Share

Kesedihan yang Tersembunyi

Alana menatap pada dua cangkir coklat panas yang dia buat beberapa menit lalu. Alana mengambil satu cangkir berwarna kuning gelap yang ada di atas nampan kesayangannya. Dia memberikan cangkir itu pada Shelley dengan tersenyum.

“Shelley, minumlah coklat panasmu,” ucap Alana.

Shelley menerima cangkir itu dengan tersenyum, membalas senyuman Alana. “Terima kasih Alana.” Alana mengangguk.

Setelah Shelley mengucapkan ucapan terima kasih padanya, Alana langsung mengambil satu cangkir yang tersisa dengan warna yang sama.

Hah, aku jadi teringat dengan Lizzie. Kira-kira, apa yang sdang dilakukan oleh Lizzie dan Adward, ya?” batin Alana bertanya-tanya.

Coklat panas yang telah dibuatkan oleh Alana, mengaliri tenggorokan Shelley yang kering. Panas dari suhu coklat itu mulai menghangati tubuh Shelley yang sedikit kedinginan karena pakaian lengan pendek yang dia gunakan.

Alana menaruh cangkir yang sudah tersisa setengah coklat panas. Dia terus-menerus menanyanyakan pada dirinya apakah ini waktu yang tepat untuk menceritakan segalanya pada Shelley.

“Shelley, aku ingin memberitahu hal yang belum pernah aku beritahu kepada orang lain,” ujar Alana.

Shelley menaruh cangkir berwarna kuning tua disebelah cangkir bekas Alana.

“Silakan Alana. Aku akan berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.”

Alana menghembuskan napas berat. Jujur saja, ini pertama kalinya menceritakan masalah pribadi yang selalu menimpanya setiap berada di manison kedua orangtuanya.

“Aku selalu dibanding-bandingkan dengan Adward,” ucapnya menatap kaki putih pucatnya yang berada di atas karpet bulu yang hangat.

Shelley terdiam. Dia berusaha untuk mencerna ucapan Alana. Hal yang terjadi pada Alana mungkin sering dirasakan oleh orang-orang diluaran sana. Dibanding-bandingkan dengan saudara lebih menyakitkan daripada dibanding-bandingkan dengan anak tetangga. Memang benar kalau dia tidak pernah merasakan dibanding-bandingkan dengan saudara, karena dia tidak memiliki saudara dan orang tua. Namun, itulah yang selalu dikatakan oleh teman lamanya. Teman lama yang dulu sangat dekat dengannya, selalu ada disaat dia membutuhkan, dan kini, dia telah pergi. Entah kapan dia bisa bertemu dengan teman lamanya itu. Karena yang memisahkan mereka bukanlah daratan ataupun lautan, melainkan teman lamanya sudah berada di sisi Tuhan.

“Kenapa bisa?” tanya Shelley dengan bingung.

“Dia selalu lebih jauh berada di depan. Sedangkan aku, masih harus mengejarnya untuk bisa mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuaku.”

Flashback on...

“Selamat datang di manison Nona,” sapa seorang wanita yang berusia setengah abad dengan pakaian khas pelayan di manison milik keluarga Corda.

“Terima kasih. Ibu Julia, dimana ayah dan ibuku?” tanyanya sambil melangkahkan kakinya.

“Nyonya sedang membaca majalah di ruang tengah dan tuan sedang berada di ruang kerjanya, Nona Alana,” jawabnya dengan hormat.

“Hah, sore-sore begini ternyata ayah sedang mengurusi perusahaannya,” keluh Alana.

Sang pelayan hanya diam. Dia takut menimpali ucapan anak kedua dari majikannya. Dia sangat takut kalau salah berbicara dan membuat pekerjaannya sebagai kepala pelayan lenyap begitu saja.

Alana yang saat itu masih berusia 19 tahun, melihat sebuah figura besar yang terpajang di ruang tamu manison milik kedua orangtuanya. Sebuah foto berukuran besar yang dilindungi oleh kaca tebal dan bingkai berkualitas tinggi dengan warna silver. Didalam foto itu terdapat dirinya, kedua orangtuanya, dan saudra kembarnya, Adward. Didalam foto itu terlihat seperti keluarga yang harmonis dan saling menyayangi satu dan lainnya. Namun, tidak dengan kenyataan yang harus dia terima. Kedua orangtuanya lebih menyayangi dan perhatian dengan saudara kembarnya, ketimbang dirinya yang merupakan anak perempuan satu-satunya yang ada di keluarga Corda.

Tidak jarang Alana menanyakan pada Tuhan kenapa takdir yang harus dia jalani sesulit ini. Terkadang pula, Alana berpikiran untuk pergi jauh-jauh dari keluarganya dan tidak akan lagi berkomunikasi dengan seluruh keluarga Corda. Pikirannya itu, membuatnya selalu ingin pergi ke suatu negara yang berbeda dengan benua yang dia dan seluruh keluarga besarnya tinggali sekarang. Dia akan memulai hidup baru di negara yang entah sampai kapan dia akan tinggali. Dengan begitu, dia bisa hidup lebih tenang dan damai ketimbang berada didekat kedua orangtuanya.

Pandangan mata Alana tertuju pada seorang wanita yang menggunakan dress berwarna hijau gelap. Wanita berambut blonde yang sedang membaca majalah, hanya diam ketika Alana duduk disebelahnya. Pandangan wanita itu terus tertuju pada majalah mingguan yang sudah dia baca sejak beberapa menit lalu.

“Mom,” sapa Alana, berharap sang ibu menatapnya dan menanyakan kabarnya.

“Heem.” dehem ibunya tanpa melihat Alana sedikit pun.

Alana mengalihkan pandangannya pada sang kepala pelayan yang hendak pergi. Alana menyiratkan tatapan kesedihan pada sang kepala pelayan. Respon dari ibunya tadi, sudah membuat hati Alana seperti tersayat. Sang kepala pelayan hanya bisa tersenyum tipis. Dia menunduk hormat dan pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum terselesaikan.

“Mom, bisakakah kau bersikap padaku seperti sikap yang kau berikan pada kembaranku? Aku pulang ke manison karena rindu dengan Mommy dan daddy,” ucap Alana dengan air mata yang mulai menetes.

Wanita yang tak lain adalah ibu kandung Alana, menutup majalahnya dengan kasar dan menatap tajam pada sang anak. “Usiamu berapa, hah? 19 tahun kan? Kenapa kau masih saja menangis seperti anak kecil?” maki sang ibu.

“Jangan panggil aku Mommy, jangan panggil suamiku daddy, dan jangan panggil putraku dengan sebutan nama. Kau harus memanggilku dengan Nyonya Corda. Kau harus memanggil suamiku dengan sebutan tuan Corda. Dan kau harus memanggil putraku dengan sebutan tuan Adward Corda. Dan ... kau hanyalah parasit yang selalu merugikan kami bertiga.”

“Kau ingin aku bersikap padamu seperti aku bersikap pada putraku?” Alana mengangguk disela-sela tangisannya.

“Kau harus bisa melampaui prestasi yang dimiliki putraku. Apa kau bisa, Gadis Bodoh?!”

Alana langsung bangkit dari duduknya dan berlari menuju tangga yang melingkar. Sambil menaiki anak tangga yang berjumlah belasan, tangisan Alana tidak bisa dihentikan. Setelah tiba di anak tangga terakhir, Alana langsung berlari dengan cepat menuju kamar tidurnya yang berada disebelah kamar tidur milik saudara kembarnya.

Alana membuka pintu kamarnya dan menutup pintu itu kembali dengan cepat. Pandangannya tertuju pada sebuah figura yang berisi seorang gadis berusia 19 tahun dan seorang wanita yang sudah berusia setengah abad lebih. Langkah kakinya menuju ranjang queen size. Sambil tetap mengeluarkan air matanya yang sedari tadi belum berhenti, Alana menyenderkan punggungnya pada sandaran ranjang. Tangan kirinya terulur untuk mengambil figura itu dan tangisannya semakin deras tatkala melihat wajah wanita yang berada didalam pelukannya.

“Nenek,” gumam Alana disela-sela tangisannya.

“Kenapa mommy tidak berubah? Nenek pernah bekata kalau mommy akan berubah, tapi kenapa mommy tidak berubah juga? Kenapa Nek? Apa aku tidak pantas mendapat kasih sayang dan perhatian mommy? Apa aku memang ditakdirkan seperti ini?” tanya Alana pada sang nenek, seolah-olah neneknya mendengarkan ucapannya.

Tok ... tok ... tok

Alana menghapus sisa-sisa air matanya yang masih mengalir. Dia tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang penderitannya, terlebih kalau itu adalah sudara kembarnya. Kalau sampai saudara kembarnya tahu, bisa-bisa ibunya semakin membencinya. Oleh karena itu, ibunya dan dia selalu bersikap baik-baik saja saat ada saudara kembarnya.

“Ekhem.” Alana berdehem supaya tahu seperti apa suaranya. Apakah suaranya masih terdengar seperti orang menangis atau suarnya sudah kembali normal seperti Alana yang ceria.

“Ekhem.” Alana berdehem lagi supaya suaranya kembali seperti semula.

Setelah Alana yakin dengan suaranya, barulah dia mengeluarkan suaranya. “Masuk,” ujar Alana pada orang yang telah mengetok pintunya dari luar.

Pintu terbuka dengan perlahan. Tampaklah seorang wanita dengan pakaian khas pelayan yang melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju kamar sang anak majikan.

“Selamat sore Nona Alana. Nyonya Solva meminta Nona untuk pergi ke manison-nya sekarang,” ucap sang pelayan dengan sopan.

Sebagai jawaban, Alana hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada sang pelayan.

“Kalau begitu Saya akan membantu Nona untuk mengambil pakaian,” ujar sang pelayan sambil berjalan kearah lemari pakaian dua pintu yang bewarna putih.

Alana tidak menolak. Dia membiarkan sang pelayan mengambilkan pakaian yang akan dia kenakan untuk mengunjungi neneknya. Sang pelayan membuka pintu lemarik dan memilah-milah pakaian yang cocok untuk dipakai oleh anak dari majikannya.

Pandangan Alana memang tertuju pada sang pelayan yang sedang sibuk memilihkan pakaian yang akan dia pakai, tetapi pikirannya tertuju pada alasan sang nenek menyuruhnya datang ke mansion. Tidak ada yang salah akan hal ini. Biasanya kalau dia berada di manison kedua orangtuanya, sang nenek pasti akan segera berangkat ke mansion kedua orangtuanya. Kira-kira apakah ada suatu hal yang disembunyikan oleh neneknya? Atau mungkin neneknya ingin memberitahukan suatu hal yang sangat penting? Atau ...

“Arghh, kenapa aku malah pusing begini?” batin Alana sambil menarik dengan pelan rambut blondenya.

“Ada apa Nona?” tanya sang pelayan dengan panik saat melihat anak dari majikannya menarik rambutnya.

Alana melepaskan tarikan rambutnya dan menyengir. “Ah, tak apa. Rambutku hanya gatal saja,” alibi Alana dengan harapan sang pelayan tidak khawatir padanya.

“Kalau rambut Nona gatal, kenapa Nona tidak menggaruknya dengan pelan? Kan kalau rambutnya ditarik, takutnya rambut asli dan indah milik Nona bisa rusak,” ucap pelayan dengan khawatir.

“Terima kasih karena sudah khawatir pada rambutku dan terima kasih juga sudah memuji rambut asliku ini. Aku hanya sedikit kesal saja, kenapa rambutku dari tadi masih saja gatal. Padahal sudah aku garuk dengan perlahan,” dusta Alana sambil menyengir.

“Apa perlu rambut Nona disemprot oleh-”

“Tidak perlu! Lagipula ini hanya gatal biasa dan aku yakin sebentar lagi akan hilang,” tolak Alana.

“Baiklah Nona, kalau begitu Saya akan mencarikan rok untuk Nona,” ucapnya sambil melangkahkan kakinya menuju lemari.

Alana telah mendapatkan kaos berwarna putih dan jaket jeans berwarna biru. Dia juga sudah mendapatkan sepatu kets berwarna putih yang sudah berada di atas karpet bulunya. Pandangan Alana tertuju pada celana jeans yang ada diantara lipatan celana lainnya.

“Aku akan memakai celana saja,” ujar Alana.

Sang pelayang mengikuti ucapan Alana dan mulai mencari celana yang cocok untuk dipakai oleh Alana.

“Mungkin celana jeans berwarna biru itu cocok,” saran Alana sambil menunjuk celana jeans yang sedari tadi sudah merebut perhatiannya.

***

Alana menuruni anak tangga dengan perlahan. Kini dia sudah siap untuk pergi ke manison neneknya yang menghabiskan waktu setengah jam dari manison kedua orangtuanya. Rencananya, dia akan mengendarai mobilnya sendiri, tetapi kata pelayannya tadi, neneknya sudah menyuruh sopir pribadinya untuk menjemputnya.

Saat di anak tangga terakhir, Alana bisa mendengar dengan jelas tawa dari tiga orang yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tanpa perlu melihat siapa, Alana sudah tahu siapa saja orang yang ada di ruang tengah.

“Pasti itu adalah mommy, daddy, dan Adward. Hah, beruntungnya Adward bisa mendapat kasih sayang dari mommy dan daddy,” batin Alana.

Pandangan Alana tertuju pada tiga orang yang sudah dia ketahui siapa. Sofa ruang tengah membelakangi dirinya, sehingga ketiga orang itu tidak tahu kalau dirinya akan pergi ke manison neneknya.

Adward berada ditengah-tengah kedua orangtuanya. Terkadang, Alana merasa iri dengan Adward. Hanya rasa iri yang hinggap saat Adward berkumpul dengan kedua orangtuanya. Ingin sekali dia mengubah takdir, tetapi itu mustahil untuk dia lakukan. Ingin rasanya dia pergi ke sisi Tuhan, tetapi ini belum saatnya untuk pergi. Entah kapan dia bisa merasakan berada diposisi Adward. Entah berapa lama itu bisa terwujud, yang pasti dia sangat ingin berada diposisi Adwrad.

Flashback off...

Alana tersenyum. Dari senyuman itu berkata kalau dirinya baik-baik saja. Namun, Shelley tidak mempercayai senyuman yang berusaha membohonginya.

“Alana, kau hebat bisa bertahan sampai saat ini. Kalau aku bearda menjadi dirimu, belum tentu aku ada sampai saat ini,” ucap Shelley dengan tersenyum.

Alana tersenyum kecil. “Terima kasih sudah memujiku Shelley. Tapi jujur saja, semua yang aku lalui tidaklah mudah. Dan kalau ditanya, apakah aku ingin segera berada diposisi Adward, jawabannya pasti aku ingin. Namun, aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat menurut takdir. Entah itu 10 tahun lagi, aku akan selalu menunggunya dengan sabar.”

“Oh ya Shelley, terima kasih karena sudah mau mendengarkanku.” Shelley mengangguk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status