Share

Fakta Yang Terungkap

"Apa maksudmu, Mas?!"

Mendengus Bramantyo mendengar pertanyaan itu, “Mobil, tanah, termasuk rumah ini … semua atas namaku!” sanggah Bramantyo. “Kamu atau anak tulimu itu tidak berhak sepeser pun atas hasil kerja kerasku!” sambungnya ketus tanpa menurunkan tangannya yang masih berada di pinggang.

Membesar mata Falisha akan apa yang baru saja dilontarkan oleh Bramantyo.

'Segala sesuatunya pasti telah disusun oleh pria itu matang-matang,' pikir Falisha. Falisha menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir.

“Tega kamu, Mas, mengambil hak anakmu sendiri?” sindir Falisha dengan wajah pias dan basahnya.

Sayang, pria yang masih menghadapnya dengan arogan itu tak peduli. Atas hasutan Hera, dengan dalih peduli padanya, Bramantyo mulai berlaku menyimpang dari segala kesepakatan pra nikah yang pernah ia sepakati bersama Falisha, termasuk dalam urusan harta.

“Kamu boleh tidak menafkahiku setelah ini, Mas! Aku tidak akan mempermasalahkannya!”

“Tentu tidak! Untuk apa Aku melakukannya!” sela Bramantyo cepat.

Falisha mengambil napas dalam sebelum menyahut, “Tapi Ameera itu Putri kandungmu dan kamu sebagai ayahnya wajib menafkahinya!”

Bagi Falisha, ada yang namanya mantan istri atau mantan suami, tapi tidak ada yang namanya mantan anak dan dia geram sekali dengan sikap Bramantyo yang seenaknya ini.

“Kalian berdua bisanya hanya menyusahkan saja!” lanjut Bramantyo kembali menggores luka di hati Falisha melalui kata-katanya yang kasar.

Tersulut amarah Falisha karena kalimat Bramantyo, “Anak tetaplah anak, Mas! Ameera tanggung jawabmu!” ucap Falisha memperjuangkan hak Ameera, meskipun ayah kandungnya sekarang bertingkah bagai kacang lupa kulitnya.

Pria itu memulai semuanya dari awal sekitar lima tahun yang lalu, bekerja keras hingga bisa berada di posisinya sekarang yang merupakan seorang manajer operasional sebuah perusahaan besar. Sudah jelas, dibalik kesuksesan Bramantyo tidak lepas dari dukungan sang Istri di balik layar, terutama di tiga tahun awal pernikahan mereka.

Bramantyo bagai hilang ingatan dengan semua kerja keras Falisha yang menemaninya dari nol hingga bisa menapaki kehidupan layak. Gelimang sedikit harta itu membuat Bramantyo lupa diri dan dengan mudahnya mendepak Falisha, juga Ameera yang dinilai memalukan, menyusahkan serta tentunya menghambat laju karir miliknya.

“Aku tidak mau punya anak tuli! Kesialan itu pasti bersumber dari kamu!!”

Setelahnya, Bramantyo langsung meninggalkan Falisha begitu saja dan melangkahkan kakinya. Tujuannya adalah Ameera. Putri mereka itulah yang jadi kelemahan sang istri. Untuk itu, agar Falisha suka rela pergi dari rumah ini, Bramantyo harus lebih dulu mengusir Ameera.

Bramantyo tahu harus kemana mencari Ameera, kamar adalah tempat ternyaman bagi anak perempuan yang tengah berulang tahun itu. Miris, ayahnya sendiri lupa akan hari lahirnya. Pintu kamar Ameera dia buka dengan keras, hingga bocah yang tengah bermain dengan bonekanya itu langsung menoleh keheranan.

Tanpa banyak bicara, merasa tidak perlu menjelaskan apapun pada anak itu, Bramantyo pun masuk ke kamar begitu saja dan kemudian menyambar kasar tangan Ameera lalu menyeretnya keluar tanpa sedikitpun melembutkan tindakannya. Sebagai pihak yang paling tidak tahu apa-apa, jelas Ameera semakin terkejut dengan perbuatan Bramantyo.

“Kyaa! A … a …,” refleks bibir Ameera mengucapkan kalimat yang belum utuh. Pemberontakan kecil juga dilakukan Ameera, dia merasa sang Ayah menyakitinya.

Sepanjang ingatan Ameera, tidak pernah Bramantyo berlaku hangat kepadanya. Ameera tumbuh dengan mengenal Bramantyo sebagai sosok yang dingin, juga seorang yang menjaga jarak dengannya.

Ameera terus meronta-ronta ingin dilepaskan. Cekalan tangan ayahnya membuat tangannya terasa perih.

“Aa! Aa….”

Tangan Bramantyo terangkat tinggi. Dia tidak terima dengan penolakan Ameera yang makin meninggikan emosinya usai pertengkaran dengan Falisha. Detik berikutnya, tangan yang jauh lebih besar dan berkulit kasar itu sudah mendarat keras di pipi putri kandungnya sendiri.

Plak!!

“Mas!!”

Ameera menjerit hebat setelahnya. Kalau ditanya apa yang lebih menyakitkan setelah semua rentetan peristiwa yang menimpa Falisha, jawabannya adalah pemandangan yang ada di depan matanya saat ini. Kekerasan berupa tamparan dilakukan oleh Bramantyo terhadap Ameera benar-benar meluluhlantakkan hatinya.

Walau menunjukkan ketidaksukaan, walau dingin terhadap Ameera karena keistimewaan bocah itu, tidak pernah sekalipun Bramantyo main tangan. Namun, segalanya berubah hanya dalam hitungan menit. Falisha tidak lagi menemukan Bramantyo-nya yang dulu.

“Mas! Jangan!!” pekik Falisha lagi dengan suara tinggi. Ia begitu panik tatkala melihat Bramantyo mengangkat tangan untuk melayangkan pukulan kedua pada Ameera.

Falisha mengabaikan semuanya saat ini, termasuk keberadaan Hera yang baru saja keluar dari kamar tempatnya bersetubuh tadi. Namun, malang memang tidak dapat ditolak. Bukannya iba dengan tangisan Ameera yang pecah karena tamparan keras dan perlakuan kasarnya, Bramantyo malah semakin gelap mata. Sebelum bisa dicegah, Bramantyo sudah lebih dulu mendaratkan tamparan kedua di pipi kecil Ameera.

Plak!!

“Gyaaa!!” Bocah itu marah dan tidak terima atas perlakuan ayahnya. Refleks, pembelaan diri Ameera tidak hanya berupa teriakan saja. Sekuat tenaga, si kecil itu berusaha melepaskan diri dari cengkraman kuat Bramantyo. Tidak lagi menunggu bantuan sang Ibunda yang menyongsongnya segera, Ameera sudah lebih dulu mencakar lengan ayahnya, juga memukul-mukul tak tentu arah sebisanya.

“A … Akh …!”

“Anak kurang ajar!”

“Mas! Jangan, Mas!!”

Suara Ameera yang tengah menangis juga berteriak-teriak pun mengudara, bercampur dengan suara-suara dari kedua orang tuanya. Keributan tidak lagi bisa dicegah. Tepat di saat Falisha datang untuk menyelamatkan Ameera dari korban amukan tidak berdasar Bramantyo, saat itu jugalah si bocah kembali menunjukkan aksinya. Sekuat-kuatnya, ia membenamkan gigi-giginya di lengan bawah sang Ayah.

“Arrgh!” geram Bramantyo merasakan perih. Sesaat, cengkramannya pada Ameera pun melonggar.

Kontan, Falisha yang menyadari semua itu langsung menjadi penengah. Dia tidak akan membiarkan Bramantyo melakukan kekerasan lagi pada putrinya.

“Cukup, Mas! Cukup! Tega sekali kamu sama Ameera!” sergah Falisha tajam.

Perih akibat luka di tangannya membuat Bramantyo kian meradang, “Memang! Aku tega! Dan aku akan lebih tega lagi kalau kalian berdua lama-lama di rumah ini! Dasar sampah tidak berguna!” sahut Bramantyo langsung menghardik dan kembali diikuti dengan makian yang tentunya menyakiti hati.

“Kami sudah menikah siri dua bulan lalu. Hanya akan ada satu ratu di rumah ini, dan itu Hera!” lanjut Bramantyo berapi-api, membuka satu lagi fakta yang tidak diketahui oleh Falisha.

Falisha sudah tidak punya kuasa untuk marah. Namun, amarah dan rasa tak terima jelas tersimpan dalam hatinya.

"Baik! Baik, kalau itu maumu, Mas!" ucap Falisha pelan dan penuh penekanan.

Ia sudah mengambil keputusan bulat. Ia dekap erat-erat Ameera, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "Aku turuti semua maumu! Tapi ingat … jangan menyesal!"

Setelahnya, wanita itu membimbing sang putri yang tengah ketakutan itu menuju pintu keluar. Bagi Falisha, mengamankan Ameera dari situasi buruk ini jauh lebih penting, selebihnya akan ia urus nanti.

Ameera yang tidak tahu apa-apa, tapi harus ikut jadi korban akibat retaknya rumah tangga orang tuanya itu menangis sembari terus mengikuti langkah sang Ibunda.

“Sabar ya, Nak ….” bisik Falisha meski tahu anaknya mustahil mendengar.

Di belakangnya, Bramantyo dan gundiknya mengikuti dengan pelukan yang tidak terburai.

“Ini … bawa sampahmu sekalian pergi dari sini!” Hera menjatuhkan tas selempang Falisha dengan begitu arogan di bawah kakinya. Tidak cukup hanya dengan itu, tas yang nampak lusuh karena penggunaan yang lama tersebut ditendang Hera hingga berhenti tepat di ujung kaki Falisha.

Perlakuan yang jelas-jelas merendahkan ini seakan menyiramkan garam pada luka hati Falisha. Senyum bak malaikat juga diukir Hera guna memprovokasi Falisha. Namun, Falisha sekuat tenaga untuk tidak terpancing. Malahan, usaha kecil Hera itu semakin menguatkan tekadnya untuk segera pergi dari tempat pahit ini dan membiarkan mereka merasa menang untuk sementara waktu.

Falisha mengambil tas selempang miliknya tanpa banyak berekspresi, lantas membimbing Ameera yang masih menyisakan isakan itu ke motor. Tidak sedikitpun Falisha melirik ke arah sepasang manusia hina yang berdiri di ambang pintu itu, dia pun memutar motor dan keluar dari sana bersama Ameera.

Sesaat sebelum Falisha benar-benar meninggalkan tempat itu, telinganya masih sempat menangkap suara Hera, “Tahu diri juga ternyata si Babi, tahu begini tidak perlu repot sembunyi-sembunyi selama ini, Mas!”

Samar tapi kian menyakitkan hingga membuat Falisha langsung tancap gas detik itu juga. Tidak ada tujuan, Falisha sendiri tidak tahu harus ke mana dengan pikiran kalut seperti ini.

Panas terik tidak lagi menjadi beban Falisha, begitu pula dengan debu dan polusi di jalan raya. Yang dia tahu hanyalah dia ingin pergi bersama Ameera sejauh mungkin sekarang.

Akan tetapi, baru beberapa menit berkendara dengan kecepatan sedang itu, pertahanan diri Falisha sudah runtuh. Air mata yang sempat kering itu kini kembali mengalir, tidak bisa dicegah, luruh dengan sendirinya karena kehancuran demi kehancuran yang diterima.

Tidak fokus, pandangan yang mengabur karena air mata, dengan pikiran yang penuh hal-hal lainnya membuat Falisha tidak seberapa memerhatikan jalan raya. Falisha sama sekali tidak menyadari jika di persimpangan jalan, ada mobil yang ingin menyebrang, hingga … tabrakan pun tidak terhindarkan.

BRAK!!

Falisha bisa mendengar riuh rendah suara bising di sekitar juga rasa sakit yang sempat mendera sebelum kesadarannya hilang di telan kegelapan dan dia tidak merasakan apa-apa lagi.

Ketika kesadaran Falisha kembali menggelayut tipis, suara familiar menyusup ke telinganya, "Falisha, Kamu sudah sadar?"

####

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Illa Darrel
Smoga Ameraa baik2 aja ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status