Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
“Sudah kubilang berapa kali, kau harus belajar merangkai bunga. Ingat! Kau ini perempuan. Cobalah untuk bersikap manis.” Aku hanya garuk-garuk kepala ketika bibi Alya kembali mengoceh untuk kesekian kalinya. Aku menarik napas panjang sambil menatap sekeranjang bunga berwarna-warni yang tampak segar baru dipetik. “Tanganku sudah terbiasa memegang pedang, jadi tidak tahu cara merangkai bunga dengan bagus, bibi. Aku bahkan tidak tahu bunga apa saja yang ada di depanku kecuali..." Aku meraih setangkai bunga merah yang merekah sempurna. “Mawar.” “Kalau kau terus seperti itu, mana ada pria yang tertarik padamu.” Bibi Alya meraih seikat bunga berwarna ungu di keranjang. “Selain itu, kau jangan terlalu dekat dengan kudamu. Pria mana yang mau dengan gadis bau kuda?” Aku langsung mengendus aroma tubuhku yang tak terasa bau apapun. “Mana ada seperti itu. Lagi pula bau badanku baik-baik saja.” “Tetap saja, kau itu terlalu sembarangan. Kau harus rajin-raji
Kilapan pada ujung dagger terpantul di mataku, membuatku ingin meraihnya. Aku masih terdiam ketika Aleea mendekatkan dagger itu tepat di wajahku. Kutatap Aleea yang mengangguk dan tak lama, dagger pun berpindah tangan. Satu hal dalam pikiranku. Seumur hidupku, aku tidak pernah membayangkan jika harus menjadi bagian dari kelompok pembunuh berdarah dingin seperti ini. “Baiklah, aku akan bergabung.” Aleea tersenyum sambil menjabat tangan dan aku meraihnya sesaat. “Selamat bergabung, Valen. Aku mohon untuk kerja samanya.” Aku mengangguk namun sedetik kemudian, aku kembali termenung sambil menatap dagger di tanganku. Mulai detik ini aku menjadi pembunuh di balik layar, sangat mustahil untuk menjadi seorang ksatria. Malam semakin larut dan mataku terasa berat. Aku menata jerami untuk terbaring dan kulihat Aleea sudah terkulai di atas batu, sementara Velian dan Zealda belum juga kembali, tapi aku tidak peduli sama sekali. Aku mengeran
Velian menyerahkan pakaiannya padaku. Meskipun basah, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhku. Kini ia hanya memakai celana pendek dengan bertelanjang dada. Sepanjang perjalanan menuju goa, aku memalingkan wajahku sambil menahan tawa. Aku hanya bisa terbahak-bahak dalam hati atas keberhasilanku memberi pelajaran pada dua iblis ini. Pertama, aku berhasil melukai Zealda dan sekarang aku berhasil membuat Velian melucuti pakaiannya. “Hahah rasakan!” sorakku dalam hati. Tak butuh waktu lama, kami sampai di depan goa dan di sana sudah ada Aleea dan Zealda. Sesuai dugaanku, mereka berdua terbahak-bahak begitu melihat Velian. Aku membekap mulutku agar tidak ikut terbahak-bahak meskipun bahuku sedikit terguncang karena tawa. Aku benar-benar puas mendengar tawa mereka yang terkesan mempermalukan Velian. “Velian, kau benar-benar tidak tahu malu,” ujar Zealda dan kembali tertawa. “Kalian pikir ini lucu?!” teriaknya menggelegar.
Pikiranku terus berputar pada ucapan pria itu semalaman, sampai aku tidak bisa tidur. Aku mulai mencelupkan tubuh di air sungai. Meskipun segar, namun pikiranku masih saja kalut. Tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel. Yang benar saja? Aku sudah mengamati seluruh tubuhku tapi tidak kutemukan tanda lahir itu. Aku yakin sekali kalau tubuhku bersih dari yang namanya tanda lahir, bahkan aku sudah mengecek punggungku dan ternyata tidak ada. Apa mungkin di kepala dan tertutup rambut? Haruskah aku memotong rambut sampai botak untuk mengeceknya? Hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku harus menemukan petunjuk itu. Mungkin...aku perlu menggeledah kamar ayah. Seusai mandi, aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, sementara mereka bertiga sudah menyewa kuda untuk perjalanan kami. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu penasaran dengan keluargaku, apa mereka juga mengetahui sesuatu? “Berhentilah melamun!”
Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas. Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya. “Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.” “Valen.” Aku menoleh sejenak. “Hmm?” “Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.” “Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.” Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sud
“Ayah, aku pulang!” Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian. “Velian!” Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya. “Sarah?” Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?” “Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.” Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut. “Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal. “Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.” “Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas. “Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk. Aku mengamati perca