Rose menarik Cindy, mengajaknya untuk pergi ke bank. Tania dan Gema langsung berlari ke dalam untuk mencegah mereka. Tentu tenaga Gema lebih besar dan dapat merebut berkas itu. Cindy yang marah merebut kunci motor dengan cepat. Tania terkejut, tangan Rose mendarat tepat di pipi anak kandungnya. Tania ingin menampar balik, tetapi ditahan oleh Gema. Namun, Tania lengah baru mau menoleh. Tangan Cindy mendarat di pipi adik iparnya. Gema langsung memeluk adiknya yang terguncang. Anehnya, Rose masih sempat mengambil uang yang masih digenggam Tania. Gema terus menahan tubuh mungil yang terus bergetar hebat. Tania menahan amarahnya demi Gema. Rose menarik paksa merebut berkas lagi, dibantu menantunya. Gema pun bertengkar hebat, melawan dua orang yang sangat dia sayangi. Saat Tania ingin menolong ayah kandungnya, langkahnya terhenti karena mendengar satu kalimat dari Cindy Berna.
"Kalau saja kamu nikah, kita bisa hidup enak! Apa susahnya sih dijodohin enggak mau." "Ulangi lagi!" murka Tania. "Nikah. Makanya nikah sama orang kaya. Biar aku dan ibu hidup mewah," cetus Cindy dengan cekikikan. "Heh, mikirlah! Emang, aku pencetak uang? Nikah enggak segampang itu. Biar tidak salah memilih orang seperti kalian. Najis!" hina Tania yang sudah tidak terbendung. "Cukup! Abah mohon!" pinta Ucup yang terus menyeret tubuh dan baru sampai di depan pintu kamar. "Berisik!" Rose maju ingin melakukan hal jahat lagi. Tania langsung menarik tangan dan menjambak rambut Rose. "Sakit, lepas!" jerit Rose yang menjambak balik Tania. "Kamu diam! Kalau kamu ikut, aku tidak akan beri uang gajian lagi, paham!" perintah Gema yang langsung membuat Cindy ciut. "Ibu, lepas. Tania cukup!" Gema menarik tubuh Rose. Ucup memeluk kaki anaknya mencoba menahan. Pertengkaran-pertengkaran itu terdengar ke para tetangga. Otomatis semua orang berlarian ke rumah Ucup Suherman. Ibu-ibu mencoba melerai. Bapak-bapak menolong Gema dan Ucup. Sebagian lagi merekam video dan bersorak kegirangan mendapat tontonan gratis. Warga Blok C, sudah tidak heran dengan kejadian seperti itu. Mereka mengenal watak asli dari Rose dan Cindy. *** Iis Maryati mendengarkan keributan di sebelah rumahnya. Wanita itu tersentak, langsung berlari ke rumah Tania. Dia mengkhawatirkan sahabatnya itu. Benar saja, Iis melihat pergulatan yang membuatnya keheranan. Dia melirik ke Cindy yang memprovokasi Tania. Iis marah besar, tanpa berpikir panjang dengan posisi ancang-ancang. Dia berlari kencang dan melayangkan tendangan ke perut Cindy. Cindy yang tertawa berubah jadi meringis kesakitan. Iis belum selesai, langsung menjambak rambut dan saling tarik-menarik. Di samping Iis ada tudung saji, langsung dipukul ke tubuh Cindy sampai hancur. "Iis!" Orang-orang serempak berteriak. "Ayo, lawan dong! Banyak omong, di serang balik kalah!" murka Iis yang ditahan bapak-bapak, terus berontak ketika melihat Cindy mulai paling tersakiti. "Duh, salahku apa? Tuh, Ibu-ibu. Anak Pak Aan mah gitu. Kasar dan tidak mau bayar hutang ke keluarga kami!" Cindy menahan sakit. "Itu fitnah! Aku tidak pernah berhutang. Kalian yang enggak bayar hutang! Baru saja dua hari lalu preman dan rentenir datang ke sini, kan! Ngaca!" "Terus soal nikah Tania? Mantannya saja kabur gara-gara mahar yang tinggi. Mau nikah gimana? Kalian yang menghalangi!" Lanjut Iis yang melepaskan tangan salah satu bapak-bapak. "Tutup mulutmu!" geram Rose yang ingin memukul Iis, langsung ditahan Tania. Rose mendorong Tania sampai tersungkur ke lantai. "Ibu! Sekali lagi kasar ke mereka. Aku tidak akan memberikan gajiku pada kalian!" Gema mengultimatum kembali. Tania pun menangis histeris. Gema berusaha membangunkan Tania. Tubuh Tania sudah lemas dan sempoyongan. Sang kakak memeluk erat adik tiri yang sudah dianggapnya adik kandung sendiri. Gema berusaha melakukan yang terbaik untuk semuanya. Tiga orang itu pun saling berpelukan disusul Iis. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Warga tersentuh dan hanya terdiam melihat pemandangan itu. Sedangkan, dua Nenek Lampir berdecak. Beberapa menit kemudian, Pak RT pun datang. Warga sudah pulang ke rumah masing-masing. Pak RT mengumpulkan anggota keluarga inti, Iis dan satu bapak perwakilan warga menjadi saksi. Pihak keamanan menutup pintu dan berjaga di situ. Memulailah sesi musyawarah yang di pimpin Pak RT. Kata-kata menasehati dan menegur pun disampaikan. Dari awal pun Tania tidak habis pikir dengan ayahnya. Padahal sudah disakiti berkali-kali, Ucup memaafkan Rose lagi. "Abah? Liat loh itu berkas pasti mau cari pinjaman lagi!" teriak Tania yang tidak percaya dengan kata-kata tadi. "Abah! Jangan mengalah terus atuh. Ini hak Abah untuk melarang dan memarahi Ibuku," pinta Gema yang menggenggam tangan Ucup. "Sudah! Biarkan, ini salahku yang tidak berpenghasilan lagi." Ucup mengusap wajah Tania dan Gema. "Nah, betul itu," cetus Rose yang pergi ke kamar untuk berganti pakaian disusul oleh Cindy. "Abah, halal menceraikan istri yang dzolim kaya gitu. Apa karena cinta? Abah!" Tania menatap dalam ayahnya. "Betul, Gema bagaimana? Dia nanti terpuruk sendirian. Kalau ada kita, bisa saling menopang kesulitan, kan?" Tania dan Gema terdiam, Gema menyeka air matanya. Tubuh besar itu gemetar hebat. Sang ayah tiri sangat menyanyangi Gema. Tania memeluk Gema mencoba menenangkannya. Pak RT dan bapak tetangga menepuk-nepuk punggung pria berambut hitam pendek itu. Tamu pun berpamitan pulang, rumah kembali tenang. Rose dan Cindy sedang bergosip ria. Gema memeluk erat Ucup, mengecup kening dan punggung tangan. Ucup digendong Gema kembali ke kamar, Iis sudah menitipkan Ucup ke ayah dan ibunya. Mereka pun berangkat kerja bersama-sama, untuk kendaraan mulai patungan menggunakan jasa mobil online. Dalam kesunyian dan kesendirian itu, pria yang tanggung dan gagah pun akan runtuh. Ucup menangis dan meraung, berkali-kali memukul kaki yang semakin kurus. Sudah dua tahun mengalami kelumpuhan dari pinggang ke kaki. Sebelum pensiun, dia bekerja di kantor pemerintahan, ASN (Aparatur Sipil Negara) sebagai Administrasi Kota Bandung. Dia sangat berkecukupan, menyukai berinvestasi membeli tanah dan sawah. Ucup terkenal dengan kejayaannya di perumahan Balitsa. Namun, Rose berubah total kala Ucup mengalami musibah kecelakaan dan pensiun. Berkali-kali Sang suami menasehati dan memarahi, Rose semakin berontak. Ucup punya niat untuk bercerai, tapi dia ingat sebuah janji. "Gusti! Neng Euis Aryanti, Aa minta maaf. Kenapa kok kamu tega ninggalin Aa? Sekalian atuh bawa aku ke langit! Aa lelah!" keluh Ucup yang memeluk pigura foto, siluet wajah wanita yang cantik dan manis sangat mirip dengan Tania. "Kenapa, Neng Euis berpesan seperti itu? Kenapa Aa harus menikahi Rose? Apa ini keinginanmu, Neng? Menghukumku sedemikian rupa, agar Aa menembus dosa saat Euis mengandung! Aa malah berfoya-foya dan melupakan, Neng!" jerit Ucup pelukannya semakin erat."Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d