“Ayah, aku pulang!”
Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian.
“Velian!”
Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya.
“Sarah?”
Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?”
“Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.”
Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut.
“Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal.
“Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.”
“Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas.
“Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.”
“Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk.
Aku mengamati percakapan mereka dengan sedikit bosan. Entah kenapa aku merasa terasingi setelah kedatangan gadis itu. Sebenarnya...untuk apa aku di sini? Jika memang hanya untuk memesan senjata, apa harus mengajakku?
“Maaf sudah membuatmu menunggu, Valen,” ujar paman Thomas.
Aku tersenyum sopan sambil mengangguk. “Tidak apa-apa, paman.”
“Ah, aku sudah memikirkan sebuah desain yang cocok untukmu,” ujarnya lagi. “Ikut aku.”
Aku menatap Velian sejenak, lalu mengikuti paman Thomas setelah Velian mengangguk untuk mengijinkan ku.
“Velian, kau mau menemaniku?” ucap Sarah di belakangku. “Sudah tiga bulan kita tidak bertemu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
“Di mana itu?”
Sarah tidak menjawab, namun ia menarik tangan Velian dan mengajaknya pergi. Aku hanya menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang.
Entah apa yang kurasakan, aku hanya...merasa kalau Sarah seperti tidak menyukaiku. Meskipun kami tidak berbicara, tapi lirikan matanya menyiratkan nya, terutama saat menatapku sinis dengan wajah yang sedikit manis.
Aku memasuki ruangan yang penuh dengan senjata, baik yang sudah jadi maupun yang masih dalam tahap pembuatan. Paman Thomas meraih sebuah perkamen dan membukanya di atas meja. Di sana sudah terdapat sketsa yang rumit dan rinci.
“Aku perlu mengukur tanganmu.”
Aku mengulurkan kedua tangan, sementara paman Thomas mulai mengukur dan mencatatnya. Suara bising pembuatan senjata mulai terdengar ketika paman Thomas mulai sibuk dengan beberapa tembaga panas. Aku mengamati seisi ruangan sambil sesekali menyentuh beberapa senjata yang terlihat indah, namun berbahaya.
Aku memiringkan kepala ketika melihat buku tebal tak jauh dariku. Kuraih, lalu membukanya perlahan. Di sana sudah tergambar beberapa sketsa dan pola dari senjata-senjata yang ia buat.
“Apa kau yang mendesain senjata-senjata ini, paman?” tanyaku ingin tahu.
“Yah, mendesain senjata adalah hobi ku dan menjadi pekerjaan utamaku,” jawabnya tanpa menoleh.
Aku termanggut-manggut. “Jika dilihat, sepertinya...paman sangat dekat dengan Velian.”
Paman Thomas tertawa ringan tanpa melepas pandangannya dari senjata yang sedang ia tempa. “Dia sudah ku anggap seperti anakku. Meskipun ia tidak mau memanggilku ayah, tapi aku senang ia mau memanggilku paman.”
“Bisa paman ceritakan sedikit?” Entah kenapa aku sedikit penasaran.
“Hmm...asal kau tahu, nak. Velian dulunya anak jalanan. Aku menemukannya dalam kondisi terluka dan juga kelaparan. Tubuhnya juga sangat kurus seperti kucing.” Paman Thomas mulai bercerita tanpa berhenti dari aktivitasnya. “Dia anak yang dingin sejak pertama aku menemukannya. Bahkan ia tidak menceritakan apapun. Jika ditanya apa yang terjadi padanya, dia lebih memilih diam. Sepertinya...dia anak yang dibuang orang tuanya di tengah hutan, tapi itu baru kesimpulan ku.”
Paman Thomas mengamati perkamen nya lagi, kemudian kembali menempa. “Jika kau ingin mengetahui lebih detailnya, kau bisa langsung menanyakannya, karena dia selalu marah jika aku menanyakan masa lalunya. Mungkin...jika kau yang menanyakannya, ia mau bercerita denganmu.”
Aku mendesah pelan. “Jangankan bertanya tentang masa lalunya, berbicara padanya juga terkadang masih canggung. Dia benar-benar pria yang dingin.”
“Nah, itu kau tahu. Tapi...mungkin tidak masalah jika kau mencobanya. Karena Aleea dan Zealda sendiri pun juga tidak berani menanyakannya.”
“Ah, lebih baik aku tidak tahu sama sekali soal itu. Mungkin bisa jadi ada kenangan buruk yang tidak ingin ia ceritakan karena akan membangkitkan ingatannya.”
Paman Thomas tersenyum miring tapi dengan wajah ramah. “Kau memang gadis yang pengertian.”
“Tapi...tadi kulihat ia terlihat sedikit...hangat dengan paman.”
“Yah, perlahan ia mulai bisa tertawa. Tapi ia hanya seperti itu pada orang-orang tertentu saja. Seperti yang kau lihat, meskipun ia sedikit riang di depanku, tapi dia masih tetap bersikap dingin dengan Sarah. Mungkin berbicara hanya seperlunya meskipun terkadang dia...sedikit tersenyum.”
Aku termanggut-manggut. “Yah, aku sudah melihatnya.”
Waktu terus berjalan dan tak terasa tiga jam sudah berlalu. Aku masih mengamati Hidden Blade yang sebentar lagi selesai di buat. Sesekali paman Thomas memberitahuku cara menggunakannya. Ia membuat Hidden Blade dengan empat mata pisau sekaligus hingga menyerupai cakar Wolverine. Sementara Hidden Blade satunya dibuat seperti pedang pendek yang runcing, sama seperti milik Zealda.
“Velian bilang, kau kurang ahli dalam menembak, sepertinya Wolverine sangat cocok untukmu dan aku sedikit membuatnya lebih elegan agar sesuai denganmu. Ukurannya juga sudah ku sesuaikan dengan pergelangan tanganmu. Kau hanya perlu mengaturnya sesuai dengan keinginanmu.”
Aku mengamati Hidden Blade yang sekilas terlihat seperti dua sarung tangan kemudian memakainya. Ketika tanganku mengepal, lima mata pisau yang tersembunyi di dalamnya langsung mencuat dalam mode cakaran dan kembali seperti semula ketika kembali meregangkan jariku. Aku melakukannya berulang-ulang sambil mengamati setiap inci cakarannya yang benar-benar dibuat dengan halus dan rapi.
Aku memakai lagi Hidden Blade di tangan satunya, dan sebuah pedang pendek yang ramping langsung mencuat ketika aku menekannya. Aku mengamatinya perlahan dan mata pisaunya sedikit bergerigi yang terkesan mematikan.
“Ini...bagus sekali, paman,” ujar ku tanpa melepas tatapan dari Hidden Blade di tanganku.
“Tapi...aku belum bisa menempa senjatamu yang lain. Aku akan membuatnya secepat mungkin.”
“Kurasa ini sudah lebih dari cukup.”
“Tapi kau perlu pedang kecil. Velian bilang, pedangmu terlalu panjang, kemungkinan akan membuatmu sulit bergerak dalam pengintaian dan terlalu mencolok ketika kau membawanya kemana-mana.”
“Untuk masalah senjata, sebenarnya aku lebih menyukai pedangku. Tapi Hidden Blade yang paman buat, sangat efektif dalam membantu pertarunganku.”
“Syukurlah jika kau menyukainya, karena aku memang merancangnya untukmu.”
“Terima kasih banyak, paman.”
Tak lama Velian datang sambil bertanya, “bagaimana paman?”
“Velian lihat!” Aku menunjukkan Wolverine yang sedang kupakai, kemudian mengepalkan jemariku agar mata pisaunya mencuat. “Dengan begini aku bisa mencakar wajahmu kapan saja,” lanjutku sambil tersenyum mengejek.
Velian tersenyum miring. “Sangat cocok denganmu. Tapi..." Velian menggait tanganku dan menatap Wolverine yang masih mencuat dari dekat. “aku tidak akan membiarkanmu mencakar wajahku.”
Dan lagi-lagi, aku merasa mendapat tatapan sinis dari seorang gadis yang sudah berdiri di belakang Velian. Begitu menusuk hingga membuatku merasa tidak nyaman ketika Velian mengamati Hidden Blade di pergelangan tanganku.
“Sebenarnya...gadis itu kenapa?” tanyaku dalam hati.
_______To be Continued_______
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng
Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i
Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik
Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani