Share

Perjumpaan Kembali

“Argh!”

Falisha mengerang perlahan, ketika merasakan kepalanya berdenyut nyeri saat ia membuka matanya.

“Kamu sudah sadar?”

Pertanyaan dasar ini meluncur dari bibir pria yang pertama dilihat Falisha dan ia yakin pria itu bukanlah dokter ditilik dari jas hitam tidak terkancing yang membalut tubuhnya.

Falisha tidak menjawab, pening yang mendera kian kuat membuatnya spontan mengangkat tangan untuk memijat pangkal matanya.

“Falisha? Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit atau gimana?” tanya pria itu lagi dengan langkah kaki yang kontan dipercepat karena reaksi yang ditunjukkan Falisha, “Rio panggil dokter!” titahnya kemudian sambil menekan tombol yang berada di samping brankar.

Pijatan sederhana dengan jemari gempal Falisha sebenarnya tidak terlalu banyak membantu tapi pening itu sudah tidak lagi ia pedulikan sebab pria yang kini beridir tepat di samping brangkar telah mengalihkan perhatian sepenuhnya.

Falisha menurunkan tangannya, detik itu juga ia mendapati ada sepasang netra biru yang menatapnya lekat. Kesan memesona sekaligus familiar di dapatkan oleh Falisha.

“Falisha, are you okay?” ucap pria itu lagi tanpa memutuskan kontak mata, ada kecemasan yang tertera nyata di netranya, “meski mengenakan helm, Dokter bilang kepalamu mengalami benturan. Gimana perasaan Kamu sekarang?”

Kembali, Falisha tidak menjawab. Mulutnya seolah terkunci karena sosok pria tampan yang ada di hadapannya itu.

“Falisha?”

“Aku nggak apa ..,” desis Falisha menjawab dengan suaranya yang serak dan kering, “Kamu siapa? Kenapa bisa Kamu mengenalku?” tanyanya tidak tahan lagi.

Bukan tanpa alasan, karena tidak cuma sekali dua kali pria itu memanggil namanya seolah sudah kenal lama padahal menurutnya ini merupakan pertemuan pertama mereka.

Tertegun sesaat pria itu karena pertanyaan yang diajukan oleh Falisha, tapi detik berikutnya senyum tipis terukir di wajahnya.

“Minum dulu, ya?” ucap pria itu seraya mengambil air mineral yang telah tersedia di atas meja samping brankar Falisha. Namun, Falisha membatu dan hanya memandanginya saja seolah menuntut penjelasan lebih.

Mata beriris biru itu menyipit, dia menghela napas panjang karena penolakan secara tidak langsung Falisha.

"Tentu saja Aku mengenalmu, Sasha! Falisha Tahira Tirta, anaknya Om Teddy dan Tante Miranda. Kenanga Hills, kompleks D, rumah nomor lima!" cerocos pria itu yang membuat Falisha serta merta terperangah dengan kening berkerut dan kepalanya kian kosong karena kebingungan, “Tadinya Aku juga tidak tahu kalau ini Kamu, tapi kartu identitas yang kulihat di tasmu menjelaskan banyak hal.” 

Falisha sama sekali tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang pria asing bisa mengetahui alamat rumahnya yang lama, nama orang tua hingga nama panggilan masa kecilnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui tentang hal itu dan tidak mungkin diketahui hanya dari selembar kartu identitas yang berisikan informasi dasar yang bahkan tidak tertera di sana.

“Oh, come on Sasha! Bisa-bisanya kamu melupakanku?” tegur pemilik rahang tegas itu, tapi respon yang ia peroleh hanya kerutan di dahi Falisha kian dalam, “ck! Pohon mangga tengah komplek, lima jahitan, dan Kamu nangis kejer seharian karena nggak mau Aku mati,” lanjutnya sambil mengangkat tangan untuk menyibak rambut dan memperlihatkan bekas luka yang nyaris tidak terlihat di bagian atas telinga.

Tercenung Falisha melihat bekas luka itu dan seketika matanya membesar saat ingatan melemparnya ke masa lalu. Dua puluh tahun yang lalu dia memang pernah membuat seorang anak laki-laki terluka.

“Mamat? Beneran Mamat? Astaga, Tuhan!” ceplos Falisha langsung, tidak percaya dia dengan apa yang tengah dilihatnya saat ini.

Bagaimana tidak, jika pria yang ada di hadapannya ini sungguh sangat jauh berbeda dengan sosok yang pernah singgah di ingatannya.

Bocah gemuk, pendek yang selalu bermain dengan Falisha dulu kini sudah berubah menjadi sosok pria dewasa yang tampan, tinggi, tentu didukung dengan bentuk tubuh yang proposional.

“Matteo, Sasha!” koreksi pria itu, tidak terima jika diingat dengan nama panggilan yang memang hanya Falisha saja yang memanggilnya demikian.

Matteo Saguna Taslim adalah nama lengkap si pemilik mata biru, pria yang dua tahun lebih tua dari Falisha ini merupakan teman bermain saat kecil wanita itu.

Keduanya berteman bukan hanya karena bertetangga dengan rumah saling hadap-hadapan kala itu tapi juga karena orang tua mereka juga bersahabat.

Terakhir kali berjumpa dengan Matteo ketika pria itu pindah ke Amerika, ketika Falisha baru akan masuk sekolah menengah pertama. Sekian lama tidak berjumpa, reuni antara mereka terjadi dengan tidak biasa.

Koreksi dari Matteo menuai cengiran kecil Falisha, baginya sulit merubah panggilan itu. Sebab, sejak awal dia sudah berlaku demikian. Falisha kecil yang cadel kesulitan mengucapkan lafal Matteo hingga terciptalah panggilan Mamat sebagai alternatif.

Ada berbagai pertanyaan yang langsung timbul di kepala Falisha karena perjumpaan kembalinya dengan Matteo ini. Akan tetapi, belum sempat satupun dia suarakan, Matteo sudah lebih dulu angkat bicara.

“Maaf … sampai membuat Kamu seperti ini. Supirku mengantuk hingga menabrak kalian. Untung saja tidak ada luka serius padamu, cuma luka lecet luar dan ada benturan tapi tadi Dokter bilang kepalamu tidak apa-apa,” ujar Matteo menjelaskan, rasa bersalah terasa nyata dalam nada bicaranya.

Karena penjelasan singkat Matteo, Falisha juga ingat apa yang terjadi terakhir kali padanya. Fokus Falisha kontan berkumpul pada satu bagian saja saat ini, Ameera putri semata wayangnya.

“Mat … anakku mana?” tanya Falisha sambil mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Ameera di ruangan yang jelas-jelas hanya diisi olehnya dan Matteo.

####

Visual Abang Matteo ada di i*-ku ya~~

Cusss, kepoin!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status