Share

Best Destiny

Lizzie yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam dan mengikuti segala yang dilakukan oleh pria tampan dihadapannya.

“Alana dan ... Shelley, aku akan pergi bersama Lizzie. Kalian jaga diri baik-baik,” pesan pria itu sebelum pergi bersama Lizzie.

“Dia kakak kembaranku,” ujar Alana setelah meneguk soda dingin miliknya.

Shelley mengangguk kecil.

Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley mengucapkan pendapatnya tentang kembaran Alana. “Pantas saja dia menjadi idola kampus ketiga. Seharusnya kau bangga dengan kembaranmu, Alana,” pendapat Shelley.

Alana memutar bola matanya malas. “Kuharap kau tidak keturalan virus dari Lizzie, Shelley. Huh, entah kenapa aku merasa tidak beruntung ketika mendapatkan kembaran seperti Adward.” Kesal Alana.

“Tapi kenapa?”

Jujur saja Shelley tidak paham dengan maksud Alana. Seharusnya Alana bangga dengan kakak kembarannya. Tetapi, kenapa ini malah kebalikannya?

“Aku selalu dibanding-bandingkan dengannya,” ujar Alana dengan tatapan tertuju pada tiang lampu taman.

Tanpa Alana berucap kalau dia sedang bersedih, Shelley sudah mengetahuinya lebih dahulu. Karena Shelley memiliki kemampuan. Suatu kemampuan yang didapatnya turun temurun dari keluarga ibunya. Kemampuan ini hadir dalam diri nenek moyangnya, nenek buyutnya, ibunya, dan berakhir di dirinya. Kemampuan yang dimiliki Shelley adalah peka dengan keadaan dan kondisi seseorang.

Shelley mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Alana yang tidak memegang kaleng soda. Alana mengalihkan pandangannya dari tiang lampu taman pada Shelley yang menggenggam telapak tangannya. Menyalurkan rasa hangat dan memberikan rasa menenangkan baginya. Namun, tidak hanya dua perasaan itu saja yang menjalar dalam dirinya ketika telapak tangannya digenggam oleh Shelley. Perasaan itu adalah perasaan yakin baginya untuk memberitahu Shelley tentang apa yang dia rasakan selama ini.

Jika dia memberitahu hal ini pada Shelley, maka Shelley adalah orang pertama yang mengtahui tentangnya. Bahkan, Lizzie tidak pernah tahu bagaimana kondisinya saat berada di manison kedua orangtuanya. Apalagi saat ada kembarannya, Adward.

“Aku akan menceritakan suatu rahasia besar yang belum diketahui oleh siapapun. Bahkan Lizzie belum mengetahui rahasia ini,” bisik Alana dengan sangat pelan agar tidak ada orang yang mendengar ucapannya pada Shelley.

“Lizzie belum mengtahui hal ini?” Alana menggeleng.

“Tapi kenapa? Bukankah kalian sudah bersahabat sejak lama?” tanya Shelley dengan sangat bingung.

“Sebenarnya aku ingin memberitahukan hal ini padanya, tetapi aku masih ragu apakah dia bisa menutup mulutnya atau tidak.” Shelley manggut-manggut.

“Kalau begitu, ayo ke apartemenku. Di sana lebih aman daripada aku menceritakannya di sini,” ajak Alana dan langsung disetujui oleh Shelley.

***

Ting...

Alana dan Shelley melangkahkan kaki mereka untuk keluar dari lift yang telah membawa mereka ke unit apartemen milik Alana yang berada di lantai 7. Sambil melangkahkan kakinya, Shelley melihat-lihat interior dari lorong apartemen ini. Interior gedung apartemen ini sama seperti gedung-gedung apartemen elit lainnya. Red carpet membentang dari depan lift menuju ujung lorong yang merupkan dinding kaca tebal. Di sebelah semua pintu unit apartemen, terdapat vas bunga setinggi lutut orang dewasa. Di atas vas bunga itu, terdapat sebuah alat yang menggantikan kunci manual pada pintu unit apartemen. Shelley menebak kalau alat itu bisa mengguankan tiga metode cara. Yang pertama menggunakan sidik jari. Yang kedua menggunakan kata sandi. Dan yang terakhir menggunakan sensor wajah dari pemilik unit apartemen.

Langkah Alana terhenti pada pintu ketiga dari lift yang mereka naiki tadi. Alana menempelkan jari tengahnya pada sensor sidik jari dan memasukkan empat angka. Setelah kedua langkah itu selesai, pintu unit apartemen terbuka secara otomatis. Alana menatap Shelley dan mengajaknya masuk kedalam unit apartemn yang dia beli dengan uang sendiri sejak 2 tahun yang lalu.

“Duduklah, aku akan mengambilkan minuman untukmu,” ucap Alana setelah menyalakan smart TV miliknya.

Shelley mengangguk dan tersenyum, sambil mendudukkan tubuhnya di sofa panjang berwarna abu-abu terang. Alana membalas senyum Shelley. Dia kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur yang sangat sering dia datangi. Alana membuka kulkas 4 pintu miliknya. Pandangannya tertuju pada rak minuman. Terdapat banyak jenis minuman berjejer rapi di rak minuman.

“Astaga, kenapa aku bisa lupa menanyakan apa yang ingin diminum oleh Shelley,” pekik Alana pada dirinya sendiri.

Tanpa menutup pintu kulkas, Alana melangkahkan kakinya dengan lebar menuju ruang tengah. Dari sini, dia bisa melihat Shelley yang sedang membaca majalah miliknya yang tadi pagi dia taruh asal di sofa itu.

“Shell, kau mau minum apa?” tanyanya setelah berada di dekat Shelley.

“Air mineral saja,” jawab Shelley sambil menaruh majalah fashion yang tadi dia lihat.

“Baiklah,” ujarnya setelah itu membalikkan badan dan melangkahkan kakinya menuju dapur.

Alana membuka salah satu laci kitchen set dan mengambil dua buah gelas kaca. Dia menaruh kedua gelas kaca itu di atas nampan berbentuk bundar dengan ukiran yang rumit. Nampan ini adalah nampan yang sangat dia jaga dan nampan yang paling sering dia pakai. Bukan karena harga yang mahal, tetapi dari siapa nampan yang kini berada di hadapannya.

“Shelley hanya meminta air mineral saja. Bagaimana kalau aku buatkan coklat panas untuknya? Ya, itu lebih baik. Coklat panas sangat cocok diminum saat hujan begini, ditambah lagi aku akan menceritakan semuanya tentangku. Ya, itu sangat cocok!” batin Alana.

Saat diperjalanan pulang, cuaca yang semula cerah langsung berubah menjadi mendung dan turunlah rintik-rintik hujan. Semakin lama, rintik-rintik hujan berubah menjadi butiran-butiran yang berukuran sedang. Sampai sekarang pun hujan masih saja mengguyur kota New York.

***

Setelah kepergian Alana kembali ke dapur, Shelley kembali mengambil majalah yang dia baca tadi. Di majalah itu, terdapat beberapa model internasional, penyanyi yang sedang naik daun, dan beberapa halaman berisi tentang pengusaha sukses atau anak-anak dari para pengusaha itu.

Jemari lentiknya kembali membuka halaman 13. Pandangannya tertuju pada seorang model profesional sejak kecil. Di halaman itu menjelaskan tentang latar belakang sang model beserta fakta-fakta menarik tentangnya.

“Cassandra Vallerry Maxllan,” gumam Shelley.

“Iya, Cassandra Vallerry Maxllan. Astaga, dia sangat cantik,” sahut Alana dengan semangat sambil membawa nampan di kedua tangannya.

“Apakah kau tidak tahu Cassandra?” tanya Alana setelah menaruh nampan itu dan mendudukkan tubuhnya tepat disebelah Shelley.

Shelley hanya menggeleng. “Aku t-tidak pernah tahu tentangnya.”

“Astaga Shelley! Dari benua mana kau ini?! Cassandra tidak hanya terkenal di New York saja, tetapi dia terkenal di seluruh dunia,” pekik Alana.

“Ternyata kau sangat terkenal, Cassy. Aku bangga denganmu Cassy,” batin Shelley dengan sangat bangga.

Shelley menyengir kecil. “Aku sangat jarang melihat berita-berita di TV ataupun di sosial media.”

Alana membulatkan kedua matanya hingga manik berwarna cokelat tua miliknya terlihat sempurna. “W-what? Apakah ucapanmu benar?” Shelley mengangguk yakin.

“Wow Shelley, kau hebat. Di saat orang diluaran sana tidak bisa lepas dari sosial media, kau malah tidak pernah melihat apapun dari sosial media.” Shelley mengangguk lagi.

“Coba aku lihat ponselmu,” pinta Alana.

Shelley mengambil ponsel jadul miliknya yang berada di dalam saku. Sambil memberikan ponsel miliknya, Shelley terus-terusan mengamati wajah Alana yang terlihat kaget karena ponselnya.

“A-apa? Kau masih memakai ponsel ini?” tanya Alana dengan kaget sambil melihat-lihat ponsel milik Shelley.

“Iya,” jawab Shelley dengan gampang.

“Tapi Shelley, ponsel ini sudah sangat ketinggalan zaman!”

“Kalau masih bisa digunakan, kenapa tidak,” ujar Shelley dengan nada sedikit bercanda.

“Kalau boleh tahu, ayahmu pemilik perusahaan apa?” tanya Alana dengan tangannya yang menyodorkan ponsel Shelley.

“Ayahku ... sudah tiada. Aku hidup sendirian di dunia ini,” balas Shelley dengan tatapan sendu miliknya.

Alana terdiam karena ucapan Shelley. Dia tidak menyangka kalau Shelley hidup sendirian selama ini. Dia pikir, Shelley adalah anak konglomerat yang sengaja mengubah dirinya menjadi cupu karena suatu hal.

“Sejak kecil, aku sudah kehilangan kedua orangtuaku,” ucap Shelley dengan pilu.

Alana mengulurkan tangannya untuk membawa Shelley kedalam pelukannya. Dia membiarkan Shelley menangis di dalam pelukannya dan membasahi pakaiannya. Telapak tangannya mengusap pelan bahu Shelley yang bergetar karena menangis.

Alana pun merasakan kesedihan yang hampir sama dengan yang dirasakan oleh Shelley. Shelley melerai pelukannya dengan Alana.

“Sebenarnya aku dikuliahkan oleh majikanku. Aku sangat beruntung mendapat majikan seperti mereka yang selalu menganggapku sebagai anak kandung mereka.” lanjut Shelley.

“Maafkan aku karena sudah membuatmu menangis, Shelley,” pinta Alana dengan sedih.

Shelley teresenyum. “Ini bukan salahmu Alana. Ini lah takdir yang harus aku lewati.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status