Share

Chapter 4

Aku terbangun karena ponselku yang berdering. Setelahnya aku hanya mematung menatap langit-langit di ruang tengah ini. Aku memimpikan masa lalu yang membuatku tidak nyaman. Namun gara-gara ini. Aku jadi teringat bahwa Desa Juanxie sudah lama tidak ada lagi di map.

Wabah Pneumonia itu menjangkit lima belas desa sekitar kabupaten yang terletak di Provinsi C. Butuh waktu tiga hari perjalanan darat untuk mengunjungi tempat itu lagi. Aku tak ada niatan ke sana sama sekali. Namun setelah memimpikan hal tersebut ada yang membuatku tak nyaman sekali, yaitu, nama desa itu mirip dengan nama orang gila yang menghantuiku.

Aku bangkit dari posisi tidurku yang aneh di atas sofa ini. Lalu mengambil ponsel yang tergeletak di lantai. Orang itu lagi.

______

Orang Gila!

Apa kau baik-baik saja? (14.23)

Aku baru dengar kabarnya, ada kebakaran di dekat wilayahmu. (14.23)

Apa aku perlu ke sana? (14.25)

Kata tanteku yang terbakar kios pemilik kontrakanmu. Apa Paman dan Bibi baik-baik saja? (14.54)

Ah, sepertinya kau sibuk ya di sana. Kabari aku segera jika kau butuh bantuan. (15.03)

Apa kau sudah makan malam? (19.22)

Selamat malam. (21.46)

Aku tahu ini sudah larut. Mungkin kau juga sudah tidur dan masih marah denganku. Tawaranku tadi bukan candaan semata. Aku juga khawatir atas keselamatanmu. (23.22)

Aku hanya ingin mengatakan itu. (23.23)

Oh, kau membacanya sekarang! Senang sekali~ (23.24)

Ding Shu

Apa kebakaran tadi karena kasusku? (23.25)

_____

Tak lama setelah aku mengirimkan pesan itu. Aku mendapat panggilan telpon dan aku pun langsung mengangkatnya. Di seberang sana hanya terdengar suara nafas seorang pria. Aku diam saja mendengarkan. Tidak ada yang menyapa lebih dahulu. Aku hanya menunggu.

Aku takut akan fakta yang keluar dari mulut Juanxi. Namun aku tak bisa mengelak bahwa aku terlibat kasus yang berbahaya. Apalagi aku juga mencari bukti sendirian dengan gegabah.

“Untuk sekarang belum ada kepastian. Semua masih dalam penyelidikan, dan orang yang memulai menyulut api masih dalam pencarian. Sayangnya..”  dia tak melanjutkan lagi ucapannya.

“Sayangnya?” Tanyaku.

“Ah, akhirnya kau memanggil ku sayang,” godanya dengan suara yang berat itu.

“HUANG JUANXI!” Pekikku dengan segala kekesalan yang menumpuk.

“Oke, oke. Maafkan aku. Tidak ada jejak yang ditinggalkan pelaku sehingga akan sulit sekali untuk mencarinya. Namun ada dugaan dia berasal dari salah satu tetanggamu. Berdasarkan kesaksian para saksi, para polisi hanya mengandalkan tinggi badan pelaku. Ah, andaikan kios paman ada CCTV-nya pasti bagus,” ucap Juanxi.

“Baiklah,” jawabku lemas.

“Hei. Orang itu bisa saja bukan dari komplotan orang-orang jahat yang mengincarmu. Dia mungkin ada masalah sendiri dengan Paman atau Bibi. Jadi jangan terlalu khawatir ya,” ucapnya lagi.

“Iya. Aku akan menutupnya. Terima kasih,“ kataku.

“Tak masalah,” balasnya.

“Juga… maaf telah membentakmu,” ucapku terakhir kali lalu mematikan panggilan ponsel itu. Setelah itu aku melenggang pergi dari sofa nan empuk ini. Berjalan ke kamar mandi menyalakan keran air panas untuk mengisi bathtub. Kemudian aku meninggalkan tempat itu sejenak, untuk ke dapur memasak mie instan dan telur mata sapi sebagai makan malamku.

Aku tidur siang terlalu lama. Tubuhku rasanya lemas sekali.

Aku bergegas mematikan kompor saat alarm di kamar mandi berdering. Tandanya air panas sudah sesuai tingginya dan aku harus mematikan kerannya. Tinggal aku kasih air dingin dan menunggunya lagi. Aku kembali ke dapur untuk memakan mie dan telur yang sudah aku masak tadi. Tepat ketika aku selesai makan dan mencuci piring. Alarmnya kembali berdering. 

Aku langsung ke kamar mandi mematikan keran air. Lalu menanggalkan pakaianku hingga telanjang. Lalu masuk ke dalam bathtub yang suhunya sudah sesuai. Kemudian melepaskan sabun bom dari plastiknya yang masih baru. Lalu membiarkannya jatuh ke air. Buih terus bermunculan di sekitar sabun yang bentuknya bulat itu.

“Biubiu, putar lagu dari My First Story – I am a Mess,” ucapku.

“Lagu dipersiapkan,” jawab suara bocah dengan nuansa mesin yang menggema di kamar mandi ini. Setelah itu terdengar lagu yang aku inginkan. Aku berada di dalam kamar mandi selama setengah jam lamanya dengan terus memutar satu lagu yang sama.

Saat ritual menenangkan diri ini selesai. Aku dengan tubuh yang masih bertelanjang keluar dari kamar mandi dan langsung ke arah kamarku. Kemudian memilih untuk mengenakan baju tidur lepasan, dengan celana sepanjang lututku, juga atasan berlengan sampai sikuku. 

Baju tidur berbahan satin yang lembut dengan furing di dalamnya. Kepalaku terbalut handuk sehingga rambut yang basah itu tidak menularkan airnya pada pakaianku. Kemudian aku melakukan rangkaian perawatan wajah di malam hari.

Setelah semua ritual itu selesai, aku bingung harus ngapain. Akhirnya aku mengambil buku fantasi dan membacanya di atas kasur. Aku terlalu fokus masuk ke dalam dunia yang diciptakan penulisnya. Tanpa kusadari waktu berlalu begitu cepat dan tinggal beberapa bab terakhir yang belum aku selesaikan.

Aku menangis, tertawa, marah, kesal hanya dengan membaca cerita itu. Namun aku dipaksa keluar dari dunia imajinasi ini karena dering ponselku. Ada yang memanggilku. Akhirnya aku bergegas ke ruang tengah lagi. Sebab ponselku ku tinggal di sana.

Ada panggilan dari Orang Gila! Sebenarnya aku ingin mengabaikannya. Namun aku terima telpon tersebut. “Halo, calon istriku! Aku di depan rumahmu!” Pekiknya dengan bahagia.

“Bangsat,” sumpahku yang langsung melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul 08.00 pagi. Aku langsung berlari untuk membuka pintu rumah ini. Sebab aku mendengar suara tetanggaku yang sangat aku kenal dari panggilan telpon ini.

“Oh, coba lihat siapa pria tampan ini. Cari siapa nak?” Tanya Tante Meidong, tetanggaku yang pali suka menggunjing. Suaranya dibuat mendayu-dayu dengan sikap yang pura-pura malu.

Benar. Orang Gila itu ada di sana. Ia keluar dari mobil yang super licin dan mengkilap bak seperti sengaja di balur minyak. Mobil berwarna hitam itu senada dengan pakaian tuxedo berwarna abu-abu yang ia kenakan. Ponselnya masih melekat di telinga kanannya. 

Saat ia melihat aku keluar dari rumah. Dia melambaikan tangan lainnya yang mengenggam berkas terkutuk itu. Sungguh, aku sangat bersyukur dia masih punya otak dengan menutup isi kertas-kertas itu dengan sebuah map. Jika saja tidak, maka orang lain bisa membaca judul dari berkas itu, dan tatapan tetangga sekitar akan lebih tak tertahankan dari sekarang. Walaupun sebenarnya tatapan mereka memang sudah tidak mengenakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status