Namanya Arshaka Syauqi Arzan. Usianya baru menginjak dua puluh sembilan tahun dan sudah menikah lima tahun yang lalu dengan wanita muslimah bernama Anisa Az-Zahra. Gadis yatim piatu pilihan abahnya. Sang Abah menjodohkan Anisa dengan Arzan karena ayah Anisa dengan abahnya dulu sahabatan. Dan mereka punya janji untuk menjodohkan kedua anak mereka jika sudah besar nanti. Keduanya tidak saling mengenal. Tapi karena baktinya kepada orang tua, Arzan menerima pernikahan itu.
Setelah mendengar kepergian sahabatnya, kyai Rafiq langsung mencari keberadaan kediaman sang sahabat di Jogja hingga bertemu dengan anaknya. Itu semua karena terdapat foto didalam dompet milik Anisa. Sudah dua puluh lima tahun lamanya mereka tidak bertemu, tepatnya setelah ayah Anisa menikah dan langsung pindah ke Jogja. Anisa yang hidup sebatang kara menjadi bahagia karena bisa menjadi istri seorang Gus Arzan, penerus pondok pesantren Al-Hikmah. Dirinya tidak perlu susah-susah lagi mencari pekerjaan seperti yang dia lalui sebelum-sebelumnya. Bayangkan saja, Anisa yang hanya lulusan SMA, harus bersaing dengan para sarjana untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Setelah menjadi seorang Ning, Anisa hanya perlu duduk dirumah menunggu sang suami pulang kerja. Hanya sesekali membantu ummi Zulfa. Meski begitu, Anisa diperlakukan dengan baik layaknya keluarga sendiri. Tidak ada yang menganggap Anisa orang lain. Meskipun tidak ada cinta dalam pernikahan itu, namun Arzan selalu mencoba untuk membangun rasa itu. Hingga lima tahun menikah, Arzan menyayangi Anisa. Namun lima tahun menikah juga, mereka belum dikasih keturunan. Berulang kali ummi dan Abah meminta mereka untuk mengecek kesehatan tapi selalu ditolak oleh Anisa dengan alasan mereka sudah subur. Sedangkan Arzan sendiri tidak begitu mempermasalahkan nya. Karena dia tidak mau membuat Anisa menjadi sedih, alhasil Arzan selalu memberi pengertian kepada orang tuanya. Karena Anisa adalah menantu satu-satunya, jadi mereka memaklumi dan membiarkan Anisa melakukan apapun yang dia senangi, yang terpenting tidak keluar dari ajaran agama. Sedangkan Arzan bukan hanya seorang Gus di pondok pesantren. Dirinya juga merupakan pengusaha sukses yang beberapa tahun terakhir perusahaannya berkembang pesat. Hingga mempunyai cabang di beberapa kota di Indonesia. Gus Arzan adalah orang yang sangat kompeten. Dirinya juga terkenal galak dan minim ekspresi jika sedang mengajar. Arzan juga seseorang yang bisa menjaga pandangan dengan perempuan yang bukan mahram. Jangankan mengajak bicara, berdekatan saja dirinya sudah risih duluan. Kecuali dengan uminya, istrinya Anisa, dan juga adiknya Nabila. Ya. Arzan punya satu adik perempuan bernama Nabila yang sekarang masih menempuh pendidikan kuliah. Namun tak jarang juga Nabila membantu mengajar di pondok pesantren. Usianya terbilang masih cukup muda baru dua puluh tahun, seusia dengan istri rahasianya - Babby Zivilia Sheyra. Arzan mengembuskan napas kasar. Ini sudah pukul setengah tiga dini hari, namun sedari tadi dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak padahal tubuhnya sudah merasa sangat letih, namun matanya seolah tak mau terpejam. Dirinya malah terbayang-bayang oleh wajah cantik Sheyza. Ya Sheyza. Setiap kali Arzan memejamkan matanya, bayang-bayang Sheyza yang menangis sambil melilitkan selimut di tubuhnya yang indah, malah memenuhi pikirannya. Dirinya sudah berulang kali beristighfar dan menghalau bayang-bayang itu, tapi nihil. Hasilnya tetap sama. Bayang-bayang itu seakan menari-nari di dalam pikirannya. Arzan bingung sendiri. Bagaimana bisa dirinya membayangkan seseorang sampai seperti ini. Terlebih dengan orang yang baru dikenalnya. Biasanya Arzan tidak pernah seperti ini. Merasa tidak tahan, akhirnya Arzan memilih bangkit dan melangkah ke balkon. Dirinya mendudukkan diri di sofa balkon. Arzan duduk sambil menatap langit yang masih tampak gelap, hanya dihiasi beberapa butir bintang. Pikirannya tetap sama, masih seputar gadis yang dia renggut kesuciannya secara paksa. "Mas ya ampun. Ngapain disini? Tadi katanya capek mau istirahat. Emang gak dingin juga pakai lengan pendek?" Arzan tersenyum tipis mendengarnya. "Capek sayang, tapi kepikiran sama kerjaan." Sahut Arzan berbohong tentu saja. Mungkin benar kata orang, sekalinya berbohong maka akan ada kebohongan selanjutnya. Arzan beristighfar didalam hatinya. Sungguh dia tidak menyangka bisa melakukan hal seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya terlalu sayang dengan sang istri hingga tidak mau membuatnya saki hati mendengar kenyataan sebenarnya. Anisa tersenyum sambil melangkah lebih dekat dengan Arzan dan langsung mendudukkan dirinya pada pangkuan sang suami. Deg Arzan terkesiap. Entah mengapa ada sesuatu aneh yang menjalar pada tubuhnya saat Anisa duduk di pangkuannya. Padahal seharusnya hal seperti ini sudah biasa dilakukan, namun kali ini Arzan serasa tidak ingin melakukan hal-hal seperti ini dengan Anisa. Hatinya menolak. Anisa bahkan melingkarkan kedua tangannya pada leher Arzan. "Mas, kita bisa me-" "Mas ngantuk sayang. Maaf ya," sela Arzan sebelum Anisa mengajaknya yang aneh-aneh. Arzan tahu ini dosa menolak ajakan istri, tapi disisi lain Arzan memang tidak mau melakukannya. Mungkin esok atau lusa atau Minggu yang akan datang. Anisa terpaku mendengar perkataan sang suami. Apalagi saat suaminya malah mendudukkan dirinya di kursi sebelahnya. "Mas-" "Mas lagi banyak banget kerjaan sayang, dan besok selepas subuh mas juga harus pergi lagi. Maaf ya." Arzan tau Anisa kecewa tapi mau bagaimana lagi, sesuatu dalam dirinya seakan menolaknya. "Tapi kan kamu besok ada jadwal mengajar santri mas, kok malah mau pergi?" Dumel Anisa tidak mau dirinya ditinggal lagi. "Kalau masalah itu mas sudah minta tolong sama ustadzah Sinta untuk menggantikan mas sementara waktu. Mas beneran sibuk banget sayang di kantor. Dan proyek ini tidak bisa ditinggalkan, lumayan besar soalnya." Anisa mengangguk tersenyum mengiyakan. Meskipun dalam hatinya terbesit kecewa atas penolakan suaminya. "Yaudah kita tidur lagi ya," ajak Arzan. Tangannya terulur mengusap rambut Anisa sembari mengajak masuk sang istri. *** Benar yang dikatakan Arzan tadi malam kepada Anisa, bahwa dirinya akan pergi setelah melaksanakan shalat subuh. Bahkan suaminya itu terkesan terburu-buru sekali sampai sarapan pagi saja tidak sempat. Tidak biasanya memang, tapi Anisa tidak banyak bertanya. Anisa tidak mau membuat suaminya merasa terbebani dengan sikapnya yang egois. Meskipun dalam hatinya dia ingin sekali bertanya mau pergi kemana suaminya itu dan kenapa harus pagi-pagi sekali. Hal yang belum pernah Arzan lakukan selama mereka menikah lima tahun. "Beneran kamu gak mau sarapan dulu mas? Ini masih pagi banget loh. Sarapan sebentar juga kayaknya masih belum telat." Ucap Anisa di sela mengantarkan sang suami menuju ke mobil. Arzan tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Mas bisa sarapan di kantor sayang. Pekerjaan mas hari ini banyak banget, kasihan Ardi. Gara-gara mas tinggal kemarin Ardi harus ngerjain pekerjaan mas sendirian." Lagi-lagi Anisa hanya bisa mengangguk. "Mas hati-hati ya," Arzan tersenyum dan langsung masuk ke dalam mobil setelah menyalami sang istri. Yang membuat Anisa bingung adalah, biasanya setelah dirinya menyalami sang suami, Arzan akan mencium keningnya. Tapi ini.... Anisa menghembuskan nafasnya kasar, mencoba menghalau semua prasangka buruk yang menghantui pikirannya. Mungkin saja suaminya lupa karena sedang terburu-buru sekali. Ya seperti itu. Disisi lain, Arzan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang pasti agar segera sampai tujuan. Namun kali ini tujuannya berbeda dengan yang dia katakan kepada istrinya tadi.Sindi menatap Ayra lekat. "Ini udah tengah malam. Kita istirahat dulu. Kasihan juga Wirda pasti capek banget," ucap Sindi."Aaa mami... Ayra mau masuk pondok pesantren mi. Please..." Mata Ayra sudah ketap-ketip memohon pada sang mami.Sindi menghela nafasnya kasar. Kepalanya masih terasa pening akibat kejadian tadi. Ini anaknya baru pulang dari Jakarta, tiba-tiba malah minta masuk ke pondok pesantren. Kan tambah membuat kepala Sindi makin pusing."Kita bicarakan besok ya sayang. Kamu juga harus bicara sama papi dulu, nggak sama mami doang.""Tapi Ayra pengen banget. Ayra mau segera masuk ke pondok pesantren yang ada di Jakarta," mohon Ayra lagi."Sayang-"Mi, sekali ini aja. Ayra mau masuk pondok pesantren mi," Pinta Ayra."Ya ampun Ayra!! Lo itu, Tante Sindi baru aja pulang dari Jakarta. Ditambah Tante Sindi juga baru keluar dari rumah sakit. Lo nggak kasihan sama mami lo?" Wirda menatap malas Ayra."Oh iya, Mami sakit apa? Kenapa bisa sampe masuk rumah sakit??" Tanya Ayra tanpa meng
"Cantik ya cewek tadi?" Abyas sengaja bertanya pada Abyan yang sedang fokus menyetir.Abyan tak menjawab, karena kalau di tanya cantik apa tidaknya gadis itu memang cantik. Tapi dia tak ingin mengatakannya yang akan menimbulkan persepsi lain bagi yang mendengarnya.Abyas terkekeh kecil, berasa ngomong sama tembok karena yang di ajak berbicara hanya diam saja."Astaghfirullah! Kenapa gue punya saudara kembar kayak lo sih?! Gue berasa ngomong sama tembok tau gak," kata Abyas mengeluh.Abyan mendengus. Tak memperdulikan perkataan Abyas, dirinya langsung membelokkan mobilnya menuju ke gerbang pondok pesantren."Byan," panggil Abyas. Langsung membuat tangan Abyan yang hendak membuka pintu mobil jadi berhenti. Abyan mengangkat alisnya, menatap kembarannya.Abyas meringis, mengusap tengkuknya. Bibirnya mengembung seperti berpikir. Sampai detik kemudian Abyan yang tidak sabaran langsung berniat ingin meninggalkan Abyas.Membuat Abyas langsung menahannya. "Ehhh tunggu," teriak Abyas.Abyan me
Abyan memfokuskan pandangan pada jalan yang mulus di depan, tangan kanannya tergenggam erat pada setir mobil.Sementara itu, Abyas terus berbincang riang dengan Ayra di kursi belakang. Suara tawa mereka sesekali mengisi keheningan di dalam mobil.Ayra mencoba memecahkan kebekuan. Dia bertanya tentang musik yang diputar atau pemandangan yang dilewati, namun Abyan hanya memberikan jawaban singkat tanpa memalingkan wajahnya.Raut wajah Abyan yang kaku dan tatapan matanya yang fokus tidak berubah, seolah-olah dia berada di dunia sendiri.Ayra yang mulai merasa tidak nyaman dengan keheningan itu, mencebikkan bibirnya dalam kekesalan dan kembali menoleh ke jendela, menatap keluar dengan rasa frustrasi yang tercampur penasaran tentang pria misterius yang duduk di kursi pengemudi itu.Abyan, meski merasakan kehadiran Ayra dan Abyas, dia lebih memilih untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri, membiarkan shalawat mengalun lembut sebagai satu-satunya suara yang memenuhi ruang antara dia dan penu
Ayra terus berjalan mengikuti Abyan. Dirinya semakin tak suka saat melihat Abyan kadang tersenyum tipis bersama dengan perempuan itu."Nyebelin banget sih, pake senyum segala lagi. Kalau lihat gue aja tadi datar banget tuh muka, giliran lihat perempuan kayak begitu, hish!! nyebelin banget sih!" Gumam Ayra terus ngedumel. Kesal? Pastilah. Kenapa Abyan tidak seperti Abyas yang ramah sekali. Tapi Ayra malah tertarik pada sosok Abyan."Ini sudah semuanya, Gus. Yang kena razia sekitar dua puluh santri, dengan kasus yang berbeda-beda. Saya sudah mencatatnya tadi Gus," kata Nayla dengan lembut, memberikan sebuah buku catatan.Abyan mengambilnya, "Terimakasih kamu sudah membantu saya hari ini," Nayla tersenyum malu-malu. Entah kenapa jantungnya berdebar sangat kencang berdekatan dengan Abyan. Siapa yang tidak tertarik dengan calon pemimpin pondok pesantren itu, bahkan semua santri putri di sini sangat mengagumi seorang Abyan. Pria tampan dengan segala kesempurnaannya.Jarang ada yang beruntu
"Apa?!! Kamu lihat Ayra pergi, tapi kamu nggak cegah dia?" Wirda memekik saat baru saja mendengar jawaban dari Raja, pacarnya itu saat dia tanya dimana keberadaan Ayra dari telpon."Ya-ya sorry babe. Aku mau ngejar, tapi Ayra larinya kenceng banget tau. Ketinggalan dong akunya," bela Raja untuk dirinya sendiri.Wirda mengusap wajahnya kasar. Kalau sudah seperti ini dirinya jadi bingung kan? Ayra itu nggak pernah pergi jauh sebelumnya, kedua orangtuanya sangat overprotektif pada gadis itu."Hish, kamu mah. Tau sendiri kayak mana orang tua Ayra. Itu Ayra juga nggak pernah pergi jauh-jauh. Kalau udah kayak begini kayak mana coba? Dia pastinya tersesat, kalau dia nggak tersesat dia udah pulang dari semalam ke Jogja," bingung Wirda khawatir."Aku mana tau babe. Dia juga kan bawa uang pastinya, nggak mungkin dia nyasar dan nggak balik.""Buktinya dia di hubungi nggak bisa, nomornya sama sekali nggak aktif. Ya ampun Raja, kenapa kamu oon banget. Mestinya kan kamu susul Ayra. Ayra itu nggak p
[Spill dikit yaaa.... dicerita ini lebih fokus ke si kembar, tapi nanti akan ada scene Nabila]16 tahun kemudianLangit yang mendung menutupi pemandangan bintang, memberikan gelap yang pekat di atas kota.Jalanan terlihat basah, dengan genangan air yang mencerminkan cahaya lampu jalanan yang redup.Setiap tetes hujan yang jatuh menambah ritme yang monoton, terdengar seperti irama alam yang berulang. Pepohonan di sisi jalan bergoyang tertiup angin, daun-daunnya yang basah berkilauan tatkala disinari cahaya lampu.Sementara itu, para pengendara yang berani melintas tampak berhati-hati, cahaya lampu kendaraan mereka membelah hujan yang terus turun tanpa henti, memperjuangkan visibilitas di malam yang gelap dan basah.Malam itu, suasana tampak seram dengan hembusan angin yang sangat kencang.Seorang gadis cantik menangis di sebuah halte bus yang sudah sepi.Dia Ayra Queenby. Gadis berambut panjang dengan mata bulat yang indah itu menelungkupkan kepalanya sambil terus terisak. Tak peduli s