, Bening berpikir tak ada cara lain. Glass satu-satunya harapan baginya untuk menyelamatkan muka.
"Jika aku mengajakmu bertemu lagi, artinya ada dua kemungkinan. Pertama, aku ingin kita melupakan malam itu. Kedua, aku hamil dan kamu harus bertanggungjawab," tegas Bening. Ia lantas berdiri, dan tak lupa mengambil bucket cokelat yang Glass berikan kepadanya tadi.
Diam-diam sejak tadi ada yang mengawasi Glass dan Bening, orang itu nampak begitu penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh keduanya. Hingga takut jika Bening sampai membocorkan ulahnya yang berniat menjual Glass ke tante girang.
Orang itu adalah Dimas, dia langsung mendekati Bening yang hampir masuk ke mobilnya untuk membicarakan masalah malam itu. Namun, di luar dugaan, Bening berpura-pura lupa kepadanyakepadanya hingga Dimas terus bertanya untuk memastikan.
"Aku ingat dengan orang yang aku bantu malam itu, tapi tidak dengan siapa yang membawanya. Ingatanku sedikit buruk," ucap Bening sambil tertawa. Ia curiga dengan tingkah Dimas, hingga terkejut saat Glass keluar dan langsung menyapa Dimas. Pemuda itu bahkan saling rangkul.
"Teman macam apa dia? kasihan sekali bocah itu, berteman dengan musang berbulu domba," ucap Bening seolah dia orang paling jujur di dunia.
Siang itu, Bening nampak duduk di meja kerjanya dan memijat kening. Selain pusing dengan masalah pekerjaan, dia juga pusing menghadapi desakan dari kedua orang tuanya yang ingin bertemu dengan pria yang menghamilinya. Meski menyesal sudah berbohong, tapi Bening juga takut jika harus jujur. Terlebih pemuda bernama Glass itu sudah membuat hatinya merasakan debaran aneh. Mungkinkah dia jatuh cinta? Ternyata berpura-pura hamil juga tak semudah yang Bening bayangkan. Ia sempat berharap orangtuanya akan memaksanya menggugurkan kandungan seperti sinetron yang ada di saluran burung berenang, tapi ternyata tidak, baik mama ataupun papanya malah menginginkan bertemu dengan Glass. Masih menunduk dan berkelahi dengan pikirannya sendiri, Bening dikejutkan dengan sapaan sekretarisnya yang ternyata sejak tadi mengetuk pintu ruang kerjanya, karena sibuk melamun Bening sampai tidak menyadarinya. “Bu Bening, ini dokumen rencana even
“Apa kamu bilang tadi? saling mencintai? Hah!” Bening memalingkan muka, ia menyambar minuman miliknya di meja tanpa menoleh. Tenggorokannya terasa kering, belum lagi dadanya yang tiba-tiba bergemuruh tak karuan. Gila, ini gila. Bagaimana bisa pemuda yang umurnya lima tahun di bawahnya ini bisa membuatnya panas dingin. “Hem, bukankah membesarkan anak harus dengan kasih sayang, bagaimana bisa memberikan cinta jika orangtuanya tidak saling mencintai?” tanya Glass. Bening terkekeh geli, untuk pemuda seusianya pemikiran Glass menurutnya sangat dewasa. Berbeda dengannya yang terkadang masih kekanak-kanakan. “Tidak ada kata saling mencintai,” tegas Bening. “Aku hanya butuh kamu untuk menyelamatkan mukaku, jadi jangan pernah berpikir untuk saling mencintai!” Bening melirik Glass dan kembali berucap, “Aku akan membiayai kuliahmu, pengobatan ibumu dan juga pernikahan kakakmu, tidak
Hari berikutnya, Bening benar-benar melakukan apa yang sudah dia ucapkan kemarin. Ia datang ke pasar tempat ibu Glass berjualan. Sejak masuk ke halaman pasar, dirinya sudah mencuri perhatian orang-orang. Sebuah mobil mewah berwarna hitam yang sangat mengilap menyilaukan mata tukang parkir, belum lagi sesosok wanita yang keluar dari dalamnya. Begitu bening sebening namanya. Menenteng tasnya dan melepas kacamata, Bening yang saat keluar begitu elegan menjadi konyol karena menaikkan celana kerjanya. Ia menggerutu karena di sana sangat becek. Gadis itu bertanya ke tukang parkir di mana letak warung Fitria. “Apa neng mau makan di sana?” tanya si tukang parkir heran. “Tidak, aku mau menemui ca-lon mer-tu-a,” ucap Bening dengan mengeja kata calon mertua serta penuh ketegasan dalam mengucapkannya. Tukang parkir itu pun menggaruk kepala, sebelum menunjukkan arah ke mana warung Fitr
“Terima kasih sudah mau datang ke rumah kami.” Arkan menerima keluarga Glass dengan ramah, begitu juga dengan Rea. Meski awalnya sangat kecewa dan tidak mau menerima kejadian ini, pasangan suami istri itu tahu harus bersikap baik dengan calon besan mereka. Rea sedikit iba saat tahu bahwa Glass ternyata anak yatim sejak kecil. Kesopanan yang ditunjukkan pemuda itu membuatnya sejenak lupa bahwa Glass masih berumur sembilan belas tahun. “Kita tidak bisa memungkiri apa yang sudah terjadi ke anak-anak kita,” ucap Arkan. “Bagaimanapun juga apa yang dilakukan Bening dan Glass perbuatan yang sangat tercela, saya tidak bisa menutupi aib selamanya, dan tidak mungkin meminta putri kami menggugurkan kandungannya.” Fitria, Glass juga Roy yang ikut datang ke rumah keluarga Bening nampak hanya diam dan menunduk. Bedanya Roy sejak tadi diam-diam memindai setiap benda yang ada di ruang tamu kediam
Sehari sebelum pernikahannya dan Bening, Glass masih berangkat kuliah seperti biasa. Mereka hanya akan menikah di KUA dan tidak akan ada pesta. Pernikahan mereka dinilai bukan kabar gembira karena terjadi karena sebuah kecelakaan, bahkan Glass dan Bening sepakat untuk menutupi pernikahan itu dari orang-orang sekitar mereka, setidaknya selama Bening masih bisa menutupi kehamilannya. Meski Bening sudah berkata tidak butuh nafkah dari Glass, bahkan malah akan membiayai kuliah pemuda itu sampai lulus, Glass berniat tidak akan membiarkan hal itu. Ia mulai berpikir mencari pekerjaan dan yang paling mudah dilakukannya sambil kuliah adalah menjadi driver ojek online. “Ngelamun aja!” Dimas menepuk pundak Glass yang baru saja akan mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan penyedia jasa ojek online. Glass pun langsung mengunci layar ponsel dan memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya.
Pagi itu setelah sarapan Bening berpamitan untuk pindah ke penthouse-nya bersama Glass. Rea dan Arkan yang mengantar sang putri sampai halaman rumah pun tidak begitu cemas karena mereka masih satu kota. Pasangan suami istri itu saling memeluk pinggang satu sama lain, Rea merasa tenang setelah Arkan bercerita. Semalam pria itu berbicara empat mata dengan sang menantu, menanyakan apa yang akan dilakukan Glass setelah menjadi suami Bening. Menurut Arkan jawaban pemuda itu cukup dewasa, Glass tidak menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk, dia hanya berjanji tidak akan pernah membuat Bening menangis dan akan selalu menjaganya. Setelah berpamitan, Glass dan Bening menuju mobil. Glass nampak kikuk, dia bingung karena seharusnya sebagai pria dia yang mengemudikan mobil tapi dia tidak bisa. Pemuda itu menggaruk tengkuk dan tertawa saat Bening bertanya apakah dia bisa menyetir. “Tidak apa-apa, kamu bisa kursus mengemudi nanti,” uca
Bening jatuh cinta. Ya, dia jatuh cinta ke berondong yang diperalatnya. Sikap gadis itu berubah manis kepada Glass yang dinilainya begitu sangat dewasa. Tak hanya membelikan pemuda itu kendaraan untuk dipakai ke kampus. Bening membelikan laptop bahkan setumpuk baju baru untuk suaminya, meski tidak di hari raya. Sore itu Glass yang baru saja pulang kuliah hanya bisa mematung mendapati tumpukan pakaian baru di atas ranjang tempat tidur. Mulai dari jeans, kaos hingga jaket. Bening yang baru saja selesai mandi pun mendekat ke arah sang suami, berkata bahwa Glass tidak perlu bolak-balik ke rumah ibunya untuk mengambil baju lagi. “Apa ini tidak berlebihan?” Glass merasa tak enak hati, baru kemarin lusa dia dibelikan motor, lalu laptop sekarang baju yang sudah pasti diyakininya bermerek, karena Glass tahu selera Bening sangat tinggi. “Berlebihan apa?” tanya Bening yang malah heran, bukanny
Semenjak malam itu, Glass seperti menghindari Bening. Tak ada lagi usapan di perut seperti yang biasa dia lakukan sebelum tidur. Hingga hari turnamen basket Glass tiba. Pemuda itu sudah bersiap sejak pagi, dia bangun dan meregangkan tubuh di teras yang menghadap langsung ke gedung-gedung di sekeliling apartemen Bening. Bening yang baru bangun tidur pun hanya bisa melihat punggung suaminya. Ia yang berniat mengambil air minum terpaku beberapa detik untuk melihat pemandangan yang menurutnya begitu menyejukkan mata. “Apa dia anak Bu Fitria? Kenapa bisa posturnya seperti blasteran? Apa mungkin suami Bu Fitria warga negara asing?” gumam Bening, dia masih memerhatikan Glass sampai pemuda itu menoleh. Bening pun berpaling lalu berjalan sambil menggaruk pantat, berpura-pura bahwa dia tidak melihat ke arah Glass berdiri. Setelah selesai melakukan olahraga ringan, Glass masuk ke kamar. Ia tidak peduli denga