Share

Chapter 3

“Paman Zinbei, Ibu Yanyan, kalian baik-baik saja?” Tanyaku dengan suara gemetar. Orang-orang sekitar masih sibuk dengan kejadian ini. Ada banyak dari mereka yang antusias ingin memberi keterangan pada polisi, atau ingin membantu pemadam kebakaran. Lingkungan sekitar yang ribut ini membuat hatiku yang kacau semakin porak poranda, berhamburan. Aku takut.

“Ya ampun, nak! Ibu baik-baik saja. Paman juga,” ucap Bu Yanyan dengan sangat lembut. Ia menyentuh pundaku dan mengusapnya perlahan. “Bangun Shushu. Jangan di bawah tanah seperti itu. Sini, duduk di samping Ibu,” lanjutnya.

Namun aku mengabaikannya. Air mataku menetes tanpa aku sadari. Entah kenapa aku merasa sangat bersalah dan kebakaran ini mungkin memang benar karena diriku juga.

“Kau membuatnya nangis Yanyan?” Bisik Pak Ming Zinbei, suaminya Ibu Yanyan, marga istrinya ini dulu Yong. Namun semenjak menikah ia juga ikut dipanggil Ibu Ming. Namun aku lebih nyaman memanggil nama depannya. Sontak Ibu Yanyan ini pun langsung menepuk paha suaminya untuk tidak asal bicara. “Ya ampun aku hanya bercanda. Shushu, Paman dan Ibu baik-baik saja,” jelasnya lagi.

Bohong. Padahal mereka punya luka lecet di lengan dan kaki mereka. Wajah mereka juga terlihat kotor akibat asap dan debu. Pakaian mereka terlihat lusuh dan basah. Benar-benar berantakan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan isak tangin. Namun aku tak bisa menahan air mataku untuk terus keluar. Ini menyesakan.

Seorang paman gemuk tertawa di sampingku. Aku tak peduli dengan keberadaannya. Aku menyembunyikan wajahku di kedua paha Ibu Yanyan. Menutupi air mataku yang tak bisa berhenti mengalir dengan sendirinya. 

“Anak ini benar-benar sangat khawatir dengan kalian ya. Wah, anak yang sedarah denganku saja selalu melupakan Ayah dan Ibunya di rumah. Nelpon saja jarang,” ucap paman gemuk itu.

“Ei, anakmu cowok kan? Umur-umur segitu memang lagi mencari jati diri. Kita pun dulu pernah melakukannya,” balas Paman Zinbei.

“Ya juga sih,”

Saat obrolan hendak berlanjur seorang polisi menghampiri tempat kami. Aku mendengar ucapannya yang memperkenalkan diri. Ini bukan saatnya menangis. Aku tekadkan dalam diriku, dan bangkit menatap wajah Ibu Yanyan yang tersenyum hangat padaku. Sedari tadi ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Sudah tenang?” Tanyanya. 

Aku menganggukan kepala. “Kembalilah pulang terlebih dahulu. Ada banyak warga yang membantu. Kau terlihat sibuk akhir-akhir ini. Tadi pagi saja kau pergi ke kota lagi kan? Pasti kau baru saja pulang dan langsung berlari kemari. Lihat baju indah yang jarang kau kenakan ini jadi kotor,” celotehnya lagi panjang lebar. Aku senang mendengarnya memarahiku.

“Nah, sudah gak usah nangis. Ibu sama Paman, baik-baik saja kok,” ucapnya lagi sembari mengusap wajahku. Kemudian ia tertawa, aku bingung. Paman Zinbei dan Paman Tetangga yang buncit tadi melihat wajahku dan ikut tertawa. Rupanya ada abu di wajahku sehingga terlihat kotor. Ibu Yanyan pandai bercanda. “Dah, dah. Sana pulang saja, besok-besok saja datangin kami lagi. Semua orang membantu,” sambung Ibu Yanyan.

Aku menurutinya dan melenggang pergi dari sana. Selama melangkah menjauh tak henti-hentinya aku berhenti dan menengok ke belakang. Pasangan suami-istri itu tak henti-hentinya melambaikan tangan untuk menyuruhku cepat pergi dari sana.

Saat kembali sampai rumah. Aku merasa sangat lelah. Aku merasa terlalu banyak hal yang terjadi hari ini. Aku duduk di ruang tengah termenung. Lambat laun aku terlelap.

****

“Hey, apa ini gambaranmu juga? Beda sekali dengan yang sering kau ikuti lomba,” ucap seorang gadis kecil dengan gigi ompongnya.

“Aku pikir bukan Shushu yang menggambar ini. Terlalu bagus dan dewasa!” Sanggah bocah lainnya.

“Aku juga yakin sekali ini bukan gambaran Shushu. Ini seperti komiknya Gege di rumah. Tapi lebih keren!” Sambung bocah lainnya.

Ada banyak anak kecil berkerumun di sekitarku melihat kotak yang berisikan kertas robekan dengan gambar di atasnya. Ciri gambar semi-realis yang masih ada sentuhan kartunnya. Itu gaya baru yang aku coba buat akhir-akhir ini. Aku terbiasa melukis dan mewarnai di atas kanvas atau kertas berukuran besar dengan media crayon, pastel, atau cat minyak.

Setelah itu datang seorang anak yang lain yang terkenal sebagai orang kaya di pinggiran Kota B ini. “Aku menginginkan gambar ini. Berapa?” Tanyanya.

Aku menunjukan angka dua dengan jariku. Gadis kecil itu langsung mengeluarkan dua lembar satu yuan padaku tanpa pikir panjang. “Untuk satu gambar,” tegasku lagi. Dia menganggukan kepalanya sembari memilih gambaran terbaik dari kotak kaleng itu.

Aku berencana membawa ini untuk memamerkan karyaku pada teman sekelas. Namun berapa kali aku mengatakannya, mereka tidak percaya. “Ayo, ngaku. Siapa ahli yang menggambar ini?” Tanya gadis kaya itu.

“… ugh, dia… Samara Gwenn,” jawabku asal.

“NAAAAH!!” Kompak semua bocah berkata demikian. “Sudah aku bilang bukan Shushu!” sambung mereka lagi. Kemudian berkelahi mana yang lebih dahulu mengatakan tidak setuju gamabran di kertas itu bukan karyaku.

Aku hanya bisa diam. Saat mereka mulai mereda, ada beberapa dari mereka yang melakukan aksi sama dengan gadis kaya tadi. Langsung memberiku pecahan sebesar 2 yuan untuk membeli gambaranku.

“Darimana kau mengenal Nona Samara Gwenn ini?” Tanya bocah lainnya mendadak.

“Oh, itu pasti saat kamu masih umur empat tahun, saat liburan musim panas sering berkunjung ke rumah sewanya para turis dari Jerman itu! Aku lihat dia membawa banyak buku ke rumahnya” Pekik bocah laki-laki dengan rambut yang jabrik. Rumah dia berada dekat dengan rumah sewa para turis yang pernah datang beberapa tahun lalu kala itu. 

Memang benar. Aku sering berkunjung ke sana untuk membaca buku-buku berbahasa asing yang unik. Mungkin, bocah ini melihat aku saat membawa banyak buku dari sana. Aku tidak takut sekalipun dengan orang asing atau berkenalan dengan orang baru. Kala itu tidak banyak warga Desa Juanxie yang berani mendekat karena masalah bahasa. Namun itu tidak menghambat rasa keingintahuanku.

Selama kesalahpahaman ini semua terjadi aku hanya bisa diam. Sebab itulah cara tercepat agar mereka mengabaikan keberadaanku. Mereka terlalu ribut. Saat sekitarku mulai hening karena sebentar lagi pelajaran berikutnya akan dimulai, di atas mejaku sudah terkumpul 24 yuan dengan mudahnya. Gaji pertamaku dari menipu saat usia delapan tahun.

Sejak saat itu aku meneruskan kesalahpahaman ini untuk menjadi kaya perlahan. Dua identitas yang berbeda. Ding Shu, si jenius pandai melukis yang sering memenangkan setiap perlombaan dengan ciri khas yang kuat. Serta, Samara Gwenn, komikus ahli yang berasal dari luar negeri yang memberikan banyak gambaran pada Shushu, sebelum dia kembali ke Jerman. Kisah ahli yang menjadi teman dekatku ini semakin panas. Tidak hanya teman sekelas. Bahkan kakak atau adik tingkat pun tertarik untuk memiliki gambaran itu.

Sekolah dasar itu terletak di Kota B, Provinsi A di China. Aku pindah ke tempat baru ini saat usiaku sekitar empat atau lima tahun. Tidak terlalu ingat. 

Pastinya, aku dan Ayah pindah kemari setelah Ayah memutuskan menjual lahan sawahnya dan rumahnya beberapa bulan setelah Ibu meninggal karena terjangkit wabah Pneumonia.

Sebelumnya aku tinggal di Desa Juanxie. Rata-rata  penduduknya bekerja sebagai petani padi, jagung, dan gandum. Begitupun dengan kedua orang tuaku yang bahkan memiliki lahan tanahnya sendiri.

Ayah dan mendiang Ibu juga memiliki ekonomi yang stabil dan dapat menyokong mainan baru untukku setiap bulan. Hanya saja semua kenangan manis itu terkenang samar. Hal yang kuingat hanyalah Ayah mulai bangkit dari berduka atas kematian Ibu setelah kami pindah ke Kota B. Siapa sangka di tempat ini, ada kenalan di desa sebelumnya.

Berkat bantuan bocah laki-laki ini. Samara Gwenn menjadi sosok yang nyata. Saat kelas satu SMA, Ayah membelikan ponsel pintar pertama untukku. Hal pertama yang aku lakukan ialah membuat akun untuk sosok ini.

Kehidupanku untuk menipu orang sekitar sangat membahagiakan kala itu. Selain aku menunjukan bakat di seni lukis, dan menghasilkan uang dengan cara menipu teman sekelasku. Uang yang terkumpul selama aku rajin menjual karya dari SD sampai SMA itu 17.800 yuan. 

Aku masih menggunakan kertas bergaris yang kulepas dari buku tulisku dan menggambarnya setiap malam. Terkadang aku juga sengaja menuangkan kopi ke atas kertasnya terlebih dahulu agar memunculkan nuansa kertas lama. Sehingga ada nilai historis kapan Samara Gwenn itu menggambarnya dan kenapa memberikannya padaku. Tentu saja, cerita-cerita itu palsu. Aku hanya memperdulikan kekayaan yang semakin bertambah perlahan.

Harga untuk satu karya itu masih 2 yuan. Selama aku menjalankan bisnis dengan banyak cerita tipuan di dalamnya, aku berhasil menjadi lebih kaya sedikit dibandingkan anak kuliahan semester akhir. Mana ada anak belasan tahun bisa menghasilkan 17.800 yuan dari kerja kerasnya sendiri waktu itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status