Share

Chapter 9

Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.

Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.

Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.

“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”

Aku menoleh ke arah pria yang memakai baju pelayan dengan topengnya. Aku tersenyum ketika menyadari bahwa pelayan yang tadi menawariku minuman adalah Aleea.

“Oh, terimakasih tuan.” Aku meraih segelas air dari nampan yang dibawakan Aleea.

“Sudah menjadi tugasku nona.” Aleea membungkuk hormat padaku dan perutku terasa digelitiki. Ini—terasa aneh bagiku.

“Berhati-hatilah dengan putra mahkota,” bisiknya sebelum meninggalkanku sambil membawa beberapa gelas di nampannya.

Aku melirik kearah putra mahkota yang masih berdiri tegap di atas sana sebelum menyeruput minumanku sambil menikmati suasana pesta, meskipun tidak ada satu orang pun yang mengajakku berdansa. Yah, aku merasa lega karena aku tak harus berdansa malam ini. Aku sengaja mencari sudut yang terpencil namun bisa mengawasi sekitarku, termasuk yang mulia raja dan putra mahkota.

Aku meneguk minumanku lagi dan ketika aku melirik kearah singgasana untuk kesekian kalinya, putra mahkota sudah tidak ada. Aku mengedarkan pandangan, takut jika putra mahkota menyadari sesuatu sementara Velian dan Zealda masih beraksi di tempat lain.

“Kau tidak berdansa nona?

Aku mengerjap kaget ketika mendengar suara di belakangku. Mataku melebar dengan shock, bahkan aku hampir menjatuhkan gelas di tanganku.

“Yang mulia.” Aku mengangguk hormat sambil merendah. Bagaimana dia bisa di belakangku tanpa kusadari?

Aku mendongakkan kepala perlahan ketika melihat tangannya terulur padaku.

“Kau belum menjawab ku, nona.”

“Maaf yang mulia, saya tidak bisa berdansa,” kataku jujur.

“Kalau begitu, untuk apa kau di sini?” tanyanya menyelidik.

Aku terdiam sejenak dengan keringat dingin yang sudah membanjiri punggungku.

“Saya hanya memenuhi undangan. Sekali lagi saya minta maaf, yang mulia.”

Aku terpaku ketika ia meraih tanganku dan menggandengku menuju ke tengah aula. Bisikan dan tatapan dari berbagai mata membuatku merasa kurang nyaman.

“Yang mulia, saya sudah katakan kalau saya tidak bisa berdansa atau saya akan mempermalukan anda.”

“Injak kakiku dan ikuti gerakan ku,” titahnya.

“Ba-bagaimana mungkin saya menginjak kaki anda—”

“Ikuti saja!” Kali ini nadanya penuh penekanan.

Aku diam-diam melirik ke arah pelayan yang tidak lain adalah Aleea. Ia mengangguk sambil menatapku khawatir.

“Baiklah,” ujar ku menurut.

Aku melepas sepatu dan menginjak kakinya sambil merapatkan diri. Jantungku berdetak sangat kencang, rasa takut dan juga cemas melandaku seperti gelombang pasang tanpa peringatan. Aku mulai bergerak mengikuti gerakannya di iringi irama musik yang mengalun syahdu.

“Tubuhmu terlalu tegang. Cobalah sedikit santai,” ucapnya tanpa berhenti bergerak.

“Ini adalah pertama kalinya saya berdansa dengan putra mahkota. Bagaimana saya bisa santai? Saya tidak ingin mempermalukan anda dengan dansaku yang buruk, yang mulia.”

Ia melingkarkan tangannya di pinggangku semakin erat untuk menghapus jarak di antara kami dan aku semakin gugup ketika bibirnya mendekati telingaku lalu berbisik, “Katakan padaku, kau Assassin dari kerajaan mana?”

Aku terdiam tanpa bisa berkata apapun, namun pikiranku berputar dengan cepat. “Maaf yang mulia, saya tidak mengerti apa maksud anda.”

Putra mahkota memelukku semakin erat hingga aku kesulitan bernapas dan tangannya mencengkeram pinggangku sangat keras, begitu sakit rasanya.

“Yang mulia,” pekikku.

Aku berusaha melepaskan diri namun tubuhnya begitu kokoh.

“Kau pikir aku tidak tahu kau sedang mengawasi kami?” bisiknya lagi.

Mataku melebar seketika. Tak lama sebelum ini, Aleea sudah mengatakan bahwa aku harus hati-hati dengan putra mahkota tapi—kenapa aku tertangkap begitu cepat? Apa—misiku gagal secepat ini?

“Maaf yang mulia, saya—sungguh tidak mengerti apa maksud anda.”

Ia mendengus sambil menyeringai. “Jadi—kau tidak mau mengaku?”

“Saya berani bersumpah yang mulia, saya bukan mata-mata dari kerajaan lain. Saya juga rakyat dari kerajaan Axylon ini, sungguh!”

Ya, aku memang bukan mata-mata dari kerajaan lain, tapi aku mata-mata dari kerajaan Axylon sendiri, karena itu aku berani mengambil sumpah.

“Baiklah. Karena kau sudah bersumpah, kali ini aku percaya padamu. Tapi—malam ini kau harus menghabiskan malam bersamaku.”

“Apa?!” tanyaku shock.

Tanpa aba-aba ia langsung membopongku. Semua orang di sekitarku hanya bersorak gembira melihat putra mahkota kebanggaannya menggendong seorang gadis.

“Lepaskan!” Aku berusaha melepaskan diri namun tubuhnya tidak goyah sedikit pun seolah-olah pemberontakan ku seperti seekor kelinci yang menendang-nendang ketika tertangkap pemangsanya. “Yang mulia, saya mohon jangan seperti ini!”

Tak butuh waktu lama kami memasuki bangunan baru. Kedatangannya langsung disambut pelayan-pelayan cantik seperti bidadari. Apa ini—mansion putra mahkota?

“Periksa dia!” titahnya pada para pelayan setelah menurunkan ku dari gendongannya.

Mereka langsung meraba tubuhku bahkan hampir menelanjangiku. Aku tidak mengerti apa yang mereka cari dariku, tapi dari tatapan mereka sepertinya—mereka sedikit kecewa namun juga senang.

“Yang mulia,” ujar salah satu pelayan. “Kami tidak menemukan senjata satupun di tubuhnya. Kemungkinan besar dia memang bukan Assassin atau mata-mata dari kerajaan lain.”

Kali ini aku benar-benar berterimakasih pada Velian yang melarang ku membawa senjata rahasia atau apapun, seolah-olah ia sudah memprediksi jika hal ini akan terjadi.

“Bukankah tadi saya sudah mengatakannya, yang mulia? Saya hanya orang biasa. Bagaimana bisa anda mencurigai saya seperti itu?

Ia tersenyum miring. “Baiklah, aku tidak akan menuduhmu lagi.”

Percakapan kami terhenti oleh seorang pengawal yang datang tergopoh-gopoh. Ia membisiki sesuatu pada putra mahkota dan kulihat ekspresinya seperti tidak senang.

“Baiklah, aku sendiri yang akan membuatnya untuk bicara.” Putra mahkota tersenyum tipis kearah ku. “Kau ikutlah denganku. Aku ingin memberimu sebuah pertunjukkan kecil.”

Aku terdiam sejenak, namun pada akhirnya aku hanya menurut dan mengikutinya. Kami melewati lorong gelap kemudian menuruni tangga curam. Aroma lumut mengisyaratkan bahwa suasana di bawah sana begitu lembab.

Tak butuh waktu lama, kami sampai di sebuah jeruji besi dan di dalamnya sudah terdapat satu tahanan yang tampak terkulai dengan lemah.

“Yang mulia,” ujar salah satu penjaga tahanan. “Kami sudah menginterogasinya tapi ia masih tidak mau bicara.”

“Kalau begitu biar aku sendiri yang akan memaksanya.”

Aku masih terdiam dengan apa yang akan dilakukan putra mahkota terhadap tahanannya. Ia meraih belati yang mengkilap diterpa cahaya temaram.

“Nona, aku yakin kau akan menyukai pertunjukannya.” Putra mahkota menyeringai melihat reaksiku yang semakin membeku.

“Hei, aku tanya padamu sekali lagi.” Kali ini ia berbicara pada tahanan yang tampak pendiam namun ketakutan.  "Siapa yang mengirim mu kemari? Apa kau orang kiriman dari Vainea?”

Pria itu hanya menggeleng tegas namun tubuhnya bergetar.

Putra mahkota mendengus tersenyum miring. “Baiklah, sepertinya aku perlu mengupas kulitmu.”

“Yang mulia.” Aku menyela.  “Maaf sebelumnya. Apa—harus dengan cara seperti itu untuk membuatnya mengaku?” tanyaku nanar.

“Pengawal, tahan wanita itu,” titahnya. “Pegangi kepalanya untuk melihat pertunjukan ku.”

Dengan sigap mereka sudah mengunci kedua tanganku. Aku bersiap untuk melawan dengan tendangan ku namun persendian ku dipukul hingga lutut ku terasa lemas.

Tubuhku bergetar melihat kekejaman yang terjadi di depan mataku secara langsung. Mereka bahkan takan membiarkanku menutup mata sekalipun. Pria itu terus saja menjerit kesakitan ketika kulitnya dikelupas perlahan dan parahnya lagi, putra mahkota sendiri yang melakukannya. Ia membiarkan jubah kebesarannya dipenuhi oleh noda darah dan penuh dosa.

“Tuan, aku mohon jawab saja agar penderitaan mu berakhir!” jeritku ngeri.

Awalnya pria itu tetap bersikukuh untuk bungkam namun putra mahkota melakukan hal yang lebih kejam lagi dengan menyayat dagingnya hingga menembus ke tulang, dan akhirnya pria itu mengaku bahwa ia memang seorang utusan dari Vainea atas perintah salah satu pejabat tinggi di sana.

Setelah pria itu mengaku, akhirnya putra mahkota menghentikan siksaannya, sementara aku hanya terduduk lemas di tanah tanpa mempedulikan gaunku yang kotor. Tubuhku gemetar ketakutan, baru kali ini aku melihat seseorang dengan kekejaman yang setara dengan iblis.

“Kau takut padaku, nona?” tanyanya sambil bertekuk lutut agar wajah kami sejajar, kemudian ia membuka topengku. “Kau cantik sesuai dugaan ku.”

Lidahku terasa kelu seketika akibat pikiranku yang menjadi kacau balau. Aku menarik napas panjang sebelum berkata, “Yang mulia, saya ingin—pulang. Mohon ijinkan saya untuk pergi.”

“Kau pikir kau bisa lolos dariku?” bisiknya.

“Apa saya telah melakukan kesalahan sampai anda menahanku, yang mulia?”

“Tidak ada,” jawabnya. “Hanya saja—kau sangat mencurigakan. Biasanya para Assassin menggunakan gadis cantik untuk mengalihkan perhatian hingga kami lemah, kemudian mereka menyerang kami di saat lengah.”

Tubuhku menjadi kaku seketika. Jika putra mahkota tahu aku juga seorang Assassin, mungkin ia benar-benar takan melepaskan ku sampai mati.

“Tapi anda sudah memeriksanya sendiri bukan?”

“Yah, mungkin kau memang bukan seorang Assassin tapi, apa kau pikir aku akan menyia-nyiakan gadis semanis dirimu?” ujarnya sambil menjepit daguku dengan ujung jemarinya.

“Yang mulia saya mohon,” kataku sambil memelas karena tak sanggup jika aku bersamanya lebih lama lagi.

Putra mahkota menatapku sejenak dan tatapannya meredup. “Baiklah. Untuk kali ini aku melepaskan mu, anggap saja aku sedang berbaik hati padamu.”

“Yang mulia?” Aku terpaku ketika ia menggendongku sementara ia hanya terdiam.

“Jika nanti kita bertemu lagi, mungkin aku tidak akan melepaskan mu,” ujarnya beberapa saat kemudian.

Aku merasa lega karena putra mahkota benar-benar melepaskan ku, tapi adegan kejam itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Gambaran-gambaran ketika ia menyiksa tahanan itu dan juga suara jeritannya masih melekat kuat. Jika suatu saat posisi raja jatuh ke tangannya, apa jadinya negeri ini nanti? Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika Axylon akan di pimpin oleh raja sepertinya.

Aku menjelaskan peristiwa itu pada bibi penyewa ketika ia melihat gaun yang kupinjam kotor penuh noda sambil meminta maaf.

“Kau masih beruntung karena putra mahkota melepaskan mu. Gaun ini nanti biar aku yang bersihkan, dan sekarang pulanglah!” ujar bibi lembut. “Tapi, lain kali kau harus berhati-hati jika kau bertemu putra mahkota lagi, dia memang kejam. Kau pasti sudah tahu, kebanyakan rakyat Axylon justru lebih takut pada putra mahkota dari pada yang mulia raja.”

“Tapi—jika posisi raja di digantikan oleh putra mahkota, apa masyarakat akan diam saja?” tanyaku untuk menyelidiki benak bibi penyewa gaun yang kini sedang mengamati noda gaun di tangannya.

“Mungkin—akan banyak pemberontakan terhadap kerajaan. Konflik akan menyebar luas dari berbagai distrik dan Axylon akan mengalami kekacauan besar. Jika itu terjadi, yang rakyat khawatirkan pasti kerajaan luar akan memanfaatkan situasi ini untuk menyerang Axylon terutama kerajaan Vainea. Kita sebagai rakyat biasa, apa yang akan kita perbuat?” Ia menghela napas sambil menatap jendela dengan hampa. “Kami hanya rakyat biasa, tidak ada yang mau membeli nyawa kami dengan harga mahal.”

Aku menatap wanita di hadapanku dengan perasaan carut marut. “Apa—bibi akan pasrah begitu saja?”

“Jika saja ada cara lain untuk mencegah hal itu.” Ia tersenyum masam sambil menerawang. “Oh iya, siapa namamu?”

“Valen Trish,” sahutku.

“Namaku Agatha. Senang bertemu denganmu Valen, jika kau butuh gaun kau bisa datang kemari,” ujarnya tersenyum. “Sekarang pulanglah. Kau butuh istirahat.”

“Terimakasih, bibi.”

Aku mulai berkuda untuk kembali ke goa ketika matahari mulai meninggi. Dan benar saja, mereka bertiga langsung menyambutku dengan khawatir ketika aku sampai di sana.

“Valen, akhirnya kau kembali.” Zealda tampak khawatir. “Kudengar kau semalam tertangkap oleh putra mahkota.”

“Kita baru saja ingin merencanakan sesuatu untuk menyelamatkanmu,” imbuh Aleea.

“Aku tidak apa-apa. Kalian tidak perlu khawatir.”

“Aku tidak menyangka kau bisa kembali setelah tertangkap oleh putra mahkota.” Kini Velian yang berbicara. “Bagaimana kau bisa lolos darinya?”

Aku terduduk di atas jerami yang biasa kugunakan untuk tidur. “Yah, putra mahkota sempat mencurigai ku, tapi untung saja aku tidak membawa senjata apapun, jadi—ia mengira aku gadis biasa dan melepaskan ku.”

“Tapi—“ Aleea tampak berpikir. “Putra mahkota bukanlah tipe orang yang akan melepaskan siapapun yang sudah berurusan dengannya, apa lagi pada seseorang yang sempat ia curigai. Dari pada itu, ia pasti akan langsung memilih untuk membunuhnya di tempat.”

“Hmm—mungkin karena Valen hanya seorang gadis biasa dan terbukti tidak membahayakan baginya, bisa jadi ia melepaskan Valen karena hal itu.” Zealda mengambil sebilah belati tak jauh darinya.

Aleea menghela napas kasar namun khawatir. “Dia akan bertindak kejam tanpa memandang dia laki-laki atau perempuan, itulah putra mahkota Axylon yang sekarang. Sepertinya—aku harus menyelidikinya lebih lanjut.”

“Yah itu perlu.” Zealda menyodorkan belati panjang pada Aleea. "Tapi sekarang—waktunya berburu atau kita tidak makan seharian.”

Zealda dan Aleea pergi terlebih dahulu dan kini tinggal aku dan Velian yang masih di dalam. Aku menatapnya sejenak, ada banyak sekali rahasia yang tersirat di matanya, layaknya sebuah peti harta karun yang tersembunyi jauh di dalam tanah.

“Putra mahkota—apa semalam melakukan sesuatu padamu?” tanyanya dalam keheningan.

“Ya, dia melakukan sesuatu,” jawabku. “Tapi bukan padaku melainkan pada tahanannya.”

Dalam sekejap adegan mengerikan itu kembali berkelebat dalam pikiranku. Aku menggelengkan kepala, berharap gambaran-gambaran itu menyingkir jauh dari sana. Aku memejamkan mata kuat-kuat sambil berusaha melupakannya, namun tubuhku kembali gemetar dan bayangan itu semakin melekat kuat

“Valen?”

“Dia—bukan manusia,” racau ku kalut, masih teringat kekejamannya.

 Velian berusaha menenangkan ku sesaat kemudian. “Kau sudah aman sekarang.”

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status