Saat ini kedua orang suami istri itu sudah sampai di jakarta lebih tepatnya di apartemen milik Arzan. Tentu saja Arzan langsung membawa Sheyza ke apartemen miliknya. Karena tidak mungkin kalau membawa Sheyza ke pesantren, yang ada akan banyak tanda tanya disana terutama dari orang tua dan istrinya.
"Ini apartemen saya. Mulai sekarang kamu tinggal disini. Untuk keperluan kamu besok kita beli." Ucap Arzan sembari membukakan pintu untuk Sheyza. Sheyza menatap sekeliling ruangan yang terlihat sangat mewah. Semua barang-barangnya lengkap. Matanya memanas saat mengingat kehidupannya dulu. Dulu saat ayahnya masih ada, semua keinginan Sheyza tidak pernah terlewatkan. Apapun yang dia mau pasti dia dapatkan. Begitupun dengan kakak angkatnya. Mungkin karena hal itu lah sang kakak jadi seperti ini. Dia selalu meminta uang kepada Sheyza untuk mendapatkan hal-hal yang dia inginkan. "Disana kamar saya dan akan menjadi kamar kamu juga mulai sekarang. Kamu bisa istirahat disana." Tunjuk Arzan pada sebuah pintu yang ada di ruangan itu. "Tapi maaf masih banyak barang punya saya. Besok saya akan datang membawa beberapa keperluan dan baju buat kamu. Atau kalau perlu kita belanja bersama semua keperluan kamu." Sambung Arzan. Cantik. Sangat cantik. Matanya menatap lekat wajah cantik istri keduanya itu. Arzan tidak menampik hal itu. Dirinya terpesona dengan kecantikannya. Arzan juga pria normal. Semua pria akan menikmati pemandangan yang indah-indah bukan? Tapi biasanya Arzan tidak pernah melakukan hal seperti itu karena dosa. Dirinya sangat pandai menjaga pandangan. Namun kini dengan Sheyza? Mungkin karena Sheyza sekarang sudah menjadi istrinya, jadi tidak masalah bukan. Tapi dulu, Arzan harus berbulan-bulan menyesuaikan diri dengan istri pertamanya. Sedangkan dengan Sheyza, kenapa rasanya berbeda? "Kamu bisa langsung istirahat. Saya pamit pulang ke pesantren, saya akan bermalam disana. Nanti saya pesankan makan untuk makan malam kamu." Ucap Arzan lagi. Meskipun ucapannya terkesan diabaikan dan dirinya seakan didiamkan oleh istri barunya, Arzan tidak masalah. Dirinya sadar diri. Yang terpenting adalah Sheyza tidak berontak dan meminta untuk pergi. Sedangkan Sheyza tidak peduli dengan apapun yang akan suami barunya lakukan. Yang dia inginkan saat ini adalah ketenangan. Dia rasa tempat ini juga lebih baik untuk menghindari pria bajingan kemarin. Sheyza menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Tubuhnya lelah, sungguh lelah. Hampir semalaman dirinya tidak tidur gara-gara kejadian sialan itu bersama sang suami. Ditambah siangnya harus menghadapi drama pernikahan dan jangan lupakan kejadian di taman dengan pria yang dia panggil Abang itu juga. Semuanya terasa begitu melelahkan untuk Sheyza. Sudah lelah tubuh, ditambah lelah batin juga. Sungguh miris nasib hidupnya. Entah sampai kapan dirinya harus merasakan kepedihan hidup yang seakan tiada hentinya. "Shey kalau kamu mau istirahat, langsung di kamar saja. Saya mau ambil makanan didepan," ucap Arzan. Sheyza tidak membalas apapun. Matanya malah dia pejamkan dengan tenang, mengabaikan ucapan sang suami. Arzan mengembuskan napas kasar. Memilih mengalah, Arzan mengalah keluar dari ruangan. Menit berlalu hingga beberapa jam terlewati. Tak terasa Sheyza sudah tertidur beberapa jam lamanya. Tubuh yang tadinya sangat lelah, sekarang sudah lebih agak mendingan. Sheyza membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada netranya. Sedetik kemudian matanya terbelalak saat menyadari ruangannya tampak beda. Apalagi posisinya sekarang terbaring miring diatas ranjang empuk. Padahal seingatnya tadi dirinya tidur di sofa. Tapi ini... Siapa yang memindahkan nya? Beberapa saat kemudian Sheyza sudah bisa menebak siapa yang memindahkan dirinya. Mendadak sebal. Ya siapa lagi kalau bukan suami barunya. Marah? Jelas! Dirinya sudah bertekad untuk tidak disentuh lagi oleh pria itu. Walaupun cuman gendong atau digenggam, Sheyza tetap tidak mau. Tapi ini, sial dirinya kecolongan. Setelah selesai menyumpah serapahi sang suami, Sheyza bangkit menatap sekeliling kamar yang sangat rapi itu. Sungguh dirinya merasa dejavu. Dia teringat akan tempat tinggalnya yang dulu. Bangun tidur seperti ini biasanya Sheyza akan langsung minum air. Karena di kamar tidak ada air minum, mau tidak mau dirinya harus bangkit mencarinya sendiri. Tujuannya saat ini adalah dapur. Sampai di dapur, Sheyza terkejut mendapati dua kotak makan. Ditambah ada note kecil disana. "Shey saya pulang dulu. Maaf saya tidak tahu makanan kesukaan kamu, tapi saya berharap kamu menyukainya. Kalau bosan, kamu bisa menonton TV, karena keperluan kamu baru akan saya belanjakan besok, termasuk ponsel kamu." Sheyza tertegun membaca note itu. *** "Assalamualaikum," "Waalaikumsalam, ya Allah mas. Mas kenapa baru pulang? Mas tidak apa-apa kan?" Dan baru saja masuk ndalem, Arzan sudah disambut dengan istrinya, Anisa. Anisa menatap Arzan cemas karena sedari kemarin ponsel milik suaminya itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Khawatir? Jelas. Anisa takut terjadi sesuatu pada suaminya. Terlebih suaminya pergi sendiri tanpa Ardi, asistennya. Biasanya Arzan akan membawa serta Ardi saat perjalanan ke luar kota. Arzan tersenyum simpul. "Maaf ya sayang," ucapnya sambil mengusap kepala Anisa sayang. "Ponsel mas susah banget di hubungi, padahal online. Ardi juga sudah coba hubungi kamu, tapi tetap gabisa." Sebal Anisa. Arzan bingung mau menjawab bagaimana. Dia memang sengaja tidak mengangkat panggilan dari siapapun. Selain sibuk karena kejadian kemarin, dirinya juga sedang tidak ingin diganggu oleh orang rumah karena nanti akan membuat bimbang dengan keputusan yang akan diambilnya. "Maaf ya sayang, kemarin ma-" "Ya ampun gus, saya cariin loh sampai ke Bandung tapi anda tidak ada," Suara Ardi tiba-tiba muncul dari pintu ndalem. Ardi yang ikut kalut karena tidak mendapat kabar apapun dari sang bos langsung ambil tindakan. Ditengah kesibukan yang melandanya, dia tetap meluangkan waktu untuk mencari sang atasan ke bandung. Dirinya mengecek ke alamat hotel yang dikirim oleh Arzan sebelum berangkat. Tapi hasilnya nihil. Malah resepsionis hotel bilang kalau Arzan sudah checkout sedari kemarin. Jadilah Ardi kembali ke jakarta dan langsung menuju ke ndalem, siapa tahu Gus Arzan sudah sampai rumah. Arzan menanggapi dengan senyum. "Maaf Ardi, acara peresmian milik Bella kemarin benar-benar menyita waktu saya. Saya jadi tidak sempat membuka handphone." Ardi mengangguk. "Tidak apa Gus. Yang penting anda baik-baik saja itu sudah cukup. Kalau begitu saya pamit mau ke kantor lagi," Ardi undur diri karena merasa urusannya sudah selesai disana. Arzan mengangguk saja. Lalu tatapannya mengarah ke ndalem yang tampak sepi. "Ummi sama Abah kemana?" "Ummi sama Abah tadi bilang ada keperluan di luar. Mas pasti capek, ayo istirahat." Ajak Anisa lembut. Arzan menurut saja karena memang dia merasakan tubuhnya amat sangat lelah. Setelah kejadian kemarin, rasa-rasanya Arzan butuh tidur yang nyenyak.Sindi menatap Ayra lekat. "Ini udah tengah malam. Kita istirahat dulu. Kasihan juga Wirda pasti capek banget," ucap Sindi."Aaa mami... Ayra mau masuk pondok pesantren mi. Please..." Mata Ayra sudah ketap-ketip memohon pada sang mami.Sindi menghela nafasnya kasar. Kepalanya masih terasa pening akibat kejadian tadi. Ini anaknya baru pulang dari Jakarta, tiba-tiba malah minta masuk ke pondok pesantren. Kan tambah membuat kepala Sindi makin pusing."Kita bicarakan besok ya sayang. Kamu juga harus bicara sama papi dulu, nggak sama mami doang.""Tapi Ayra pengen banget. Ayra mau segera masuk ke pondok pesantren yang ada di Jakarta," mohon Ayra lagi."Sayang-"Mi, sekali ini aja. Ayra mau masuk pondok pesantren mi," Pinta Ayra."Ya ampun Ayra!! Lo itu, Tante Sindi baru aja pulang dari Jakarta. Ditambah Tante Sindi juga baru keluar dari rumah sakit. Lo nggak kasihan sama mami lo?" Wirda menatap malas Ayra."Oh iya, Mami sakit apa? Kenapa bisa sampe masuk rumah sakit??" Tanya Ayra tanpa meng
"Cantik ya cewek tadi?" Abyas sengaja bertanya pada Abyan yang sedang fokus menyetir.Abyan tak menjawab, karena kalau di tanya cantik apa tidaknya gadis itu memang cantik. Tapi dia tak ingin mengatakannya yang akan menimbulkan persepsi lain bagi yang mendengarnya.Abyas terkekeh kecil, berasa ngomong sama tembok karena yang di ajak berbicara hanya diam saja."Astaghfirullah! Kenapa gue punya saudara kembar kayak lo sih?! Gue berasa ngomong sama tembok tau gak," kata Abyas mengeluh.Abyan mendengus. Tak memperdulikan perkataan Abyas, dirinya langsung membelokkan mobilnya menuju ke gerbang pondok pesantren."Byan," panggil Abyas. Langsung membuat tangan Abyan yang hendak membuka pintu mobil jadi berhenti. Abyan mengangkat alisnya, menatap kembarannya.Abyas meringis, mengusap tengkuknya. Bibirnya mengembung seperti berpikir. Sampai detik kemudian Abyan yang tidak sabaran langsung berniat ingin meninggalkan Abyas.Membuat Abyas langsung menahannya. "Ehhh tunggu," teriak Abyas.Abyan me
Abyan memfokuskan pandangan pada jalan yang mulus di depan, tangan kanannya tergenggam erat pada setir mobil.Sementara itu, Abyas terus berbincang riang dengan Ayra di kursi belakang. Suara tawa mereka sesekali mengisi keheningan di dalam mobil.Ayra mencoba memecahkan kebekuan. Dia bertanya tentang musik yang diputar atau pemandangan yang dilewati, namun Abyan hanya memberikan jawaban singkat tanpa memalingkan wajahnya.Raut wajah Abyan yang kaku dan tatapan matanya yang fokus tidak berubah, seolah-olah dia berada di dunia sendiri.Ayra yang mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan itu, mencebikkan bibirnya dalam kekesalan dan kembali menoleh ke jendela, menatap keluar dengan rasa frustrasi yang tercampur penasaran tentang pria misterius yang duduk di kursi pengemudi itu.Abyan, meski merasakan kehadiran Ayra dan Abyas, dia lebih memilih untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri, membiarkan shalawat mengalun lembut sebagai satu-satunya suara yang memenuhi ruang antara dia dan penu
Ayra terus berjalan mengikuti Abyan. Dirinya semakin tak suka saat melihat Abyan kadang tersenyum tipis bersama dengan perempuan itu."Nyebelin banget sih, pake senyum segala lagi. Kalau lihat gue aja tadi datar banget tuh muka, giliran lihat perempuan kayak begitu, hish!! nyebelin banget sih!" Gumam Ayra terus ngedumel. Kesal? Pastilah. Kenapa Abyan tidak seperti Abyas yang ramah sekali. Tapi Ayra malah tertarik pada sosok Abyan."Ini sudah semuanya, Gus. Yang kena razia sekitar dua puluh santri, dengan kasus yang berbeda-beda. Saya sudah mencatatnya tadi Gus," kata Nayla dengan lembut, memberikan sebuah buku catatan.Abyan mengambilnya, "Terimakasih kamu sudah membantu saya hari ini," Nayla tersenyum malu-malu. Entah kenapa jantungnya berdebar sangat kencang berdekatan dengan Abyan. Siapa yang tidak tertarik dengan calon pemimpin pondok pesantren itu, bahkan semua santri putri di sini sangat mengagumi seorang Abyan. Pria tampan dengan segala kesempurnaannya.Jarang ada yang beruntu
"Apa?!! Kamu lihat Ayra pergi, tapi kamu nggak cegah dia?" Wirda memekik saat baru saja mendengar jawaban dari Raja, pacarnya itu saat dia tanya dimana keberadaan Ayra dari telpon."Ya-ya sorry babe. Aku mau ngejar, tapi Ayra larinya kenceng banget tau. Ketinggalan dong akunya," bela Raja untuk dirinya sendiri.Wirda mengusap wajahnya kasar. Kalau sudah seperti ini dirinya jadi bingung kan? Ayra itu nggak pernah pergi jauh sebelumnya, kedua orangtuanya sangat overprotektif pada gadis itu."Hish, kamu mah. Tau sendiri kayak mana orang tua Ayra. Itu Ayra juga nggak pernah pergi jauh-jauh. Kalau udah kayak begini kayak mana coba? Dia pastinya tersesat, kalau dia nggak tersesat dia udah pulang dari semalam ke Jogja," bingung Wirda khawatir."Aku mana tau babe. Dia juga kan bawa uang pastinya, nggak mungkin dia nyasar dan nggak balik.""Buktinya dia di hubungi nggak bisa, nomornya sama sekali nggak aktif. Ya ampun Raja, kenapa kamu oon banget. Mestinya kan kamu susul Ayra. Ayra itu nggak p
[Spill dikit yaaa.... dicerita ini lebih fokus ke si kembar, tapi nanti akan ada scene Nabila]16 tahun kemudianLangit yang mendung menutupi pemandangan bintang, memberikan gelap yang pekat di atas kota.Jalanan terlihat basah, dengan genangan air yang mencerminkan cahaya lampu jalanan yang redup.Setiap tetes hujan yang jatuh menambah ritme yang monoton, terdengar seperti irama alam yang berulang. Pepohonan di sisi jalan bergoyang tertiup angin, daun-daunnya yang basah berkilauan tatkala disinari cahaya lampu.Sementara itu, para pengendara yang berani melintas tampak berhati-hati, cahaya lampu kendaraan mereka membelah hujan yang terus turun tanpa henti, memperjuangkan visibilitas di malam yang gelap dan basah.Malam itu, suasana tampak seram dengan hembusan angin yang sangat kencang.Seorang gadis cantik menangis di sebuah halte bus yang sudah sepi.Dia Ayra Queenby. Gadis berambut panjang dengan mata bulat yang indah itu menelungkupkan kepalanya sambil terus terisak. Tak peduli s