Pening bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaran ku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku terbaring di atas tumpukan jerami dan melihat perapian sudah menyala.
Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?
“Kau sudah sadar rupanya.”
Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.
“Tunggu sebentar,” ujarnya lagi kemudian keluar.
Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.
“Valen, bagaimana kondisimu?” Zealda yang pertama kali bertanya.
“Yah, aku mulai membaik.”
“Bagaimana kau bisa mendapat luka seperti itu? Kau berkelahi dengan Velian?” Kini Aleea yang bertanya.
Aku diam sejenak, menatap Velian yang juga menatapku.
“Menurutmu?” Kini tatapanku kembali pada Aleea.
“Jika kau seperti ini karena kau berkelahi dengan Velian, aku akan benar-benar menghajarnya.” Aleea menatap Velian sedikit sinis. “Ini sudah keterlaluan.”
“Aku dan Velian sama sekali tidak berkelahi,” timpal ku. “Aku berkelahi dengan seseorang dan Velian menyelamatkanku.”
“Dengan siapa?” Zealda sudah menatapku dengan maksud menyelidik.
“Sarah,” jawab Velian gamblang.
“Sarah?” Aleea memiringkan kepala dengan heran. “Maksudmu—Sarah putri paman Thomas itu?”
Velian mengangguk tanpa menjawab, dan sedetik kemudian ia kembali menatapku. “Aku senang kau sadar. Dan untung saja kau tidak gegar otak, tengkorak mu cukup keras ternyata.”
Zealda melempark belati ke arah papan kayu hingga berbunyi nyaring. “Ternyata gadis itu ingin bermain-main denganku,” ujarnya sambil mengepalkan tangan sambil tersenyum miring. “Berani sekali dia menyentuh anggota kami.”
Aku mengerutkan kening seketika melihat tingkahnya. “Ze-Zealda kau—“
“Sebenarnya aku tidak menyukai gadis itu,” gumamnya menyela. “Dan alasan mengapa aku selalu menolaknya bergabung dengan kita karena wajahnya terlalu banyak intrik.”
“Maksudmu—wajah yang terlalu banyak intrik itu yang seperti apa?” Aleea menatap Zealda dengan wajah ngeri. “Kau terlihat seperti tukang sihir.”
Zealda menyeringai lebar ke arah Aleea. “Kau sedang mengejekku bocah?” Zealda merangkulnya sambil menyeretnya keluar dengan paksa. “Sini kuberi kau pelajaran.”
Aku tersenyum karena melihat sedikit candaan di antara mereka.
“Zealda itu—“ Velian terduduk di sampingku sambil bercerita. “Seperti memiliki kemampuan istimewa. Dia bisa melihat karakter seseorang hanya dengan melihat wajahnya saja, jarang sekali ada orang yang seperti itu.” Ia melepas perban di kepalaku perlahan sementara aku masih mendengarkannya. “Meskipun aku yang memimpin kelompok ini, tapi untuk masalah perekrutan anggota ku serahkan pada keputusannya. Dari dulu Sarah ingin bergabung dengan kami, tapi Zealda menolaknya dengan alasan terlalu banyak tipu muslihat katanya.”
“Jadi—kau menerimaku sebagai anggota juga karena persetujuan Zealda?” Aku memekik kesakitan ketika Velian mengoleskan cairan kental di kepalaku.
“Ya,” jawabnya. “Jujur saja, pada saat aku menolongmu waktu itu, aku hanya berniat menolongmu saja. Tapi begitu melihatmu, Zealda langsung memintaku untuk merekrut mu. Jika kau tidak mau bergabung, maka aku yang harus mengancam mu. Begitupun dengan Aleea yang juga langsung setuju, aku tidak menyangka kalau dia juga turut mengancam mu.”
“Jadi—yang waktu itu—“
“Ya,” potongnya. “Aku menyerang mu dengan berbagai ancaman karena agar kau bergabung dengan kami. Aku juga sengaja membuat lukamu parah agar kau tidak bisa pergi dari sini sampai kau benar-benar mau bergabung dengan kami.”
Aku mendengus tertawa dengan rasa tak percaya. “Kau tahu? Apa yang kalian lakukan waktu itu sangat kejam. Aku bahkan hampir memilih mati di tangan kalian. Pantas saja waktu itu kau membuat lukaku parah tapi kau juga mengobati lukaku.”
Velian mulai memasang perban baru di kepalaku dengan melilitkannya. “Kau sudah paham kan sekarang?”
“Ya,” sahutku. “Lalu—bagaimana dengan Aleea? Bisakah kau menceritakan sedikit tentangnya?”
“Hmm—“ Velian tampak berpikir sejenak. “Aleea itu—sebenarnya pintar. Dia pandai sekali dalam membuat taktik penyerangan. Hanya saja—ia berhati lembut dan tidak tega an. Di antara kami bertiga, dia lah satu-satunya orang yang paling bersih dalam menjalankan misi. Bersih dalam arti—tangannya tak ternoda darah sedikitpun. Di bandingkan membunuh ia lebih suka membius lawan dan untuk masalah membunuh, biasanya ia serahkan padaku atau Zealda.”
Aku mengerutkan kening sejenak. “Apa—itu berlaku ketika waktu itu kita di serang saat di rumahku?”
“Ya, saat kita di serang waktu itu, dia hanya melemparkan bom asap dan membius mereka dan sisanya adalah aku yang menghabisinya.”
“Tapi—aku pernah melihatnya sesekali membunuh orang dengan melemparkan belati ke leher lawan.”
“Benarkah?” Velian mengerutkan kening. “Kalau begitu dia orang pertama yang Aleea bunuh. Itupun hanya dengan lemparan belati saja.”
Aku termanggut-manggut mendengarnya. “Pantas saja Zealda selalu mengejeknya.”
Velian tertawa kecil. “Yah, kau sudah tahu itu.”
“Lalu—“ Aku menatapnya dan sejenak ingat ucapan paman Thomas waktu itu. “Bagaimana denganmu?”
Velian mengerutkan keningnya meski begitu tipis. “Apa yang ingin kau ketahui tentang ku?”
“Banyak,” jawabku.
“Kau akan mengetahuinya nanti,” ujarnya lagi.
Aku hanya terdiam. Sebenarnya aku sudah tahu sedikit tentangnya, meskipun ada bagian yang masih menyimpan misteri ketika paman Thomas menceritakannya. Mungkin—ia memang tidak ingin bercerita. Aku tidak ingin membuatnya kesal dengan menanyakan masa lalunya, karena itu—sebaiknya aku diam.
“Baiklah aku akan menunggunya,” ucapku kemudian.
* * *
Setelah beberapa hari, kondisiku semakin membaik. Kulihat Aleea dan Zealda sudah bisa berlatih dengan lancar. Hari ini adalah hari pertamaku untuk menjalankan misi. Kami sudah mempersiapkannya dengan matang untuk menyusup ke dalam istana. Pada dasarnya, ritual dua puluh tahun yang lalu banyak menyimpan misteri dan kami akan menyelidikinya.
Dalam hal strategi, kuakui Aleea memang hebat. Ternyata ucapan Velian waktu itu tidak berbohong. Aku mendengarkan rencana yang dipaparkan oleh Aleea dengan saksama dan itu merupakan ide yang sangat cemerlang. Aku benar-benar dibuat takjub.
Aku melihat peta istana dengan menghafal tanda-tanda silang di berbagai titik. Aku tidak tahu bagaimana Aleea bisa mendapatkan peta itu, dan—kepandaiannya dalam mengawasi dan mencari informasi patut untuk dipuji.
Malam ini ada acara pesta dansa di istana, dan rencananya adalah aku aka berpura-pura untuk menjadi tamu undangan untuk mengawasi yang mulia raja. Sementara Aleea akan berpura-pura menjadi pelayan sambil membawa obat bius. Velian dan Zealda akan menyusup kedalam dengan tugas masing-masing.
Sore ini, aku berada di ruang rias di tempat penyewaan gaun, di temani Velian. Aku menatap diriku di cermin yang sudah terlihat cantik, bahkan aku sendiri tidak percaya bahwa bayangan di cermin itu adalah aku.
Aku menggelung rambut dengan gelungan sederhana dan dihiasi jepit mawar yang warnanya senada dengan gaunku. Dulu aku pernah diajari ibu cara menggelung rambut meskipun pada akhirnya ayah memangkas habis rambutku. Dan untung saja, cara itu masih melekat dalam kepalaku, meskipun hanya gelungan sederhana.
“Baiklah, ini adalah misi. Aku tak boleh lengah,” gumamku pada diri sendiri.
Velian menatapku yang sudah memakai gaun cantik. Tapi jujur, gaun ini membuatku risih meskipun terlihat elegan. Tapi—untung saja aku sudah berlatih memakai sepatu dengan tumit yang tinggi jauh-jauh hari, jadi tidak terlalu kaku ketika berjalan.
“Kau seperti tidak nyaman dengan gaunnya,” ucap Velian menangkap keresahan ku.
“Yah, aku merasa kurang nyaman. Gaunnya terlalu panjang sampai ke lantai dan—ini membuatku agak sulit untuk berjalan.”
“Bibi, apa kau yang mengelung rambutnya?” ucap Velian pada bibi perias yang sedari tadi mengecek gaun-gaun di tempatnya.
“Aku hanya merias wajahnya, tuan. Dia melarangku merias rambutnya,” sahutnya sambil menatapku. “Sepertinya gelungan itu cocok untuk wajahnya.”
Velian langsung menarik jepit rambutku hingga gelungannya terurai. “Bi, bisakah kau merias rambutnya? Tapi biarkan tetap terurai.”
Aku mengerutkan kening dengan heran. “Apa gelungan ku terlihat jelek?”
“Jangan pernah memperlihatkan belakang lehermu pada orang lain.”
Aku berpikir sejenak atas jawabannya, menatapnya dengan menyelidik seolah-olah ada sesuatu di belakang leherku yang sepertinya—ia tutupi.
“Memangnya kenapa? Apa ada sesuatu?” tanyaku penasaran. “Kau selalu melarangku untuk mengikat rambut atau menggelungnya. Memangnya ada apa dengan leherku?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja—“ Velian terdiam namun ia tampak berpikir dengan wajah dinginnya. “Itu sangat menggoda.”
Aku terdiam sambil memiringkan kepala dengan heran. Apa benar begitu?
“Aku selalu melarangmu karena kau seorang gadis yang tinggal bersama sekumpulan pria.” Velian berbalik memunggungi ku sambil berjalan kearah jendela. “Kau harus bisa menjaga dirimu.”
Aku masih termangu dengan ucapannya. Apa benar hanya begitu?
“Baiklah,” sahut ku. “Terimakasih sudah mengingatkan ku.”
Aku kembali masuk ke ruang rias, masih dengan penasaran. Seorang wanita paruh baya yang akan menata rambutku pun masuk.
“Ah sayang sekali. Padahal tadi gelungan mu sangat bagus,” ucapnya sambil menyisir rambutku.
“Oh ya bibi,” aku menatap wajah bibi perias itu di cermin. “Bisakah kau cek leher belakang ku? Apa ada sesuatu di sana?”
Aku menyingkap rambutku sejenak, sementara wanita itu meraba leherku sambil menatapnya.
“Ada sedikit corak kecil di sana dan—“ Ia mendekatkan wajahnya keleherku. “Seperti—angka empat jika diperhatikan sekilas tapi—dengan sedikit ukiran yang rumit.”
“Jadi benar ada sesuatu di sana?” tanyaku memastikannya lagi.
“Ya,” jawabnya. “Apa—ada masalah dengan itu?”
Aku menggeleng cepat sambil tersenyum. “Aku hanya—“ Aku mecoba berpikir untuk mencari alasan yang tepat. “Aku hanya khawatir tatonya pudar. Waktu itu aku mentato leherku dan aku tak menyangka kalau tatonya akan bertahan lama.”
“Benarkah? Kau terlihat seperti baru menyadari ada tato di lehermu.”
Mataku melebar dan lidahku kelu seketika. “A-apa aku—terlihat seperti itu?”
Wanita itu mengangguk sambil mengepang rambutku di bagian kiri.
“Aku hanya—memastikannya saja.” Aku tersenyum meringis. “Sungguh.”
Tanganku mengepal untuk menahan kesal. Aku tidak menyangka bahwa Velian—membohongiku.
Malam pun tiba dengan begitu cerah. Langit dipenuhi taburan bintang meskipun tanpa bulan di atas sana. Aku, Velian dan Zealda sudah duduk di dalam kereta kuda menuju istana, sementara Aleea sudah berada di sana lebih awal. Aku mulai terhanyut oleh pikiranku sambil membuka tirai jendela untuk melihat pemandangan di luar sana.
Aku sama sekali tidak ingin menatap Velian meskipun sekarang duduk di hadapanku. Sampai saat ini aku masih kesal padanya. Sebenarnya apa yang dia sembunyikan dariku? Apa yang dia ketahui tentang tanda lahir di belakang leherku? Dia sama sekali tak memberiku jawaban apapun.
“Valen.” Zealda mulai bersuara. “Kau terlihat tertekan. Kau sudah siap untuk menjalankan misi?”
“Aku siap. Hanya saja—.”Aku menarik napas panjang. “Aku masih teringat dengan apa yang Velian katakan.”
Velian menatapku bingung, sementara Zealda sudah melirik ke arah Velian.
“Memangnya—dia mengatakan apa?”
“Kalau aku harus bisa menjaga diri dari kalian.”
“Jadi maksudmu Velian mengatakan kalau kami sekumpulan pria mesum?!”
Zealda langsung menjepit kepala Velian dengan ketiak dan lengannya, sementara Velian memberontak.
“Bu-bukan begitu. Aku tidak mengatakan seperti itu,” sergah Velian sambil melepaskan diri.
Aku hanya terdiam tanpa bermaksud membelanya, masih tidak mengerti kenapa ia harus berbohong padaku seakan-akan menyembunyikan sesuatu.
“Kau tidak perlu khawatir Valen,” ujar Zealda setelah memberi pelajaran Velian sambil meringis. “Kami tidak akan melakukan hal buruk padamu.”
Aku menarik napas panjang, namun rasa kesal ini tak berkurang sedikitpun dan aku justru mulai dilanda penasaran.
“Setelah misi selesai apa yang akan kalian lakukan?” tanya ku mengalihkan rasa sebalku.
“Mencari orang-orang yang terlibat tentunya,” jawab Velian. “Aku hanya tidak ingin pihak kerajaan melakukan pembantaian pada rakyat di keluarga tertentu tanpa alasan. Jika memang itu ada sangkut pautnya dengan ritual itu, kita akan cari jalan keluarnya.”
_______To be Continued_______
Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”Aku menoleh ke arah pria
Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam
Aku membuka mata ketika fajar menyingsing, tidak ada seorangpun di sisiku seperti biasa. Sudah dua malam Velian menumpang tidur denganku meskipun awalnya aku mengira aku sedang bermimpi, tapi ternyata semua benar dan nyata.Aku tidak tahu mau sampai kapan Sarah akan tinggal di sini, ini sudah hari ketiga dan hidupku tidak tenang. Aku sudah menahan diri selama dua hari untuk tidak membuat masalah dengannya. Tapi jika dia terus saja berulah terhadapku, mungkin kesabaran ku akan menipis.Aku terduduk dan mengedarkan pandangan dengan malas. Semua masih terlelap kecuali—Velian yang sudah beranjak entah kemana. Itu tak membuatku merasa heran karena biasanya mereka bangun ketika matahari mulai tinggi, tapi di musim salju seperti ini—memang membuat raga enggan beranjak dari selimut hangat.Kulitku langsung meremang akibat dingin dan aku segera memakai jaket tebal ku saat keluar goa. Pagi ini aku berencana memburu ikan di sungai sekalian membasuh tubuhku mesk
Aku duduk sambil mengoleskan obat untuk kulit terbakar yang terasa pedih. Aku meringis kesakitan sambil menggigit kain, menahan perih yang membuat tubuhku sedikit bergetar.Aku melarang mereka masuk sampai proses pengobatan ku selesai, karena aku tak memakai pakaian. Jika aku tidak berlari ke hamparan salju, mungkin aku akan sekarat dan mati. Tak lupa juga, aku membalut luka di bahu dan pinggang dan beberapa luka sayatan akibat pertarungan ku tadi.Meskipun sakit, tapi aku bersyukur karena luka bakarnya tidak terlalu fatal. Jaket tebal ku terbakar meskipun tak sepenuhnya hangus. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menggunakan pakaian tebal, mungkin kulitku akan terbakar api secara langsung. Luka terparah di bagian paha hingga kaki, karena posisiku di perapian waktu itu berlutut dan sedikit tersungkur dengan tangan yang juga ikut terbakar.Aku mengambil kain besar dengan susah payah, kemudian melilitkannya untuk menutupi tubuhku layaknya jubah yang tak mem
Sunyi, itulah hal yang kurasakan ketika membuka mata. Hanya bara api yang mengeluarkan suara-suara kayu yang terbakar dan meninggalkan abu hangat di sekitarnya. Aku terduduk dengan susah payah sambil memegangi pinggangku, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar dengan bingung. Kemana mereka semua?Aku terdiam sejenak setelah menyadari luka di kulitku sudah mulai mengering, namun sudah diolesi obat baru dan juga—kain di tubuhku sudah di ganti dengan yang baru. Pikiranku langsung tertuju pada Velian dan sejenak aku teringat kejadian semalam.“Sepertinya semalam aku mimpi aneh yang menggelikan,” pikirku. “Mana mungkin Velian begitu.” Aku menggelengkan kepala cepat, berharap pikiran terkutuk itu menyingkir. “Itu pasti cuma mimpi.”Aku mencium kain yang ku kenakan dan sepertinya—kain ini miliknya. Aroma mint berbaur dengan udara lembab yang berarti—kain ini lama tidak dipakai.Aku tak sengaja melihat sepo
Aku terduduk melamun di tepi sungai. Mencerna kenyataan yang begitu mengejutkan hingga napas ku terasa sesak. Kini aku tahu bahwa Velian adalah putra ke empat yang selama ini membuatku penasaran tanpa sempat kucari. Dia menyembunyikan identitasnya dengan baik selama ini sampai-sampai Zealda dan Aleea tidak menyadari betapa penting keberadaannya.Bahkan paman Thomas sendiri yang telah merawatnya sejak kecil tidak tahu menahu soal ini, yang berarti—aku adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui dirinya yang sejati.Tapi—bagaimana caraku untuk menyembunyikannya? Meskipun dia memintaku untuk bersikap biasa dan pura pura tak tahu, namun hati, pikiran bahkan ragaku tidak bisa berbohong bahwa dia seorang pangeran, dan itu membuatku canggung secara refleks.Mengingat ia yang menyentuhku untuk merawat lukaku telah membuat pipiku bersemu memalukan dalam sekejap, ditambah aku mengingat mimpi aneh yang terasa begitu nyata itu. Sialan, aku tak bisa men
Aku masih terkejut dengan perubahan kulitku yang sudah sembuh total, bahkan pergelangan tanganku sudah pulih tanpa menyisakan rasa sakit. Aku harus segera menyelidiki gadis itu secepatnya, dikhawatirkan ini akan membahayakan Velian dan yang lainnya.“Valen.”Aku langsung mencelupkan diri hingga seleher untuk menutupi tubuhku meskipun terasa dingin. “Zealda?”Zealda terhenti sejenak ketika melihatku. “Aku akan mengambilkan kain untukmu.”“Jangan!” sergahku. “Tolong ambilkan pakaianku.”“Pakaian?” Zealda terlihat heran namun sedetik kemudian mengangguk kaku. “Baiklah, tunggu sebentar.”Tak lama Zealda kembali dengan membawa satu setel pakaianku kemudian kembali ke goa setelah aku memintanya mendahuluiku. Aku segera mengenakan pakaianku dan kembali ke goa dengan tergesa-gesa, membayangkan gadis itu masih di sana.Dan—benar saja, gadis itu terduduk d
Tiga hari telah berlalu, latihan demi latihan kami jalani untuk mempersiapkan misi berikutnya. Kini tambah lagi satu orang di kelompok kami. Kulihat Liz sama sekali tidak berbahaya meskipun terkadang kami begitu waspada padanya. Tapi setelah dipikir-pikir Lavina juga tidak seburuk yang kupikirkan. Sikapnya memang sedikit urakan, tapi itu tak menganggu kami sedikit pun. Aleea membuka selembar perkamen besar yang berisi sebuah peta yang entah dari mana ia mendapatkannya. Itu bukan peta istana melainkan peta sebuah kediaman yang bisa dipastikan bangunanannya megah dan memiliki halam luas. Misi kali ini menculik salah satu petinggi istana yang di duga terlibat pada peristiwa sihir itu, Nyonya Jevera. Sesekali aku melirik gadis yang sedang terduduk dengan gaya angkuhnya di tengah latihan. Ia hanya menonton dan mengamati kami latihan sambil memakan buah yang ia dapat dari hasil mencuri dari kebun seseorang. Ya, saat ini dia bukan Liz, melainkan Lavina. Keningku berkerut ketika menatapnya.