Aku terbangun karena ponselku yang berdering. Setelahnya aku hanya mematung menatap langit-langit di ruang tengah ini. Aku memimpikan masa lalu yang membuatku tidak nyaman. Namun gara-gara ini. Aku jadi teringat bahwa Desa Juanxie sudah lama tidak ada lagi di map.
Wabah Pneumonia itu menjangkit lima belas desa sekitar kabupaten yang terletak di Provinsi C. Butuh waktu tiga hari perjalanan darat untuk mengunjungi tempat itu lagi. Aku tak ada niatan ke sana sama sekali. Namun setelah memimpikan hal tersebut ada yang membuatku tak nyaman sekali, yaitu, nama desa itu mirip dengan nama orang gila yang menghantuiku.
Aku bangkit dari posisi tidurku yang aneh di atas sofa ini. Lalu mengambil ponsel yang tergeletak di lantai. Orang itu lagi.
______
Orang Gila!
Apa kau baik-baik saja? (14.23)
Aku baru dengar kabarnya, ada kebakaran di dekat wilayahmu. (14.23)
Apa aku perlu ke sana? (14.25)
Kata tanteku yang terbakar kios pemilik kontrakanmu. Apa Paman dan Bibi baik-baik saja? (14.54)
Ah, sepertinya kau sibuk ya di sana. Kabari aku segera jika kau butuh bantuan. (15.03)
Apa kau sudah makan malam? (19.22)
Selamat malam. (21.46)
Aku tahu ini sudah larut. Mungkin kau juga sudah tidur dan masih marah denganku. Tawaranku tadi bukan candaan semata. Aku juga khawatir atas keselamatanmu. (23.22)
Aku hanya ingin mengatakan itu. (23.23)
Oh, kau membacanya sekarang! Senang sekali~ (23.24)
Ding Shu
Apa kebakaran tadi karena kasusku? (23.25)
_____
Tak lama setelah aku mengirimkan pesan itu. Aku mendapat panggilan telpon dan aku pun langsung mengangkatnya. Di seberang sana hanya terdengar suara nafas seorang pria. Aku diam saja mendengarkan. Tidak ada yang menyapa lebih dahulu. Aku hanya menunggu.
Aku takut akan fakta yang keluar dari mulut Juanxi. Namun aku tak bisa mengelak bahwa aku terlibat kasus yang berbahaya. Apalagi aku juga mencari bukti sendirian dengan gegabah.
“Untuk sekarang belum ada kepastian. Semua masih dalam penyelidikan, dan orang yang memulai menyulut api masih dalam pencarian. Sayangnya..” dia tak melanjutkan lagi ucapannya.
“Sayangnya?” Tanyaku.
“Ah, akhirnya kau memanggil ku sayang,” godanya dengan suara yang berat itu.
“HUANG JUANXI!” Pekikku dengan segala kekesalan yang menumpuk.
“Oke, oke. Maafkan aku. Tidak ada jejak yang ditinggalkan pelaku sehingga akan sulit sekali untuk mencarinya. Namun ada dugaan dia berasal dari salah satu tetanggamu. Berdasarkan kesaksian para saksi, para polisi hanya mengandalkan tinggi badan pelaku. Ah, andaikan kios paman ada CCTV-nya pasti bagus,” ucap Juanxi.
“Baiklah,” jawabku lemas.
“Hei. Orang itu bisa saja bukan dari komplotan orang-orang jahat yang mengincarmu. Dia mungkin ada masalah sendiri dengan Paman atau Bibi. Jadi jangan terlalu khawatir ya,” ucapnya lagi.
“Iya. Aku akan menutupnya. Terima kasih,“ kataku.
“Tak masalah,” balasnya.
“Juga… maaf telah membentakmu,” ucapku terakhir kali lalu mematikan panggilan ponsel itu. Setelah itu aku melenggang pergi dari sofa nan empuk ini. Berjalan ke kamar mandi menyalakan keran air panas untuk mengisi bathtub. Kemudian aku meninggalkan tempat itu sejenak, untuk ke dapur memasak mie instan dan telur mata sapi sebagai makan malamku.
Aku tidur siang terlalu lama. Tubuhku rasanya lemas sekali.
Aku bergegas mematikan kompor saat alarm di kamar mandi berdering. Tandanya air panas sudah sesuai tingginya dan aku harus mematikan kerannya. Tinggal aku kasih air dingin dan menunggunya lagi. Aku kembali ke dapur untuk memakan mie dan telur yang sudah aku masak tadi. Tepat ketika aku selesai makan dan mencuci piring. Alarmnya kembali berdering.
Aku langsung ke kamar mandi mematikan keran air. Lalu menanggalkan pakaianku hingga telanjang. Lalu masuk ke dalam bathtub yang suhunya sudah sesuai. Kemudian melepaskan sabun bom dari plastiknya yang masih baru. Lalu membiarkannya jatuh ke air. Buih terus bermunculan di sekitar sabun yang bentuknya bulat itu.
“Biubiu, putar lagu dari My First Story – I am a Mess,” ucapku.
“Lagu dipersiapkan,” jawab suara bocah dengan nuansa mesin yang menggema di kamar mandi ini. Setelah itu terdengar lagu yang aku inginkan. Aku berada di dalam kamar mandi selama setengah jam lamanya dengan terus memutar satu lagu yang sama.
Saat ritual menenangkan diri ini selesai. Aku dengan tubuh yang masih bertelanjang keluar dari kamar mandi dan langsung ke arah kamarku. Kemudian memilih untuk mengenakan baju tidur lepasan, dengan celana sepanjang lututku, juga atasan berlengan sampai sikuku.
Baju tidur berbahan satin yang lembut dengan furing di dalamnya. Kepalaku terbalut handuk sehingga rambut yang basah itu tidak menularkan airnya pada pakaianku. Kemudian aku melakukan rangkaian perawatan wajah di malam hari.
Setelah semua ritual itu selesai, aku bingung harus ngapain. Akhirnya aku mengambil buku fantasi dan membacanya di atas kasur. Aku terlalu fokus masuk ke dalam dunia yang diciptakan penulisnya. Tanpa kusadari waktu berlalu begitu cepat dan tinggal beberapa bab terakhir yang belum aku selesaikan.
Aku menangis, tertawa, marah, kesal hanya dengan membaca cerita itu. Namun aku dipaksa keluar dari dunia imajinasi ini karena dering ponselku. Ada yang memanggilku. Akhirnya aku bergegas ke ruang tengah lagi. Sebab ponselku ku tinggal di sana.
Ada panggilan dari Orang Gila! Sebenarnya aku ingin mengabaikannya. Namun aku terima telpon tersebut. “Halo, calon istriku! Aku di depan rumahmu!” Pekiknya dengan bahagia.
“Bangsat,” sumpahku yang langsung melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul 08.00 pagi. Aku langsung berlari untuk membuka pintu rumah ini. Sebab aku mendengar suara tetanggaku yang sangat aku kenal dari panggilan telpon ini.
“Oh, coba lihat siapa pria tampan ini. Cari siapa nak?” Tanya Tante Meidong, tetanggaku yang pali suka menggunjing. Suaranya dibuat mendayu-dayu dengan sikap yang pura-pura malu.
Benar. Orang Gila itu ada di sana. Ia keluar dari mobil yang super licin dan mengkilap bak seperti sengaja di balur minyak. Mobil berwarna hitam itu senada dengan pakaian tuxedo berwarna abu-abu yang ia kenakan. Ponselnya masih melekat di telinga kanannya.
Saat ia melihat aku keluar dari rumah. Dia melambaikan tangan lainnya yang mengenggam berkas terkutuk itu. Sungguh, aku sangat bersyukur dia masih punya otak dengan menutup isi kertas-kertas itu dengan sebuah map. Jika saja tidak, maka orang lain bisa membaca judul dari berkas itu, dan tatapan tetangga sekitar akan lebih tak tertahankan dari sekarang. Walaupun sebenarnya tatapan mereka memang sudah tidak mengenakan.
Setelah pemeriksaan singkat, Shushu menyadarinya dirinya mengalami gejala anemia dan tekanan darah rendah. Dokter meminta ners yang mendampinginya untuk memasukan Shushu sebagai daftar pasien agar bisa diberi beberapa obat untuk dikonsumsi.Pada akhirnya, ada dua pasien di dalam satu bangsal ini. Satu yang terlihat seperti akan mati kapan saja. Satu lagi yang berusaha meyakinkan semua orang dirinya tak sakit.Sebenarnya Shushu melakukan itu sebab dirinya takut disuntik dan diinfus. Dia terlihat ingin pergi dari tempat itu kapan saja. Namun Juanxi mengenggam erat pergelangan tangannya.Para perawat telah memasukan satu ranjang lagi ke ruangan rawat inap itu. Posisinya bersampingan dengan ranjang milik Juanxi.“Tidurlah dengan benar,” tegas Juanxi yang sudah mulai berbicara lancar.“Sa-sa-saya tak sakit kok,” jawab Shushu dengan formal dan tergagap. Dia terl
Tempat yang paling tak disukai Shushu terpaksa harus ia tempati selama empat hari lamanya. Sebab, kondisi suaminya yang baru ia nikahi belum seminggu itu terlihat sangat mengkhawatirkan. Suhu demamnya mencapai 40 derajat celcius.Selama dirinya di rumah sakit, bohong, jika Shushu juga tidak merasa sakit. Wajahnya pucat, makannya pun tidak karuan.Siapapun yang mengunjungi mengira Shushu sangat khawatir dengan suaminya yang terbaring tak sadarkan diri. Bahkan makan pun harus dipenuhi dengan cairan nutrisi melalui selang infus.Ada kalanya setiap Juanxi sadarkan diri untuk beberapa menit, Shushu akan membantu menyuapi air hangat atau sup hangat perlahan dengan sendok kecil. Sebab pria itu sendiri tak memiliki tenaga untuk mengangkat kepalanya.“Nak, kamu pulang saja dulu, tidak apa-apa,” tutur Sun Lili yang datang pagi sekali untuk membantu Shushu. Juanxi masih tak sadarkan diri. Namun suhu
“Kenapa kau tak cerita soal kebakaran itu padaku? Bukankah kita teman?” tanya Quo Xin. Dia benar-benar tidak tahu soal itu.Sejujurnya Quo Xin bisa menyelesaikan permasalahan dokumen yang rusak itu secepat mungkin. Hanya saja keadaannya dengan mantan mertua serta putrinya kala itu cukup rumit. Dia jarang punya waktu leluasa membuka laptopnya.Semua menjadi mudah ketika ia sudah memindahkan data putrinya di Kota B ini. Namun ini semua hanya alasan. Quo Xin merasa bersalah atas waktu yang terbuang secara cuma-cuma. Dia tak mengira masalah keterlibatan Shushu dengan situs judi online ini begitu berat. Bahkan pihak di sana berani mengancam dengan cara murahan seperti itu.“Walaupun begitu kau setuju begitu cepat untuk menikah,” ungkap Quo Xin. Kemudian ia meraih tangan Shushu dan menggenggamnya erat. “Batalkan saja kontraknya!”“Tidak bisa, kita sudah menikah. Lagipula keadaanya tidak sesimpel ini, Zhou.co itu mungkin saja tidak terlibat dengan judi online saja,” ucap Shushu. Dia menginga
Pukul enam pagi, seorang wanita paruh baya berjalan cepat menelusuri lorong rumah sakit yang panjang. Dia hanya menggunakan sandal, dan jaket untuk menutupi pakaian tidurnya. Bahkan helm pun masih bertengger setia di kepalanya.Ruang 278, tanpa ragu-ragu, dia langsung membukanya. Di dalam sana ada seorang wanita muda berdiri menganggukan kepala berulang kali atas penjelasan dokter yang bertugas.“Bagaimana?” tanya Quo Xin.“Baru saja dipindahkan dari UGD, dia demam sushu 40 derajat, sepertinya kelelahan bekerja,” tutur Shushu dengan wajah yang lelah.“Ibu juga harus istirahat yang baik untuk menjaga suami Anda. Wajah Ibu kurang baik,” ucap dokter pria itu lagi. Shushu hanya menganggukan kepalanya berulang kaliFokus Quo Xin bukan lagi cerita dibalik kenapa ia membutuhkan ambulans di pagi buta lagi. Namun, bagaimana bisa ia mendapatkan suami dalam waktu yang begitu cepat setelah ia tinggal beberapa bulan di kota lain?Setelah kepergian dokter dan perawat tersebut. Quo Xin hanya diam sa
Juanxi terus mengalami mimpi yang panjang, dan semua kejadian itu membuatnya merasa tak nyaman. Kepalanya terasa berat dan panas menerima semua informasi itu. Fakta bahwa kematian Shushu itu begitu menyedihkan membuatnya sangat terpukul.Tidak seharusnya Shushu mengalami itu semua. Dia bukan seperti apa yang digambarkan semua artikel tersebut. Wanita nakal, pemakai narkoba, penipu, dan lainnya.Hal yang membuatnya lebih terpukul ialah adegan dimana Paman Zinbei dan Ibu Yanyan datang ke kantornya untuk meminta tolong mencari kebenaran kematian Shushu.Kini Juanxi paham kenapa Shushu tadi menangis begitu lelah ketika ia tahu bahwa namanya bisa dibersihkan tidak terlibat situs judi online itu. Semua usaha Shushu menyelidiki kasusnya sendiri selama ini, agar tidak membuat dua orang tua itu sedih dan terpukul.Dalam kehidupan pertama itu, ia melihat wajah Paman Zinbei, dan Ibu Yanyan, lima kali lipat terlihat lebih tua dibandingkan kehidupannya sekarang. Mereka telah mendatangi berbagai ka
Juanxi menjadi kesal melihat ponsel milik Shushu yang terus berdering sedari tadi. Dia langsung mematikannya secara total. Lalu membawa tubuh Shushu yang tertidur karena lelah menangis ke kamarnya. Juanxi melihat keseluruhan interior ruangan yang sederhana, namun memiliki tiga pintu ruangan lainnya lagi. Dia penasaran untuk apa saja tiga ruangan di dalam kamarnya ini. Juanxi menerka salah satunya pasti toilet, dan ruang pakaian. Adapun sisanya ia tak begitu yakin. Juanxi menyadari beberapa hal dari mengenal Shushu dalam waktu yang sangat singkat ini. Dia terlalu mudah untuk percaya, namun tak ingin menaruh rasa percaya begitu dalam. Kontradiksi sekali bukan? Dua kata yang bisa dijelaskan ialah polos kebangetan. Kendati dikatakan polos, dia tahu dunia lebih baik. Apalagi soal pekerjaannya dan mengatur finansialnya. Hanya saja melihat ia menangis begitu lepas karena namanya bisa dibersihkan dari tuduhan sindikat judi online itu. Juanxi melihat sosok Shushu menjadi lebih kompleks lagi