Share

Chapter 7

Aku berlatih bersama Velian menggunakan senjata yang ada di tempat penyimpanan senjata milik paman Thomas. Ia benar-benar terlihat serius untuk menjalankan misi dan masuk ke dalam istana. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi aku bisa merasakan sedikit ambisinya.

“Berhenti!”

Aku dan Velian menoleh dan menghentikan serangan kami.  Sarah menatapku lekat dengan wajah tidak suka.

“Aku ingin melawan mu.”

Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang lugas.

“Tapi Sarah-"

“Velian aku butuh teman berlatih juga.” Sarah melirik ke arahku. “Aku penasaran dengan kemampuannya.”

Velian menghela napas dan pada akhirnya ia bilang, “baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan membantu paman Thomas.”

Sarah mengangguk, sementara Velian sudah menatapku. “Kau berlatih dulu dengan Sarah.”

Ya,” sahutku seadanya.

Aku dan Sarah saling menatap lekat, tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia begitu sengit menatapku. Ia berjalan mengambil dua pedang kecil dan memainkannya dengan lihai.

“Kau ingin berlatih dengan pedang kecil itu?” tanyaku heran. “Aku akan mengambil topeng pengaman untukmu.”

Aku meraih dua topeng tembaga untuk melindungi wajah kami ketika berlatih. Aku sengaja menawarkan topeng karena aku tahu ada sesuatu dengan latihannya.

Aku memberikan topeng itu padanya dan ia langsung memakainya. Aku meraih dua pedang kecil yang sama dengannya.

“Kita mulai!” ucapnya.

Kami mulai saling serang dan pergerakan tangannya begitu cepat. Ia mendesakku dengan serangan bertubi-tubi dan aku hanya bisa menangkisnya. Suara desingan pedang terasa memekakkan telinga dengan sengit. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, dia begitu kesal denganku dan seperti membenciku.

Aku menahan serangannya dengan kedua tanganku, namun tangan satunya memukul wajahku dan menggores topengku dengan pedangnya. Dalam waktu sedetik, ia menjepit leherku dengan lengannya. Aku langsung melompat dan menendang dahinya yang masih terlindungi topeng hingga ia mundur beberapa langkah.

Kini gantian aku yang menyerangnya. Namun beberapa saat kemudian, ia bergerak memutar sambil menahan tanganku dan menohok ulu hatiku dengan sikunya, lalu menendang kakiku agar terjungkal kebelakang.

Tubuhku terpelanting dengan keras dan kepalaku terbentur lantai. Punggungku juga terasa nyeri karena langsung bertabrakan dengan lantai yang keras. Aku membuka topengku sambil terbatuk-batuk.

“Sebenarnya apa masalahmu denganku?” tanyaku sambil memegangi ulu hatiku yang terasa nyeri.

Sarah membuka topengnya dan berdiri angkuh di hadapanku. “Anggap saja itu peringatan karena sudah mendekati Velian.”

“Maksudmu?”

“Aku tidak suka kau berdekatan dengannya,” jawabnya sinis. “Kau pikir kau siapa? Kau orang tak dikenal yang tiba-tiba muncul di sisi Velian?” Ia menempelkan ujung pedang di daguku. “Aku memberimu kesempatan untuk pergi menjauhi Velian sebelum aku bertindak lebih.”

Aku mendengus tertawa, namun ulu hatiku terasa nyeri. “Jadi...kau cemburu?”

Alisnya terangkat dengan ekspresi dingin. “Asal kau tahu, Velian adalah milikku. Takan kubiarkan kau mendekatinya lebih dari ini.”

Aku menarik napas panjang sambil tertawa dalam hati. Ini...lucu sekali. “Yah, tanpa kau bilang pun aku sudah tahu kau begitu menyukainya, tapi...bagaimana perasaan Velian denganmu? Kau tidak bisa memaksakan perasaan orang lain terhadapmu jika dia tidak mau.”

Aku menyingkirkan ujung pedangnya dari daguku sambil mendorongnya, kemudian berusaha berdiri sambil menggenggam dua pedang kecilku.

Aku bisa mendengar dengus napasnya yang kesal dan Sarah bersiap untuk menyerangku lagi. Suara desingan kembali memekakkan telingaku. Pergerakan tangannya semakin cepat, aku bahkan bisa merasakan hasratnya yang ingin membunuhku.

Lagi-lagi ia bergerak memutar sambil memukul pergelangan kedua tanganku hingga semua pedangku terlepas. Tak tinggal diam, aku langsung melompat untuk menjaga jarak. Ia terus berusaha menyerang meskipun aku tak memegang senjata satu pun.

Kebetulan, sebuah barisan tombak terpajang tak jauh dariku. Aku langsung berlari kearahnya sambil menghindari serangan Sarah. Kucabut tombak itu dan Sarah langsung melempar pedangnya ke sembarang arah. Ia berlari untuk mengambil tombak di belakangnya.

Kami mulai saling mendekat sambil memainkan tombak di tangan masing-masing. Aku terus mengamati pergerakannya sambil menebak serangannya. Ini bukan lagi sebuah latihan, melainkan pertarungan melawan gadis yang sedang cemburu.

Suara letukkan kayu tombak mengiringi pergerakan kami yang masih beradu sengit. Kuakui dia memang cepat dan lincah, bahkan ia hampir mengalahkanku untuk kedua kalinya, namun untuk kali ini aku tidak ingin kalah darinya.

Napas kami mulai tersengal-sengal dengan tubuh yang sudah banjir keringat. Rasa nyeri di kepalaku juga cukup menggangu pertarunganku saat ini. Ia semakin keras mendesakku, hingga aku harus melompat ketika ia berusaha menyerang kakiku lagi dengan tombaknya.

Ketika aku terduduk di lantai, ia berusaha menyerang kepalaku. Aku menahannya sekuat tenaga dengan gagang tombak dalam posisi melintang, kemudian mendorongnya keras. Semakin lama, aku merasa gemas dan ingin segera mengakhirinya. Aku menyerangnya seketika, dan ia menahan seranganku dengan tombaknya.

Ini adalah kesempatanku, aku menarik tombaknya hingga terlepas dari tangannya kemudian aku melemparnya ke sembarang arah. Tak berhenti di situ, kini giliran aku yang menyerangnya ketika ia tidak memegang senjata sama sekali.

Aku menyerangnya sekali lagi dan ia menahan tombakku dengan tangan kosong. Aku langsung bergerak memutar dan mengangkatnya dengan bahuku, kemudian membantingnya ke lantai.

Sarah mengerang kesakitan dengan bunyi bergerutuk di punggungnya. Aku menghentikan pergerakanku ketika tombakku terhunus di depan wajahnya agar tidak terluka.

“Aku sama sekali tidak tertarik dengan hubunganmu dan Velian. Tapi satu hal yang perlu kau tahu.” Aku menatapnya dengan serius. “Waktu itu Velian menolongku, dan tanpa persetujuanku ia merekrutku secara sepihak. Aku juga awalnya tidak mau bergabung, tapi ia mengancam akan membunuhku jika aku melarikan diri.”

“Oh begitu?” Sarah tersenyum miring dengan tatapan sinis. “Akan lebih baik jika aku membuat Velian membunuhmu.”

Ia mencengkeram tombakku kemudian menggores lehernya sendiri dengan ujung tombak yang masih kugenggam.

“Hei!” teriakku spontan, kemudian mengamati lukanya. “Apa yang kau lakukan?”

Aku tidak tahu apa dia sekarat atau pura-pura sekarat, tapi darah yang mengalir di lehernya membuatku panik.

Tubuhku mematung ketika Velian dan paman Thomas datang. Mereka menatap kami nanar namun sedetik kemudian, mereka menatap Sarah yang masih terkapar di lantai dengan cemas.

“A-ayah, dia...ingin membunuhku,” ucap Sarah parau.

Aku langsung menjatuhkan tombak yang tanpa kusadari masih menggenggamnya.

“Aku tidak melakukannya. Sungguh!” sahutku membela dengan syok.

Tanpa pikir panjang Velian langsung menggendongnya, sementara paman Thomas langsung memanggil tabib untuk mengobati Sarah. Aku masih terdiam dengan pikiran kosong sambil meyakinkan diri bahwa aku benar-benar tidak bersalah.

Aku langsung berlari menyusul ke kamar Sarah setelah pikiranku mulai tertata. Kulihat mereka semua sedang sibuk untuk mengobati Sarah.

“Biar kubantu menumbuk tanamannya,” ujarku sambil mengambil langkah sigap, namun tanganku di tepis oleh Velian.

“Sebaiknya kau keluar,” ucapnya dingin.

“Tapi-"

“Keluar!”

Aku kembali mematung sejenak dengan bingung, namun sedetik kemudian, aku menarik napas panjang. “Baiklah.”

Aku langsung keluar dari kamar Sarah dan berjalan menuju pintu untuk ke luar rumah. Sudah tidak heran melihat Velian yang terlihat cemas seperti itu, namun bentakannya membuatku dilanda rasa bersalah.

Aku terduduk di bawah pohon rindang sambil memegangi ulu hatiku yang kulihat sudah memar dari luar. Bukan hanya itu, kepalaku juga terasa pusing akibat benturan dan punggungku masih terasa nyeri.

Sejenak aku berpikir untuk kembali ke goa karena mencemaskan Aleea dan Zealda. Kami sudah meninggalkan mereka seharian dan sekarang hari sudah hampir malam.

Perlukah aku minta ijin pada Velian untuk kembali terlebih dahulu? Lagi pula...sepertinya dia sedang sibuk mengobati Sarah.

Aku hendak berdiri, namun Velian sudah datang dan kini duduk di sampingku.

“Mau kemana kau?”

“Aku...hanya ingin pulang ke goa. Aku khawatir dengan Aleea dan Zealda. Jika kau masih ingin tinggal, aku akan pulang duluan.”

“Lalu bagaimana dengan kejadian hari ini? Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?”

Aku menarik napas panjang. “Aku...tidak melakukan apapun untuk melukainya. Aku memang menghunuskan tombak itu padanya, tapi-"

“Dia menggores lehernya sendiri dengan ujung tombak yang kau hunuskan. Begitu maksudmu?”

Aku terdiam sejenak kemudian berkata, “Jika aku mengatakan ‘ya’ apa kau akan percaya?”

Velian terdiam sebelum menjawab, “Aku tidak menyalahkanmu.”

Aku hanya memiringkan kepala atas jawabannya. Jadi sebenarnya dia percaya padaku atau tidak?

Aku menghela dengan sedikit murung. “Baiklah, terserah padamu saja.”

“Valen.”

Aku menatapnya ketika memanggilku. Dari ekspresinya ia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. “Ya?”

“Kau baik-baik saja?”

Keningku berkerut ketika melihat tatapannya yang seperti menyadari sesuatu.

“Aku...hanya sedikit pusing,” jawabku jujur. Kepalaku masih terasa nyeri akibat benturan. “Tapi tidak apa-apa. Mungkin akan membaik setelah istirahat dan tidur nanti.”

Dalam sekejap ekspresi Velian sudah berubah sedikit lega. “Kalau begitu istirahatlah! Aku akan membangunkanmu jika kita akan kembali.”

Velian mengusap-usap kepalaku layaknya anak kecil, namun ia terdiam seketika. Ia mengamati jemarinya yang telah menyentuh kepalaku.

“Darah.” Velian menatapku yang masih terdiam dengan ucapannya.

Aku menyentuh kepalaku yang nyeri dan rambutku terasa lengket. Kuakui benturannya tadi sangat keras, tapi aku tak menyangka bahwa akan berdarah.

“Valen, kau baik saja-saja?” Kini Velian terlihat cemas, namun ekspresi itu ditujukan padaku.

Aku tidak menjawab, tapi kuakui setelah menyadari kepalaku berdarah sakitnya begitu terasa. “Aku...tidak apa-apa,” jawabku berdusta. “Aku...harus kembali untuk memastikan kondisi Aleea dan Zealda.”

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, yang jelas aku tidak ingin melihatnya cemas sekaligus panik.

“Valen!”

Aku memacu kudaku tanpa mempedulikan panggilannya. Di tengah perjalanan, aku menggenggam tali kekang dengan erat sambil berharap bahwa kesadaranku takan pudar. Telingaku mulai berdengung dan suara kaki kudaku terasa samar.

Aku menarik tali kekang agar kudaku berhenti, lalu menuruninya dan terduduk di bawah pohon rindang yang sepi. Rahangku mengencang untuk menahan sakit di kepala dan bersandar dengan pasrah.

“Apa yang kulakukan? Kenapa aku lari?” racauku dalam hati.

“Valen!”

Aku mendongak keatas, kulihat Velian sudah di sampingku dan seperti mengatakan sesuatu. Telingaku masih berdengung dan aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan. Tapi yang aku tahu dari gerak bibirnya, ia menyebut namaku berkali-kali.

“Velian?”

Dalam sekejap ia sudah terlihat kesal dan menggendongku tanpa persetujuanku terlebih dahulu, tapi aku juga tidak bisa memberontak darinya di saat seperti ini. Ditambah, kesadaranku mulai menipis perlahan dan aku hanya terkulai di bahunya.

“Jangan khawatirkan aku lebih dari ini,” ucapku melemah sebelum aku memejamkan mata.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status