Share

Chapter 6

“Ayah, aku pulang!”

Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian.

“Velian!”

Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya.

“Sarah?”

Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?”

“Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.”

Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut.

“Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal.

“Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.”

“Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas.

“Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.”

“Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk.

Aku mengamati percakapan mereka dengan sedikit bosan. Entah kenapa aku merasa terasingi setelah kedatangan gadis itu. Sebenarnya...untuk apa aku di sini? Jika memang hanya untuk memesan senjata, apa harus mengajakku?

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Valen,” ujar paman Thomas.

Aku tersenyum sopan sambil mengangguk. “Tidak apa-apa, paman.”

“Ah, aku sudah memikirkan sebuah desain yang cocok untukmu,” ujarnya lagi. “Ikut aku.”

Aku menatap Velian sejenak, lalu mengikuti paman Thomas setelah Velian mengangguk untuk mengijinkan ku.

“Velian, kau mau menemaniku?” ucap Sarah di belakangku. “Sudah tiga bulan kita tidak bertemu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

“Di mana itu?”

Sarah tidak menjawab, namun ia menarik tangan Velian dan mengajaknya pergi. Aku hanya menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang.

Entah apa yang kurasakan, aku hanya...merasa kalau Sarah seperti tidak menyukaiku. Meskipun kami tidak berbicara, tapi lirikan matanya menyiratkan nya, terutama saat menatapku sinis dengan wajah yang sedikit manis.

Aku memasuki ruangan yang penuh dengan senjata, baik yang sudah jadi maupun yang masih dalam tahap pembuatan. Paman Thomas meraih sebuah perkamen dan membukanya di atas meja. Di sana sudah terdapat sketsa yang rumit dan rinci.

“Aku perlu mengukur tanganmu.”

Aku mengulurkan kedua tangan, sementara paman Thomas mulai mengukur dan mencatatnya. Suara bising pembuatan senjata mulai terdengar ketika paman Thomas mulai sibuk dengan beberapa tembaga panas. Aku mengamati seisi ruangan sambil sesekali menyentuh beberapa senjata yang terlihat indah, namun berbahaya.

Aku memiringkan kepala ketika melihat buku tebal tak jauh dariku. Kuraih, lalu membukanya perlahan. Di sana sudah tergambar beberapa sketsa dan pola dari senjata-senjata yang ia buat.

“Apa kau yang mendesain senjata-senjata ini, paman?” tanyaku ingin tahu.

“Yah, mendesain senjata adalah hobi ku dan menjadi pekerjaan utamaku,” jawabnya tanpa menoleh.

Aku termanggut-manggut. “Jika dilihat, sepertinya...paman sangat dekat dengan Velian.”

Paman Thomas tertawa ringan tanpa melepas pandangannya dari senjata yang sedang ia tempa. “Dia sudah ku anggap seperti anakku. Meskipun ia tidak mau memanggilku ayah, tapi aku senang ia mau memanggilku paman.”

“Bisa paman ceritakan sedikit?” Entah kenapa aku sedikit penasaran.

“Hmm...asal kau tahu, nak. Velian dulunya anak jalanan. Aku menemukannya dalam kondisi terluka dan juga kelaparan. Tubuhnya juga sangat kurus seperti kucing.” Paman Thomas mulai bercerita tanpa berhenti dari aktivitasnya. “Dia anak yang dingin sejak pertama aku menemukannya. Bahkan ia tidak menceritakan apapun. Jika ditanya apa yang terjadi padanya, dia lebih memilih diam. Sepertinya...dia anak yang dibuang orang tuanya di tengah hutan, tapi itu baru kesimpulan ku.”

Paman Thomas mengamati perkamen nya lagi, kemudian kembali menempa. “Jika kau ingin mengetahui lebih detailnya, kau bisa langsung menanyakannya, karena dia selalu marah jika aku menanyakan masa lalunya. Mungkin...jika kau yang menanyakannya, ia mau bercerita denganmu.”

Aku mendesah pelan. “Jangankan bertanya tentang masa lalunya, berbicara padanya juga terkadang masih canggung. Dia benar-benar pria yang dingin.”

“Nah, itu kau tahu. Tapi...mungkin tidak masalah jika kau mencobanya. Karena Aleea dan Zealda sendiri pun juga tidak berani menanyakannya.”

“Ah, lebih baik aku tidak tahu sama sekali soal itu. Mungkin bisa jadi ada kenangan buruk yang tidak ingin ia ceritakan karena akan membangkitkan ingatannya.”

Paman Thomas tersenyum miring tapi dengan wajah ramah. “Kau memang gadis yang pengertian.”

“Tapi...tadi kulihat ia terlihat sedikit...hangat dengan paman.”

“Yah, perlahan ia mulai bisa tertawa. Tapi ia hanya seperti itu pada orang-orang tertentu saja. Seperti yang kau lihat, meskipun ia sedikit riang di depanku, tapi dia masih tetap bersikap dingin dengan Sarah. Mungkin berbicara hanya seperlunya meskipun terkadang dia...sedikit tersenyum.”

Aku termanggut-manggut. “Yah, aku sudah melihatnya.”

Waktu terus berjalan dan tak terasa tiga jam sudah berlalu. Aku masih mengamati Hidden Blade yang sebentar lagi selesai di buat. Sesekali paman Thomas memberitahuku cara menggunakannya. Ia membuat Hidden Blade dengan empat mata pisau sekaligus hingga menyerupai cakar Wolverine. Sementara Hidden Blade satunya dibuat seperti pedang pendek yang runcing, sama seperti milik Zealda.

“Velian bilang, kau kurang ahli dalam menembak, sepertinya Wolverine sangat cocok untukmu dan aku sedikit membuatnya lebih elegan agar sesuai denganmu. Ukurannya juga sudah ku sesuaikan dengan pergelangan tanganmu. Kau hanya perlu mengaturnya sesuai dengan keinginanmu.”

Aku mengamati Hidden Blade yang sekilas terlihat seperti dua sarung tangan kemudian memakainya. Ketika tanganku mengepal, lima mata pisau yang tersembunyi di dalamnya langsung mencuat dalam mode cakaran dan kembali seperti semula ketika kembali meregangkan jariku. Aku melakukannya berulang-ulang sambil mengamati setiap inci cakarannya yang benar-benar dibuat dengan halus dan rapi.

Aku memakai lagi Hidden Blade di tangan satunya, dan sebuah pedang pendek yang ramping langsung mencuat ketika aku menekannya. Aku mengamatinya perlahan dan mata pisaunya sedikit bergerigi yang terkesan mematikan.

“Ini...bagus sekali, paman,” ujar ku tanpa melepas tatapan dari Hidden Blade di tanganku.

“Tapi...aku belum bisa menempa senjatamu yang lain. Aku akan membuatnya secepat mungkin.”

“Kurasa ini sudah lebih dari cukup.”

“Tapi kau perlu pedang kecil. Velian bilang, pedangmu terlalu panjang, kemungkinan akan membuatmu sulit bergerak dalam pengintaian dan terlalu mencolok ketika kau membawanya kemana-mana.”

“Untuk masalah senjata, sebenarnya aku lebih menyukai pedangku. Tapi Hidden Blade yang paman buat, sangat efektif dalam membantu pertarunganku.”

“Syukurlah jika kau menyukainya, karena aku memang merancangnya untukmu.”

“Terima kasih banyak, paman.”

Tak lama Velian datang sambil bertanya, “bagaimana paman?”

“Velian lihat!” Aku menunjukkan Wolverine yang sedang kupakai, kemudian mengepalkan jemariku agar mata pisaunya mencuat. “Dengan begini aku bisa mencakar wajahmu kapan saja,” lanjutku sambil tersenyum mengejek.

Velian tersenyum miring. “Sangat cocok denganmu. Tapi..." Velian menggait tanganku dan menatap Wolverine yang masih mencuat dari dekat. “aku tidak akan membiarkanmu mencakar wajahku.”

Dan lagi-lagi, aku merasa mendapat tatapan sinis dari seorang gadis yang sudah berdiri di belakang Velian. Begitu menusuk hingga membuatku merasa tidak nyaman ketika Velian mengamati Hidden Blade di pergelangan tanganku.

“Sebenarnya...gadis itu kenapa?” tanyaku dalam hati.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status